Minggu, 25 April 2010

Studi Kebijakan Penanganan Gizi Kabupaten Manggarai

PENGANTAR

Hingga tahun ini, telah lima tahun sudah bupati Christian Rotok menjalankan roda pemerintahan kabupaten Manggarai. Meskipun kabupaten ini merupakan wilayah tersubur di NTT, namun hingga akhir pemerintahannya penderita gizi buruk dan gizi kurang masih berceceran dimana-mana. Sepertinya penanganan masalah gizi bukan saja menjadi perhatian utama Pemerintah Manggarai, hahkan masalah ini seperti berada diluar kerangka berpikir mereka. Indikasinya dalam teks pertanggung jawaban Bupati Manggarai yang dibacakan 31 Maret 2010 kemarin tidak menyinggung sama sekali masalah perkembangan gizi buruk di Manggarai padahal ini merupakan masalah penting yang menyangkut sumber daya manusia.

Apakah gizi buruk di Manggarai memang sudah tidak ada lagi? Hingga Juli 2009 di kabupaten ini masih terdapat 1.767 anak gizi kurang dan 109 anak gizi buruk. Jumlah ini didasarkan data dinas kesehatan. Meskipun perkembangan gizi buruk menunjukkan trend yang menurun, namun ada berbagai versi data mengenai penderita masalah gizi yang dimiliki sumber-sumber di pemerintahan. Satu dengan yang lainnya menunjukkan jumlah yang berbeda. Hal ini menunjukkan kesimpangsiuran dalam pendataan masalah gizi di pemerintahan. Kesimpangsiuran pendataan sering menyebabkan kesimpangsiuran penanganannya pula.


Tahun 2005, Manggarai masuk dalam 16 kabupaten yang dinyatakan sebagai daerah yang mengalami KLB gizi buruk oleh pemerintah provinsi NTT. Lalu apa yang telah dilakukan pemerintah sejak KLB hingga saat ini jika sampai saat ini masih ada ribuan anak dengan masalah kecukupan gizi? Jika diperiksa dari kebijakan dan program pemerintah 2005 dan 2009 hampir tidak ada perubahan yang signifikan baik dalam kebijakan maupun program-programnya.

Pemerintah Manggarai meletakkan bidang pendidikan sebagai prioritas utama dalam kebijakannya. Alokasi anggaran yang disisihkan untuk bidang ini tidak main-main yaitu 33% pada tahun 2009. Namun sayangnya hasil kerja di bidang ini tidak sesuai dengan besarnya anggaran yang diperoleh. Angka kelulusan siswa SMP dan SMA terus merosot sejak 2006 hingga 2009. Ini merupakan catatan besar bagi Pemerintah Manggarai dalam membenahi sektor pendidikan yang secara tidak langsung terkait dengan penanganan masalah gizi. Masalah gizi salah satunya dipicu oleh rendahnya pendidikan secara mutu maupun kuantitas masyarakat.

Di sektor pertanian agaknya mengalami kemacetan dalam usaha perluasan area tanam sehingga luas lahan yang bisa dibudidayakan tidak mampu mengimbangi pertumbuhan angkatan kerja. Padahal luas lahan yang belum termanfaatkan masih sangat luas. Akibatnya setiap tahun jumlah pengangguran semakin meningkat. Kendala minimnya jumlah tenaga penyuluh yang tidak mencukupi kebutuhan seluruh desa juga merupakan masalah tersendiri.

Walaupun demikian ada inisiatif kreatif dari kalangan kelompok agamawan yang mencoba memutus rangkaian penyebab busung lapar ini. Ekopastoral yang merupakan gerakan pastoral kategorial Ordo Fransiskan untuk masyarakat petani yang berkantor di Pagal mencoba mengajak para petani untuk meningkatkan produksi pangan dan hortikultura untuk konsumsi sehari-hari. Melalui pertanian organik masyarakat akhirnya bisa menikmati peningkatan jumlah produksi pangan dengan biaya produksi yang murah. Selengkapnya...

Daerahku Malang, Daerahku Gizi Buruk

Workshop-Studi Kebijakan Penanganan Gizi Kabupaten Manggarai -2009
Ecosoc Right Institute, Jakarta 26-29 April 2010
Catatan Perjalanan 1


Siang terik 10 April 2010… hand phone-ku bordering. Aku melihat angka yang tertera. Eh, ada nomor baru. Segera kusapa, “Halo, ada yang kami bisa bantu?” Di seberang sana memberikan jawaban, serentak bertanya, “Apakah benar ini Kanisius dari LPKD?” “Benar”, jawabku. Suara itu memperkenalkan diri sebagai peneliti dari Ecosoc. Mbak Yanti, itulah namanya. Sejak saat itu, ada diskusi hangat yang menyengat sekaligus menimbulkan duka: Manggarai didera gizi buruk! Itulah sebuah simpulan sementara setelaj ada sebuah kajian rasional-objektif atas fakta Manggarai yang kaya sumber daya alam sekalgus kaya orang miskin.

