tag:blogger.com,1999:blog-72449282213064032632024-03-08T05:15:00.399-08:00Lembaga Pendidikan &Kajian Demokrasi (LPKD)Didirikan dengan maksud untuk penguatan kapasitas masyarakat dan institusi lokal yang demokrastis, berkeadilan, sadar gender, bebas sub-ordinasi, pelestarian lingkungan hidup dan perbaikan kesejahteraan masyarakat melalui pendidikan dan kajian demokrasiLEMBAGA PENDIDIKAN DAN KAJIAN DEMOKRASIhttp://www.blogger.com/profile/09261201344588543137noreply@blogger.comBlogger23125tag:blogger.com,1999:blog-7244928221306403263.post-27454498139650726812010-06-16T18:38:00.000-07:002010-06-16T18:41:24.066-07:00Pemilu Kada Manggarai, Replikasi Karakter Orde Baru?<span style="font-weight:bold;">Kanisius Teobaldus Deki, M.Th</span><br /><span style="font-style:italic;">Direktur Lembaga Pendidikan dan Kajian Demokrasi,<br />Staf Pengajar STKIP St. Paulus Ruteng<a href="http://www.google.com; www.yahoo.com; www.plaza.com"></a></span><br /><br />Jelang Pemilu Kada, pada 01 Juni 2010, Lembaga Pendidikan dan Kajian Demokrasi (LPKD) bekerja sama dengan Radio FM Lumen 2003 menyelenggarakan dialog Publik, apa yang menjadi fokus dalam diskusi itu?<br /><br />LPKD melakukan pendidikan politik dalam aras Pencerdasan Politik dengan menghadirkan narasumber nasional Boni Hargens dan Rm. Max Regus Pr. Yang kami bangun adalah sebuah upaya untuk membantu masyarakat pemilih menggunakan hak pilihnya secara benar. Penyadaran ini perlu untuk mendisposisikan kembali nilai yang paling hakiki dari demokratisasi yakni pembangunan yang memihak kepada masyarakat dan penggunaan kekuasaan secara arif untuk orientasi kesejahteraan bersama.<br /><br />Benarkah ada pihak yang merasa terganggu dengan dialog itu?<br /><br />Kami tidak bisa memastikannya. Tetapi sementara dialog berlangsung ada yang mengaku anggota Panwaslu datang meminta penjelasan tentang acara dialog itu. Alasan bahwa ini adalah “masa tenang” tidak masuk akal karena kami nonpartisan dan bukan kandidat yang akan berlaga di Pemilu Kada. Ya, symptom kecemasan yang berlebihan. Malah kami harus bertanya: Ada apa di balik semua ini? Adakah skenario tertentu yang sedang dimainkan? Malam hari pada tanggal yang sama Panwaslu juga melakukan dialog di radio yang sama meng-counter acara dialog yang kami lakukan. Ini maksudnya apa?<br /><br />Hasil Pilkada Manggarai sangat fantastik, apa penyebabnya menurut Anda?<br /><br />Berbeda dengan Manggarai Barat dengan Ngadha, perolehan paket Incumbent di Manggarai sangat mencolok bahkan hampir mustahil. Di Manggarai Barat dengan komposisi pesaing yang mempunyai wilayah pengaruh merata di hampir semua kecamatan menyebabkan perolehan suara antara paket GustI dan yang lainnya tidak terpaut terlalu jauh. Bahkan ada arah ke dua putaran. Sedangkan di Manggarai paket Incumbent (34,54%) jauh meninggalkan paket yang lain (Victory 15,21%). Kalau ditanya, apa penyebabnya, itu harus dibuat kajian yang objektif. Namun hemat saya, orang Manggarai mayoritas memiliki pendidikan yang rendah, karena itu perspektif mereka akan apa yang disebut “pembangunan” sangat harafiah. Belum lagi kalau benar ada money politic dan penyalahgunaan kekuasaan.<br /><br />Bagaimana pandangan Anda tentang Proses Pemilu Kada 03 Juni lalu di Manggarai dari sisi politik?<br />Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara. Politik juga suatu seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional. Menurut Aristoteles, politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama. Selain itu, politik merupakan hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan Negara, kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di masyarakat dan segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik. Bertitik tumpu pada teori-teori ini, Pemilu Kada 03 Juni lalu adalah salah satu bentuk proses demokrasi untuk membangun daerah ini. <br />Menyinggung soal demokrasi di Indonesia secara luas, penilaian Anda?<br />Persoalan utama dalam negara yang tengah melalui proses transisi menuju demokrasi seperti Indonesia saat ini adalah pelembagaan demokrasi. Yaitu bagaimana menjadikan perilaku pengambilan keputusan untuk dan atas nama orang banyak bisa berjalan sesuai dengan norma-norma demokrasi, umumnya yang harus diatasi adalah merobah lembaga feodalistik (perilaku yang terpola secara feodal, bahwa ada kedudukan pasti bagi orang-orang berdasarkan kelahiran atau profesi sebagai bangsawan politik, pemilik uang dan yang lain sebagai rakyat biasa) menjadi lembaga yang terbuka dan mencerminkan keinginan orang banyak untuk mendapatkan kesejahteraan.<br />Demokrasi kita belum tumbuh secara benar. Apakah bisa dikatakan demikian?<br />Kenapa tidak? Demokrasi menjadi sebuah moment bersama untuk sebuah pembaharuan jika semua stake holder yang tergabung di dalamnya memahami apa itu demokrasi dan mengapa ia perlu. <br />Kesulitan realnya?<br />Pertama, Menurut data statistik tingkat buta huruf kita sangat tinggi. Itu artinya apa? Rakyat kita belum bisa mencerapkan gagasan-gagasan tentang demokrasi yang benar ke tengah-tengah masyarakat kita. Sehingga ketika ada kandidat berduit datang merayu, mereka pikir itulah yang terbaik. Apalagi, mereka sudah disemaputkan oleh ketiadaan beras. Mereka tidak tahu inilah kesempatan emas untuk memilih pemimpin yang cerdas. Manggarai ini kan subur, mestinya penduduk berkecukupan pangan. Jadi money politics tidak bisa ditepis. Kedua, lembaga-lembaga pendukung demokrasi di Negara Berkembang belum berfungsi secara maksimal, termasuk di Indonesia, misalnya menyoal netralitas KPUD/Panwaslu. Apakah benar mereka sungguh netral? Padahal mereka ini adalah “penjaga gawang” dari keberhasilan Pemilu yang benar. Ketiga, penjaga keamanan (Polisi, Brimob). Sebagian besar rakyat Manggarai masih takut pada penjaga keamanan. Bahkan kalau digertak saja mereka langsung surut. Nah di sini kesulitannya, kalau penjaga keamanan ini berpihak pada kandidat tertentu, ya tentu sulit sekali dibayangkan apakah rakyat mau mengadu jika ada pelanggaran. Keempat, aturan tidak mundurnya Incumbent sebagai Kepala Daerah, kecuali saat kampanye saja, sangat menguntungkan paket yang masih berkuasa. Tipis sekali perbedaan antara pergi kunjungi rakyat dan mengkampanyekan diri. Bahasa lainnya seperti kata pepatah “Sekali merengkuh dayung, dua-tiga pulau terjangkau”. Para demonstran mempersoalkan pemasangan baliho pembangunan oleh Humas Setda yang baru muncul di hari-hari terakhir kampanye. Mana baliho itu 5 (lima) tahun lalu? Mengapa baru muncul sekarang persis ketika baliho kandidat lainnya telah dibongkar? <br />Berarti ada hubungan timbal balik di satu pihak tujuan dari adanya demokrasi dan posisi vital rakyat serta elemen-elemen penjamin demokrasi itu?<br />Tentu. Demokrasi yang benar membawa perubahan dalam bentuk kesejahteraan. Sejatinya kata "demokrasi" berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Konsep demokrasi menjadi sebuah kata kunci tersendiri dalam bidang ilmu politik yang mengarah pada bonum commune (kesejahteraan bersama). Hal ini disebabkan karena demokrasi saat ini disebut-sebut sebagai indikator perkembangan politik suatu negara.<br />Dalam konteks Manggarai sejauh ini, ada pro dan kontra terhadap hasil Pemilu Kada, tanggapan Anda?<br />Pro-kontra adalah bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan yang demokratis. Untuk bisa membuktikan manakah yang benar dan manakah yang salah tidak cukup dengan nasihat saleh untuk menerima saja kekalahan. Atau mengamini begitu saja hasil yang sudah ada. Yang perlu di perhatikan ialah bagaimana proses Pemilu Kada itu dijalankan? Adakah unsur-unsur yang melawan aturan? Adakah aturan-aturan yang dipaksakan? Semua ini harus diteliti, jika ada pelanggaran Undang-undang dalam proses, Pemilu Kada harus dibatalkan demi hukum.<br />Berarti Anda setuju bahwa demostrasi harus tetap digelar?<br />Pertama, demontrasi tidak identik dengan hal yang negatif, namun tidak cukup dengan demonstrasi. Yang diperlukan ialah mencari bukti-bukti yang valid bahwa telah ada satu proses yang menyimpang. Misalnya, adakah urgensitasnya Bupati mengeluarkan Surat No. HK/125/2010 tanggal 22 Mei 2010 tentang Pembentukan Tim Koordinasi dan Monitoring pada saat Kampanye Pemilu Kada? Hal yang sama juga untuk Surat Wakil Bupati Manggarai No. 052/HMS/127/V/2010 tanggal 31 Mei 2010. Surat tersebut melanggar pasal 80 UU No. 32 tahun 2004. Apakah ada jaminan bahwa seorang Camat dan Kades/Lurah netral dalam menjalankan tugasnya tanpa intimidasi dan arahan? Bukankah monitoring dilakukan oleh KPUD dan Panwaslu? Atau, bagaimana dengan indikasi kasus money politic di kecamatan Cibal dan kecamatan-kecamatan lainnya? Juga kasus pelemparan rumah Camat di Reo? Semua ini harus dikaji lebih dalam dan cermat sehingga menghasilkan keputusan yang benar. Kedua, prinsip Jurdil (Langsung, Umum, Rahasia, bebas, Jujur dan Adil) dalam Pemilu sangat penting. Soal jujur dan adil sangat krusial dalam Pemilu Kada kita. Dugaan penggunaan Mesin Birokrasi yang kentara sangat membantu kandidat yang berkuasa untuk memperoleh kemenangan. Ini melanggar pasal 79 ayat 1 huruf C dan ayat 4 UU 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Kalau ini benar terjadi, bukankah ini replikasi karakter Orde Baru? Sebuah tragedi maut demokrasi di era reformasi! Ketiga, kebenaran harus diperlihatkan. Jika ada saluran yang tersumbat, baiklah kita buka. Jangan ditutup-tutupi. Sebab, sebuah proses yang benar tentu menghasilkan keputusan yang benar. Penelikungan kebenaran harus dihentikan karena demokrasi yang benar tidak akan mengorbankan kebenaran sebagai unsur hakikinya.<br />Rekomendasi Anda?<br />KPUD dan DPRD jangan cepat-cepat mengambil keputusan final sebelum hal-hal yang disampaikan 8 (delapan) kandidat lainnya diteliti secara benar sehingga menemukan kesahiannya. Rapat pleno dan sidang Paripurna yang dibuat hanya demi selesainya satu proses demokratisasi secara artifisial akan membawa dampak yang luas bagi kehidupan kita. Lebih-lebih tindakan kekerasan dan kekacauan yang tak terukur. Rapat pleno KPUD dan Sidang Paripurna DPRD juga harus mengutamakan prinsip kebenaran menjadi inti keputusan itu. Demikianpun rekomendasi Gubernur dan Keputusan Mendagri. Untuk masyarakat Manggarai harus menuntut haknya, demi meraih demokrasi yang benar.***<br /><br /><span class="fullpost"></span>LEMBAGA PENDIDIKAN DAN KAJIAN DEMOKRASIhttp://www.blogger.com/profile/09261201344588543137noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7244928221306403263.post-42762512445184511802010-06-08T19:36:00.000-07:002010-06-08T19:38:39.201-07:00SURAT PENOLAKAN TAMBANG DI CENOP- KECAMATAN LAMBALEDA- MANGGARAI TIMURSURAT PENOLAKAN TAMBANG<br /><span class="fullpost"></span><br />No : -<br />Lampiran : 1 jepitan<br />Perihal : Pernyataan Sikap<br /><br />Yth. Bapak Bupati Manggarai Timur<br />Di<br />Borong<br /> <br />Dengan hormat,<br />Kami masyarakat kampung Cenop, Desa Nampar Tabang, Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai Timur, baik sebagai pemilik lahan di “Lodok Wae Lempis” yang di dalamnya terkandung mangan, maupun sebagai bagian yang tak terpisahkan dari “Pa’ang Olon Ngaung Musin” kampung Cenop, datang ke hadapan Bapak untuk menyatakan sikap kami sebagai berikut:<br />1. Menolak dengan keras terhadap berbagai bentuk aktivitas pertambangan di sekitar lahan dan kampung kami dengan alasan sebagai berikut:<br />1) Hidup kami masih bergantung pada tanah. Di atas lahan yang kami miliki sekarang telah tumbuh tanaman perdagangan seperti kemiri, jambu mete dan kakao yang selama ini menjadi sumber penghasilan yang menopang ekonomi kami.<br />2) Lahan yang di dalamnya terkandung mangan lokasinya sangat dekat dengan permukiman warga kampung Cenop dan kampung Weleng. Aktivitas pertambangan di lokasi tersebut tentu saja akan sangat berdampak buruk bagi kelangsungan hidup warga kedua kampung tersebut.<br />3) Lokasi tersebut sangat dekat dengan lokasi SMPN 2 Lamba Leda (kurang lebih berjarak 100 meter). Aktivitas pertambangan tentu saja akan menciptakan kondisi yang tidak nyaman untuk kegiatan pembelajaran di sekolah tersebut.<br />4) Lokasi tersebut berada langsung di dekat daerah aliran sungai. Jika dilakukan aktivitas pertambangan maka akan sangat merugikan kegiatan pertanian di beberapa lahan persawahan milik masyarakat kampung Lengko Tong dan Tumbak di Desa Satar Punda, serta kampung Waso dan Runting di Desa Satar Padut.<br />5) Kurang lebih 200 meter dari lokasi tersebut terdapat mata air (Wejang), tempat warga kampung Cenop menjalankan ritus adat “Barong Wae” untuk setiap kali melakukan upacara adat. Aktivitas pertambangan tersebut akan melecehkan simbol budaya kampung Cenop.<br />2. Menolak dengan tegas pihak, baik pribadi maupun kelompok, yang mengatasnamakan masyarakat kampung Cenop untuk menyatakan persetujuan terhadap aktivitas pertambangan di lahan milik masyarakat kampung Cenop.<br />3. Mengutuk dengan keras warga kampung Cenop yang lahannya diserahkan untuk kegiatan pertambangan. Terhadap mereka kami berpandangan bahwa:<br />1) Mereka adalah orang-orang yang tidak memiliki kepekaan sosial, tidak menghargai kepentingan bersama, mengorbankan kepentingan bersama demi pemuasan keinginan mereka yang egois.<br />2) Mereka adalah orang-orang yang tidak konsisten karena mereka telah membuat pernyataan menolak terhadap aktivitas eksplorasi dan eksploitasi mangan di lahan yang mereka miliki tertanggal 3 Mei 2009 yang disaksikan oleh 33 peserta rapat dan diketahui oleh Tu’a Teno Cenop atas nama Bapak Paulus Rangka (Surat Pernyataan Penolakan terlampir).<br />3) Mereka telah melakukan penipuan terhadap masyarakat untuk mendapatkan persetujuan masyarakat kampung Cenop dan kampung Diwuk terhadap aktivitas pertambangan dengan modus menandatangani persetujuan menjadi tenaga kerja ketika nanti aktivitas pertambangan resmi dilakukan.<br />Demikian pernyataan sikap kami untuk menjadi pertimbangan Bapak dengan harapan agar diterima dan dengan demikian Bapak tidak mengeluarkan ijin eksplorasi dan eksploitasi pertambangan di “Lodok Wae Lempis” yang dimaksud. Kami akan terus melakukan penolakan sampai Bapak mengabulkan permohonan kami untuk tidak mengeluarkan ijin eksplorasi dan eksploitasi mangan di wilayah kami. Atas perhatian Bapak kami mengucapkan terima kasih.<br /><br />Cenop, 6 Juni 2010<br />Koordinator Sekretaris<br /><br /><br />Rofus Janus Anton Ego<br /><br />Tembusan:<br />1. Yth. Ketua DPRD Kabupaten Manggarai Timur di Borong<br />2. Yth. Kepala Dinas Pertambangan Kabupaten Manggarai Timur di Borong<br />3. Yth. Ketua JPIC SVD Provinsi Ruteng di Ruteng<br />4. Media massa<br />5. ArsipLEMBAGA PENDIDIKAN DAN KAJIAN DEMOKRASIhttp://www.blogger.com/profile/09261201344588543137noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7244928221306403263.post-66160045762428578762010-05-29T04:24:00.000-07:002010-05-29T04:28:49.600-07:00PEMBANGUNAN MANGGARAI DAN TRAGEDI KEMANUSIAAN<span style="font-weight:bold;">Kanisius Teobaldus Deki, M.Th</span><br /><span style="font-style:italic;">Staf Pengajar STKIP St. Paulus,<br />Direktur Lembaga Pendidikan dan Kajian Demokrasi<br /></span><br />Kabupaten Manggarai berada di ujung barat Pulau Flores. Manggarai dikenal sebagai daerah subur ditandai dengan tingginya kontribusi sektor pertanian bagi perekonomian daerah ini. Hampir semua jenis tanaman pertanian seperti padi, jagung, umbi-umbian dan sayur-sayuran tumbuh subur di daerah ini. Begitu pula tanaman perdagangan seperti kopi, cengkeh, fanili, cokelat, kemiri dan pisang dengan mudah kita temui di daerah ini. Bahkan Manggarai dikenal sebagai salah satu daerah penghasil kopi terbesar di NTT. <br />Dari sisi geografis, Kabupaten Manggarai berada di antara Kabupaten Manggarai Barat di sebelah barat dan Kabupaten Manggarai Timur di sebelah timur. Sementara di bagian utara berbatasan dengan laut Flores dan bagian selatan laut Sawu. <br />Luas wilayah Kabupaten Manggarai adalah 4.188,90 km persegi yang terdiri dari daratan Pulau Flores dan Pulau Mules. Kabupaten Manggarai kini menjadi kabupaten induk bagi Kabupaten Manggarai Barat yang definitif tahun 2003 dan Kabupaten Manggarai Timur tahun 2007. Pemekaran Manggarai menjadi tiga kabupaten ini disebabkan karena luasnya wilayah yang membuat upaya memajukan dan mensejahterakan masyarakat sulit diwujudkan. <br />Secara administratif, Kabupaten Manggarai terbagi atas 9 kecamatan yakni kecamatan Satar Mese, Satar Mese Barat, Wae Rii, Reo, Cibal, Ruteng, Lelak, Rahong Utara dan Langke Rembong. Masing-masing kecamatan terbagi lagi atas wilayah desa/kelurahan, yakni Satar Mese 19 desa, Satar Mese Barat 20 desa, Wae Rii 16 desa, Cibal 27 desa, Reok 20 desa, Ruteng 16 desa, Rahong Utara 12 desa, Lelak dan Langke Rembong 11 kelurahan. Total desa/kelurahan mencapai 138 desa dan 11 kelurahan.<br />Tulisan ini lebih merupakan sebuah tinjauan kritis atas apa yang telah terkonstruksi dalam pembangunan di Manggarai dan hasil-hasil yang dapat terukur pada dimensi kemanusiaan yang utuh dari manusia.<br /><br /><span class="fullpost"></span><br /><span style="font-weight:bold;">Salah Kaprah Pembangunan</span><br />Masyarakat Manggarai dengan tingkat pendidikan yang rendah cenderung melihat pembangunan dalam orientasi State Building (pembangunan fisik) dan bukan Nation Building (pembangunan manusia). Karena itu ukurannya jelas: berhasil atau tidaknya pembangunan bertitik tumpu pada berapa jalan yang dibuka, bukan pada apakah makin sejahtera masyarakat, makin banyak yang berpendidikan, makin banyak yang sehat, dll. Sebuah pembangunan yang integral dan berdimensi plural.<br />Membaca alur pemikiran pembangunan yang dibacakan Bupati Manggarai dalam Laporan Akhir Masa Jabatan di hadapan DPRD Manggarai, ada kesan kuat menonjolkan pembangunan infrastruktur sebagai ”fokus utama” dari kerja kepemimpinan selama 5 (lima) tahun pasangan Drs. Christian Rotok dengan Dr. Kamelus Deno (Credo). Hal itu juga sering terlontar dari kampanye-kampanye jelang Pemilu Kada Manggarai tahun ini oleh Credo dan tim. Juga sebagian masyarakat mengafirmasi hal itu sebagai keberhasilan Credo.<br />Program pembangunan Credo lebih diarahkan ke pengembangan infrastruktur. Pembangunan jalan, jembatan dan berbagai sarana fisik selalu menjadi perhatian utama sehingga masalah gizi diabaikan. Dari sini dapat diketahui wawasan pasangan Credo tentang pembangunan adalah bagaimana memanfaatkan dana yang ada. Pembangunan lebih bernuansa proyek, bukan sungguh-sungguh membangun. Artinya karena lebih berfokus pada hal tersebut, maka problem-problem lain seperti gizi, pendidikan, kesehatan, ekonomi memiliki skala prioritas yang sekunder. Dana untuk pembangunan yang berorientasi pada masyarakat miskin juga masih sangat kecil. <br />Meskipun banyak proyek infrastruktur dijalankan pemerintah, sebagian besar masyarakat masih tinggal di tempat yang secara fisik tidak bisa dikatakan layak. Sebanyak 46,47 persen keluarga tinggal di rumah berlantai tanah, 48,93 persen rumah penduduk berdinding bambu, 41,85 persen penduduknya mengkonsumsi air dari sumber yang tak terlindungi dan air sungai. Sedangkan hanya 17,57 persen penduduknya hidup dengan listrik. Listrikpun sering padam dan Pemda seolah-olah cuci tangan atas masalah ini.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Tragedi Kemanusiaan</span><br />Selama lima tahun masa pemerintahan Credo, paling kurang ada beberapa masalah akut yang mencuat ke permukaan. Di sini saya hanya menyebutkan tiga hal. Masih banyak soal lain seperti korupsi yang menguat di masa pemerintahan ini dan persoalan tambang yang krusial, tapal batas hutan yang tak terselesaikan, dll. <br />Pertama Masalah Pendidikan. Mari kita cermati bersama profil masalah pendidikan di Kabupaten Manggarai. Data statistik memperlihatkan bahwa pada usia wajib sudah sekolah (10 tahun ke atas) angka buta huruf mencapai 9,35 % dari total jumlah wajib belajar pada usia yang sama. Dari prosentase itu, laki-laki mengalami nasib yang lebih untung dibanding perempuan, karena 11,58 % perempuan buta huruf dibanding laki-laki 7,05 %.<br /> Sedangkan prosentase kelulusan di tingkat SLTP atau setingkatnya memilukan, karena dibanding kabupaten-kabupaten lain di NTT, Kabupaten Manggarai mengalami kemunduran yang luar biasa. Prosentase kelulusan tingkat SMP tahun 2007/2008, di Kabupaten Manggarai hanya mencapai 62,50 % dari total peserta ujian, sedangkan Kabupaten TTS mencapai 71,14 %, Manggarai Barat 78,74 %. Lebih menyedihkan karena tingkat kelulusan kabupaten baru mekar (berdiri) seperti Kabupaten Sumba Tengah lebih tinggi dibanding Kabupaten Manggarai, karena peringkat prosentase kelulusan setingkat SMP di Kabupaten Sumba Tengah mencapai 68,48 %. Hal yang sama bagi Manggarai Timur lebih gemilang di bandingkan Manggarai.<br /> Wajah kelulusan tingkat SLTA atau setingkatnya juga memperlihatkan angka yang memprihatinkan. Kabupaten Manggarai hanya 55,12 % kelulusannya, sedangkan TTS mencapai 92,22 %, Manggarai Barat 66,97 %, Manggarai Timur menembus angka 90,69 %. Tetapi Kabupaten Manggarai lebih unggul dibanding Sumba Tengah yang hanya 37,18 % tingkat kelulusan SLTA atau setingkatnya. <br /> Lebih memprihatinkan angka kelulusan Siswa SLTP dan SMU/SMK di Manggarai 2008/2009. SLTP 59,99%, SMU 82,31 % dan SMK 96,10%. Sedangkan tahun 2009/2010, SLTP 43,29%, SMK 47,67% dan SMU hanya 26,29%. Dari tahun ke tahun angka kelulusan kita makin turun. Pendidikan formal tingkat menengah di Manggarai terpuruk ke titik nadir.<br /> Angka-angka prosentase ini mau memperlihatkan apa dalam kinerja, semangat dan fokus penyelesaian problem manusia Manggarai ke depan? Artinya masalah pendidikan menyimpan bom waktu di masa depan, terutama penyediaan sumber daya manusia untuk mengelola pembangunan daerahnya. Tambahan lagi, kader-kader intelektual akan kian surut jika perbaikan nasib pendidikan di Manggarai belum terencana dengan baik. Belum lagi jika kita menilik angka korupsi di bidang ini yang meluas. <br /> Kedua, Masalah Kesehatan. Di Kabupaten Manggarai hanya ada 2 (dua) rumah sakit (yang dikelola oleh pemerintah dan milik swasta). Persediaan tempat tidur untuk melayani orang sakit hanya 161 tempat tidur dengan rincian 101 tempat tidur di rumah sakit pemerintah, dan 60 tempat tidur di rumah sakit swasta. Jumlah dokter 22 orang, perawat 216 orang dan bidan 135 orang.<br /> Jumlah Puskesmas 15, Puskesmas Pembantu (Pustu) 63, Poskesdes 40, Polindes 26 dan Posyandu 624.<br /> Angka itu memperlihatkan bahwa sebaran infrastruktur tidak berbanding lurus dengan sebaran jumlah penduduk yang hendak dilayani. Karena itu, kasus gizi buruk, angka kematian balita dan angka kematian ibu tetap tinggi. Angka balita gizi kurang (2008) mencapai 37,3 % dan angka kematian bayi 48,90 %. Sedangkan jumlah penduduk yang hendak dilayani adalah 504.163 jiwa.<br /> Masalah gizi di Manggarai menuai cerita baru. Gizi di Manggarai dinilai masih bermasalah sangat tinggi dan kronis. Angka kesakitan yang tinggi dan praktek pemberian makan yang tidak baik merupakan penyebab langsung masalah gizi tersebut.<br /> Problem gizi balita ini memperlihatkan angka yang mengenaskan. Balita gemuk di Manggarai hanya 5,1 %, berbadan pendek mencapai 60,6 % dan gizi kurang mencapai 24,2 % dibanding rerata NTT secara keseluruhan. Karena itu, jangan harap ada kader pemain basket, sepak bola dan volley ball yang baik dari Manggarai di masa depan. Pantaslah kalah terus di El Tari Memorial Cup di sejumlah event dan kesempatan.<br /> Angka penyakit pada balita 14 hari juga memperlihatkan keprihatinan yang mendalam. Anak-anak Manggarai yang baru lahir berusia 14 hari terkena penyakit (sakit) mencapai 69,5 % sedangkan pada usia dan saat yang sama, NTT rerata 57,3 %. Anak-anak juga mengalami demam hebat dengan mencapai posisi 57,1 % dan pada saat yang sama di NTT mencapai 46,6 %.<br /> Jumlah orang berbadan pendek di Manggarai mencapai angka yang mencengangkan karena berada di atas 80 % lebih. Lalu pertanyaannya, bagaimana mungkin mendorong hadirnya manusia bermutu di Manggarai di masa depan? Di manakah semua alokasi anggaran yang diintervensi pemerintah (daerah, propinsi dan pusat) serta pihak ketiga?<br /> Sementara itu, situasi dan kondisi rawan pangan di Manggarai senantiasa menjenguk masyarakatnya. Angka-angka berikut ini akan berbicara banyak soal itu. Rawan pangan mencapai 50,3 % dibanding NTT 40,8 %. Sedangkan resiko rawan mematok prosentase pada angka 32,5 %. Artinya, jika intervensi tidak tepat dan kurang tepat, maka Manggarai akan tetap menjadi satu kabupaten yang selalu rawan pangan sepanjang tahun. Apalagi yang dinilai agak tahan pangan hanya 17,2 %. Tentu saja para pegawai dan para pebisnis masuk di dalam angka 17,2 % itu.<br /> Mengapa angka gizi kurang dan gizi buruk itu begitu tinggi di Manggarai dan bagaimana nasib sumber pangan mereka? Sumber pangan yang dimakan orang Manggarai di Manggarai memperlihatkan hal sebagai berikut. Hanya 45 % penduduk Manggarai yang memiliki jagung dan diproduksi sendiri, sedangkan 22 % lebih jagung diperoleh dengan cara membeli sedangkan bantuan lain 18 %.<br /> Beras yang diproduksi sendiri hanya 26 % sedangkan yang dibeli mencapai 42 %, sedangkan Raskin mencapai 17 %. Singkong (bahasa Manggarai : tetehaju) diproduksi sendiri mencapai 71 % persis sama dan sebanding dengan produksi dan konsumsi daun singkong. Orang Manggarai pengkonsumsi daun singkong tertinggi di NTT. Sedangkan roti dan biskuit hampir 100 % dibeli. Umbi-umbian lain, semisal, ubi talas, keladi dan lainnya mencapai angka yang sama dengan singkong 71 %.<br /> Bagaimana dengan ikan, mie, daging, telur, susu, gula dan minyak? Hampir 100 % orang Manggarai memperoleh semuanya dengan cara membeli. Sisanya hasil cimpa atau pemberian. Artinya, ketergantungan masyarakat Manggarai pada pasar sangat tinggi. <br /> Lalu bagaimana dengan sebaran jenis mata pencaharian orang Manggarai. Hasil kiriman dari jauh (entah dari anaknya yang merantau atau sanak keluarga) hanya 2,0 %, PNS 2,0 %, Pedagang 3,5 % dan nelayan 1,7 %. Bertani 17,5 % sedangkan buruh tani mencapai angka yang mengejutkan yaitu 43,2 %. Artinya apa? Artinya manusia Manggarai kini mengalami krisis hebat tak memiliki lahan garapan untuk bertani kecuali menjadi buruh tani belaka.<br /> Ketiga, Masalah Ekonomi. Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Manggarai tahun 2005-2010 sangat fluktuatif, baik yang diakibatkan oleh perubahan-perubahan eksternal maupun internal. Tahun 2005 Manggarai di level 2,14, NTT: 3,42, 2006 Manggarai 5.30, NTT: 5.08, 2007: Manggarai 6,03 dan NTT: 5.15, sedangkan tahun 2008 NTT 4,81, Manggarai jatuh ke level yang jauh lebih rendah dari dua tahun sebelumnya yakni 2,86. <br />Tragisnya sebagian besar masyarakat manggarai tergolong miskin. Rata-rata pengeluaran masyarakat Manggarai setiap bulan per-orang adalah Rp 161.688. Tingkat PDRB dan Pendapatan per Kapita Kabupaten Manggarai terkesan terus mengalami peningkatan, padahal kenaikan tidak significant bahkan masih lebih rendah dari PDRB dan Pendapatan per Kapita Provinsi NTT dan Nasional. Tahun 2005 PDRB Manggarai 2,2777,281 sedangkan NTT 3,476,397. Tahun 2008 Manggarai 3,854,082 dan NTT 4,768,486. Selisihnya sangat jauh. Tahun 2005: 1,199,116 dan tahun 2008: 914,404. Tahun 2005 Pendapatan per Kapita Manggarai 2,137,083 sedangkan NTT 3,281,657. Tahun 2008 Manggarai 3,610,846 sedangkan NTT 4,469,637. Selisinya terpaut jauh. Tahun 2005: 1,144,574 dan tahun 2008: 858,791.<br /> <br /><span style="font-weight:bold;">Pemilu Kada dan Kans Perubahan</span><br />Upaya penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Manggarai terlihat belum optimal. Hal ini ditunjukkan oleh persentase KK miskin di Kabupaten Manggarai pada tahun 2008 (62,9%) yang menurun dari 67,8% pada tahun 2005. Namun tingkat kemiskinan ini masih lebih tinggi dibandingkan persentase KK miskin tingkat Provinsi NTT tahun 2008 yang sebesar 56,75%. Dengan kata lain, tingkat kemiskinan kita secara absolut masih tinggi. Tantangan utama yang dihadapi dalam penanggulangan kemiskinan di Manggarai pada masa mendatang adalah meningkatkan pemenuhan hak-hak dasar masyarakat miskin; merencanakan pembangunan dan penganggaran yang berpihak pada masyarakat miskin (pro poor); meningkatkan partisipasi dan akses masyarakat miskin dalam pengambilan keputusan; mensinergikan kebijakan pusat dan daerah dalam penanggulangan kemiskinan; mengoptimalkan potensi ekonomi lokal dan menekan laju pertumbuhan penduduk. <br />Tantangan ke depan adalah meningkatkan percepatan pertumbuhan ekonomi tanpa mengabaikan pemerataan pembangunan antarwilayah; pertumbuhan ekonomi harus dinikmati oleh masyarakat; mendorong pertumbuhan yang cepat pada sektor tersier tanpa mengabaikan pertumbuhan sektor primer yang memiliki daya tahan terhadap krisis perekomian global dan nasional; meningkatkan pertumbuhan ekonomi pada sektor sekunder dan tersier sebagai lokomotif dalam penyerapan tenaga kerja dan pengimbang pertumbuhan sektor primer yang terus menurun; mendorong pembangunan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru; menciptakan iklim usaha yang kondusif sehingga mampu menarik minat investor. <br />Kenyataan-kenyataan ini belum bisa dijangkau oleh Credo selama 5 (lima) tahun yang telah lewat. Sebuah kegagalan kemanusiaan Manggarai yang sangat substansial dan akut. Pemilu Kada tanggal 3 Juni 2010 oleh banyak orang dilihat sebagai moment untuk menciptakan perubahan. Pada titik ini, harapan akan perubahan yang signifikan juga diletakkan pada orientasi pembangunan berbasis konteks, perubahan pola kepemimpinan, standar pencapain pembangunan serta mekanisme yang digunakan. Sebuah imperatif bahwa di masa depan, kegagalan yang sama tidak perlu dilanjutkan.***LEMBAGA PENDIDIKAN DAN KAJIAN DEMOKRASIhttp://www.blogger.com/profile/09261201344588543137noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7244928221306403263.post-77348029733058857802010-04-25T20:12:00.000-07:002010-04-25T20:15:04.648-07:00Studi Kebijakan Penanganan Gizi Kabupaten ManggaraiPENGANTAR<br /><br />Hingga tahun ini, telah lima tahun sudah bupati Christian Rotok menjalankan roda pemerintahan kabupaten Manggarai. Meskipun kabupaten ini merupakan wilayah tersubur di NTT, namun hingga akhir pemerintahannya penderita gizi buruk dan gizi kurang masih berceceran dimana-mana. Sepertinya penanganan masalah gizi bukan saja menjadi perhatian utama Pemerintah Manggarai, hahkan masalah ini seperti berada diluar kerangka berpikir mereka. Indikasinya dalam teks pertanggung jawaban Bupati Manggarai yang dibacakan 31 Maret 2010 kemarin tidak menyinggung sama sekali masalah perkembangan gizi buruk di Manggarai padahal ini merupakan masalah penting yang menyangkut sumber daya manusia.<br /><br />Apakah gizi buruk di Manggarai memang sudah tidak ada lagi? Hingga Juli 2009 di kabupaten ini masih terdapat 1.767 anak gizi kurang dan 109 anak gizi buruk. Jumlah ini didasarkan data dinas kesehatan. Meskipun perkembangan gizi buruk menunjukkan trend yang menurun, namun ada berbagai versi data mengenai penderita masalah gizi yang dimiliki sumber-sumber di pemerintahan. Satu dengan yang lainnya menunjukkan jumlah yang berbeda. Hal ini menunjukkan kesimpangsiuran dalam pendataan masalah gizi di pemerintahan. Kesimpangsiuran pendataan sering menyebabkan kesimpangsiuran penanganannya pula. <br /><br /><span class="fullpost"></span><br />Tahun 2005, Manggarai masuk dalam 16 kabupaten yang dinyatakan sebagai daerah yang mengalami KLB gizi buruk oleh pemerintah provinsi NTT. Lalu apa yang telah dilakukan pemerintah sejak KLB hingga saat ini jika sampai saat ini masih ada ribuan anak dengan masalah kecukupan gizi? Jika diperiksa dari kebijakan dan program pemerintah 2005 dan 2009 hampir tidak ada perubahan yang signifikan baik dalam kebijakan maupun program-programnya. <br /><br />Pemerintah Manggarai meletakkan bidang pendidikan sebagai prioritas utama dalam kebijakannya. Alokasi anggaran yang disisihkan untuk bidang ini tidak main-main yaitu 33% pada tahun 2009. Namun sayangnya hasil kerja di bidang ini tidak sesuai dengan besarnya anggaran yang diperoleh. Angka kelulusan siswa SMP dan SMA terus merosot sejak 2006 hingga 2009. Ini merupakan catatan besar bagi Pemerintah Manggarai dalam membenahi sektor pendidikan yang secara tidak langsung terkait dengan penanganan masalah gizi. Masalah gizi salah satunya dipicu oleh rendahnya pendidikan secara mutu maupun kuantitas masyarakat. <br /><br />Di sektor pertanian agaknya mengalami kemacetan dalam usaha perluasan area tanam sehingga luas lahan yang bisa dibudidayakan tidak mampu mengimbangi pertumbuhan angkatan kerja. Padahal luas lahan yang belum termanfaatkan masih sangat luas. Akibatnya setiap tahun jumlah pengangguran semakin meningkat. Kendala minimnya jumlah tenaga penyuluh yang tidak mencukupi kebutuhan seluruh desa juga merupakan masalah tersendiri.<br /><br />Walaupun demikian ada inisiatif kreatif dari kalangan kelompok agamawan yang mencoba memutus rangkaian penyebab busung lapar ini. Ekopastoral yang merupakan gerakan pastoral kategorial Ordo Fransiskan untuk masyarakat petani yang berkantor di Pagal mencoba mengajak para petani untuk meningkatkan produksi pangan dan hortikultura untuk konsumsi sehari-hari. Melalui pertanian organik masyarakat akhirnya bisa menikmati peningkatan jumlah produksi pangan dengan biaya produksi yang murah.LEMBAGA PENDIDIKAN DAN KAJIAN DEMOKRASIhttp://www.blogger.com/profile/09261201344588543137noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7244928221306403263.post-4586263445470793212010-04-25T20:10:00.000-07:002010-04-25T20:12:51.900-07:00Daerahku Malang, Daerahku Gizi Buruk<span style="font-weight:bold;">Workshop-Studi Kebijakan Penanganan Gizi Kabupaten Manggarai -2009</span><br />Ecosoc Right Institute, Jakarta 26-29 April 2010<br /><span style="font-style:italic;">Catatan Perjalanan 1</span><br /><br /><span class="fullpost"></span><br />Siang terik 10 April 2010… hand phone-ku bordering. Aku melihat angka yang tertera. Eh, ada nomor baru. Segera kusapa, “Halo, ada yang kami bisa bantu?” Di seberang sana memberikan jawaban, serentak bertanya, “Apakah benar ini Kanisius dari LPKD?” “Benar”, jawabku. Suara itu memperkenalkan diri sebagai peneliti dari Ecosoc. Mbak Yanti, itulah namanya. Sejak saat itu, ada diskusi hangat yang menyengat sekaligus menimbulkan duka: Manggarai didera gizi buruk! Itulah sebuah simpulan sementara setelaj ada sebuah kajian rasional-objektif atas fakta Manggarai yang kaya sumber daya alam sekalgus kaya orang miskin.<br /><br />“Tolong, kita lakukan kajian bersama”. Demikian awal perjalanan penelitian tentang gizi bersama Ecosoc. Tiket sudah di-issued mbak Yanti. Routenya Ruteng-Kupang-Surabaya-Jakarta. Jadilah tanggal 24 saya bersama Esti dari JPIC berangkat dengan Riau Air dari Ruteng ke Kupang. Di Kupang sempat pelesir ke rumah saudara sambil menumggu jadwal perjalanan lanjutan. Kami bertemu dengan Okto dari Alor. Okto ini dari tampangnya persis seorang body guard kawakan di AS. Mirip orang dari Puerto Richo: tinggi, besar, rambut panjang dan kekar. Selanjutnya kami terbang pkl. 13.30 dengan Mandala Air Bus 320. Pesawat yang ini masih baru dengan jumlah seat 160. Ada keanggunan tersendiri berada di dalamnya.<br /><br />Tiba di Cengkareng pkl 17.00. Dengan taxi Blue Bird kami meluncur ke Klender. Rumah yang disambang adalah Wisma Samadi milik Keuskupan Agung Jakarta. Sempat pusing karena mutar-mutar. Sopir juga belum hafal benar daerah ini. Lalu setelah 1 jam berkeliling, tibalah di rumah yang dulunya RS cabang Carolus. Teman-teman lain berdatangan: Melki dari Florim, Frans Pantur dari Kupang, Ernet dari Rote, Dr. Yan dari TTU serta teman-teman asal Jakarta…LEMBAGA PENDIDIKAN DAN KAJIAN DEMOKRASIhttp://www.blogger.com/profile/09261201344588543137noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7244928221306403263.post-87049008220541811932010-04-09T19:48:00.001-07:002010-04-09T19:50:49.395-07:00Gereja Manggarai yang MembebaskanBingkisan Kecil di Hari Tahbisan Uskup Ruteng<br /><br />Kanisius Teobaldus Deki, M.Th<br />Pengajar STKIP St. Paulus & Direktur Lembaga Pendidikan dan Kajian Demokrasi<br /><br />Hari-hari ini, Gereja Keuskupan Ruteng yang memiliki wilayah pelayanan untuk Manggarai Raya (Manggarai Barat, Manggarai Tengah dan Manggarai Timur), sedang dilanda suka cita. Betapa tidak! Setelah sekian lama ada dalam penantian, akhirnya Uskup baru, Mgr. Hubertus Leteng Pr ditahbiskan pada 14 April 2010. Pada 08 April 2010 Yang Mulia dijemput secara resmi dengan ramainya menuju kota Ruteng. Ribuan umat memadati jalan protokol. Tempik sorak-sorai juga kesemarakan menjadi nada yang sulit ditepis dari kegembiraan kolosal umat. Tak ketinggalan murid-murid SD, siswa-siswi SLTP & SLTA. Termasuk mahasiswa-mahasiswi kampus STKIP St. paulus. Di mana-mana wajah Monsigneur dipampang dalam baliho yang besar. Hampir bersaing ketat dengan para kandidat politik yang akan berebut tahta menjadi Bupati-Wakil Bupati di Manggarai.<br />Di tengah keramaian, di antara lambaian tangan-tangan kecil siswa SD yang memegang bendera merah-kuning, juga kesigapan regu penjemputan dalam busana adat yang indah, muncul berbagai pertanyaan yang menyeruak masuk: Apakah peristiwa ini akan membawa orang Manggarai Raya ke arah pembebasan? Bagaimana kita membangun Gereja kita sebagai Gereja yang Membebaskan? Pertanyaan-pertanyaan ini melahirkan sebuah ikhtiar untuk menulis gagasan kecil ini, lebih sebagai bingkisan di hari tahbisan Mgr. Hubertus.<br /><br /><span class="fullpost"><br />Tekanan kolonialisme masa lampau masih terbaca dalam kecemasan-kecemasan orang Manggarai menghadapi tantangan hidup aktual masa kini. Mereka sudah terbiasa menghadapi pengalaman kekerasan, penindasan dan ketidakadilan struktural yang dipaksakan. Dalam situasi seperti ini, mereka sangat mengharapkan terciptanya situasi pembebasan dari keterbelengguan multiwajah. Ketika suara mereka tidak didengarkan oleh penguasa, tatkala hak-hak mereka tak dihiraukan dan mereka tidak sanggup untuk melawan, mereka mengharapkan Gereja tidak berdiam diri. Orang Manggarai rindu memiliki Gereja yang menjadi wakil mereka untuk bersuara menentang penindasan yang telah lama mereka alami. Gereja tidak boleh hanya menjadi penonton yang tidak berpihak pada mereka. Apalagi berkolaborasi dengan kebijakan-kebijakan yang jelas-jelas merugikan rakyat-umat Manggarai.<br />Gereja yang berdialog adalah Gereja yang aktif, terlibat dalam konteks budaya dan masalah-masalah orang Manggarai. Persoalan yang paling aktual ialah, bagaimana nilai-nilai budaya orang Manggarai dengan tradisi sastra lisannya menjadi sarana yang efektif untuk mendialogkan Kabar Gembira Yesus Kristus? Kesediaan Gereja untuk mendengarkan keluh kesah, harapan dan bersama mereka yang dirugikan berjuang untuk menemukan jalan pembebasan. Hanya suatu masyarakat yang terbuka, partisipatif mampu mengatasi keterpecahan kebudayaan kosmik yang disebabkan oleh pesatnya laju pasar internasional. Ini berarti Gereja Manggarai menciptakan suatu kebudayaan dialogal, di mana setiap orang dinilai [didengarkan] dan setiap orang ambil bagian dalam pengambilan keputusan yang demokratis.<br />Dialog itu sendiri merupakan evangelisasi pembebasan dalamnya misi Kristus dihadirkan. Dialog pada tahap pertama dan utama adalah kesediaan untuk saling membuka diri. Dalam dialog, kedua belah pihak memiliki kedudukan yang setara, sederajad di mana anggapan superioritas dan inferioritas ditiadakan. Gereja sebagai institusi mendialogkan tawaran keselamatan Yesus Kristus kepada orang Manggarai. Dalam budaya dialogal, orang Manggarai akan mengkomunikasikan pengalaman hidup dan budaya mereka kepada Gereja. Demikianpun sebaliknya.<br />Kebudayaan kosmik orang Manggarai telah menjadi sekular tatkala kaum miskin disamun dari bahasa yang dalamnya mereka mengungkapkan jati diri, martabat dan nilai-nilai hidup mereka yang terdalam. Dalam situasi krisis kebudayaan [terlepas dari akar budaya asli dan menjadi ragu atasnya] mereka ditawarkan untuk membuka diri terhadap yang transenden. Dalam konteks seperti ini, tempat Gereja ialah ada bersama-sama dengan kaum miskin dan yang tergusur sebab di situlah Allah akan ditemukan. Konkritnya, ada beberapa langkah pembebasan yang dapat menjadi reksa pastoral. <br />Pertama, dialog yang dijalankan dengan penuh ketulusan, keterbukaan berusaha meyakinkan orang Manggarai bahwa dari kebudayaannya terdapat banyak nilai Kristiani [yang dalam awal abad ke-20 disebut naturaliter Cristiana-orang Kristen secara alami] yang dapat menjadi basis iman mereka kepada Kristus. Di sini anggapan yang terlanjur didengungkan pada zaman lampau tentang superioritas ajaran Kristen akan runtuh dengan sendirinya. Baik budaya lokal Orang Manggarai maupun tradisi Kristen berjalan dalam saling menerima dan memberi. Di sini dialog akan membebaskan orang Manggarai dari keterbelengguan historis yang merupakan stigma ciptaan misionaris masa lampau.<br />Kedua, dialog pembebasan tidak dibuat sebatas saling menerima dan memberi nilai-nilai yang membangun partisipasi umat menuju keselamatan. Lebih dari itu, dialog diarahkan ke praksis kehidupan sehari-hari orang Manggarai. Itu berarti Gereja terlibat dalam persoalan kemiskinan, ketidakadilan, penindasan, kekerasan, pemberdayaan orang Manggarai secara aktif. Pengakuan akan eksistensi budaya, lembaga-lembaga adat-istiadat merupakan bagian dari misi pembebasan itu. Jika Pemerintah Kabupaten Manggarai hanya menjadikan kebudayaan dan institusi adat sebatas komoditas politik, demi meraup keuntungan di atas upaya penjualan dan pengangkangan terhadapnya, maka Gereja mesti berada pada garda depan untuk tampil sebagai pembela. Di sisi lain, Gereja bisa menjadi suara kritis terhadap praktek-praktek budaya yang diksriminatif, membelenggu dan keliru tersebab menista martabat kemanusiaan. Tetapi suara Gereja akan didengarkan jika ia terlebih dahulu mau mendengarkan dan aspiratif terhadap budaya lokal.<br />Ketiga, dalam pergolakan politis dan kebijakan-kebijakan Pemkab Manggarai, Gereja mesti tetap memiliki suara profetis. Ketika Gereja Manggarai kehilangan suara profetisnya, ia menjadi sama seperti garam yang tidak asin atau lampu yang tak berminyak. Orang Manggarai tidak membutuhkan bangunan Gereja yang megah, ruang pertemuan pastoral yang mewah [karena itu akan menyebabkan pungutan “derma” semakin gencar dan terkesan “memaksa”]. Gereja Manggarai harus tetap menjadi Gereja kaum sederhana yang hidup bersahaja. Seperti rumah Gendang yang tetap sederhana, Gereja hendaknya menampilkan diri secara ugahari, bersolider dengan umat yang tertindas dan menjadi pembela mereka. Advokasi hak-hak masyarakat Manggarai selama ini lebih banyak dilakukan oleh lembaga lain yang cepat tanggap terhadap persoalan publik. Di manakah peran Gereja? Gereja akan tetap dipahami sebatas institusi, gedung, jika tidak terlibat dalam kehidupan konkrit umat. Saatnya, praktek pembebasan ini dimulai, melepaskan dominasi teologi Barat, berupaya menjalin keterkaitan antara aktus-praksis dan refleksi demi menjawab tantangan aktual umat. Gereja perdana adalah Gereja para martir. Sudah tiba waktunya Gereja Manggarai keluar dari kenyamanan, berdiri bersama umatnya di bawah terik matahari untuk menentang kelaliman. Meskipun bayarannya adalah tubuh bersimbah darah.