“Tolong, kita lakukan kajian bersama”. Demikian awal perjalanan penelitian tentang gizi bersama Ecosoc. Tiket sudah di-issued mbak Yanti. Routenya Ruteng-Kupang-Surabaya-Jakarta. Jadilah tanggal 24 saya bersama Esti dari JPIC berangkat dengan Riau Air dari Ruteng ke Kupang. Di Kupang sempat pelesir ke rumah saudara sambil menumggu jadwal perjalanan lanjutan. Kami bertemu dengan Okto dari Alor. Okto ini dari tampangnya persis seorang body guard kawakan di AS. Mirip orang dari Puerto Richo: tinggi, besar, rambut panjang dan kekar. Selanjutnya kami terbang pkl. 13.30 dengan Mandala Air Bus 320. Pesawat yang ini masih baru dengan jumlah seat 160. Ada keanggunan tersendiri berada di dalamnya.

Tiba di Cengkareng pkl 17.00. Dengan taxi Blue Bird kami meluncur ke Klender. Rumah yang disambang adalah Wisma Samadi milik Keuskupan Agung Jakarta. Sempat pusing karena mutar-mutar. Sopir juga belum hafal benar daerah ini. Lalu setelah 1 jam berkeliling, tibalah di rumah yang dulunya RS cabang Carolus. Teman-teman lain berdatangan: Melki dari Florim, Frans Pantur dari Kupang, Ernet dari Rote, Dr. Yan dari TTU serta teman-teman asal Jakarta… Selengkapnya...

Jumat, 09 April 2010

Gereja Manggarai yang Membebaskan

Bingkisan Kecil di Hari Tahbisan Uskup Ruteng

Kanisius Teobaldus Deki, M.Th
Pengajar STKIP St. Paulus & Direktur Lembaga Pendidikan dan Kajian Demokrasi

Hari-hari ini, Gereja Keuskupan Ruteng yang memiliki wilayah pelayanan untuk Manggarai Raya (Manggarai Barat, Manggarai Tengah dan Manggarai Timur), sedang dilanda suka cita. Betapa tidak! Setelah sekian lama ada dalam penantian, akhirnya Uskup baru, Mgr. Hubertus Leteng Pr ditahbiskan pada 14 April 2010. Pada 08 April 2010 Yang Mulia dijemput secara resmi dengan ramainya menuju kota Ruteng. Ribuan umat memadati jalan protokol. Tempik sorak-sorai juga kesemarakan menjadi nada yang sulit ditepis dari kegembiraan kolosal umat. Tak ketinggalan murid-murid SD, siswa-siswi SLTP & SLTA. Termasuk mahasiswa-mahasiswi kampus STKIP St. paulus. Di mana-mana wajah Monsigneur dipampang dalam baliho yang besar. Hampir bersaing ketat dengan para kandidat politik yang akan berebut tahta menjadi Bupati-Wakil Bupati di Manggarai.
Di tengah keramaian, di antara lambaian tangan-tangan kecil siswa SD yang memegang bendera merah-kuning, juga kesigapan regu penjemputan dalam busana adat yang indah, muncul berbagai pertanyaan yang menyeruak masuk: Apakah peristiwa ini akan membawa orang Manggarai Raya ke arah pembebasan? Bagaimana kita membangun Gereja kita sebagai Gereja yang Membebaskan? Pertanyaan-pertanyaan ini melahirkan sebuah ikhtiar untuk menulis gagasan kecil ini, lebih sebagai bingkisan di hari tahbisan Mgr. Hubertus.