<br /> Dalam dialog yang mengedepankan lonto leok, terdapat komunikasi timbal balik antara kedua pihak atau bahkan dengan lebih banyak pihak. Sebagaimana tradisi sastra lisan menghidupkan berbagai bentuk ungkapan persaudaraan dan mencari keterjalinannya, demikian pula Teologi Relasi Manggarai berusaha menghubungkan warta keselamatan Yesus Kristus dalam dialog yang aktif dengan kehidupan aktual. Semangat dialog ini harus menjadi pilihan pertama dalam menyelesaikan konflik horizontal maupun vertical yang telah melanda Manggarai dari waktu ke waktu. Berhadapan dengan situasi seperti ini, pengembangan relasi yang dialogal merupakan suatu keniscayaan. Pada tahap ini, dialog bukan lagi sarana evangelisasi, melainkan evangelisasi itu sendiri. Ketika Gereja Manggarai mengembangkan relasi yang dialogal ini, terdapat kurang lebih empat hal yang harus jelas dan menjadi kesadaran bersama, yakni hakikat dari dialog, alasan-alasan untuk berdialog, kondisi-kondisi yang memungkinkan dialog dan model-model dialog yang efektif. Dialog rangkap tiga: dengan kebudayaan, agama-agama dan situasi kemiskinan serta ketertindasan merupakan jawaban yang tepat untuk semakin memahami Gereja lokal Manggarai dan menawarkan pendekatan pastoral yang sesuai dengan konteks mereka.<br />Konsekuensinya jelas. Gereja tidak lagi dimengerti sebatas mimbar sekaligus pusat yang merupakan kiblat umat. Gereja adalah kehidupan umat itu sendiri yang harus disucikan terus menerus oleh perjuangan mencapai keselamatan. Gereja adalah medan perjuangan di mana mereka berusaha mengaplikasikan nilai-nilai kristiani dalam hidup konkret. Dengan demikian, Gereja bukan lagi lembaga yang menghasilkan berbagai dokumen iman, melainkan tempat pengalaman iman didialogkan, dibagikan sebagai santapan rohani. Pejabat-pejabat Gereja adalah penghubung yang sanggup membahasakan kebutuhan real umat. Gereja karenanya tidak berarti singular. Sebagai sarana keselamatan yang berziarah menuju Allah, Gereja adalah umat Allah yang mendengarkan Sabda dan mengikuti kehendakNya. Umat Allah yang berbicara di rumah-rumah Gendang, di tempat lodok uma, di depan kantor DPR, di halaman kantor Bupati tentang masa depan bersama yang berorientasi kepada keselamatan Yesus Kristus adalah juga Gereja yang diilhami oleh Roh Kudus. Jadi, tempat bukan soal lagi, karena di manapun umat-rakyat dapat berdialog dengan sesama saudaranya dalam namaNya, di situ Allah hadir.***<br /><br /></span>LEMBAGA PENDIDIKAN DAN KAJIAN DEMOKRASIhttp://www.blogger.com/profile/09261201344588543137noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7244928221306403263.post-89371572492193646482010-03-26T04:08:00.000-07:002010-03-26T04:13:15.102-07:00Gereja Dialog di ManggaraiPermenungan Jelang Tahbisan Uskup Ruteng<br /><br />Kanisius T. Deki, M.Th<br /><br />Sejak gema Konsili Vatikan II bergaung hingga ke seluruh pelosok dunia, Gereja lokal Manggarai semakin menyadari perlunya menghargai kebudayaan asli masyarakat setempat. Bahkan muncul berbagai usaha inkulturasi, dialog antar agama dan gerakan pembebasan dalam teologi. Melalui upaya-upaya ini muncullah dialog multi sektor, yang oleh Uskup se-Asia menyebutnya sebagai “dialog rangkap tiga”. Komunitas-komunitas Kristiani menjadi sadar bahwa mereka dapat dengan sungguh-sungguh membangun sebuah Gereja lokal Manggarai yang otentik kalau terjadi dalam proses dialog terus menerus dengan kebudayaan-kebudayaan, agama-agama, pengalaman-pengalaman aktual dalam aktivitas ekonomi, sosial dan politik orang Manggarai.<br /><br /><span class="fullpost"><br />Dalam dialog yang mengedepankan lonto leok, terdapat komunikasi timbal balik antara kedua pihak atau bahkan dengan lebih banyak pihak. Sebagaimana tradisi sastra lisan menghidupkan berbagai bentuk ungkapan persaudaraan dan mencari keterjalinannya, demikian pula Teologi Relasi Manggarai berusaha menghubungkan warta keselamatan Yesus Kristus dalam dialog yang aktif dengan kehidupan aktual. Semangat dialog ini harus menjadi pilihan pertama dalam menyelesaikan konflik horizontal maupun vertical yang telah melanda Manggarai dari waktu ke waktu. Berhadapan dengan situasi seperti ini, pengembangan relasi yang dialogal merupakan suatu keniscayaan. Pada tahap ini, dialog bukan lagi sarana evangelisasi, melainkan evangelisasi itu sendiri. Ketika Gereja Manggarai mengembangkan relasi yang dialogal ini, terdapat kurang lebih empat hal yang harus jelas dan menjadi kesadaran bersama, yakni hakikat dari dialog, alasan-alasan untuk berdialog, kondisi-kondisi yang memungkinkan dialog dan model-model dialog yang efektif. Dialog rangkap tiga: dengan kebudayaan, agama-agama dan situasi kemiskinan serta ketertindasan merupakan jawaban yang tepat untuk semakin memahami Gereja lokal Manggarai dan menawarkan pendekatan pastoral yang sesuai dengan konteks mereka.<br />Konsekuensinya jelas. Gereja tidak lagi dimengerti sebatas mimbar sekaligus pusat yang merupakan kiblat umat. Gereja adalah kehidupan umat itu sendiri yang harus disucikan terus menerus oleh perjuangan mencapai keselamatan. Gereja adalah medan perjuangan di mana mereka berusaha mengaplikasikan nilai-nilai kristiani dalam hidup konkret. Dengan demikian, Gereja bukan lagi lembaga yang menghasilkan berbagai dokumen iman, melainkan tempat pengalaman iman didialogkan, dibagikan sebagai santapan rohani. Pejabat-pejabat Gereja adalah penghubung yang sanggup membahasakan kebutuhan real umat. Gereja karenanya tidak berarti singular. Sebagai sarana keselamatan yang berziarah menuju Allah, Gereja adalah umat Allah yang mendengarkan Sabda dan mengikuti kehendakNya. Umat Allah yang berbicara di rumah-rumah Gendang, di kebun-kebun, di depan kantor DPR, di halaman kantor Bupati tentang masa depan bersama yang berorientasi kepada keselamatan Yesus Kristus adalah juga Gereja yang diilhami oleh Roh Kudus. Jadi, tempat bukan soal lagi, karena di manapun umat-rakyat dapat berdialog dengan sesama saudaranya dalam namaNya, di situ Allah hadir.***<br /><br /></span>LEMBAGA PENDIDIKAN DAN KAJIAN DEMOKRASIhttp://www.blogger.com/profile/09261201344588543137noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7244928221306403263.post-67139376969937340412010-03-26T03:59:00.000-07:002010-03-26T04:06:07.180-07:00MENJADI GEREJA PEMBEBASPermenungan Jelang Tahbisan Uskup Ruteng
<br />
<br />Kanisius Teobaldus Deki, M.Th
<br />
<br />Tekanan kolonialisme masa lampau masih terbaca dalam kecemasan-kecemasan orang Manggarai menghadapi tantangan hidup aktual masa kini. Mereka sudah terbiasa menghadapi pengalaman kekerasan, penindasan dan ketidakadilan struktural yang dipaksakan. Dalam situasi seperti ini, mereka sangat mengharapkan terciptanya situasi pembebasan dari keterbelengguan multiwajah. Ketika suara mereka tidak didengarkan oleh penguasa, tatkala hak-hak mereka tak dihiraukan dan mereka tidak sanggup untuk melawan, mereka mengharapkan Gereja tidak berdiam diri. Orang Manggarai rindu memiliki Gereja yang menjadi wakil mereka untuk bersuara menentang penindasan yang telah lama mereka alami. Gereja tidak boleh hanya menjadi penonton yang tidak berpihak pada mereka. Apalagi berkolaborasi dengan kebijakan-kebijakan yang jelas-jelas merugikan rakyat-umat Manggarai.Gereja yang berdialog adalah Gereja yang aktif, terlibat dalam konteks budaya dan masalah-masalah orang Manggarai.
<br />
<br />span class="fullpost">
<br />
<br />Berkaitan dengan orientasi menjadi Gereja Pembebas, ada catatan kritis untuk Gereja Keusukupan Ruteng: Pertama, kalau Gereja menyembah mammon yakni: uang dan kuasa, maka sulitlah baginya untuk melaksanakan peran profetis terhadap orang kaya dan berkuasa yang merupakan penindas rakyat Manggarai. Arah praksis pastoral juga akan berubah, Gereja akan merasa aman dengan diakonia karitatif tetapi bukan diakonia sosial, atau dengan pelayanan sosial tapi bukan aksi sosial. Kedua, terdapat dua tugas pelayanan Gereja dalam menghadirkan dirinya di Manggarai, yakni pelayanan keimanan untuk menciptakan rekonsiliasi yang membebaskan dan pelayanan profetis untuk menciptakan konflik yang membebaskan. Ada dialektika antara rekonsiliasi dan konflik dalam kehidupan rakyat Manggarai. Gereja terpanggil untuk menjadi pembawa “hambor” [damai] di tengah rakyat serentak membawa konflik di tengah rasa damai yang palsu.
<br />Ketiga, berhadapan dengan para korban, Gereja mesti mengidentikan dirinya dengan mereka. Identifikasi diri ini bukan merupakan penerimaan pasif atas penderitaan melainkan transformasi yang memampukan melalui mana kekuatan – kekuatan kematian dan kejahatan dikalahkan berkat kuasa kebangkitan. Di sini dituntut dari Gereja sebuah peran ganda, bukan hanya profetis tetapi juga politis. Keempat, untuk merubah situasi ketidakadilan, kita mesti membuat analisis atas seluruh situasi dengan menggunakan pendekatan sistemis yang bermaksud mematahkan monopoli para penguasa dan untuk memberdayakan kaum lemah serta mendorong mereka menemukan jati diri dan martabat sebagai orang bebas. Untuk sampai pada gerakan pembebasan kaum lemah, Gereja harus bekerja sama dengan mereka. Memang di sini butuh kesabaran dari pihak Gereja dan merupakan proses pengosongan diri dari kecenderungan menggandeng pihak - pihak yang kuat dan berkuasa. Pertanyaan yang tersisa ialah “Apakah kita mau menjadikan Gereja kita sebagai sarana Pembebas atau malah menjadi abdi penindas?” Jawaban ada pada kita.***
<br /></span>LEMBAGA PENDIDIKAN DAN KAJIAN DEMOKRASIhttp://www.blogger.com/profile/09261201344588543137noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7244928221306403263.post-68380341966232041432010-03-23T21:52:00.000-07:002010-03-23T22:14:33.384-07:00LPKD-SENAT STKIP TURUN JALANRUTENG,24 MARET 2010<br />Terkait persiapan sidang Gugatan Class Action bagi Kasus Penolakan Tambang di Reo-Manggarai, Lembaga Pendidikan & Kajian Demokrasi bersama Senat Mahasiswa STKIP ST. PAULUS Ruteng sepakat untuk melakukan aksi jalanan. Jumlah massa yang terlibat sebanyak 375 orang terdiri atas masyarakat dan mahasiswa, dipimpin langsung oleh diretur LPKD dan Ketua Senat Mahasiswa. Aksi ini sebagai lanjutan dari kegiatan pengumpulan dukungan masyarakat untuk menolak pertambangan. adapaun alasan mendasar dari aksi ini ialah sebagai reaksi atas sikap Pemkab yang tetap memberikan ijin Kuasa Tambang kepada perusahaan tambang meskipun rakyat sudah menderita. Hingga saat ini PT. Sumber Jaya Asia masih melakukan eksploitasi walaupun gugatan masyarakat makin gencar.<br /><br />Menurut Stevan Divan, Ketua Senat Mahasiswa, tindakan eksploitatif merupakan sebuah pengangkangan terhadap nilai kemanusiaan dan Pemkab yang telah memberikan ijin Kuasa Pertambangan melawan hakikat dari jati dirinya sebagai pelindung masyarakat. Mestinya Pemkab tidak mengeluarkan ijin karena nyata di lapangan masyarakat dirugikan. "Kita mesti lawan kebijakan seperti ini", ungkapnya kepada LPKD.<br /><br />Selain itu, Kanisius T. Deki, M.Th, direktur LPKD menandaskan bahwa perjuangan ini tidak akan berhenti. "Kita akan tetap bergerak bahkan dengan pelibatan massa yang lebih besar supaya Pemerintah membatalkan ijin-ijin tambang itu. Kita temukan bahwa antara Pemkab dan perusahaan tambang sedang ada sandiwara. Perlawanan merupakan jalan yang tidak bisa dihindari", ujarnya di depan kantor PN Ruteng.<br /><br />Sementara itu, Wakil PN Ruteng menjelaskan akan memproses maksud dari LPKD-Senat Mahasiswa melalui prosedur normatif. "Kami akan teruskan sesuai prosedur hukum yang berlaku. Esok kita sidang pertama." janjinya. Usai melakukan dialog dengan PN, massa kembali pulang ke rumah masing-masing dan sepakat untuk melakukan aksi lagi setelah ada keputusan dari PN Ruteng.<br /><span class="fullpost"><br />LAKUKAN KONSOLIDASI<br />Pada 22-23 Maret, LPKD lakukan konsolidasi dengan sejumlah elemen masyarakat dan mahasiswa. Hadir dalam rapat konsolodasi antara lain Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa STIPAS ST. SIRILUS, KETUA SENAT MAHASISWA STKIP ST. PAULUS, JPIC OFM, JPIC SVD dan Pers. Jumlah tanda tangan dukungan dari masyarakat melalui LPKD sebanyak 575 dan dari Senat Mahasiswa 1,200. Tak ketinggalan Senat Dosen STKIP St. Paulus juga melakukan hal yang sama. "Intinya, masalah tambang harus menjajdi perhatian bersama", demikian kata Pater Servulus Isaak, Lic, Ketua STKIP ST. PAULUS. Namun demosntrasi besar-besaran belum direstui oleh Pater Ketua karena alasan tahbisan uskup Ruteng. "Kita baru melalkukan aksi besar-besaran seusai tahbisan uskup", demikian janjinya kepada peserta rapat Senat (21/3/2010) lalu.<br /><br />Konsolidasi tetap dijalankan dengan maksud agar soal ini diselesaikan sampai tuntas. LPKD bertekad untuk menggerakkan semakin banyak pihak terlibat dalam aksi ini. Steven Divan dalam penjelasannya juga sepakat dan melakukan koordinasi dengan kampus lain.***<br /></span>LEMBAGA PENDIDIKAN DAN KAJIAN DEMOKRASIhttp://www.blogger.com/profile/09261201344588543137noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7244928221306403263.post-30451954483964254172010-03-22T18:05:00.000-07:002010-03-22T18:08:02.481-07:00SURAT DUKUNGAN GUGATAN CLASS ACTION SOAL TAMBANG MANGGARAI DI PENGADILAN NEGERI RUTENGNo : 03/Per-Sik/III-1/2010<br />Lamp. : 1 (satu) Jepit<br />Hal : DUKUNGAN DAN PERNYATAAN SIKAP<br /><br />Kepada Yth.<br />KETUA PENGADILAN NEGERI RUTENG<br />Di Tempat<br /><br />Dengan hormat,<br />Bersama surat ini kami, LEMBAGA PENDIDIKAN DAN KAJIAN DEMOKRASI (LPKD) dan MASYARAKAT MANGGARAI RAYA (nama terlampir), pada tempat pertama menyampaikan DUKUNGAN bagi pelaksanaan Gugatan Class Action pada Pengadilan Negeri Ruteng atas kasus tambang di wilayah Kabupaten Manggarai & Manggarai Barat dengan alasan dan tuntutan sbb:<br /><br /><span class="fullpost"><br /><br />1. Pemerintah Kabupaten perlu mengkaji ulang kebijakan serta asumsinya bahwa pertambangan mendatangkan kesejahteraan bagi rakyat Manggarai dan Manggarai Barat, karena faktanya tidak demikian.<br />2. Menimbang bahwa potensi pertanian, perdagangan dan pariwisata amat menjanjikan dan nyatanya memberi kontribusi besar bagi PAD Kabupaten Manggarai dan Manggarai Barat maka pertambangan harus dicoret dari prioritas kebijakan pembangunan di Manggarai dan Manggarai Barat, karena mendatangkan malapetaka ekologis untuk jangka panjang dan memandulkan potensi-potensi nyata Kabupaten Manggarai seperti pertanian, perdagangan dan pariwisata.<br />3. Dalam menentukan suatu kebijakan sudah sepatutnya Pemerintah Kabupaten mempertimbangkan dimensi sosial, budaya, ekonomi dan religius yang merupakan elemen dasar dari bangunan manusia Manggarai dan Manggarai Barat. Kebijakan dalam pertambangan justru mengabaikan hal-hal tersebut.<br />4. Kabupaten Manggarai dan Manggarai Barat adalah wilayah padat penduduk dengan mayoritas rakyat yang hidup dari pertanian. Perusahaan pertambangan yang menghancurkan permukaan bumi (tanah) tidak pantas untuk dilakukan di wilayah padat penduduk seperti Kabupaten Manggarai dan Manggarai Barat.<br />5. Mengubah keyakinan palsu bahwa investor mendatangkan kesejahteraan bagi rakyat, tetapi memperlakukan dan membangun manusia Manggarai sebagai pelaku pembangunan dan ‘investor’ utama bagi kemajuan wilayahnya. Kecakapan aktual manusia Manggarai dan Manggarai Barat adalah bertani dan menanam tanaman pangan dan perdagangan. Pembangunan yang bijak harus selalu bertumpu dan berangkat dari kecakapan nyata manusianya, sehingga ‘tujuan pembangunan, yakni membangun manusia seutuhnya’ akan tercapai. Mengidealkan investor asing sebagai pelaku pembangunan demi kesejahteraan, bukan saja melecehkan kemampuan dan kecakapan dasar manusia Manggarai, tetapi meminggirkan manusia Manggarai dan Manggarai Barat sendiri sebagai subyek pembangunan, padahal manusia Manggarai adalah investor utama dari kemajuan Manggarai hingga kini.<br />6. Memajukan sektor-sektor ekonomi potensial riil Manggarai dan Manggarai Barat sesuai dengan prioritas, urgensi dan kompetensi manusia Manggarai sekarang ini. Kekayaan alam yang belum dapat diolah manusia Manggarai karena kompetensi serta keahliannya yang belum memadai, adalah warisan mengagumkan untuk generasi manusia Manggarai di masa depan. Manggarai bukan saja tanah warisan leluhur, tetapi terutama, tanah pinjaman dari anak cucu yang harus kita kembalikan kepada mereka. <br />7. Hentikan semua usaha pertambangan yang sekarang ada; jangan ada lagi izin Kuasa Pertambangan baru.<br /><br /><br />Besar harapan kami pihak Pengadilan Negeri Ruteng menindaklanjuti surat kami ini.<br /><br /><br />Ruteng, 22 Maret 2010<br />KETUA,<br /><br /><br /><br /><br />KANISIUS TEOBALDUS DEKI, M.TH<br /><br />TEMBUSAN:<br />1. Bupati Manggarai<br />2. Ketua DPRD Manggarai<br />3. Kapolres Manggarai<br />4. Kejari Ruteng<br />5. HU Pos Kupang<br />6. HU Flores Pos<br />7. Suara Nuca Lale<br />8. JPIC Keuskupan Ruteng<br />9. JPIC SVD Ruteng<br />10. JPIC OFM Indonesia<br /><br /></span>LEMBAGA PENDIDIKAN DAN KAJIAN DEMOKRASIhttp://www.blogger.com/profile/09261201344588543137noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7244928221306403263.post-39073943346467039752010-03-19T19:06:00.000-07:002010-03-19T19:12:47.844-07:00Butir-Butir Adat ManggaraiPenulis: Petrus Janggur, BA<br />Penerbit: Yayasan Siri Bongkok 2010<br />Jumlah Halaman: xvii + 162<br />Harga : 40.000 (Ruteng), 50.000 (Luar Ruteng)<br /><br /><br /><br />Menilik Butir-Butir Adat Manggarai Melalui Tradisi Lisan<br />CATATAN PENGANTAR<br /><br />Kanisius Teobaldus Deki, M.Th<br />Pengajar STKIP St. Paulus Ruteng &<br />Pemerhati Budaya Manggarai<br /><br />Penggunaan tradisi lisan sebagai seni dalam ilmu-ilmu sosial menjadi hal biasa setelah terbitnya buku Jan Vansina: De la Tradition Orale: esai de methode historique [dalam bahasa Perancis 1961, dalam bahasa Inggris 1973]. Di sini Vansina menampilkan sarana-sarana sistematik untuk mengidentifikasi, mengumpulkan dan menafsirkan tradisi-tradisi lisan dalam rangka menemukan aspek-aspek masa lampau, terutama di tempat yang tidak memiliki dokumentasinya secara tertulis. Vansina mendefinisikan tradisi lisan sebagai “kesaksian verbal yang ditransimisikan dari satu generasi ke generasi lainnya atau ke generasi masa depan”. Sebelum Vansina membuat uraian sistematis dengan menampilkan contoh-contoh dari hasil penelitiannya di Ruanda-Urundi dan Kuba di Kongo, Afrika, tradisi lisan sudah berkembang secara universal pada berbagai kebudayaan di seluruh dunia. Tradisi lisan merupakan cikal-bakal tradisi tulisan yang berkembang sangat kuat pada zaman modern [dan kontemporer] hingga saat ini.<br /><br /><br /><span class="fullpost"><br />Dalam banyak literatur, istilah tradisi lisan sering disepadankan dengan “folklor” [oral and customary tradition], seperti yang digunakan di Amerika Serikat oleh Jan Harold Brunvand. Tentang Folklor, Arche Taylor mendefinisikannya sebagai bahan-bahan yang diwariskan oleh tradisi, baik melalui kata-kata dari mulut atau oleh adat istiadat dari praktek. Pada tahun 1948, dengan tegas Taylor mengatakan: “Folklor adalah bahan [material] yang diwariskan oleh tradisi, baik melalui kata-kata yang keluar dari mulut, atau melalui adat kebiasaan maupun praktek”. <br />Istilah tradisi berasal dari kata Latin traditio [dari tradere] yang berarti tradisi atau penyerahan [handing down]. Francis Bacon, seorang Filsuf Ilmu Pengetahuan, menggunakan kata yang sama untuk mendefinisikan pernyataan atau pengiriman pengetahuan. Sedangkan menurut Lorens Bagus, kata “tradisi” [Inggris: tradition] memiliki perluasan makna dalam berbagai bidang. Dalam bidang sejarah, tradisi berarti adat istiadat, ritus-ritus, ajaran-ajaran sosial, pandangan-pandangan, nilai-nilai, aturan-aturan, perilaku-perilaku yang diwariskan dari generasi ke generasi. Ia merupakan unsur warisan sosio-kultural yang dilestarikan dalam masyarakat atau dalam kelompok sosial masyarakat dalam kurun waktu yang panjang. Tradisi bersifat progresif kalau dihubungkan dengan perkembangan kreatif kebudayaan tetapi tradisi bersifat reaksioner kalau ia berkaitan dengan sisa-sisa yang sudah usang dari unsur-unsur budaya masa lampau. Dalam ranah ilmu, tradisi berarti kontinuitas pengetahuan dan metode-metode penelitian. Sedangkan dalam dunia seni, tradisi berarti kesinambungan gaya dan keterampilan. <br />Istilah “lisan” [oral] dapat diartikan sebagai kata-kata yang dituturkan, diucapkan. Dengan demikian, kata “lisan” dalam kaitan dengan Tradisi Lisan [Oral Tradition] berarti tradisi yang ditransmisikan secara lisan dalam berbagai bentuknya seperti ujaran rakyat [folk speech] yang diperinci lagi ke dalam bentuk dialek, julukan [naming], ungkapan-ungkapan dan kalimat tradisional [traditional pharases and sentences] yang dapat digolongkan dalam kelompok peribahasa [proverb and proverbial saying], sedangkan pertanyaan tradisional termasuk ke dalam teka-teki rakyat [folk riddles]. Selain itu ada sanjak rakyat [folk rhymes], syair rakyat [folk poetry], dan bermacam-macam cerita rakyat [folk narratives] seperti mite, legenda dan dongeng. Bentuk terakhir adalah nyanyian rakyat [folk song] dan balada rakyat [folk ballads] dengan musiknya. <br />Di antara banyak bahasa dan dialek di Indonesia, hanya delapan yang memiliki tradisi tertulis. Pada zaman sekarang di beberapa wilayah tertentu di Indonesia keberaksaraan masih merupakan hal yang baru. Pemeliharaan dan penyampaian adat kebiasaan, sejarah, pandangan hidup, agama, kedudukan sosial dan bahasa sangat mengandalkan kata lisan. Teks kisahan dapat berbentuk macam-macam: nyanyian, syair, prosa, lirik atau syair bebas. Cerita-cerita tersebut mengajarkan para pendengarnya memecahkan masalah atau teki-teki, menyampaikan tradisi, menyokong jati diri kebudayaan, dongeng khayalan, dan tak kalah pentingnya, menghibur. <br />Bagi penduduk di Nusa Tenggara, keadaan keberanekaragaman memberikan sumbangan terhadap kesusastraan pribumi yang hidup dan didasarkan pada susunan lisan. Pendongeng, ahli silsilah, pencerita suku, dan penggumam upacara keagamaan sangat penting bagi kelestarian tradisi setempat. Tradisi setempat mulanya terbentuk oleh keprihatinan kebudayaan dan upacara, kemudian berlangkah lebih jauh memasuki seluruh aspek kehidupan.<br />Buku Butir-butir Adat Manggarai ini berusaha menampilkan beberapa aspek budaya yang dipempatkan dalam fragmen-fragmen adat yang merupakan unsur-unsur pembentuk budaya. Salah satu pembacaan atas butir-butir budaya bisa dipahami secara lebih komprehensif dalam bingkai sastra. Tidak hanya itu, implementasi dan pengkomunikasiannya juga dilakukan melalui sastra lisan yang kuat berkembang dalam kehidupan orang Manggarai melalui pelbagai ritus serta perayaan komunal. Maka, berbarengan dengan kehadiran buku ini, mengambil sastra sebagai sebagai wujud tradisi lisan serta fokus, menjadi bermakna tatkala uraian-uraian di dalamnya bersentuhan langsung dengan bentuk-bentuk sastra itu.<br />Dalam pembagian yang umum, menurut isinya kesusastraan dibagi menjadi empat bagian yakni epik, lirik, didaktik dan dramatik. Sementara menurut bentuknya ada prosa, puisi dan prosa liris. Epik adalah karangan yang bersifat obyektif. Artinya, pengarang melukiskan apa yang terjadi sesungguhnya seperti dalam kenyataan tanpa memasukan unsur emosi dan imajinasi penulisnya. Sebaliknya lirik adalah semua jenis karangan yang bersifat subyektif. Dalam karangan jenis ini pengarang secara intens melukiskan imajinasi dan ilham pribadinya. Bahasa sastra selalu terkait dengan emosi [perasaan] dan pikiran, fantasi dan lukisan angan-angan, penghayatan batin dan lahir, peristiwa dan khayalan dengan bentuk bahasa yang istimewa. <br />Secara khusus dalam pengantar ini, saya memusatkan perhatian pada dua bentuk utama sastra yang sudah menjadi lazim yakni Prosa naratif yang terungkap dalam pelbagai kisah rakyat [tombo nunduk, tombo turuk] dan Puisi lirik yang dieskpresikan melalui peribahasa, tamsil-tamsil [go’et], syair-syair doa [torok] dan syair-syair lagu-lagu rakyat [dere, nenggo]. Sejarah lisan [Oral History] maupun tradisi lisan dalam tradisi budaya Orang Manggarai memang merupakan bagian “keutamaan adak” [disebut pecing adak: tahu adat, kenal hukum], sebuah perilaku budaya yang harus dilakoni setiap warga generasi sebagai jati diri sejarah tanah air dan keturunannya. <br />Tombo Nunduk dapat dipahami sebagai aktivitas dalam meneruskan sejarah keberadaan sebuah keturunan suku [klan yang disebut wa’u] yang dikisahkan terus menerus secara lisan kepada setiap generasi keturunan itu. Sedangkan Tombo Turuk dimengerti sebagai cerita-cerita yang memiliki berbagai makna kehidupan: sosial, spiritual, ekonomis, humor, pendidikan nilai, dll. Kedua jenis prosa ini dikisahkan dalam bentuk lisan oleh generasi tua kepada anak-anaknya umumnya demi alasan pedagogis dan penerusan sejarah keberadaan diri dan masyarakat. Go’et-go’et adalah kata-kata bijak yang diramu sebagai syair-syair bertuah. Bentuknya tidak selalu sama tetapi bervariasi namun memiliki tujuan yang sama yakni untuk mendidik, mengeritik dan juga menghibur. Torok adalah doa-doa yang biasa didaraskan di berbagai tempat, misalnya di lodok [titik pusat dari perkebunan komunal yang disebut lingko], di compang [batu-batu yang disusun menyerupai altar persembahan], di Mbaru Gendang [disebut juga Mbaru Tembong, rumah adat], dan tempat-tempat lain pada saat upacara-upacara adat dilangsungkan. Syair-syair dere adalah barisan kata-kata bermakna yang membentuk sebuah lagu. Syair-syair dere ini memiliki fungsi yang sama seperti prosa-prosa: menyampaikan usul-asal, mengisahkan kembali sebuah peristiwa, mengajukan sebuah pertanyaan, mengeritik sistem sosial yang ada, menghibur, dsb.<br />Di tengah usaha mencari jawaban atas persoalan-persoalan yang tengah melanda orang Manggarai, sempat timbul sebuah kesangsian metodis [dubium methodicum] di dalam diri saya yang berakhir pada pada pertanyaan: “Masih relevankah membuat analisa atas tradisi lisan pada zaman di mana tradisi itu sudah banyak tertinggal bila dibandingkan dengan tradisi tulisan dan audio-visual yang sulit diimbangi?” Pertanyaan ini sungguh menggelitik untuk melihat kembali urgensitas sebuah analisa yang bertitik pangkal pada tradisi lisan, khususnya bentuk sastra yang dimiliki oleh Orang Manggarai. Di Indonesia pada masa sekarang, tradisi lisan harus bersaing dengan cetakan, radio, televisi dan film. Sementara itu menjadi kenyataan yang umum, pendidikan massal yang dilakukan dalam bahasa Indonesia, bahasa resmi negara, cenderung menekankan yang dominan, kebudayaan “sastra” dengan mengorbankan yang “non sastra”. Meneruskan pengetahuan yang terwujud dalam teks lisan merupakan tantangan bagi kebudayaan Indonesia yang sedang berubah sekarang.<br />Untuk memberikan jawaban, saya berkeyakinan bahwa meskipun tradisi tertulis dan budaya audio-visual kian menjamur, namun perkembangan itu belum merata. Masih banyak wilayah yang belum dirambah oleh teknologi canggih seperti itu. Dan yang lebih penting, tradisi lisan adalah bagian dari kehidupan manusia. Ia bahkan merupakan bentuk primer dari komunikasi manusia. Kemajuan, bagaimanapun pesatnya, tak akan menghapus tradisi lisan sebagai bagian dari kebudayaan. Jika kenyataan ini diterima, maka penjelasan yang adekuat tentang relasi antara sastra dan budaya mesti dibuat sehingga analisa apapun yang akan berkembang dalam tulisan ini tidak keluar dari bingkai itu. <br />Dari sisi inilah kita dapat menarik benang merah dari apa yang dihasilkan oleh bapak Petrus Janggur, seorang pencinta budaya Manggarai dan penulis yang produktif-kreatif, dalam bukunya ini. Uraian tentang beo (kampung), pola perkawinan, mbaru gendang (rumah adat Manggarai), pesta congko lokap dan penti, posisi laki-laki sebagai ata one-perempuan sebagai ata pe’ang, tata krama dan pertumbuhan manusia dari sisi tilik orang Manggarai, mendapat tempat yang wajar.<br />Sastra merupakan bagian dari kebudayaan. Sastra mengungkapkan budaya manusia, manusia mengekspresikan dirinya dalam pelbagai bentuk unsur dan komponen budaya. Jadi, ada relasi timbal balik antara sastra, budaya dan manusia. Mengikuti alur pemikiran ini, manusia akan bisa dipahami apabila dapat dimengerti budayanya. Tentang budaya E.B. Taylor, seorang antropolog, berpendapat bahwa kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan, kepercayaan, kesenian, kesusilaan dan hukum, adat-istiadat dan setiap kecakapan serta kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. <br />Lowie, seorang ahli lain menambahkan unsur pewarisan yang berlangsung dari zaman lampau, melalui pelbagai bentuk pendidikan, entah formal maupun informal. Pernyataan Lowie didukung oleh Keesing yang mengatakan bahwa kebudayaan merupakan tingkah laku yang diperoleh melalui pelajaran bermasyarakat [The behavior acquired through social learning]. Sedangkan Kluckhohn memandang kebudayaan sebagai keseluruhan cara hidup suatu bangsa, warisan masyarakat yang diperoleh individu melalui kelompoknya [The total life way of a people, the social legacy the individual acquires from his group]. Lebih lanjut Kluckhohn menjelaskan bahwa kebudayaan adalah cara berpikir, cara merasa, cara meyakini dan menanggap. Kebudayaan adalah pengetahuan yang dimiliki warga kelompok yang diakumulasi [dalam ingatan manusia, buku-buku dan obyek-obyek] untuk digunakan di masa depan. Beberapa pendapat lain mengatakan bahwa kebudayaan adalah seluruh warisan masyarakat [total social heredity], atau lebih sempit lagi tradisi [tradition] ataupun adat-istiadat. <br />Berbagai pendapat antropolog di atas masing-masing memiliki pendasaran tersendiri yang tentu juga menunjukkan kekhasan horison dan perspektif. Meskipun demikian, terdapat banyak unsur yang sama, khususnya bentuk dan isi kebudayaan serta cara bagaimana kebudayaan itu diwariskan, dilestarikan dan diteruskan. Terdapat beberapa ciri kebudayaan yang dapat dirangkum dari pengertian-pengertian itu sebagai berikut: <br />Pertama, kebudayaan berciri stabil. Kebudayaan adalah tradisi, sistem, cara. Istilah-istilah ini mengandung pengertian ketetapan, kesetabilan. Sebenarnya kebudayaan selalu merupakan sistem yang tetap, stabil. Ia adalah penyesuaian diri yang lama dengan situasi konkrit alam sekitarnya. Alam yang konkrit ini juga berarti hubungan dengan kelompok-kelompok lain dalam arti lingkungan sosial. Jadi, kebudayaan disebabkan dan dibentuk oleh dua faktor utama yakni: manusia yang berakal budi dan lingkungan sosial di mana ia hidup. <br />Kedua, kebudayaan bersifat dinamis, bisa berubah. Kebiasaan manusia akan hidup biasanya tetap, tetapi kenyataan sosial cenderung berubah. Misalnya sistem pemerintahan, ilmu pengetahuan dan teknologi, pengaruh yang datang dari luar dan sebagainya. Hal ini berpengaruh pada perubahan kebudayaan juga. Tentang perubahan ini dapat dikatakan bahwa semakin besar isolasi terhadap pengaruh luar maka perubahan juga semakin lamban, demikan juga sebaliknya. Kebudayaan bersifat dinamis. Ia adalah warisan masyarakat, tetapi itu sesuatu yang belum final, melainkan tetap in statu fieri [dalam proses berubah], yang berada dalam “proses menjadi” terus menerus [in continuing process]. Itu artinya, menurut Herkovits, kebudayaan bukan saja suatu rencana, melainkan juga perencanaan [not only a plan, but also a planning].<br />Ketiga, kebudayaan merupakan milik masyarakat. Kebudayaan tidak pernah menjadi milik individu semata. Kebudayaan selalu memiliki karakter sosial sebagai milik bersama masyarakat. Masyarakat dapat dipahami sebagai “kelompok individu yang berorganisasi secara tetap dan yang mengikuti cara hidup bersama serta mempunyai kesadaran akan hubungannya dengan golongannya [group consciousness]”. Dengan kata lain, unsur-unsur yang mempersatukan setiap anggota masyarakat adalah cara hidup bersama dan kesadaran akan hubungannya dengan golongannya.<br />Butir-butir Adat Manggarai lalu mempresentasikan sebuah model kebudayaan orang Manggarai, yang bukan saja sebagai fosil masa lampau, tetapi juga menjadi artefak yang kontekstual, dinamis serta membumi. Butir-butir ini juga merupakan upaya melanjutkan tradisi lisan untuk kelak menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan orang Manggarai atau siapapun yang ingin memanfaatkannya. Pada akhirnya, dari sastranya, orang Manggarai menghadirkan identitas kediriannya melalui tindakan-tindakan bermakna dalam seluruh rentangan peristiwa hidupnya. Itulah yang menjadi latar eksistensi dan kesejatiannya.***<br /> <br /><br /></span>LEMBAGA PENDIDIKAN DAN KAJIAN DEMOKRASIhttp://www.blogger.com/profile/09261201344588543137noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7244928221306403263.post-87543308506693444402010-03-18T18:30:00.000-07:002010-03-18T18:33:24.027-07:00MORI JARI DEDEK: ALLAH YANG HIDUP DAN TERLIBATSebuah Pencarian Komparatif Budaya Asli dan Spiritualitas Karmel <br /><br />Kanisius Teobaldus Deki <br />Theology Department-STKIP St. Paulus<br /><br /><br />Abstract: <br />For the Manggarai people, the existence of Mori Keraeng has a magnificent meaning / sense. Mori Keraeng is God for human being with the whole realities. He creates and maintains the life and warrant ”Mose tedeng len” (life-length in eternity). From the human being side, faithfullness is urged to follow His divine will, maintain the harmonious relationship with one’s own self, others and the environment. Mori Keraeng is the Living God. Therefore, realizing one’s own faded essence and weaknesses,human being must have an intentional thought (mind),sense (heart),words and conduct before God. It is this attitude that makes the Manggarai people feel sure that Mori Jari Dedek (God of all Creations / Creator) presents in an actual Being here on this very occassion through those who do the right things. This article tries to trace the interrelationship among the originally Manggarai Culture in viewing God and His actuality when it (such cultural view) is connected to the Carmelite’s Spirituality.<br /><br /><br />Key-words: <br />Studi komparatif, Allah, Budaya, manusia beriman.<br /><br /><span class="fullpost"><br /><br />1. Pengantar <br /><br />Dami N. Toda , dalam bukunya, Manggarai Mencari Pencerahan Historiografi, menjelaskan secara jelas, rinci dengan data yang akurat tentang perkembangan penelitian yang dibuat oleh orang luar. Harus diakui bahwa setiap peneliti memiliki perspektif sendiri dengan orientasi khas serta motivasi yang beragam sehingga deviasi selalu tak terelakkan jika ternyata sebuah sejarah dibelokkan. Dan kita maklum bahwa penulisan sejarah terkait erat dengan pre-understanding setiap orang yang datang. Itulah sebabnya, seperti Habermas pernah tandaskan, setiap pernyataan yang keluar selalu terjalin dengan maksud tertentu. Berhadapan dengan kenyataan ini, sebuah imperatif yang tidak bisa ditawar-tawar naik ke permukaan kesadaran, bahwa kita sendiri sebagai “anak tanah” harus juga belajar menggali budaya kita, mengunyahnya dan membiarkan dia menjadi sebuah energi yang membuat hidup ini memiliki daya (élan vital). Orang “dalam” (in-sider) harus punya horizon tentang apa yang dimilikinya, supaya ia bisa berkata-kata dari kepunyaannya sendiri. <br />“Gali (cake), Kunyah (mama) dan Olah (gori)” adalah aktivitas yang coba menjadi sebuah proses dalam pembahasan ini. Kita ingin mengetahui jawaban atas pertanyaan, “siapakah Allah bagi masyarakat asli Manggarai, bagaimana religiositas orang Manggarai” dan kalau bisa ditanyakan, “apakah ada benang merah yang bisa menghubungkannya dengan spiritualitas Karmel?” Karena itu menjadi jelas bagi kita bahwa: 1] mula-mula kita “menggali” dengan membaca uraian ini, lalu 2] kita “mengunyah” yakni terlibat untuk memikirkan, menanggapi atau bahkan memberikan perluasan serta catatan kritis, dan akhirnya 3] kita “mengolah” bahan ini untuk menjadi mose nai [makanan hidup] permenungan di perjalanan perutusan dan pelayanan, sehingga kehadiran kita menjadi “berarti”, tersebab kita mengenal dan memahami siapa yang menjadi subyek pelayanan kita. Dengan kata lain, muara pendekatan kita ialah bagaimana “teks” dan “konteks” disandingkan dalam spiritualitas yang hidup.<br />Berjalan dalam sebuah pencarian yang tetap aktual ini, adalah sebuah kemestian bahwa kita memiliki “seni” tertentu, yang secara sadar atau tidak, mengharuskan kita menjadi “seniman” untuk mengolah hidup kita. Seorang sastrawan Indonesia, Chairul Anwar mengatakan, <br />“tiap seniman harus menjadi seorang perintis jalan. Itu artinya ia mesti memiliki keberanian, tenaga hidup. Ia tidak segan-segan memasuki hutan rimba penuh binatang buas, mengarungi lautan lebar-tak bertepi. Seniman ialah tanda dari hidup yang melepas-bebas” . <br />Menjadi seniman dalam hidup panggilan sebagai religius “menuntut komitmen pribadi yang menyeluruh dan yang diekspresikan secara nyata dalam suatu pola hidup yang injili dan melaksanakan nasihat-nasihat Injil dan dalam hidup komunitas”. Untuk mencapai kenyataan itu, refleksi yang memiliki perspektif holistik-mondial perlu dibangun, termasuk bila refleksi itu ditopang oleh tonggak yang berbasiskan budaya-lokal.<br /><br /><br />2. Kepercayaan akan Allah, Agama dan Kehidupan Manusia <br />Sejak zaman purbakala, manusia, bahkan dalam tahap perkembangan yang sangat primitifpun mempunyai kesadaran akan hadirnya sebuah kekuatan “lain” yang berada di luar kemampuannya untuk memahami. Mircea Eliade, dalam studinya memperlihatkan bahwa penyelidikan fenomenologis mengenai agama menimbulkan gambaran tentang manusia sebagai mahkluk yang sifatnya amat religius (homo religious). Bagi mereka, seluruh kosmos terbuka kepada “yang kudus”. Pada prinsipnya, obyek apa saja: matahari, bulan, bumi, air, gunung, hutan, batu karang, pohon, gua, dsb dapat menjadi hierofani baginya. Obyek manapun yang diduduki oleh “yang kudus” itu menjadi manifestasi dirinya. Kehadiran “Yang kudus” kemudian secara turun temurun dialami dalam hierofani, ritus dan mitos. Kenyataan itu, dalam ke-tak-mengerti-an manusia sering dianalogkan dengan “Yang Ilahi”. <br />Langkah yang telah dimulai dalam agama primal dilanjutkan dengan kehadiran agama-agama institusional-wahyu yang memberikan kepastian bahwa “Yang Ilahi” itu adalah Allah. Dr. Georg Kirchberger SVD mencatat beberapa bidang pengalaman akan Allah. <br /><br /> 2.1. Alam<br /> Dalam kehidupannya, setiap orang yang mengamati dan mengalami dunia dan alam sekitarnya dengan mata serta hati terbuka, akan menjadi sadar bagaimana seluruh alam itu merupakan suatu hadiah besar yang menunjang dan mempertahankan hidupnya. Pengalaman itu menjadi lebih intens dan terasa kuat dalam “situasi-situasi batas”. Misalnya suatu masyarakat yang menderita kelaparan karena musim kemerau yang berkepanjangan, mengalami hujan pertama sebagai berkat, sebuah permulaan akan munculnya kehidupan baru. Jika orang terbuka kepada kebaikan yang ada, segera orang akan berpikir bahwa pasti ada sesuatu yang menyelenggarakan semua itu. Pada saat itulah muncul refleksi tentang “Yang Ilahi”.<br /><br /> 2.2. Sejarah<br /> Pada dasarnya sejarah merupakan suatu deretan peristiwa yang dilakukan, diatur dan harus dipertanggungjawabkan oleh manusia. Tetapi setiap manusia mengharapkan agar deretan peristiwa itu tidak hanya merupakan kumpulan aksi dan reaksi yang tak berarti dan tak bertujuan. Kita merindukan sejarah sebagai sebuah arus perkembangan yang mempunyai tujuan dan manusia berharap tujuan itu bernilai positif. Kita berharap bahwa sejarah berkembang menuju kebahagiaan dan kesejahteraan manusia yang semakin besar. Berhadapan dengan keterbatasan-kenisbian kodrati manusia, ia pada akhirnya menyadari bahwa hanya kepada “Yang Ilahi” ia memiliki intensionalitas historis. Dengan lain perkataan, Allah adalah akhir dari sebuah sejarah keselamatan. <br /><br /> 2.3. Hubungan Antar Pribadi<br /> Persahabatan dan setiap relasi cinta antar manusia menjadi sebuah petunjuk yang mengarahkan kita kepada Allah. Setiap relasi cinta, kalau berkembang dengan semakin mendalam, semakin pula merindukan keabadian dan keutuhan. Dua orang yang saling mencintai semakin rindu untuk memberikan diri secara menyeluruh satu kepada yang lain. Di sana akan muncul sebuah kerinduan akan sebuah relasi yang abadi. Namun, dalam kenyataan, kerinduan itu tak pernah terjawab tuntas, tersebab kita diciptakan sebagai mahkluk fana. Oleh karena itu, setiap cinta yang sungguh mendalam antar manusia, menunjukkan keterbatasannya yang tak terelakkan kepada suatu cinta yang sungguh total, lestari dan abadi yang menanam kerinduan tadi dalam cinta manusia yang terbatas itu. Kerinduan akan ke-tak-terbatas-an di dalam cinta yang terbatas menjadi suatu pengalaman tidak langsung mengenai adanya cinta tak terbatas, yakni Allah.<br /><br /> 2.4. Pengalaman Batin<br />Secara pribadi di dalam batin kita, dapat kita temukan sekian banyak pengalaman yang menjadi tanda bagi kehadiran suatu kekuatan yang malampui diri kita sendiri. Kalau kita terbuka terhadap realitas ini dan memberikan tempat untuk kehadirannya, kita akan melihatnya sebagai kebesaran Allah. Suara batin kita juga bisa mengeskpresikan kenyataan ini. Ada banyak saat di mana kita ”ditegur” oleh suara batin untuk membebaskan diri dari perbuatan yang dikategorikan sebagai dosa. Suara batin ini juga mengarahkan kita untuk melakukan hal-hal yang baik. Suara-suara “baik” yang keluar dari kedalaman batin inilah yang kerap disadari sebagai “suara Allah”.<br /><br />3. Teori Kulturkreislehre tentang Uhrmonotheismus dengan Wujud Tertinggi Orang Manggarai <br /><br />Wilhelm Schmidt mengetengahkan teori Kultur Kreislehre yang mengatakan bahwa Uhrmonotheismus (Wujud Tertinggi) bukanlah perkembangan baru tetapi merupakan bentuk kebudayaan yang sudah sangat tua, yang tersebar di berbagai kebudayaan manusia. Namun bentuk kebudayaan yang sudah sangat tua itu tetap mengalami perkembangan sejalan dengan lajunya perkembangan zaman. Meskipun tidak ada perubahan mendasar pada bentuk aslinya. Wujud Tertinggi telah mengalami perubahan pada sebutan untuk mengekspresikannya. <br />Dalam masyarakat Manggarai, Wujud Tertinggi disebut dengan nama, seperti: Mori[n] (Tuhan), Mori[n] agu ngaran (Tuhan Dan penguasa), Mori Keraeng, Mori Sombang, dsb.<br />Pengaruh masuknya agama Kristen (khususnya Katolik) menyebabkan munculnya penyingkatan sebutan untuk Wujud Tertinggi. Jika pada zaman lampau penyebutan Wujud Tertinggi diungkapkan dalam bentuk yang panjang dan rumusan baku yang sulit jika dipadukan dengan kebiasaan praktis, maka zaman kini jarang digunakan, kecuali pada upacara-upacara adat yang memiliki ritus tetap.<br /><br /><br />4. Dimensi Keagamaan: Kepercayaan akan Wujud Tertinggi Dan Religiositas Orang Manggarai<br /><br />4.1. Dimensi Iman (Kepercayaan)<br />Ivan Haryanto, et. al., dalam studi mereka tentang Agama Asli Manggarai menjelaskan bahwa terminologi iman dalam pemahaman asli Manggarai disebut imbi (percaya). Terminologi ini secara eksplisit menggambarkan relasi antara seseorang atau sekelompok orang dengan yang lain. Relasi ini terbentuk karena rasa percaya. Karena itu, imbi dipahami sebagai satu sikap percaya kepada sesuatu yang lain, baik orang-pribadi, kelompok maupun kekuatan lain. Dalam konteks religius, terminologi ini menggambarkan sikap dan keterarahan hati manusia kepada Wujud Tertinggi dalam agama primal orang Manggarai.<br />A. J. Verheijen dalam studinya menemukan bahwa teori Kulturkreiselehre tentang Uhrmonotheismus menemukan kebenarannya jika diaplikasikan kepada kehidupan religius orang Manggarai. Karena itu Verheijen membuat klasifikasi beberapa nama Wujud Tertinggi orang Manggarai, sebagai berikut: <br /><br />4.1.1. Nama-nama untuk Wujud Tertinggi<br />1] Mori[n]: Tuhan Mori[n] agu Ngaran: Tuhan dan Penguasa, 2] Mori Keraeng: Tuhan Allah, 3] Mori Sombang:<br />Kata Mori berarti “tuan”, “pemilik”, “penguasa”. Tuhan diimani sebagai tuan, pemilik, penguasa atas kehidupan (de morin mose dite ho’o). penambahan sufiks –n menunjukkan fungsi gramatik, khususnya bentuk possessive. Demikian kata ngaran menekankan aspek “kuasa” Tuhan atas segala yang ada di bumi. Mori agu Ngaran adalah rumusan baku yang kerap dipakai dalam doa-doa resmi orang Manggarai, misalnya: “Hia te Morin agu ngaran tana lino ho’o” (Dia yang Empunya dam miliki bumi ini). Sedangkan sebutan Mori Keraeng adalah nama diriNya, “Mori Keraeng hitu muing ngasang wekin”. <br />Hampir di seluruh Manggarai, termasuk daerah Riung-Ngadha kita bisa menjumpai sebutan Mori Sombang untuk Tuhan. Pada mulanya nama ini dipakai dalam dongeng-dongeng Manggarai, yakni Karaeng Goa. Dia berkuasa atas Manggarai sebelum Bima. Barangkali sesudah pengaruh kekuasaan mereka lenyap, sebutan ini dipakai untuk Wujud Tertinggi, yang secara eksplisit bisa dilihat dalam buku nyanyian Gereja. <br /><br />4.1.2. Nama untuk Wujud Tertinggi sebagai Pencipta:<br />1]Jari agu Dedek: Penjadi dan Pembentuk, 2]Ciri agu Wowo: Penjadi dan Pengacu, 3]Jari agu Wowo: Penjadi dan Pembentuk, 4]Jari agu Dading: Penjadi dan Pelahir.