Tekanan kolonialisme masa lampau masih terbaca dalam kecemasan-kecemasan orang Manggarai menghadapi tantangan hidup aktual masa kini. Mereka sudah terbiasa menghadapi pengalaman kekerasan, penindasan dan ketidakadilan struktural yang dipaksakan. Dalam situasi seperti ini, mereka sangat mengharapkan terciptanya situasi pembebasan dari keterbelengguan multiwajah. Ketika suara mereka tidak didengarkan oleh penguasa, tatkala hak-hak mereka tak dihiraukan dan mereka tidak sanggup untuk melawan, mereka mengharapkan Gereja tidak berdiam diri. Orang Manggarai rindu memiliki Gereja yang menjadi wakil mereka untuk bersuara menentang penindasan yang telah lama mereka alami. Gereja tidak boleh hanya menjadi penonton yang tidak berpihak pada mereka. Apalagi berkolaborasi dengan kebijakan-kebijakan yang jelas-jelas merugikan rakyat-umat Manggarai.
Gereja yang berdialog adalah Gereja yang aktif, terlibat dalam konteks budaya dan masalah-masalah orang Manggarai. Persoalan yang paling aktual ialah, bagaimana nilai-nilai budaya orang Manggarai dengan tradisi sastra lisannya menjadi sarana yang efektif untuk mendialogkan Kabar Gembira Yesus Kristus? Kesediaan Gereja untuk mendengarkan keluh kesah, harapan dan bersama mereka yang dirugikan berjuang untuk menemukan jalan pembebasan. Hanya suatu masyarakat yang terbuka, partisipatif mampu mengatasi keterpecahan kebudayaan kosmik yang disebabkan oleh pesatnya laju pasar internasional. Ini berarti Gereja Manggarai menciptakan suatu kebudayaan dialogal, di mana setiap orang dinilai [didengarkan] dan setiap orang ambil bagian dalam pengambilan keputusan yang demokratis.
Dialog itu sendiri merupakan evangelisasi pembebasan dalamnya misi Kristus dihadirkan. Dialog pada tahap pertama dan utama adalah kesediaan untuk saling membuka diri. Dalam dialog, kedua belah pihak memiliki kedudukan yang setara, sederajad di mana anggapan superioritas dan inferioritas ditiadakan. Gereja sebagai institusi mendialogkan tawaran keselamatan Yesus Kristus kepada orang Manggarai. Dalam budaya dialogal, orang Manggarai akan mengkomunikasikan pengalaman hidup dan budaya mereka kepada Gereja. Demikianpun sebaliknya.
Kebudayaan kosmik orang Manggarai telah menjadi sekular tatkala kaum miskin disamun dari bahasa yang dalamnya mereka mengungkapkan jati diri, martabat dan nilai-nilai hidup mereka yang terdalam. Dalam situasi krisis kebudayaan [terlepas dari akar budaya asli dan menjadi ragu atasnya] mereka ditawarkan untuk membuka diri terhadap yang transenden. Dalam konteks seperti ini, tempat Gereja ialah ada bersama-sama dengan kaum miskin dan yang tergusur sebab di situlah Allah akan ditemukan. Konkritnya, ada beberapa langkah pembebasan yang dapat menjadi reksa pastoral.
Pertama, dialog yang dijalankan dengan penuh ketulusan, keterbukaan berusaha meyakinkan orang Manggarai bahwa dari kebudayaannya terdapat banyak nilai Kristiani [yang dalam awal abad ke-20 disebut naturaliter Cristiana-orang Kristen secara alami] yang dapat menjadi basis iman mereka kepada Kristus. Di sini anggapan yang terlanjur didengungkan pada zaman lampau tentang superioritas ajaran Kristen akan runtuh dengan sendirinya. Baik budaya lokal Orang Manggarai maupun tradisi Kristen berjalan dalam saling menerima dan memberi. Di sini dialog akan membebaskan orang Manggarai dari keterbelengguan historis yang merupakan stigma ciptaan misionaris masa lampau.
Kedua, dialog pembebasan tidak dibuat sebatas saling menerima dan memberi nilai-nilai yang membangun partisipasi umat menuju keselamatan. Lebih dari itu, dialog diarahkan ke praksis kehidupan sehari-hari orang Manggarai. Itu berarti Gereja terlibat dalam persoalan kemiskinan, ketidakadilan, penindasan, kekerasan, pemberdayaan orang Manggarai secara aktif. Pengakuan akan eksistensi budaya, lembaga-lembaga adat-istiadat merupakan bagian dari misi pembebasan itu. Jika Pemerintah Kabupaten Manggarai hanya menjadikan kebudayaan dan institusi adat sebatas komoditas politik, demi meraup keuntungan di atas upaya penjualan dan pengangkangan terhadapnya, maka Gereja mesti berada pada garda depan untuk tampil sebagai pembela. Di sisi lain, Gereja bisa menjadi suara kritis terhadap praktek-praktek budaya yang diksriminatif, membelenggu dan keliru tersebab menista martabat kemanusiaan. Tetapi suara Gereja akan didengarkan jika ia terlebih dahulu mau mendengarkan dan aspiratif terhadap budaya lokal.