<br />Kata “Jari” berarti: menjadi, berhasil, berjalan baik. Kata Dedek dipakai untuk: membuat, membentuk. Menempa dan lain-lain. Kata ciri berarti menjadi, tumbuh menjadi, menjelma, mendapat bentuk” dan kata wowo berarti: menuang, mengacu, leburkan, lahirkan. Kata jari dan wowo memiliki arti yang sama dengan ciri agu wowo. Kata “dading” berarti: melahirkan, beranak. Kata ini diterapkan pada pria, misalnya: emá dading (ayah kandung).<br />Jika kita perhatikan dengan sungguh-sungguh, Tuhan dalam kehidupan orang Manggarai dilihat sebagai pencipta pertama [causa prima] segala sesuatu yang ada.<br /><br />4.1.3. Paralelisme nama Wujud Tertinggi<br />1] Ame eta-Ine wa: Ayah di atas-Ibu di bawah, 2] Ronan eta mai-Winan wa mai: Suaminya di atas-Istrinya di bawah, 3] Tanan wa-Awang eta: Bumi di bawa, Langit di atas, 4] Wulang agu Leso: Bulan dan Matahari.<br />Sangat kentara dalam pemikiran orang Manggarai bahwa Tuhan adalah Dia yang memiliki segala sesuatu, yang melingkupi manusia dan seluruh ciptaan dengan kuasa dan kasihNya yang tak terhingga. Langit adalah tahta Allah, bumi adalah tumpuan kakiNya, bulan dan matahari adalah tanda kehadiranNya.<br /><br /><br />4.1.4. Nama Wujud Tertinggi sebagai mata angin:<br />1] Par agu Kolep: Timur dan Barat, 2]Ulun le-Wa’in lau: Hulu sungai, hilir sungai. Tuhan dilihat sebagai sumber kehidupan yang terbit di ufuk Timur dan tenggelam di ufuk Barat. Tuhan tetap setia, esensi Tuhan selalu begitu, sama seperti sumber air yang muncul di Utara dan mengalirkan kehidupan ke Selatan.<br /><br />4.1.5. Nama-nama Lain:<br />1]Empo, 2]Sengaji, 3]Dewa.<br />Kata “empo” berarti: nenek moyang, kakek-nenek. Selanjutnya kata “empo” digunakan untuk semua orang yang kita segani. Tetapi kerap nama ini jarang digunakan untuk Wujud Tertinggi karena keterkaitannya dengan arti jamak yang bermakna ganda. Misalnya, kata yang sama bisa digunakan untuk roh halus, setan (empo poti mese-setan besar).<br />Sebutan “sengaji” memiliki arti yang mirip dengan kata “empo” dan diarahkan untuk penguasa. Dalam doa-doa kata ini jarang digunakan. Demikian halnya dengan kata “dewa” memiliki arti yang sangat fleksibel dan jarang digunakan. Rupanya kata ini bukan kata asli Manggarai.<br />Dari beberapa pemikiran tentang nama Wujud Tertinggi, terdapat sebuah silogisme spontan sekaligus eviden bahwa orang Manggarai percaya adanya Wujud Tertinggi, bahwa dunia ini pasti memiliki penciptanya, causa prima yang menyelenggarakan kehidupan dan tetap terlibat dalam seluruh perjuangan hidup ciptaanNya, termasuk manusia.<br /><br />4.2. Dimensi Pengetahuan<br />Pada bagian terdahulu, kita sudah melihat kenyataan adanya pengakuan akan Wujud Tertinggi dalam kehidupan religius orang Manggarai. Muncul pertanyaan baru, “Bagaimana iman itu dilanjutkan kepada generasi berikutnya?” Dalam beberapa wawancara yang pernah kami buat terhadap beberapa tokoh adat, mereka memberikan jawaban atas dimensi pengetahuan ini dalam beberapa bentuk.<br />Pertama, pertanyaan akan eksistensi alam semesta. Pertanyaan ini menjadi pintu masuk untuk mengetahui sesuatu sekaligus menggugah kesadaran setiap orang Manggarai untuk mengakui bahwa ada “Sesuatu yang mengatasi kodrat manusia”. Pengetahuan ini bersifat spontan sebagai tuntutan rasional untuk mencari tahu sebab adanya sesuatu.<br />Kedua, Upacara-upacara komunal (pande adak). Dalam upacara-upacara komunal masyarakat, seperti Penti (upacara syukur panen), upacara kehamilan (lamba wakas) dan kelahiran (cear cumpe), upacara perkawinan, upacara kematian, upacara adat “lingko” (kebun komunal). Melalui upacara ini doa-doa didaraskan kepada Wujud Tertinggi. Para peserta mendengarnya, mengingat dan mengulangnya jika generasi tua sudah berpulang. Upacara-upacara adat komunal berfungsi sebagai “sekolah lisan” di mana tradisi diwariskan secara turun temurun.<br />Ketiga, Doa dan Lagu-lagu (Ngaji agu Dere). Bagi orang Manggarai memiliki arti jamak: tidak hanya terbatas pada fungsi menghibur tetapi lebih dari itu, lagu mempunyai fungsi pedagogis dan historis. Demikian halnya doa-doa yang diucapkan dalam pelbagai ritus adat komunal memiliki aspek ganda: terarah kepada Wujud Tertinggi tetapi serentak merupakan model bagi generasi yang akan menjadi penerus budaya. Bapak Petrus Jelalu dalam wawancara yang pernah dibuat Ivan Haryanto, et. al. menjelaskan, lagu yang dibuat untuk berbagai upacara sarat dengan ajaran iman. Misalnya lagu Sanda Lima biasa dinyanyikan dalam upacara penti. Dalam lagu ini terdapat beberapa permohonan berkaitan dengan lima kebutuhan pokok manusia: mbaru bate ka’eng (rumah tempat tinggal), natas bate labar (halaman bermain), wae bate teku (sumber tempat menimba air), uma bate duat (kebun tempat mengais rejeki) dan compang (tempat persembahan kepada Wujud Tertinggi).<br />Keempat, Nasihat atau Petuah (Go’et). ajaran tentang Wujud Tertinggi diterjemahkan dalam kebijaksanaan-kebijaksanaan lokal orang Manggarai dalam apa yang disebut Go’et yakni ungkapan, amsal, pepatah dan petuah. Nasihat-nasihat ini berbicara tentang kehidupan manusia dalam dua dimensi: vertikal dengan Wujud Tertinggi dan relasi horizontal dengan sesama dan alam lingkungan. <br />Misalnya go’et yang berbicara tentang relasi horizontal manusia: neka anggom le anggom lau, eme data, data muing, neka demeng data (jangan memiliki kekayaan karena merampas dan menggelapkan harta orang lain). Go’et ini berisikan ajaran bagi manusia dan masyarakat agar mengakui hak milik orang lain, mendapatkan kekayaan melalui cara yang halal, tidak mengklaim atau menggelapkan harta orang lain demi kekayaan. Selain itu, ada go’et yang berbicara tentang relasi horizontal dengan Wujud Tertinggi, misalnya, “neka beng agu Dedek, neka ngantit kamping Jari” (jangan takut dan ragu-ragu terhadap Tuhan yang menjadikan kita). Go’et ini merupakan ajakan bagi manusia untuk mendekatkan diri kepada Wujud Tertinggi lewat doa (ngaji). Selain itu go’et ini memiliki pesan agar manusia tidak mengabaikan doa (ngaji). <br />Kelima, Mitos dan Cerita Rakyat (Tombo Turku). Menurut Mircea Eliade, mitos tidak hanya sekedar pemikiran intelektual dan bukan pula hasil logika, tetapi terlebih merupakan orientasi spiritual dan mental untuk berhubungan dengan yang ilahi. Bagi masyarakat asli, mitos berarti suatu cerita yang benar dan ini menjadi milik mereka yang paling berharga, karena merupakan sesuatu yang suci, bermakna dan menjadi model bagi tindakan manusia, memberikan makna dan nilai bagi kehidupan ini. Mitos menceritakan bagaimana suatu realitas berkesistensi melalui tindakan mahkluk supra natural. Demikian halnya dengan peran dan fungsi mitos bagi orang Manggarai. Dalam bukunya, Verheijen mengumpulkan sejumlah mitos orang Manggarai tentang berbagai hal, seperti: awal mula bumi, manusia dan roh-roh: terjadinya bumi, pemisahan manusia dari “darat” [peri], nenek moyang yang dimakan “darat”, dsb. Tombo turuk merupakan kisah-kisah cerita yang bermuatan pedagogis dan memiliki unsur hiburan. Biasanya tombo turuk dikisahkan malam hari menjelang tidur. Orang tua sebagai pencerita (arrator) sering mengisahkan sebuah peristiwa yang tampak nyata dengan maksud memberikan petuah tertentu terhadap anak-anaknya. Selain itu, tombo turuk juga menjadi medan pergulatan tafsir atas kejadian aktual dalam masyarakat, entah pergulatan politis maupun sosial, budaya dan ekonomi. Kisah-kisah ini menjadi semacam kumpulan cerita pendek yang diungkapkan secara lisan dan diwariskan turun temurun kepada setiap generasi. Beberapa cerita pendek yang cukup dikenal seperti: Timung Te’e (Mentimun Matang), Empo Poti Mese (Setan Jahat), Lanur , Pondik, Anak Kalok (Anak Yatim), dsb.<br /><br />4.3. Dimensi Praktek: Pelbagai Ritus Dan Peruntukkannya<br />Ulasan kita tentang relasi yang sangat dekat antara orang Manggarai dengan Wujud Tertinggi terjalin melalui pelbagai ritus yang memiliki tujuan dan maksud yang khas. Sejak manusia dikandung dalam rahim ibu hingga mati, orang Manggarai memiliki ritus adak tertentu. Beberapa ritus itu antara lain: ritus Lamba Wakas dan Jambat (saat kehamilan), Weda rewa tuke mbaru (saat peminangan), Kelas (kenduri) dan lain-lain. Hal sama ketika orang Manggarai mengerjakan kebun, ritus-ritus dibuat mulai dari pembukaan kebun baru (lingko-tanah persekutuan komunal) sampai pada upacara syukur panen: upacara pemancangan “Teno” oleh Tu’a Teno (kepala kampung urusan pembagian tanah komunal) pada saat pembagian tanah lingko, upacara Kalok/Weri/Wa’u wini (saat musim menanam) sampai “penti”. Dalam pelbagai ritus itu, doa-doa dan lagu-lagu dipanjatkan kepada Wujud Tertinggi, entah permohonan pun ucapan syukur. Hubertus Leteng dalam skripsinya tentang doa asli Manggarai menjelaskan bahwa doa sebagai ekspresi iman dalam agama asli orang Manggarai dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian, yakni: berdasarkan ciri-ciri, intensi dan pelaksana atau pelaku. <br />1] Ciri-ciri : Ciri Teosentris. Dalam doa-doa asli nama Wujud Tertinggi disebut secara eksplisit. Kepada Dia-lah doa-doa dilambungkan. Ciri Mediasi: Para leluhur dipercayai sebagai perantara. Karena itu nama leluhur disebut dalam doa. Ciri sosial: doa-doa asli tidak hanya mementingkan diri sendiri tetapi juga orang lain, komunal dan keutuhan seluruh ciptaan. 2] Intensi: ada dua macam doa yakni doa permohonan dan doa syukur. Ketika memulai musim tanam orang Manggarai akan mempersembahkan babi atau ayam kepada Wujud Tertinggi dan leluhur agar kiranya Wujud Tertinggi berkenan memberkati benih (wini) yang akan ditanam. Ritus yang sama dibuat pasca panen. 3] Pelaksana atau pelaku: Doa-doa asli Manggarai dari aspek pelakunya dibagi dalam dua kelompok: Pertama, doa pribadi. Dalam menghadapi berbagai pengalaman, entah kecewa maupun gembira orang Manggarai memiliki tanggapan dan jawaban atasnya. Salah satu bentuk tanggapan dan jawabannya ialah melalui doa pribadi. Doa-doa pribadi ini biasanya singkat, spontan, terbuka dan jujur. Doa-doa seperti ini biasanya disebut “Keng” atau “Wada agu Gesar”. Misalnya seorang yang sedang mengalami sakit berat akan berdoa, “Mori, ba’eng koe mendim ho’o…” (Tuhan, kasihanilah hambaMu ini…). Kedua, doa bersama. Doa bersama terjadi dalam ritus-ritus komunal dalam berbagai kesempatan, misalnya: ritus Simo Le’as / Rames Le’as yang merupakan upacara pemulihan ketika seorang ibu mengalami keguguran. Maksud ritus ini ialah supaya Wujud Tertinggi dan roh leluhur memulihkan kesehatan jasmani-rohani ibu yang bersangkutan dengan harapan tidak terjadi keguguran lagi. Doa bersama juga dapat terjadi dalam ritus Kelas, Penti, dsb. Terminologi yang biasa dipakai dalam ritus-ritus komunal adalah “Tudak” yang disampaikan oleh “Ata Peci” [pribadi yang memiliki kharisma spiritual yang biasanya terdapat pada Tu’a Golo ataupun ata mbeko-dukun].<br /><br />4.4. Dimensi Pengalaman Keagamaan<br />Menurut Edward Schillebeecks, pengalaman berarti seseorang bertemu langsung dengan sesuatu obyek dan belajar melalui pertemuan itu. Melalui pertemuan langsung itu kita mengenal obyek-obyek yang kita alami, kita memperoleh pengetahuan langsung tentang obyek itu. Namun pengalaman seperti itu tidak pernah “murni” dalai arti bahwa semata-mata obyek itu menyatakan diri kepada subyek yang mengalami. Seseorang bisa mengalami sesuatu melalui interpretasi atas obyek itu. Interpretasi itu berlangsung dalam pengalaman manusia sendiri. <br />Orang Manggarai memiliki pengalaman akan Wujud Tertinggi. Mereka tidak pernah mengatakan bahwa pernah berhadapan muka dengan Wujud Tertinggi. Meskipun ada ata mbeko yang mengasosiasikan mimpi tertentu sebagai pertemuan dengan Mori Keraeng dan pernyataan diriNya yang intens kepada mereka. Tetapi semua orang Manggarai mengakui bahwa mereka mengalami kehadiranNya dalam peristiwa hidup harian mereka. Itulah sebabnya, lahir berbagai nama Wujud Tertinggi yang dianalogkan dengan alam-kosmos, bentuk doa, ritus-ritus pemulihan, dan go’et yang mengekspresikan kedekatan yang relasional-intim antara orang Manggarai dengan Wujud Tertinggi.<br />Kehadiran “ata pecing” atau “ata mbeko” sangat penting dalam menafsir kehendak Yang Ilahi. Jika terjadi kemalangan komunal berupa berbagai penyakit, bencana alam, kematian yang irrasional, ata pecing memiliki tugas untuk mencari sebab-musabab dan menemukan solusinya. Peran ata pecing sangat menentukan dalam berbagai segi kehidupan: religius, social, politik, ekonomi dan budaya. Revelasi diri dan kehendak dari Mori Keraeng dinyatakan lewat “nipi” [mimpi] dari ata pecing. Ata pecing ini menyampaikan maksud de Morin agu Ngaran kepada orang yang untuknya revelasi itu ditujukan.<br /><br />4.5. Dimensi Sosial Keagamaan<br />Iman Dan kepercayaan akan Wujud Tertinggi orang Manggarai memiliki dimensi sosial. Iman itu tidak hanya bermakna, meminjam istilah Filsafat, “in se” (dalam dirinya sendiri), tetapi juga mempunyai “per se” (untuk sesuatu yang lain). Sebab jika iman itu tidak berbicara dan terkait dengan kehidupan real, maka iman itu nirmakna. Ada beberapa dimensi sosial yang saya temukan antara lain:<br />Pertama, Iman dan kepercayaan akan Wujud Tertinggi dalam diri orang Manggarai membuat mereka merasa yakin dan pasti bahwa mereka adalah anak-anak dari Mori agu Ngaran. Keyakinan itu begitu kuat sehingga menimbulkan pengharapan untuk kelak bersatu dengan seluruh arwah leluhur dalam kebersamaan dengan Mori Keraeng. Tetapi untuk bisa tinggal bersama Dia, orang Manggarai, baik secara privat maupun komunal, mesti memiliki sikap hidup yang baik, kepercayaan yang utuh pada Mori Jari Dedek dan kesetiaan untuk mentaati laranganNya. Kerinduan untuk bersatu dengan Mori agu Ngaran inilah yang membuat orang Manggarai pada zaman lampau lebih dominan mengarahkan dirinya kepada kebaikan.<br />Kedua, orang Manggarai memiliki berbagai norma dan aturan yang diyakini sebagai jalan untuk mencapai kebahagiaan kelak [mose tedeng len]. Berikut ini ada beberapa norma umum. 1] Relasi antara pria Dan wanita. Aturan relasi pria-wanita sangat ketat. Sebagai contoh: mengintip perempuan yang sedang mandi disebut “loma lelo” [pemerkosaan dengan cara melihat]. Atau barangsiapa yang ketahuan melakukan “jurak” [incest] diberi hukuman paling berat. Jika hal ini terjadi, maka akan dibuat upacara pemulihan yang disebut “oke jurak” atau “doro rekes”. Dalam upacara ini disembelih kerbau putih sebagai hewan korban penyilihan dosa dan mohon ampun dari dosa lewat “songgo”[doa pemulihan]. 2] Relasi dengan orang yang lebih tua dan orang yang lebih muda. Orang-orang muda berkewajiban mematuhi perintah orang-orang tua. Demikian halnya relasi antara pemimpin adak [tu’a golo] dengan anggota masyarakat [sangged lawa wan koe, etan tu’a]. dari orang muda dituntut ketaatan dan dari orang tua dituntut sikap hidup yang baik, tutur kata yang sopan, berkualitas, bijaksana, dan patut dipanut.<br />Ketiga, orang Manggarai dan keluarga. Konsep tentang Wujud Tertinggi mempunyai dampak yang luas, termasuk relasi antar sesama. Keluarga sebagai institusi masyarakat terkecil sangat diperhatikan. Dalam relasi dengan orang tua [kandung], seorang anak melihat mereka sebagai “mori kraeng ata ita le anak” [Tuhan yang kelihatan]. Karena itu bersikap kasar terhadap orang tua dilarang. Sebaliknya, anak adalah “wae tuka de Morin agu Ngaran” [benih Tuhan dan Pemilik] yang harus diperhatikan oleh orangtua. Memukul orangtua dan menelantarkan anak-anak adalah perbuatan tercela.<br />Keempat, orang Manggarai dengan sesamanya [keluarga dekat dan semua orang lain]. Dengan “Hae Wa’u”- “Ase Ka’e” [kakak-adik, sepupu] hubungan diwarnai oleh persahabatan kental. Mereka harus saling mendukung satu sama lain. Itulah sebabnya, urusan “laki” atau “wai” [peminangan] dan berbagai urusan keluarga dijalankan secara bersama-sama sebagai tanggungan keluarga besar. Ada juga yang disebut dengan “Anak Wina-Anak Rona” yakni hubungan yang terjalin karena perkawinan. Keluarga mempelai laki-laki disebut: anak wina, sedangkan keluarga anak perempuan disebut: anak rona. Anak rona memiliki kewajiban untuk membayar belis dan sida kepada anak wina dalam urusan kematian, pernikahan, dan urusan adat lainnya dari anak rona.<br />Ikatan kekerabatan tidak hanya dibangun berdasarkan hubungan darah, tetapi juga asal [cama beo-satu kampung-asal]. Orang Manggarai merasa memiliki kewajiban untuk saling memperhatikan sesama asal di manapun mereka berada. Biasanya, orang-orang seasal dianggap sebagai “saudara” [ase-ka’e, cama tau] di tempat perantauan [tanah mbeot]. Mereka yang tiba lebih dahulu [ngo te kolo] menyiapkan tempat bagi mereka yang datang kemudian [cai musi]. Orang-orangtua menitipkan pesan supaya yang lebih tua menjadi pendamping bagi mereka yang muda. Secara inplisit, otoritas orangtua diserahkan kepada mereka yang dipercayai itu. Mereka biasa mengatakan, “Nana, jaga di’a-di’a asem ho’o. Reweng dite, reweng dami” [Jagalah adikmu ini, kami menitipkan suara kami padamu].<br /><br />5. Mori Jari-Dedek: Tuhan yang Hidup dan Terlibat<br />Bagi orang Manggarai, kehadiran Mori Keraeng memiliki arti yang sangat besar. Mori Keraeng adalah Tuhan bagi manusia dengan segala kenyataannya. Ia menciptakan, menjaga, memelihara kehidupan dan menjamin “mose tedeng len” (kehidupan kekal hingga keabadian). Dari manusia dituntut kesetiaan untuk mengikuti kehendakNya, menjaga relasi yang harmonis dengan diri sendiri, sesama dan lingkungan.<br />Mori Keraeng adalah Tuhan yang hidup. Karena itu, menyadari segala kerapuahan dan kelemahannya, manusia mesti memiliki intensionalitas batin, pikiran, perkataan dan perbuatan kepadaNya. Sikap inilah yang membuat orang Manggarai yakin bahwa Mori Jari-Dedek hadir aktual, di sini, saat ini dalam diri orang-orang yang berbuat baik. Kerap ada ucapan, “Tuhan ada padamu” [One ite nai de Morin] bila ada yang cara hidupnya baik.<br /><br />6. Yesus Kristus: Sebuah Pencarian Keterkaitan Wujud Tertinggi orang Manggarai Dan Kharisma Karmel<br /><br />6.1. Panggilan Karmel: Mengikuti Yesus, Mengakui Eksistensi Allah Dan Mengalami bahwa Ia sungguh Hidup Dan Terlibat<br /><br />Kita sudah melihat uraian tentang Wujud Tertinggi orang Manggarai. Menelusuri jejak Allah dalam iman dan kepercayaan primal orang Manggarai, satu kenyataan yang bisa ditemukan dalam rumusan “doktrinal iman” mereka ialah bahwa Mori agu Ngaran, Mori Jari Dedek, Mori Keraeng dengan berbagai sebutan tidak memiliki putera [anak]. Inilah jalan yang bisa menjadi sebuah “uma cumang tau” [lahan yang mempertemukan] ajaran Kristiani-iman primal orang Manggarai. Sedangkan hal-hal yang tidak sulit dipertemukan ialah gagasan tentang “ketunggalan” Allah. Meskipun “Yang Ilahi” orang Manggarai disebut dengan gaya parallelisme, Mori Keraeng tetaplah satu pribadi [monotheismus]. Lalu bagaimana bisa dihubungkan dengan kharisma dan spiritualitas Karmel?<br />St. Albertus, dalam Prolog Regula, menulis, <br />“Berulang kali dan dalam pelbagai cara para Bapa Suci menentukan bagaimana setiap orang, dalam serikat manapun ia hidup atau cara hidup apapun yang dipilihnya, harus hidup taat kepada Yesus Kristus dan setia mengabdiNya dengan hati yang suci dan hati nurani yang murni”. <br />Menurut alur gagasan ini, pernyataan di atas pada gilirannya bermuara pada suatu komitmen untuk mengikuti Yesus, karena pada hakekatnya kita dipanggil untuk mengikuti Allah dan mengambil bagian dalam persekutuan Trinitas. <br />Persatuan dengan Allah merupakan arah dan tujuan hidup setiap pengikut kharisma Karmel. Persatuan itu kerap disebut “pengalaman kontemplasi” yang digambarkan Konstitusi sbb:<br />Kontemplasi adalah perjalanan batin para Karmelit, yang timbul karena prakarsa bebas Allah. Pengalaman itu menyentuh dan mengubah kita. Pengalaman kontemplasi membimbing kita kepada persatuan denganNya yang dialami dalam cinta, mengangkat kita sehingga kita dapat menikmati cintaNya yang diberikanNya dengan cuma-cuma serta hidup di hadiratNya dengan penuh cinta. Kontemplasi merupakan suatu pengalaman akan cinta Allah. Pengalaman itu begitu kuat sehingga memiliki daya yang mengubah. Cinta yang sama memiliki kekuatan untuk mengosongkan pola pikir, cinta dan perilaku manusiawi kita yang terbatas dan tak sempurna, pada gilirannya mengubahnya menjadi ilahi. <br />Persatuan dalam cinta dengan Allah! Sebuah pernyataan yang menjadi muara dari kontemplasi. Namun untuk sampai pada kontemplasi ini, ada ‘jembatan” [letang-temba] yang coba dibangun sebagai “alat bantu”, yakni berupa tiga kharisma dasariah: doa, persaudaraan dan pelayanan .<br />Pertanyaan yang perlu diajukan kepada kita ialah: 1] Apakah kita sungguh mengalami bahwa Allah hidup dalam doa-doa kita? Apakah doa-doa dan relasi yang kita bangun dengan sama saudara, merupakan ekspresi dari “intimitas” dengan Allah? Apakah pelayanan yang kita berikan merupakan “suatu kesadaran” akan kehadiran Allah yang ada dalam diri sesama, yang membutuhkan uluran tangan kita? 2] Jika Allah sungguh-sungguh terlibat dalam Doa, Persaudaraan dan pelayanan kita, perlu dipertanyakan: Allah macam manakah yang kita imani? <Sifat Allah yang dominan: mencipta, menyembuhkan, memelihara, menguasai, melayani, memaafkan, mencintai, dsb?> Model-model kualitas dominan yang kita hayati sangat mempengaruhi cara hidup, pola pikir serta tutur kata kita. 3] Dari pengalaman orang Manggarai akan kehadiran Allah yang hidup dan terlibat dalam kenyataan historis, aktual dan masa depan, kita menemukan suatu keyakinan bahwa keharmonisan hidup merupakan pilihan yang tak terelakkan. Muncul pertanyaan: Ketika situasi menjadi disharmonis karena ke-chaos-an, mampukah kita, sebagai orang yang percaya bahwa Allah hidup dan terlibat dalam diri kita, menjadi pribadi yang memberikan keyakinan bahwa Ia sungguh ada dalam diri kita?<br /><br />6.2. Peran Mediasi Insan Beriman di Tengah Dunia: Ata Pecing [Penafsir] versus para Pengikut Kharisma Karmel.<br /><br />Orang Kristen adalah murid Kristus, yang telah dipilih dan kemudian diutusNya ke tengah dunia. Kita menjadi seperti Petrus, mengantarai Kerajaan Surga dengan dunia. Dalam kepercayaan agama primal Manggarai, “Ata Pecing” memiliki peran sangat penting. Merekalah yang menyampaikan kehendak Mori Keraeng kepada anak-anakNya. Dalam diri mereka ada kekuatan yang diasalkan pada kekuatan Mori Keraeng. Mereka memiliki kemampuan untuk menyembuhkan, memohon sesuatu untuk masyarakat adak-komunal, menjadi mediator bila terjadi kesalahan publik masyakat adak. Dia menjadi perantara antara Mori agu Ngaran, Jari Dedek. Masyarakat yakin akan kemampuannya yang diperoleh karena relasi khusus dengan Yang Ilahi.<br />Orang Kristen beriman kepada Allah. Iman itu memungkinkan dia disebut mahkluk rohani (kaum religius). Kata “religius” mengandung makna kedekatan dengan Allah. Imam, Bruder, Frater, Suster dan awam adalah “orang-nya Allah”[man of God, ata de Morin], “dekat dengan Allah” [ruis agu Morin] dan bahkan “Alter Christi”. Benarkah orang Kristen sudah hidup seperti itu? <br />Membaca Berita Karmel, saya terkesan dengan tulisan Rm. Krisna Aji O.Carm yang memberikan catatan tanggapan atas Pertemuan Karmelit Muda. Rm. Krisna kira-kira menulis begini: <br />Saya ingin bertanya kepada Anda, kita semua. Apakah yang saudara usulkan sebagai usulan brilian, misalnya: tentang hidup doa, ini merupakan usulan yang masih angan-angan atau usulan yang memang Saudara hidupi? Keduanya membawa hasil, akibat yang berbeda. Kalau usulan saudara masih terbatas pada angan-angan; saya ingin seorang Karmelit itu dalam hidup doa begini dan bukan begitu, maka kalau usulan saudara dijadikan keputusan dalam Kapitel, berlaku untuk semua, tidak akan jalan. Begitu diputuskan kita semua bingung. Berbeda kalau usulan brilian Saudara berasal dari hidup saudara-saudara maka bila diumumkan langsung ditanggapi. Mengapa? Karena hidup doa merupakan hidupnya. Melakukan dengan lebih mantap apa yang sudah dilakukan, dihidupi…hidup doa kita jadikan hidup sehari-hari…dalam hidup persaudaraan melatih untuk menjadikan hidup Yesus Kristus sendiri sebagai hidup kita. Mencintai dalam wujud mengampuni….melatih diri menjadi miskin. Kalau minus-mata bertambah, berani hanya mengganti lensanya saja, frame-nya tetap…. <br />Sebagai insan beriman, hidup kita adalah keseharian dalam usaha mencari Allah dan upaya ditemukan Allah. Dari perjalanan sejarah Ordo Karmel kita melihat perjalanan panjang pergumulan itu. Konstitusi menulis, “…kontemplasi juga mempunyai nilai injili dan gerejawi. Praksisnya bukan hanya sumber hidup rohani kita, melainkan juga menentukan mutu hidup persaudaraan dan pelayanan kita di tengah umat Allah”. Hal ini berarti bahwa kontemplasi harus mempunyai buah, yakni cinta kasih dalam pelayanan dan hidup bersaudara dengan sesama manusia. Hidup yang telah ditransfomasikan kepada cara hidup Yesus sendiri adalah inti dari peziarahan kita insan beriman.<br />Pertanyaan untuk kita: 1] Sejauh mana kita telah menampakkan sikap transformatif itu dalam hidup pelayanan kita, sehingga orang-umat Allah sungguh yakin bahwa kita adalah mediator, orang dekat Allah, murid Kristus? 2] Dalam kenyataan dunia yang penuh kegelisahan ini, mampukah kita hadir sebagai “pengantara” yang memberikan jalan keluar terbaik bagi persoalan yang ada seturut kompetensi kita sebagai kaum religius? <br /><br />7. Penutup<br />Hingga saat ini kita dijejali dengan konsep Wujud Tertinggi orang Manggarai yang memandang Mori Keraeng sebagai Wujud Tertinggi yang sungguh hidup, ada dan terlibat dalam keseharian hidup mereka. Dalam ‘imbi’ itulah mereka hidup dan berjalan mencapai persatuan denganNya.<br />Pada bagian kedua, saya coba menarik “benang merah” sebagai usaha mencari keterkaitan antara spiritualitas Kristen, khususnya Kharisma Karmel dan Wujud Tertinggi. Persatuan dengan Allah dalam Kontemplasi yang bermuara dalam kehidupan real [praksis] adalah buah terindah dari hidup yang telah ditransformasikan ke dalam hidup Allah sendiri.***<br /><br /><br /><br />REFERENSI<br /><br />BUKU-BUKU:<br /><br />Kirchberger. Georg, Allah: Pengalaman dan Refleksi dalam Tradisi <br />Kristen. Maumere: LPBAJ, 2000<br />Eliade. Mircea, Patterns in Comparative Religion. London-New <br />York, 1958. <br />_________, The Sacret and the Profane. New York, 1961<br />_________, Myths, Dreams and Misteries: The encounter between <br />contemporary faiths and archaic realities. New York, 1967.<br />_________, Myth and Reality. London: George Allen & Unwin LTD,<br />1964.<br />_________, Images and Symbols, Studies in Religious Symbolism.<br />New York: A Search Book, Sheed & Ward, 1969. <br />_________, The Two and The One. London: Harvill Press, 1965.<br />Distar. Nico Syukur, Pengalaman Dan Motivasi Beragama [Jakarta: <br />Lapennas, 1982<br />Hemo. Dorotheus, Ungkapan Bahasa Daerah Manggarai Provinsi <br />NTT [Ruteng: 1990.<br />Toda. Damian N., Manggarai Mencari Pencerahan Histriografi. <br />Ende: Nusa Indah, 1999. <br />Verheijen. A. Jilis, Manggarai Dan Wujud Tertinggi [Jakarta: LIPI-<br />Uthctrect-RUL, 1990<br />Yassin. H.B., Chairul Anwar Pelopor Angkatan 45. Jakarta: Gunung <br />Agung, 1985<br /><br /><br />ARTIKEL DAN MANUSKRIP:<br /><br />Decky. Teobald kanisius, “Konsep Tentang Wujud Tertinggi Pada <br />Suku Manggarai Dan Teori Kulturkreiselehre Menurut <br />Wilhelm Schmith”, Kuliah Antropologi Budaya. STFK <br />Ledalero, 1998<br />____________“Sejenak di Padang Gurun” dalai: Berita Karmel, No. <br />November , 1998.<br />Ivan Haryanto, et. al., “Agama Asli Manggarai”, sebuah studi yang <br />dipresentasikan dalam: Kuliah Perbandingan Agama, di <br />Ledalero 25 November 2003<br />Hubert Leteng, Pr, “Percikan Kristiani Dalam Doa-doa Asli <br />Manggarai”, Skripsi [STFK Ledalero, 1985<br />Krisna O.Carm, “Menggelitiki Karmelit Muda” dalam: Berita <br />Karmel, No. 259-Juli 1999<br />Stark dan Glock, “Dimension of Religious Commitment”, dalam: <br />Roland Roberson [ed.], Sociology of Religion. Baltimore: <br />Penguin Books, 1971.<br />Buku Nyanyian Dere Serani. Sekpas Keuskupan Ruteng, 1980<br /><br /><br /><br />***<br /><br /></span>LEMBAGA PENDIDIKAN DAN KAJIAN DEMOKRASIhttp://www.blogger.com/profile/09261201344588543137noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7244928221306403263.post-57161662306179683812010-03-18T01:26:00.000-07:002010-03-18T01:29:56.719-07:00Pertobatan Metodelogi dan Konteks TeologiIn Memoriam Pater Dr. Yoseph Suban Hayon, SVD<br /><br />(Fragmen Kenangan seorang Murid)<br /><br />Kanisius Teobaldus Deki, M.Th<br /><br />Seorang lelaki paruh bayah memasuki ruang kuliah di musim kering tahun 1999. Wajahnya menampakkan kecerahan dan ketenangan. Di tangannya sebuah buku dipegang erat. Stelan baju batik berlengan pendek dengan pilihan warna yang tidak mencolok mata merupakan busana keseharian yang sering dipakainya. Dengan ayunan langkah pelan dan pasti ia memasuki kelas. Melalui senyumannya yang khas, ia mengajak mahasiswa untuk berdoa sebelum kuliah dimulai. Ya, begitulah setiap kali. Entah ketika menjadi pengasuh kuliah Teologi Asia, Kristologi Lokal di program Strata Satu (S1), maupun Teologi Kontekstual dan Teologi Feminis di Strata Dua (S2), kuliahnya selalu menimbulkan decak kagum dan senantiasa diminati mahasiswa Filsafat-Teologi. <br />Bahasa racikannya sedap di dengar, aras pemikirannya mudah dicerna serta tirisan refleksinya menukik sehingga membuat para calon filsuf dan teolog terkesima dibuatnya. Itulah sebabnya, banyak mahasiswa, termasuk penulis, berburu pengetahuan serta berguru pengalaman padanya, entah sebagai pengajar maupun pembimbing tugas akhir, baik di medan skripsi maupun thesis. Lelaki paruh bayah itu adalah Dr. Yoseph Suban, yang lebih akrab disapa Pater Yoseph. Beliau adalah dosen Teologi, guru spiritual dan Direktur Program Pascasarjana di STFK Ledalero. <br /><br /><span class="fullpost"><br />Hari ini saya tersentak. Sebuah SMS memberi berita, P. Yoseph telah pergi untuk selamanya. Tanggal 1 Mei 2009, saya sempat mengirim sebuah SMS untuk beliau yang isinya sangat pribadi. Tetapi dua hari kemudian SMS itu kembali dengan keterangan: tak terkirim. Kontak langsung terakhir dengan almarhum terjadi ketika beliau bersedia memberikan rekomendasi pada saat saya membuat aplikasi beasiswa program doktorat ke USA yang dibiayai Ford Foundation. Tak disangka, penulis puisi dan pencinta sastra ini telah berpulang ke rumah Bapa pada hari Jumat, 8 Mei 2009 pukul 05.45 di RS St. Elisabet Bekasi.<br />Tulisan ini saya buat lebih untuk mengenang beliau. Sebuah coretan yang menurut saya penting untuk dihiraukan yakni tentang Teologi yang berpulang pada konteks. Hal mana menjadi main stream seluruh hidupnya dalam berteologi.<br /><br />Pertobatan Metodologi dalam Teologi<br />Tahun 1998 Pater Yoseph menyelesaikan disertasinya di Universitas Gregoriana Roma. Beliau menggagas tema Kristologi dalam kenyataan Asia dengan judul usungan: Doing Christology in the Present Asian Reality: Between Inculturation, Liberation, and Ecumenicity. Pertemuannya dengan Aloysius Pieris dan M.M.Thomas menghasilkan tilikan tentang tiga tema penting yang perlu dihiraukan dalam membangun konstruksi teologi di Asia yakni inkulturasi, pembebasan dan ekumenisme. Temuan ini menghasilkan kesadaran yang lebih jauh tentang perlunya sebuah pertobatan metodelogis dalam berteologi.<br />Sungguh disadarinya bahwa diskursus teologi yang terbangun di Negara-negara berkembang memiliki kecenderungan orientasi Barat. Karena itu dibutuhkan suatu pembaharuan dalam berteologi setelah melakukan evaluasi, kritisisme dan konfrontasi-oposisi bukan saja dalam metodelogi melainkan lebih pada orientasi yang mau ditujui. Itulah sebabnya, teologi dan upaya berteologi di Negara-negara dunia ketiga (yang miskin dan terjajah) menekankan dua aspek penting. Pertama, penekanan pada orientasi teologi yang dibuat untuk melayani umat-masyarakat, teologi yang bergerak melampaui komunitas Kristen, melayani kehidupan dan kepenuhan manusiawi. Kedua, penekanan pada karakter sejarah teologi dunia ketiga yang mempunyai dimensi evolutif dan historis dalamnya ada sejarah pembebasan. Terdapat kontinuitas dalam diskontunuitas, universalitas pada personalitas dan generalitas setiap singularitas. <br />Berhadapan dengan realitas kemiskinan yang menindas, perlu pembaharuan dalam cara berteologi yang didominasi diskursus ilmiah dan terlanjur lupa aspek spiritualitas Kristen yang berorientasi keterlibatan untuk mencari wajah Allah secara baru dalam pengalaman konkret. Titik pijaknya adalah sikap para Nabi dan Yesus yang menjalankan diakonia seimbang dengan liturgia. Atau menurut bahasa Aloysius Pieris, bertolak dari ruang kelas menuju dapur. Dari sebatas diskusi formal-ilmiah ke medan pergulatan tindakan dan perbuatan nyata.<br />Kenyataannya manusia telah dipengaruhi oleh spirit kapitalisme-individualisme yang justru bertentangan dengan misi Yesus dan semangat kekristenan. Maka untuk sebuah perubahan dalam cara berteologi dibutuhkan suatu sikap pertobatan personal yang menjadi elemen kunci untuk melakukan transformasi sosial. Itu berarti menjadi imperatif munculnya spiritulitas yang berkutat dalam perjuangan mendapatkan keadilan, pembebasan, damai dan rekonsiliasi. Konsekuensi logisnya, lahirlah Combative Theology (Teologi Pertarungan) dalam konteks perjuangan rakyat untuk memperoleh liberasi, bertarung melawan dewa-dewi dengan suatu titik mulai baru: berhala dalam diri harus dikalahkan untuk melawan berhala dari luar. Pater Yoseph menulis: “Kita diminta untuk melawan struktur kejahatan yang sama. Musuh-musuh kita yang sudah berbuat jahat dapat menyadarkan kita sejauh mana struktur kejahatan itu sudah juga merasuki kita. Kita mesti melawan yang gelap dalam diri kita tetapi dengan semakin teguh berpegang pada si Pembawa Terang. Kita mesti berjuang melawan yang jahat yang ada dalam diri kita, tetapi hanya kalau kita semakin melekatkan diri pada Yang Baik. Dan dengan melawan yang gelap dan jahat di dalam diri kita, mata kita jadi jernih untuk bisa membaca yang gelap dan jahat di sekitar kita, dan batin kita menjadi berani untuk merubahnya. Merubah struktur yang jahat bisa berarti merubah musuh-musuh kita yang sudah berbuat jahat menjadi baik. Kita diminta untuk melawan struktur kejahatan yang sama. Musuh-musuh kita yang sudah berbuat jahat dapat menyadarkan kita sejauh mana struktur kejahatan itu sudah juga merasuki kita. Kita mesti melawan yang gelap dalam diri kita tetapi dengan semakin teguh berpegang pada si Pembawa Terang. Kita mesti berjuang melawan yang jahat yang ada dalam diri kita, tetapi hanya kalau kita semakin melekatkan diri pada Yang Baik. Dan dengan melawan yang gelap dan jahat di dalam diri kita, mata kita jadi jernih untuk bisa membaca yang gelap dan jahat di sekitar kita, dan batin kita menjadi berani untuk merubahnya. Merubah struktur yang jahat bisa berarti merubah musuh-musuh kita yang sudah berbuat jahat menjadi baik.” (Deki, 2008:335-336).<br />Mammon dan kekuasannya adalah musuh Allah yang harus dikalahkan dengan tiga cara. Pertama, Jalan permandian. Di sungai Yordan Yesus berpegang teguh pada BapaNya. Renunsiasi atas mammon berarti memaklumkan kembali Allah sebagai penguasa atas dunia. Di bukit Kalvari terdapat denunsiasi terhadap mammon suatu tindakan berhadapan melawan serta ”anggap sepi” atas segala bentuk kekuasaan imitasi yang amis dengan kekerasan dan penindasan. Kedua, Upaya dan perjuangan eskatologis yang dilakukan ialah terus berjuang walau mengetahui resiko terhadap ”anti kerajaan Allah”. Sikap kecewa karena perjuangan menuntut kebenaran belum membuahkan hasil adalah godaan paling besar. Ketiga, Teologi dunia berkembang berciri eklesial karena gereja seluruhnya eklesiatikal. Gereja lokal adalah instrumen Allah untuk pembebasan roh manusia dan untuk menunjukkan buah sulung Kerajaan Allah di tengah dunia. Gereja lokal mesti menjadi tanda keselamatan yang kelihatan dalam menghadapi masalah-masalah aktual umat-masyarakat. Karena itu, teologi dunia berkembang mesti berakar dalam gereja mereka, membuat teologi dari gereja mereka seturut kerinduan dan harapan umat Allah.<br /><br />Teologi Kontekstual dan Cara Hidup Menggereja di NTT<br />Istilah ”konteks” berasal dari bahasa Latin ”con-texere” yang berarti menenun atau menganyam. Teologi kontekstual bukanlah kebenaran abstrak yang tidak terpengaruh zamannya melainkan suatu kepirhatinan iman yang sedang mencari pemahaman di tengah pengalaman serta realitas politik, sosial dan religius. Kontekstualisasi teologi pada titik akhir mewajibkan orthopraxis (menghayati iman) mendahului ortodoxi (rumusan iman) dan penghayatan iman menjiwai perumusan iman (Prior, 2003:1,12). <br />Mengikuti alur gagasan itu, terdapat beberapa catatan fundamental-esensial yang menjadi epistemological break (pengretakan epistemologi) bagi teologi untuk hidup menggereja di NTT. Jika Gereja menyembah mammon (uang dan kuasa) maka sulitlah baginya untuk melaksanakan peran profetis terhadap yang kaya dan berkuasa. Malah ia menjadi kaki-tangan penguasa yang bercorak kapitalis dan kolonial. Maka Gereja akan tetap merasa aman dengan ”diakonia karitatif” dan bukan diakonia sosial, atau: pelayanan sosial dan bukan aksi sosial! Padahal Gereja memiliki dua tugas penting yang mesti dilaksanakan dalam masyarakat yaitu keimaman untuk menciptakan rekonsiliasi yang membebaskan dan pelayanan profetis untuk menciptakan konflik yang memurnikan.<br />Kalaupun Gereja mengidentikan diri dengan para korban, identifikasi diri bukanlah sebuah penerimaan pasif atas penderitaan melainkan transformasi yang memampukan lewat mana kekuatan-kekuatan kematian dan kejahatan dikalahkan berkat kebangkitan. Untuk merubah situasi ketidakadilan, seluruh situasi dianalisa secara teliti dengan menggunakan pendekatan sistemis dan langkah-langkah mesti diambil untuk mematahkan monopoli para penguasa dan untuk memberdayakan kaum lemah dengan menolong mereka menemukan martabat diri mereka.<br />Dalam memperjuangkan pembebasan kaum lemah di NTT, Gereja harus bekerja sama dengan kaum lemah. Yang mesti dibuat Gereja adalah melatih pemimpin-pemimpin untuk membentuk pelayanan yang sederhana dan kontinyu, melatih petugas-petugas sukarela untuk membentuk kembali inti kehidupan masyarakat dan merintis karya pelayanan di daerah-daerah yang sulit. Pada akhirnya, teologi Gereja NTT mesti memiliki komitmen ”siap untuk tersebar”, seperti komunitas gereja purba. Setiap kelompok membentuk satu nukleus persekutuan baru baru yang dinamakan komunitas ketetaanggaan. Hal mana membangun rasa kekitaan yang kian punah di NTT.<br />Minggu, 10 Mei 2009. Lautan manusia memenuhi bukit Ledalero untuk melepas-pergikan sang Teolog yang menyadarkan kita akan pentingnya kembali ke konteks, ke jati diri melalui sebuah pertobatan metodelogis untuk berani dibaptis kembali oleh Allah dalam situasi konkrit budaya, sosial politik, ekonomi dan religius. 10 tahun Pater Yoseph telah menunjukkan konsistensi antara ajaran dan aksinya. Pater Yoseph terima kasih dan selamat jalan...<br /><br />Penulis adalah mahasiswa Program Pascasarjana STFK Ledalero 2005. Kini Dosen Teologi STKIP St. Paulus Ruteng (phone: 0385 2424412/mobile: 0852 5335 5226/e-mail: kanisius_2009@yahoo.com).<br /> <br /><br /><br /></span>LEMBAGA PENDIDIKAN DAN KAJIAN DEMOKRASIhttp://www.blogger.com/profile/09261201344588543137noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7244928221306403263.post-88104320354844716412010-03-12T18:05:00.000-08:002010-03-12T18:07:17.380-08:00Prophete du sensKanisius Teobaldus Deki, M.Th<br />Pengajar STKIP St. Paulus, Direktur Lembaga Pendidikan & Kajian Demokrasi<br /><br />“Berita gembira! Telah terpilih uskup Ruteng yang baru Romo Dr. Hubert Leteng Pr.” Demikian sebuah short message service (SMS) masuk ke ponselku. Aku memperhatikan kalender dan jam dinding, hari itu, Sabtu 7 November 2009, pkl. 19.00. Spontan aku berkata “syukur Tuhan!” Beliau terpilih untuk menggantikan Mgr. Eduardus Sangsun, SVD yang meninggal dunia 13 Oktober 2008 lalu. Berita ini tentu sangat menggembirakan umat Katolik, khususnya di Keuskupan Ruteng karena adanya tahta lowong sejak 13 Oktober 2008. Penantian yang cukup lama ini disambut dengan kegembiraan yang penuh. Di setiap paroki diumumkan tentang terpilihnya Doktor Spiritualitas ini sebagai uskup Ruteng yang baru.<br /><br /><span class="fullpost"><br />Dalam rasa gembira yang meluap-luap, ingatanku berpulang pada hari-hari kuliah tahun 2004. Seorang laki-laki paro baya memasuki pelataran parkir STFK Ledalero. Dari lantai dua mata kami terus mengikuti langkahnya menuju tangga kampus. Langkah tegap yang disertai senyuman setiap kali berpapasan dengan mahasiswa. Tegap, berwibawa serta sederhana, adalah tampilan yang tak pernah alpa dari kepribadian seorang Hubert Leteng. Cara pikir, tutur kata dan sikap yang bersahaja adalah ekspresi kental yang menjadi cirinya. Begitulah, setiap kali kami disuguhi kuliah Spiritualitas Imamat. Ada diskusi hangat yang kontekstual. Tak kurang kepiawaiannya dalam menjawabi pertanyaan mahasiswa Pascasarjana. Lebih dari semua itu, pandangannya yang tetap teguh berhadapan dengan kecenderungan modernitas yang seolah terakui secara otomatis tanpa sikap kritis. <br />Seraya mengutip dokumen Pastores Dabo Vobes ia berulang menandaskan tentang fokus pelayanan para imam sebagai pihak yang dipanggil untuk hidup bersama dengan orang lain, bukan dalam keterpisahan, sebab esensi panggilan mereka, selain “ada” yang berasal dari Allah (man of God), juga sekaligus “ada” untuk sesama (man for others) dalam bingkai cinta kasih pastoral. Panggilan kepada cinta kasih pastoral memiliki dimensi sosial (social dimension) yang mau tidak mau harus berhadapan dengan sesama. Sebab, jikalau ia hadir hanya untuk dirinya, maka panggilannya menjadi nirmakna (meaningless). Dalam perjalanan pelayanannya di tengah masyarakat kampus dan Seminari Tinggi, Hubertus tidak hanya menjadi seorang tokoh spiritual tetapi juga imam-teolog yang menginterpretasi kehidupan secara kreatif. Dan kini, beliau menjadi gembala umat untuk keuskupan Ruteng!<br />Membaca konteks Manggarai Raya (Timur, Tengah & Timur) yang masih dililiti kemiskinan, pertanyaan yang perlu diajukan ialah praksis pastoral macam mana yang perlu dilakukan Uskup baru ini? Pertanyaan ini adalah sebuah stand point untuk menentukan kiblat pastoral di daerah yang mayoritas penduduknya adalah petani sederhana dan masih dibeliti persoalan kemiskinan. <br />Ada secuil kegalauan membaca peta yang terkuak secara inplisit dari persiapan tahbisan ini. Pertama, soal komposisi panitia tahbisan. Tak dapat disangkal, ketua umum dan ketua pelaksana adalah orang jajaran atas di lingkup Pemkab Manggarai. Pertanyaan yang muncul ialah: Apakah pemilihan ini tidak akan menjebak sang gembala ke rimba persekongkolan antara altar dan kuasa? STFK Ledalero juga mengingatkan hal ini sebagai sikap kritis yang harus dihiraukan. Kedua, soal tempat. Panitia sepakat untuk memilih Lapangan Motang Rua. Pertanyaan yang spontan menyeruak masuk ialah: Mengapa kita tidak memanfaatkan Katedral nan megah dengan pelatarannya yang luas? Lapangan ini berada di tengah kekuatan modal (toko-toko, pasar) dan kekuatan kuasa (kantor Pemkab). Kalau peristiwa mulia ini terjadi di Katedral, selain penegasan eksistensi, juga mengurangi biaya. Ini adalah perayaan umat-rakyat. Maka pesta dirayakan seadanya, namun sakral, serentak menghargai kemiskinan dan kepapaan umat-rakyat Manggarai. Dengan demikian, tak perlu menghambakan diri pada pemilik modal dan penguasa (donor sukarela di pentas jelang Pilkada) untuk meminta sesuap nasi di acara resepsi.