Ketiga, dalam pergolakan politis dan kebijakan-kebijakan Pemkab Manggarai, Gereja mesti tetap memiliki suara profetis. Ketika Gereja Manggarai kehilangan suara profetisnya, ia menjadi sama seperti garam yang tidak asin atau lampu yang tak berminyak. Orang Manggarai tidak membutuhkan bangunan Gereja yang megah, ruang pertemuan pastoral yang mewah [karena itu akan menyebabkan pungutan “derma” semakin gencar dan terkesan “memaksa”]. Gereja Manggarai harus tetap menjadi Gereja kaum sederhana yang hidup bersahaja. Seperti rumah Gendang yang tetap sederhana, Gereja hendaknya menampilkan diri secara ugahari, bersolider dengan umat yang tertindas dan menjadi pembela mereka. Advokasi hak-hak masyarakat Manggarai selama ini lebih banyak dilakukan oleh lembaga lain yang cepat tanggap terhadap persoalan publik. Di manakah peran Gereja? Gereja akan tetap dipahami sebatas institusi, gedung, jika tidak terlibat dalam kehidupan konkrit umat. Saatnya, praktek pembebasan ini dimulai, melepaskan dominasi teologi Barat, berupaya menjalin keterkaitan antara aktus-praksis dan refleksi demi menjawab tantangan aktual umat. Gereja perdana adalah Gereja para martir. Sudah tiba waktunya Gereja Manggarai keluar dari kenyamanan, berdiri bersama umatnya di bawah terik matahari untuk menentang kelaliman. Meskipun bayarannya adalah tubuh bersimbah darah.
Dalam dialog yang mengedepankan lonto leok, terdapat komunikasi timbal balik antara kedua pihak atau bahkan dengan lebih banyak pihak. Sebagaimana tradisi sastra lisan menghidupkan berbagai bentuk ungkapan persaudaraan dan mencari keterjalinannya, demikian pula Teologi Relasi Manggarai berusaha menghubungkan warta keselamatan Yesus Kristus dalam dialog yang aktif dengan kehidupan aktual. Semangat dialog ini harus menjadi pilihan pertama dalam menyelesaikan konflik horizontal maupun vertical yang telah melanda Manggarai dari waktu ke waktu. Berhadapan dengan situasi seperti ini, pengembangan relasi yang dialogal merupakan suatu keniscayaan. Pada tahap ini, dialog bukan lagi sarana evangelisasi, melainkan evangelisasi itu sendiri. Ketika Gereja Manggarai mengembangkan relasi yang dialogal ini, terdapat kurang lebih empat hal yang harus jelas dan menjadi kesadaran bersama, yakni hakikat dari dialog, alasan-alasan untuk berdialog, kondisi-kondisi yang memungkinkan dialog dan model-model dialog yang efektif. Dialog rangkap tiga: dengan kebudayaan, agama-agama dan situasi kemiskinan serta ketertindasan merupakan jawaban yang tepat untuk semakin memahami Gereja lokal Manggarai dan menawarkan pendekatan pastoral yang sesuai dengan konteks mereka.
Konsekuensinya jelas. Gereja tidak lagi dimengerti sebatas mimbar sekaligus pusat yang merupakan kiblat umat. Gereja adalah kehidupan umat itu sendiri yang harus disucikan terus menerus oleh perjuangan mencapai keselamatan. Gereja adalah medan perjuangan di mana mereka berusaha mengaplikasikan nilai-nilai kristiani dalam hidup konkret. Dengan demikian, Gereja bukan lagi lembaga yang menghasilkan berbagai dokumen iman, melainkan tempat pengalaman iman didialogkan, dibagikan sebagai santapan rohani. Pejabat-pejabat Gereja adalah penghubung yang sanggup membahasakan kebutuhan real umat. Gereja karenanya tidak berarti singular. Sebagai sarana keselamatan yang berziarah menuju Allah, Gereja adalah umat Allah yang mendengarkan Sabda dan mengikuti kehendakNya. Umat Allah yang berbicara di rumah-rumah Gendang, di tempat lodok uma, di depan kantor DPR, di halaman kantor Bupati tentang masa depan bersama yang berorientasi kepada keselamatan Yesus Kristus adalah juga Gereja yang diilhami oleh Roh Kudus. Jadi, tempat bukan soal lagi, karena di manapun umat-rakyat dapat berdialog dengan sesama saudaranya dalam namaNya, di situ Allah hadir.***

Selengkapnya...