<br />Ada dua jawaban yang bisa diberikan. Pertama, secara teologis, gereja harus keluar dari sikap eksklusivitasnya. Ia harus berada di lapangan dunia ini. Bahasa Injilnya, “menjadi garam dan terang dunia” (Mat 5:13-16). Bahwasannya, Allah hadir di mana saja Ia mau. Modal dan kuasapun, karenanya, bisa disakralkan. Ini maksud yang sangat positif. Kedua, bisa jadi mengisyaratkan bahwa Gereja sendiripun menyerahkan diri dikepung oleh kekuatan lain dan takluk-tunduk padanya seperti kenyataan yang dirasakan oleh umat Manggarai selama ini. Jika ini yang menjadi spirit, maka uskup baru sudah dibawa ke tempat pembantaian secara metodologis-sistematis-sadar sebelum memainkan jurus reksa pastoral yang profetik!<br />Menurut Paul Ricoeur (Borgias, 2009: vi), seorang teolog, pemimpin umat atau orang beriman harus bisa menjadi prophete du sens, nabi yang mewartakan atau menegaskan arti kehidupan. Seorang teolog-pemimpin umat adalah seorang yang berani mewartakan atau menegaskan arti kehidupan. Seorang teolog adalah seorang yang berani menggerakkan dirinya dalam alur triadik berteologi yakni going in, coming back dan going in between. Dengan membawa tradisi kristiani yang dianutnya, seorang teolog harus masuk ke dalam konteks (going in) untuk belajar dari konteks. Oleh pengalaman dalam going in, seorang teolog mesti juga berani untuk melakukan coming back (kembali ke tradisi Kristen) dan mengkonfrontir kenyataan konteks dengan tradisi Kristen. Buah dari sebuah coming back memungkinkan teolog-pemimpin umat untuk bergerak di antara (going in between), menjawab kenyataan-kenyataan konteks dengan tradisi Kristen yang relevan.<br />Mgr. Hubertus, dalam kesahajaannya adalah pribadi yang dekat dengan harapan Ricoeur. Dia adalah man of God serentak man for others dalam kesadaran sebagai ens sociale (mahkluk sosial) dan homo religiosus (mahkluk rohani). Bisa jadi ia sebagai yubilaris tak bisa berkata dan berkomentar tentang persiapan penahbisannya. Tapi kita, umat-teolog-rakyat Manggarai, diberi kesempatan yang sama untuk menjadi prophete du sens. Belajar dari konteks sejarah masa lalu untuk menegaskan diri sebagai nabi yang tetap independent dan memiliki otoritas dalam ajaran dan tindakan yang benar. Itu adalah hasil pertautan dari going in, coming back dan going in beetwen. Sebuah racikan untuk menemukan kembali jati diri gereja Manggarai dan visinya di tengah dunia yang sedang kalap dan rancu. Bahkan kalau itu harus berlawanan dengan pemilik modal dan penguasa.***<br /><br />(Dimuat di Suara Nuca Lale)<br /></span>LEMBAGA PENDIDIKAN DAN KAJIAN DEMOKRASIhttp://www.blogger.com/profile/09261201344588543137noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7244928221306403263.post-4147154220721131352010-03-10T18:59:00.000-08:002010-03-10T19:03:40.689-08:00HERMENEUTIKA PAUL RICOEURUpaya Distansiasi Teks dan Pembaca<br />Sebuah Diskursus Reflektif-Kritis<br /><br />Kanisius Teobald. Decky, S. Fil., M. Th.<br />Abstract: A moral-educational discourse has been confirmed as a hermeneutic discourse, and a human life is viewed as an act of hermeneutics. Hermeneutics is a movement in the philosophy of science, according to which the task of the human sciences is to elucidate the structure of the social institutions underlying behavior. It is the contemporary philosophy of science that started focusing on the subject particularly on linguistics. Language, therefore, is thought as an activity that enables people to indicate the fact and interpret its meaning in order to communicate to each other. The aim of linguistics, as one human and therefore ‘hermeneutic’ science, is to elucidate the rules of language, seen as rules that constitute such an institution or behavior. The aim of hermeneutics is to elucidate the fundamental meaning of human’s activity. Hermeneutics is nowadays considered important to discuss because life, the basic area of hermeneutics, is almost changeable anytime. This article will discuss the important of hermeneutics and describe how it works in human’s life. The focus is on the hermeneutics invented by Paul Ricoeur.<br /><br />Key-words: Hermeneutik, teks, interpretasi, distansiasi, makna.<br /><br /><span class="fullpost"><br /><br />1. Pengantar<br />Bagaimana sebuah teks diberi penilaian tatkala teks itu menimbulkan kekisruhan? Dapatkah kita membuat sebuah justifikasi atas peristiwa tertentu yang disajikan teks jika teks tersebut mempunyai tujuan tertentu yang khas, unik dan tersembunyi? Atas teks yang demikian, apa yang hendak dikatakan jika terbukti ia hanya memperkeruh suasana? Apa itu kebenaran yang disajikan teks, jika ternyata ia tidak memberikan kontribusi yang menciptakan keadilan? Bagaimana menafsir teks yang demikian? Itu sederetan pertanyaan yang muncul dalam benak banyak orang terhadap sebuah buku yang dinilai kontroversial dan penuh muatan politis karangan Mayjen (Purn) Kivlan Zen, Msi yang berjudul “Konflik dan Integrasi TNI AD”. Buku ini berisi beberapa peristiwa dan penilaian atasnya berdasarkan pengamatan dan pengalaman Kivlan Zen sebagai prajurit TNI AD. <br />Kesan yang kuat tercipta tatkala saya membaca informasi tentang buku ini ialah diungkapkannya secara agak tuntas dan lugas carut marut wajah TNI akibat kebijakan perwira tinggi TNI di zaman Orde Baru berkuasa hingga bola api Reformasi digulirkan. Muara akhir dari buku ini berkesimpulan bahwa sejak L.B. Moerdani berkuasa di kursi singga sana militer hingga Wiranto konflik berdarah yang terus terjadi di Tanah Air juga disebabkan oleh pergulatan politis para perwira tinggi untuk merebut kekuasaan atau paling kurang mendapat jatah remah-remah kekuasaan. Bahkan kasus yang agak aktual seperti kerusuhan Mei 1998 dan pembentukkan Pam Swakarsa [Pasukan Pengaman Swakarsa] yang mengamankan Sidang Istimewa MPR/DPR pada Mei 1998 berada dalam koridor yang sama. Terlibatnya Wiranto dalam pelbagai kasus berdarah menimbulkan persoalan politis, khususnya berdampak langsung pada usahanya untuk menjadi presiden RI untuk masa jabatan lima tahun ke depan. Ada sebuah pertanyaan yang tersembul keluar dari kenyataan ini: “Apa maksud Kivlan menulis sebuah buku yang justru menyudutkan Wiranto yang berada di tengah tekanan kelompok yang menolak calon presiden dari militer?”<br />Tentu terdapat banyak jawaban yang bisa diberikan, yang terlahir dari usaha hermeneutis ketika orang membuat suatu penafsiran atas teks tertentu. Tulisan ini mengedepankan hermeneutika Paul Ricoeur, seorang filsuf Prancis dan tidak bermaksud menjelaskan kasus yang diungkapkan di atas secara langsung. Ia hanya dipakai sebagai pengantar untuk memperlihatkan betapa penting sebuah penafsiran ketika kenyataan membutuhkan jawaban yang jelas dan tuntas. Tulisan ini dibagi dalam lima bagian: Pengantar, Siapakah Paul Ricoeur, Pemikiran Hermeneutis Paul Ricoeur, Catatan Reflektif-Kritis dan Kesimpulan.<br /><br /><br />2. Siapakah Paul Ricoeur <br />2.1. Riwayat Hidupnya<br />Paul Ricoeur dilahirkan di Valance, Prancis Selatan, tahun 1913 dan menjadi yatim piatu dua tahun kemudian. Ia berasal dari keluarga Kristen Protestan yang saleh dan dianggap sebagai seorang cendekiawan Protestan yang terkemuka di Prancis. Ia dibesarkan di Rennes. Di Lycee untuk pertama kalinya ia berkenalan dengan filsafat melalui R. Dalbiez, seorang filsuf berhaluan thomistis yang terkenal karena dialah salah seorang Kristen pertama yang mengadakan studi besar tentang psikoanalisa Freud [1936]. Ia memperoleh licence de philosophie pada tahun 1933, lalu mendaftarkan diri di universitas Sorbone Paris guna mempersiapkan diri untuk agregation de philosophie yang diperolehnya tahun 1935. Di Paris ia berkenalan dengan Gabriel Marcel yang akan mempengarugi pemikirannya secara mendalam. Ia pernah mengikuti wajib militer [1937-1939] dan bekerja di dinas militer Prancis hingga ditahan di Jerman sampai perang berakhir [1945]. Usai perang ia bekerja sebagai dosen pada College Cevenol. Tahun 1948 ia menggantikan Jean Hypolite sebagai Profesor Filsafat di Universitas Strasbourg. Tahun 1950 ia meraih gelar docteur es letteres.<br />Sejak tahun 1966 ia bekerja pada Universitas Sorbone yang mengembangkan sayapnya di Nanterre. Di sana ia mendukung harapan mahasiswa untuk membuat pembaharuan radikal terhadap sistem universiter dengan segala aspeknya, sambil tentu tidak menghalalkan segala cara kekerasan. Di tengah kerusuhan di Nantere, profesor Sastra mengundurkan diri dan Ricoeur dibujuk untuk menjadi penggantinya, meskipun ia bertahan hanya setahun [Maret 1969-Maret 1970]. Ketika kerusuhan mengarah ke tindak kekerasan ia mengalami sakit jantung dan meminta untuk mundur dari jabatan itu. Sejak saat itu itu ia mengajar sebagai profesor tamu di Universitas Leuven, Belgia dan sejak tahun 1973 mengajar lagi di Nanterre [sekarang disebut Universitas Paris X]. Ia kemudian menjadi direktur pada Centre d’etudes phenomenologiques et hermeneutiques-Pusat Studi Fenomenologi dan Hermeneutika. Ia kemudian menaruh perhatian pada masalah filsafat bahasa dan hermeneutika. <br /><br />2.2. Karya-Karyanya<br />Pada waktu mobilisasi ia masuk lagi ketentaraan Prancis dan dijadikan tahanan perang sampai akhir perang [1945] bersama sahabat sesama tahanan ia menulis buku Karl Jasper et la philosophie de l’existence - Karl Jasper dan Filsafat Eksistensi [1947] dan pada tahun yang sama diterbitkan bukunya Gabriel Marcel et Karl Jaspers - Gabriel Marcel dan Karl Jaspers, sebuah studi tentang perbandingan antara dua tokoh eksistensialisme yang menarik banyak perhatian waktu itu. Ia lalu menulis Philosophie de la volonte-Filsafat Kehendak yang diberi anak judul Le volontaire et l’involonaire-Yang Dikehendaki dan Yang Tidak Dikehendaki [1950]. Atas berbagai usaha dan pemikirannya dalam bidang teologi, ia diberi anugerah doktor teologi honoris causa oleh Universitas Nijmegen, Belanda [1968]. Ia juga menulis di majalah Esprit dan majalah Christianisme social dan beberapa karangan tentang masalah sosial politiknya dikumpulkan dalam buku Historie et verite-Sejarah dan Kebenaran [1955, yang diperluas tahun 1964]. Pada tahun 1960 ia mempublikasikan jilid II dari Philosophie de la volonte- dengan anak judul Finitude et culpabilitye - Keberhinggaan dan kebersalahan. Ceramah - ceramahnya yang ia berikan di Yale University [AS, 1961], Universitas Leuven [Belgia, 1961], dikembangkan menjadi karya besar De l’interpretation. Essai sur Freud [1965]. Pada tahun 1975, ia menulis sebuah buku tebal yang membawa delapan studi tentang metafora dengan judul La metaphora vive - Metafora yang hidup.<br /><br />3. Pemikiran Hermeneutis Paul Ricoeur<br />3.1. Latar Belakang Pemikiran Tentang Hermeneutik<br />Setiap kali kita berusaha untuk memahami pemikiran filsafat Ricoeur, terdapat perspektif filsafat yang beralih dari analisis eksistensial menuju analitis eidetik [pengamatan yang demikian mendetail], fenomenologis, historis, hermeneutis dan bermuara pada semantic]. Meskipun ada begitu banyak perubahan, satu kenyataan yang sulit dipungkiri ialah bahwa keseluruhan filsafat Ricoeur pada akhirnya terarah kepada hermeneutik, khususnya interpretasi. Ia menegaskan hal itu dengan mengatakan bahwa pada dasarnya keseluruhan filsafat itu adalah interpretasi atas interpretasi. Sambil mengutip Nietzche ia memperluas pandangannya dengan mengatakan bahwa hidup itu sendiri adalah interpretasi. Bila pada akhirnya terdapat kejamakan makna, maka di situ interpretasi dibutuhkan. Apalagi kalau simbol-simbol dilibatkan, interpretasi menjadi tak terelakkan, sebab makna memiliki pluralitas lapisan. Ia mengatakan juga bahwa filsafat pada dasarnya adalah sebuah hermeneutik yakni kupasan tentang makna yang tersembunyi dalam teks yang kelihatan mengandung makna. Setiap interpretasi adalah usaha untuk memperlihatkan makna-makna yang masih terselubung atau usaha menyingkapkan makna yang terkandung dalam kesusastraan. <br />Di sini peran bahasa, khususnya kata-kata sebagai simbol mendapat arti yang sangat penting dalam usaha penyingkapan makna itu. Hermeneutik lalu menjadi sebuah sistem [tata bahasa] dan diskursus [sintaksis] dalamnya usaha mengais makna adalah aktivitas yang melibatkan teks: entah tertulis maupun kehidupan manusia itu sendiri. Sebab bagi Ricoeur, hermeneutika bertujuan menghilangkan misteri yang terdapat dalam simbol dengan cara membuka selubung daya-daya yang belum diketahui dan tersembunyi dalam simbol-simbol tersebut. Dan makna bagi Ricoeur mempunyai dimensi dasar yang ganda: dimensi objektif, yakni apa yang dimaksudkan oleh kalimat, dan dimensi subjektif, yakni apa yang dimaksudkan oleh pembicara atau penulis. <br /><br />3.2. Usaha Hermeneutis: Distansiasi Teks dan Pembaca<br />Dalam pembahasannya Ricoeur menaruh perhatian kepada teks sebagai sebuah inskripsi dari aktivitas diskursus. Alasannya adalah untuk mengembangkan sebuah pandangan filosofis yang tepat agar orang dapat menggunakan naskah-naskah peninggalan peradaban secara maksimal. Meskipun ada keraguan tentang teks tertulis yang muncul dari pemikir-pemikir besar seperti Plato, Rosseau dan Bergson, Ricoeur mengarahkan perhatiannya pada teks tertulis bukan karena teks dianggapnya sebagai satu-satunya bentuk komunikasi yang benar, melainkan karena kemungkinan yang ada pada teks untuk dipakai sebagai sarana pendidikan yang terus-menerus, sebagai bentuk dokumentasi.<br />Menurut Ricoeur, teks adalah diskursus tertulis, atau penulisan sebuah karya dalam diskursus. Teks adalah satu mata rantai pada komunikasi. Pada mulanya ada pengalaman eksistensial yang dibuat. Pengalaman ini ditransformasikan ke dalam bahasa, yakni diskursus. Terdapat dua bentuk diskursus, yakni lisan dan tertulis. Teks dihidupkan melalui berbagai pembicaraan. Membaca dan menceritakan kembali adalah cara-cara untuk menghidupkan kembali sebuah teks. Jika kita mengatakan bahwa teks adalah sebuah aktivitas, maka sebenarnya kita mau mengatakan bahwa sebuah teks adalah satu totalitas yang tidak dapat dikembalikan kepada kalimat-kalimat yang membentuknya.<br />Sebuah teks sebenarnya berbicara tentang dunia, bukan tentang lingkungan sekitar dari penulis. Dunia yang menjadi referensi ada di depan teks, dan bukan di belakang teks. Karena itu, Ricoeur menganjurkan kepada setiap pembaca untuk mengarahkan perhatian kepada sesuatu di depan teks. Maksudnya: setiap pembaca mesti membiarkan dirinya untuk dibawa oleh teks ke depan. Teks membuka pikiran dan perasaan pembaca untuk sesuatu yang ada di depan. Dunia diproyeksikan dalam teks. Apa yang terungkap dalam teks adalah satu percikan dari dunia tersebut.<br />Makna teks ada di depan teks, bukan di balik teks. Makna teks bukanlah sesuatu yang tersembunyi, tetapi sesuatu yang terbuka, terungkap. Pemahaman teks tidak banyak dipengaruhi oleh pengarang dan situasinya. Pemahaman berarti usaha mencari dan mendalami arti dunia sebagaimana terungkap dalam teks. Dengan kata lain, memahami sebuah teks berarti mengikuti gerak dari arti kepada referensi. <br />Memahami teks tidak berarti mengulangi peristiwa pembicaraan dalam satu peristiwa serupa. Memahami adalah upaya untuk menghasilkan sebuah peristiwa baru berdasarkan tujuan yang telah disampaikan dalam tulisan itu sendiri. Bagi Ricoeur, segala sesuatu yang ada sekarang bersifat fragmentaris, tidak pernah mengungkapkan kebenaran secara menyeluruh. Dunia yang sebenarnya ada di depan kita. Tujuan yang paripurna tidak pernah dapat kita capai di dalam kondisi manusiawi kita. Dengan ini Ricoeur menanamkan sebuah harapan dan mendobrak setiap pintu ideologisasi.<br />Proses penafsiran bermula dengan penerkaan. Kita menerka makna sebuah teks sebelum kita memahaminya secara mendalam. Kita menerka berdasarkan kondisi subyektif kita. Ricoeur menerapkan kerangka berpikirnya tentang teks pada sebuah tindakan. Tindakan manusia itu serupa teks yang ada di depan seorang pembaca yang membutuhkan penafsiran.<br />Ricoeur merangkai kekhasan ini dalam pengertian distansiasi. Terdapat empat jenis distansiasi dari sebuah teks, yakni: Pertama, distansiasi dari peristiwa mana sesuatu itu ditulis oleh makna tentangnya sesuatu itu ditulis. Yang terungkap di dalam sebuah tulisan adalah makna, bukannya suasana. Kedua, distansiasi antara apa yang tertulis dengan penulisnya. Sebuah teks akan segera terlepas dari penulisnya. Teks dibaca untuk orang lain. Ketiga, distansiasi dari pembaca awal. Di dalam sebuah pembicaraan pendengar adalah kelompok tertentu. Apa yang dibicarakan kemudian diteruskan kepada pihak lain. Bisa jadi bahannya semakin meluas dan berkembang. Dan keempat, distansiasi dari referensi awal. Referensi awal adalah hal, kepadanya sebuah makna dirujuk atau tepatnya sesuatu, tentangnya sebuah tulisan berbicara. Distansiasi-distansiasi ini merupakan “jembatan” yang menghubungkan teks dan makna yang terkandung di dalamnya dengan pembaca yang ingin mengetahui makna itu.<br /><br />4. Catatan Reflektif-Kritis atas Hermeneutika Ricoeur<br /><br />4.1. Posisi “Teks Aktual” dan Interpretasi Atasnya<br />Harus diakui bahwa pemikiran Ricoeur tentang teks dan usaha distansiasi demi suatu pembacaan kembali untuk menggapai makna yang terkandung di dalamnya sangat penting. Dari Ricoeur kita menjadi sadar bahwa sebuah teks akan selalu aktual bila kita berusaha untuk membuat sebuah tafsiran kreatif yang mengindahkan jarak-jarak tertentu sehingga makna apa yang dihasilkan bukan hanya merupakan penemuan yang mewakili interese pribadi melainkan sungguh apa yang menjadi isi teks. <br />Hal tersebut di atas menjadi benar kalau seandainya teks itu berasal dari zaman lampau di mana yang menulis telah tiada karena dengan demikian kita tidak mempunyai referensi langsung lagi selain teks yang ada. Tetapi ketika kita diperhadapkan dengan teks aktual yang perlu ditafsir dan penulis yang menghasilkan teks itu masih ada, bukankah kita masih memiliki akses untuk menanyakan langsung apa yang telah disampaikannya lewat karya tulisnya [bila ada hal yang perlu diklarifikasi, misalnya]? Sebuah contoh aktual. Kivlan Zen menulis buku yang menurut banyak pihak merupakan “aksi buka-bukaan” tentang rahasia intern korps ABRI, khususnya keterlibatan Wiranto dalam kasus-kasus berdarah di negeri Indonesia ini. Buku itu [isi dengan maksud tertentu] di satu sisi, serta kehidupan manusia Indonesia [khususnya Wiranto dan para petinggi ABRI yang lain] di sisi lain adalah teks yang padanya kita akan membuat penafsiran untuk menemukan makna atau arti dari teks itu. Kisah-kisah yang tertera dalam teks [buku dan kehidupan manusia Indonesia pada saat itu, ruang lingkup buku itu] memberikan sebuah pembacaan atas situasi dan serentak penilaian atasnya. Penilaian Kivlan berdasarkan hasil pembacaannya adalah salah satu bentuk penafsiran atas satu teks yang mahaluas yang terbuka untuk bentuk penafsiran lainnya. Jika Kivlan memberikan interpretasinya, dan ada juga pihak lain yang membuat interpretasi atas teks [pihak Wiranto, misalnya], maka belum tentu penafsiran mereka akan sama karena terkait kepentingan tertentu sebagai “zits im leben” setiap penulisan.<br />Pertanyaannya, “bagaimana kita bisa menghasilkan sebuah interpretasi yang benar?” Ricoeur, sejauh yang saya tangkap tidak membicarakan tentang “teks aktual” [yang penulisnya atau penyaksi sejarahnya masih hidup] dalam hermeneutikanya. Karena itu peran seorang hermeneut sangat besar dalam arti kemandiriannya sangat ditantang. Tetapi berhadapan dengan teks yang penulisnya masih ada, satu-satunya jalan untuk mengetahui “kebenaran” yang terkandung dalam setiap teks yang hasil interpretasinya berbeda ialah membuat pengujian dan pembuktian langsung dengan menghadirkan bukti-bukti dan saksi-saksi yang akan mendukung setiap argumentasi yang benar. Jika ia sanggup membuat pembelaan atas apa yang ditulisnya maka ia menyajikan itu atas kebenaran [dalam arti sempit: fakta berdasarkan data]. Tanpa itu setiap teks yang dibuat dan interpretasi yang keluar adalah usaha untuk memenangkan kepentingan ideologis tertentu, hal mana yang ingin didobrak oleh Ricoeur. Jika hal itu yang terjadi maka pernyataan Ricoeur tentang aktivitas menafsir sebagai tindakkan yang bermakna eksistensial menjadi nirmakna. Padahal menurut saya, kebenaran dan usaha menafsir merupakan tuntutan hakikat manusia sebagai ens rationale untuk mengais makna atas teks [karya tulis dan kehidupan] yang mahaluas.<br /><br />4.2. Teks, Interpretasi dan Kaitan [maknanya] dengan Masa Depan<br />Dengan memberi tekanan bahwa teks berbicara tentang dunia, Ricoeur mengabaikan penulis dan situasi lingkungan dari penulis bersangkutan. Bagi Ricoeur, membaca sebuah teks berarti membiarkan diri kita dibawa oleh teks ke depan. Dengan itu, Ricoeur mengabaikan semua peristiwa yang melingkupi terbentuknya teks tersebut. Seorang penulis dalam tulisannya selalu memberi tekanan pada situasi yang dihadapinya. Dengan itu, penulis menghendaki agar setiap pembaca bisa mencermati situasi yang ada lewat tulisan tersebut. Benar bahwa setiap penulis dalam tulisannya memberi suatu visi ke depan buat pembaca, akan tetapi visi yang ditampilkan oleh penulis tersebut berangkat dari latar belakang tulisannya. Visi yang ditawarkan dalam tulisannya tidak terlepas dari apa yang penulis hadapi. Maksudnya, visi yang ada berpijak pada pengalaman penulis sendiri.<br />Dengan memberi tekanan pada sesuatu yang ada di depan teks, Ricoeur mengabaikan dan bahkan meniadakan makna yang ada dibalik teks tersebut. Padahal sebuah teks menyembunyikan sesuatu buat pembacanya. Ada makna yang tersembunyi di balik lahirnya teks. Lewat teks, penulis ingin mengungkapkan sesuatu yang terjadi dengan dirinya atau dengan lingkungan yang mengitarinya. Kita ambil contoh Kitab Suci. Untuk mengerti dan mengambil makna yang ditunjukan oleh sebuah teks Kitab Suci seseorang juga mesti mengenal latar belakang [sitz im leben] terbentuknya teks Kitab Suci tersebut. Jadi sebuah teks selain mengungkapkan suatu maksud bagi setiap pembaca, dia juga menyembunyikan suatu makna yang tersembunyi, atau tersirat.<br />Ricoeur mengatakan bahwa tindakan manusia serupa dengan teks. Dengan itu setiap tindakan manusia mesti diberi penafsiran. Sedangkan penafsiran bagi Ricoeur adalah sesuatu yang ada di depan. Tindakan manusia menunjukkan sesuatu makna ke depan. Pada hal tidak semua tindakan manusia memberi makna ke depan. Karena tindakan manusia juga terlahir dari situasi yang melingkupi batinnya. Jadi, tindakan seseorang tidak terlepas dari pengaruh lingkungan dan dirinya sendiri. Ada sesuatu yang tesembunyi di balik tindakan seseorang.<br /><br />4.3. Sumbangan Pemikiran Hermeneutis Ricoeur Bagi Refleksi Moral Masa Kini<br />Kita sudah bicara tentang hermeneutika Paul Ricoeur dalam konteks sebuah upaya distansiasi antara teks dan pembaca. Ricoeur menerapkan kerangka berpikirnya tentang teks pada sebuah tindakan. Yang membutuhkan interpretasi bukan hanya bahasa yang dibicarakan atau ditulis, tetapi juga tindakan manusia. Tindakan manusia itu serupa teks yang ada di depan seorang pembaca yang membutuhkan penafsiran. Pertanyaan yang perlu diajukan: “Apa hubungan hermeneutik Ricoeur dengan refleksi moral masa kini?” Saya berpikir bahwa hermeneutik berpengaruh luas dalam refleksi antropologis yang menandai dunia kultural kita dengan keterbukaan luas terhadap ilmu-ilmu budaya, namun tetap dalam usaha untuk membawa kembali kepadanya arti terdalam pada tingkat religius-edukatif. <br />Minat-minat eksistensial seringkali saling beradu dengan minat-minat antropologi dari yang dalam itu dan terbuka pada harapan-harapan religius. Dan justru dalam konteks budaya dan konteks hidup inilah refleksi hermeneutis Ricoeur penting. Manusia masa kini, dalam terang hermeneutik Ricoeur, sangat dibebani oleh pemikiran tentang kondisinya, yang terbuka terhadap setiap penelitian modern, namun tetap sadar akan batas-batas ilmu pengetahuan di hadapan tema-tema dasar tentang hidup: rasa sakit, rasa salah, keselamatan. <br />Ilmu pengetahuan modern bertumpu pada data-data objektif dan formal karenanya ia cenderung bersifat reduktif dan tertutup. Karena itu dibutuhkan penafsiran untuk mengatasi data-data itu dan menemukan arti terakhir dari data-data itu. Penafsiran mengatasi reduksi dan mengantar kepada kedalaman. Dalam lingkup moral-edukatif masa kini sumbangan hermeneutik sangat berarti. Prinsip-prinsip dan nilai-nilai umumnya tidak dipahami dalam sistem yang tertutup yang mengajukan satu model formal untuk ditiru, melainkan dicerap dalam refleksi atas data-data dalam terang tuntutan akan arti dan makna. <br />Wacana moral dengan ini memastikan diri sebagai wacana hermeneutis dan seluruh hidup dipahami sebagai satu aktivitas penafsiran. Itu merupakan pengungkapan perhatian utama filsafat masa kini dalam istilah-istilah moral-edukatif, yaitu perhatian terhadap bahasa. Bahasa adalah aktivitas yang memungkinkan kita melepaskan diri dari aliran fakta-fakta yang mengungkapkan dan mengkomunikasikannya, dalam arti menafsirkannya, dengan maksud untuk menemukan arti dan maknanya bagi hidup kita. Penafsiran bertujuan untuk menangkap arti terdalam dari tindakan etis manusia. Penafsiran ini penting untuk masa kini mengingat situasi konkret di mana hidup moral senantiasa berubah.<br />Satu sikap umum dari revisi radikal atas model-model tradisional membawa kepada penolakan di satu pihak dan kepada penafsiran yang selalu baru di pihak lain. Penegasan, penolakan, penafsiran menandai pelbagai intervensi dalam bidang moral yang ungkapkan kesadaran mendalam terhadap hidup masa kini. Kesadaran ini tidak univok, berdasarkan kenyataan dari sifat-sifat mencolok dalam pluralitas persoalan-persoalan etis yang dihadapi.<br />Kita membuat analisis atas situasi konkret dan bukan mengajukan proposisi-proposisi. Jika analisis itu menawarkan unsur tertentu untuk ditafsirkan berdasarkan prinsip “seharusnya ada”, maka dapat dikatakan bahwa kita bisa menangkap dalam konteks refleksi moral atau etis masa kini satu “perjuangan hidup untuk menemukan arti”.<br />Pemikiran sebagai penafsiran, yaitu pemikiran yang terlibat bertujuan untuk menangkap arti dan makna terdalam dari hidup manusia. Penafsiran ini berkaitan dengan penegasan arti hidup dengan menghadapkannya dengan arti transenden. Dalam perspektif itu pemikiran yang menafsirkan berpadu dengan tindakan penyaksian: penafsiran dan kesaksian merujuk pada suatu realitas yang sama, yaitu menampakkan arti terdalam makna dari hidup manusia.<br /><br />5. Kesimpulan<br />Paul Ricoeur menyajikan kepada kita suatu bentuk penafsiran yang kritis atas teks demi memahami makna apa yang terkandung di dalamnya. Usaha menyingkapkan makna itulah yang disebut sebagai proses menafsir. Supaya penafsiran kita memiliki hasil yang obyektif [meskipun melibatkan subyek sehingga ia juga bersifat subyektif] maka perlu ada distansiasi. Ricoeur sadar bahwa tidak setiap teks dengan sendirinya menyajikan sesuatu yang bermakna bagi para pembacanya. Juga sebuah teks tidak pernah bebas dari kepentingan-kepentingan tertentu, khususnya ideologi. Sejalan dengan Habermas yang menyatakan perlunya kritik terhadap ideologi, Ricoeur menerapkan hermeneutika kecurigaan. Ini adalah satu bentuk sikap kritis yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari hermeneutikanya.<br />Meskipun hermeneutika Ricoeur mempresentasikan kepada kita secara gamblang tentang upaya distansiasi sebagai jalan untuk membuat teks “berbicara” kepada pembaca secara bermakna, namun ia tidak menyinggung soal bagaimana membuat penafsiran atas “teks aktual” dan bagaimana menemukan makna terdalam atasnya khususnya ketika kebenaran yang disampaikan teks dipertanyakan. Karena itu, selain membuat penafsiran atas apa yang dinyatakan teks melalui tulisan, kita juga bisa terlibat dalam diskusi langsung dengan penulisnya untuk membuat klarifikasi atas hal itu jika memang diperlukan atau membutuhkan kejelasan. Karena itu, “teks aktual” selalu terbuka untuk interpretasi dan itulah sebabnya ia tidak pernah menjadi final.<br /><br /><br />Referensi:<br /><br />Bertens. Kees, Filsafat Barat Abad XX Jilid II Prancis. Jakarta: Gramedia, 1985.<br />Budi Kleden. Paulus, Hermeneutika Peran Interpretasi Dalam Penataan Sebuah Teologi <br />Kontekstual-Bahan Kuliah Hermenuetika. STFK Ledalero, 2002.<br />Ceunfin. Fransiskus, Etika Umum-Bahan Kuliah, STFK Ledalero, 2002.<br />Sumaryono. E., Hermeneutika Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1993.<br />Zen. Kivlan, Konflik dan Integrasi TNI AD, Jakarta: Institute for Policy Studies, 2004.<br />Majalah MingguanTempo, Edisi: 21-27 Juli 2004<br />Montefiore, Philosophy in France Today. Canbridge University Press, 1983.<br />Ricoeur. Paul, The Conflic of Interpretations. Evanston: Northwestern Univer. Press, 1970.<br /><br /><br /><br /><br /><br /></span>LEMBAGA PENDIDIKAN DAN KAJIAN DEMOKRASIhttp://www.blogger.com/profile/09261201344588543137noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7244928221306403263.post-18780347554250162562010-03-09T16:24:00.000-08:002010-03-09T16:29:25.602-08:00URGENSITAS MEDITASI BAGI IMAMKOTBAH <br />YANG MENGALIR<br />DARI KEDALAMAN BATIN<br /><br />Kanisius Teobaldus Deki <br />Theology Department-STKIP St. Paulus<br /><br />Abstract: <br />One of the fundamentally priest’s role is to become the preacher of the Good News, become a prophet of voicing out loud in the name of the God. The priest attends to set the human beings free from sin’s entanglement and to take them on toward salvation through the light of the Word. But the challenging problem is how to create a preaching with a right goal, how to create a preaching being solid in content, what is the best method in delivering it that people understand what is being preached. This writing intends to analyze a preaching that is valued unmerging people’s need in one hand and the need for arrangement as another by offering solution through meditation to fill the deep significance of the preaching.<br /><br /><br />Key-words: <br />Meditasi, Kotbah, Imam, Kedalaman batin.<br /><br /><br /><span class="fullpost"><br /><br />1. PENGANTAR: IMAM SEBAGAI PEWARTA SABDA<br /> Para Imam berdasarkan sakramen Tahbisan berpartisipasi dalam satu-satunya imamat Kristus, Kepala dan Gembala. Kristus adalah satu-satunya Imam, Nabi dan Raja. Identitas dan misi Yesus ini diteruskan atau dilanjutkan juga oleh para imam melalui tahbisan suci. Masih dalam alur maksud yang sama, Tuhan Yesus memanggil dan mengutus para rasulNya ke seluruh dunia. Yesus bersabda, “KepadaKu telah diberikan segala kuasa di surga dan di bumi. Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa muridKu dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarilah mereka melakukan segala segala sesuatu yang telah diperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah Aku menyertai kamu sampai kepada akhir zaman”( Mat 28:20). Sabda Yesus ini umumnya dilihat Gereja sebagai sebuah basis pemahaman untuk memberikan diri ke dalam pelayanan imamat yang pada akhirnya bermuara kepada keselamatan umat manusia seutuhnya.<br /> Dalam Dekrit tentang pelayanan dan kehidupan para Imam (Presbyterorum Ordinis) dijelaskan bahwa para imam, yang dipilih dari antara manusia dan ditetapkan bagi manusia dalam hubungan mereka dengan Allah, untuk mempersembahkan persembahan dan korban bagi dosa-dosa, bergaul dengan orang-orang lain bagaikan dengan saudara-saudari mereka. Karena itu fokus pelayanan para imam menjadi jelas yakni: mereka dipanggil untuk hidup bersama dengan orang lain, bukan dalam keterpisahan, sebab esensi panggilan mereka, selain “ada” yang berasal dari Allah (man of God), juga sekaligus “ada” untuk sesama (man for others) dalam bingkai cinta kasih pastoral. Panggilan kepada cinta kasih pastoral yang mereka memiliki dimensi sosial (social dimension) yang mau tidak mau harus berhadapan dengan sesama. Sebab, jikalau ia hadir hanya untuk dirinya maka panggilannya menjadi nirmakna (meaningless). <br /> Meskipun sudah jelas bahwa panggilannya diarahkan untuk keselamatan manusia, namun itu tidak berarti ia imun terhadap pelbagai tanggapan atas pelayanan yang ia berikan. Tulisan ini berbicara tentang urgensitas meditasi dalam kehidupan imam. Terdapat asumsi bahwa kehidupan imam dan pelayanannya mesti mengalir dari sebuah hati yang hening dan tenang, yang “senantiasa merenungkan hukum Tuhan, siang dan malam”. Pada bagian pertama, dipaparkan sekilas tentang panggilan menjadi imam, bagian kedua merupakan pengungkapkan “suara umat” yang terbanyak diambil dari mass media, bagian ketiga tentang urgensitas meditasi dalam pelayanan seorang Imam, bagian keempat kesimpulan dan penutup.<br /> <br />2. KOTBAH IMAM: JEJAK-JEJAK YANG DIBAYANGI KELUHAN <br />2.1. Penilaian Umat atas Kotbah Imam<br /> Kehidupan Imam tidak pernah sepi dari berbagai tanggapan: entah itu kritik, celaan maupun sanjungan dan puji-pujian. Cara menyampaikannya juga bermacam-macam: mulai dari gosip murahan pada saat bertemu, percakapan resmi dalam pertemuan pastoral sampai pada penyampaian lewat media massa. Kesadaran ini menyodorkan satu kenyataan bahwa imam dan kehidupannya selalu mendapat perhatian dari hampir semua pihak, khususnya umat Katolik. Secara positif dapat dikatakan bahwa dari fenomena ini dapat dilihat dimensi tanggung jawab etis umat dalam menghargai imamat dan memberikan tempat yang terhormat atasnya.<br /> Ada begitu banyak segi kehidupan dan pelayanan imam yang mendapat sorotan umat. Jika diurutkan jumlahnya sangat banyak. Hal berikut adalah tema yang sering mendapat sorotan umat, berkaitan dengan hidup dan perilaku Imam, gembala mereka yakni kotbah.<br /> Salah satu tugas imam yang paling penting ialah menjadi pembawa Kabar Gembira, menjadi nabi yang bersuara atas dan dalam nama Allah. Imam hadir untuk membebaskan manusia dari kungkungan dosa dan membawanya menuju keselamatan melalui terang Sabda. Tetapi yang menjadi kendala ialah bagaimana menghasilkan sebuah pewartaan yang tepat sasar, bagaimana menghasilkan sebuah kotbah yang berisi, bagaimana metode yang paling baik dalam menyampaikannya supaya umat memahami apa yang diwartakan. Persoalannya lebih kepada isi dan metode penyampaiannya. Dalam banyak kesempatan, umat mengatakan bahwa kotbah para Pastor sering tidak menjawabi kebutuhan real mereka, tidak sesuai konteks zaman. Belum lagi dikeluhkan tentang kotbah yang terlalu panjang, berbelit-belit dan tidak sistematis, menjemukan, tidak menarik, hanya mengulangi bacaan Injil , hanya membaca ulang kotbah yang sudah dibuat pada waktu yang lalu , dsb. <br /> Atas keluhan yang ada ini, terdapat berbagai tanggapan yang muncul sebagai reaksi, entah spontan maupun terencana. Ada umat tertentu yang mencari informasi tentang siapa yang memimpin perayaan Ekaristi di parokinya. Jika imam itu mempunyai kemampuan untuk membawakan kotbah yang menarik maka ia akan merayakan misa di parokinya. Jika yang memimpin adalah mereka yang diklasifikasikan dalam tipe “tak menarik” maka mereka akan pergi ke tempat lain: kapela stasi lain dalam paroki, kapela-kapela biara ataupun ke gereja paroki lain. Selain itu, ada umat yang malas ke Gereja dengan alasan bahwa kotbah imam hanya “yang itu-itu saja”, tidak ada perubahan metode dan balutan isinya tidak variatif. <br /> Efek dari kenyataan ini ialah lahirnya suatu perbandingan spontan antara imam yang satu dengan imam yang lain, hanya berdasarkan kotbah. Imam yang berhasil memikat hati umat dengan kotbah yang “menarik dan menawan” dianggap lebih baik daripada yang sebaliknya. Selain itu, kebanyakan imam-imam tua yang telah kendur semangatnya dalam berkotbah “dihindari” oleh umat, dalam arti tidak diharapkan untuk merayakan Ekaristi hari itu. Sedangkan imam-imam muda yang “prematur menjadi tua” yang berpenampilan seperti imam tua-tua dicemoohkan sebagai “yang tak memiliki semangat pelayanan, yang tidak kreatif, terlalu cepat menjadi kakek,” dsb.<br /> <br />2.2. Beberapa Catatan Kritis dari Umat atas Penilaian Umat<br /> Menyikapi berbagai kritikan yang berasal dari sebagian umat atas cara imam berkotbah, beberapa umat lain memberikan catatan kritis atas tanggapan-tanggapan itu. Pertama, Sambil mengutip Kanon 769: “hendaknya ajaran Kristiani disajikan dengan cara yang sesuai dengan keadaan para pendengar dan yang memadai kebutuhan-kebutuhan zaman”, Christ Widya Utomo berkomentar bahwa sangatlah penting untuk hirau terhadap konteks umat dan zaman yang sedang berkembang. Terhadap tema-tema tertentu, jika ada yang lebih berkompeten, khususnya awam, bisa juga diberikan kesempatan untuk berbicara. <br /> Kedua, tanggapan yang lebih tajam datang dari J. Soedjati Djiwandono. Menurut Soedjati sebagai umat, kaum awam perlu mawas diri. Hal pertama, apakah keluhan-keluhan serupa itu tidak menunjukkan bahwa kotbah bukanlah hal esensial atau inti perayaan Ekaristi, yang dapat berlangsung tanpa kotbah? Hal kedua, apakah selama ini kita menganggap kotbah di gereja selama perayaan Ekaristi sebagai satu-satunya sumber inspirasi spiritual atau rohani, pengetahuan, penguatan, dan pendalaman iman? Apakah kita kurang menyadari bahwa terdapat sumber-sumber dan cara-cara lain untuk itu semua, seperti belajar sendiri melalui baca (misalnya tentang ajaran sosial Gereja), refleksi, berpikir atau berdiskusi dengan orang lain? Hal ketiga, apakah kita termasuk orang awam yang cengeng, yang kurang mandiri, terlalu menggantungkan diri pada imam (di paroki), misalnya harus menghadirkan imam setiap kali kita melangsungkan berbagai macam rapat, diskusi, dsb., sehingga imam kita kekurangan waktu untuk belajar, termasuk sebagai bagian untuk mempersiapkan kotbah? Apakah kita menyadari bahwa seorang imam, sebagaimana orang-orang lain, perlu selalu belajar, menambah pengetahuan, memperdalam pemahaman tentang berbagai masalah, dan menambah berbagai macam keterampilan? Hal keempat, umat Katolik zaman sekarang sudah jauh lebih maju. Tetapi kemajuan itu tidak merata. Oleh sebab itu, apalagi dengan semakin tingginya mobilitas horisontal maupun vertikal dalam masyarakat, umat Katolik, terutama di kota-kota besar, semakin beragam dari segi sosial, ekonomi, maupun pendidikan. Sebab itu, tugas pelayanan seorang imam (khususnya di paroki) juga semakin berat, apalagi dengan semakin berkurangnya jumlah imam dibandingkan dengan jumlah umat. Bertambah beratnya tugas ini mencakup juga tugas berkotbah. Pada kelompok mana kotbah harus difokuskan? Suatu kotbah mungkin cocok bagi kelompok tertentu, tetapi belum tentu hal itu diterima secara sama oleh kelompok lain, karena alasan perbedaan latar belakang. Sebab itu kotbah yang “baik” atau yang “membosankan” dan “kurang menarik”, mungkin sekali tidak berlaku bagi semua umat. Sebagai solusi atas masalah itu, Soedjati menawarkan gagasannya supaya umat harus lebih berperan, “pro aktif” dalam membangun dan membina imannya. Citra lama seakan-akan imam itu selalu paling suci, pintar dan benar seharusnya tidak ada lagi. Dan Imam sendiri jangan sampai “termakan” atau bahkan secara tidak sadar ikut menciptakan mitos seperti itu.<br /> Ketiga, J.B. Komang dalam menanggapi “debat” seputar kotbah imam coba memberikan solusi alternatif dengan disediakannya tempat khusus untuk homili dalam mass media, misalnya Mingguan HDUP. Alasannya jelas, dengan adanya kolom yang demikian, umat bisa membaca homili tersebut untuk selanjutnya direnungkan dalam kehidupan real. Persoalan baru muncul: siapa orang yang berkompeten yang akan menangani kolom tersebut? Pemikiran ini sebenarnya bukanlah hal yang baru. Sudah sejak lama beberapa imam dari berbagai kongregasi dan keuskupan telah membaca peluang itu dan menulis buku tentang homili dan kotbah. Bahkan situs-situs kotbah di intenet juga semakin banyak disediakan dalam berbagai bahasa dan dengan mudah diakses. Atau juga renungan-renungan singkat yang diracik dengan gaya yang sederhana tetapi menawan, melalui buletin-buletin paroki atau yang ditawarkan oleh kelompok-kelompok studi. <br /> <br />2.3. Nilai yang bisa Dipetik<br /> Setiap kritikan umat terhadap perilaku imam dan bagaimana ia menghayati spiritualitas imamatnya, tentu didasarkan oleh rasa cinta dan sayang yang dibalut oleh kesadaran bahwa mereka juga memiliki tanggung jawab yang sama dalam membangun dan mengembangkan Gereja Kristus. Kritikan semacam itu mesti ditanggapi secara bijaksana, penuh kerendahan hati, seraya mengakui bahwa sebagai manusia, seorang imam juga mempunyai kelemahan kodrati. Kritikan umat tentang kotbah juga tak bisa dipandang sebagai tanda yang mengindikasikan bahwa kehadiran seorang imam ditolak oleh umatnya. Seorang imam pada gilirannya mesti memiliki pemikiran yang positif bahwa setiap kritikan itu berdaya konstruktif, dan membuat ia semakin berusaha, terlecut untuk membaca, merenungkan Sabda Tuhan dan membuat aplikasi praktis bagi umatnya.<br /> Kembali ke soal klasik tadi: bagaimana meracik sebuah kotbah yang “berisi” sekaligus disajikan dalam “metode” yang menarik? Ada banyak cara yang ditawarkan. Pada kesempatan ini, fokus perhatian kita hanya diarahkan kepada urgensitas meditasi bagi seorang imam, khususnya dalam mempersiapkan kotbah.<br /> <br />3. KOTBAH YANG MENGALIR DARI KEDALAMAN BATIN: ARTI PENTING MEDITASI DALAM KEHIDUPAN SEORANG IMAM<br />3.1. Apa itu Meditasi?<br /> Sesuatu menjadi jelas jikalau diberi arti, dijelaskan pengertiannya atau paling kurang membuat sebuah identifikasi yang sahih atasnya. Itulah kecenderungan yang terjadi dalam dunia intelek. Definisi lalu menjadi penting. Namun ternyata tidak semua hal bisa menjadi lebih jelas jikalau didefinisikan. Meskipun demikian, tetap ada usaha membuat penjelasan, walaupun ada kejamakan dalam perspektif: Budhisme, Hinduisme, Kristen, Islam. Menurut Naomy Humphrey, membuat sebuah definisi untuk meditasi justru akan mempersulit daripada membantu. Terkadang kata-kata menghalangi arti dan bukan menyingkapnya. Sambil mengutip Chuang-tzu, guru besar Tao abad ke-14, ia mengatakan, “kata-kata ada untuk memberi arti, namun sekali saja engkau memahami arti tersebut, engkau dapat menyingkirkan kata-katanya”. <br /> Mengatasi kesulitan itu, Naomi membuat deskripsi yang mendekati kebenaran tentang meditasi. Pertama, meditasi sebagai suatu keadaan kesadaran. Meditasi merupakan kegiatan mental yang berkenaan dengan kesadaran. Dalam hal ini, kesadaran tidak ada kaitannya dengan kemampuan intelektual, latar belakang pendidikan ataupun kepribadian. Meditasi dapat dianggap sebagai kesadaran atau persepsi total. Bermeditasi tidak sama dengan berpikir mengenai sesuatu secara intelektual. Kedua, meditasi sebagai jalan kehidupan spiritual. Pada saat meditasi telah terintegrasi ke dalam pola hidup sehari-hari, meditasi akan menjadi bagian alamiah dari hidup sehari-hari. Meditasi bukan lagi sekedar latihan atau pengalaman kesadaran yang diubah. Meditasi mempunyai kekuatan untuk mengubah semua aspek kehidupan: berpikir, merasa, melakukan dan mengenal. Meditasi menanam benih untuk pencerahan dan menjadi jalan hidup; lebih dari itu, meditasi adalah jalan spiritual. <br /> The Concise Columbia Encyclopedia menjelaskan meditasi sebagai displin religius, aktivitas mana pikiran dibimbing kepada fokus tertentu. Itu mengandaikan keterlibatan rahmat Ilahi, sebagaimana kontemplasi dalam tradisi mistik kristiani. Yang jelas ada tema spiritual, pertanyaan, masalah atau bahkan juga pencapaian persatuan dengan Yang Ilahi melalui visualisasi atau pengulangan doa dalam batin.<br /> Dalam tradisi Kristen, meditasi dilihat sebagai suatu sikap hening di hadapan Allah, untuk merenungkan cintaNya yang teramat besar, mengalaminya dan berusaha bersatu dengan cinta Allah itu. Itu berarti sebuah tindakan melihat ke dalam diri sendiri untuk menemukan Allah dalam kedalaman keberadaanNya, Allah yang adalah interior intimo. Selain itu, meditasi, meminjam istilah Paus Pius XII, juga merupakan sebuah aksi mengangkat budi kepada perkara-perkara surgawi dan membimbingnya kepada Allah, memurnikan budi, memimpin afeksi dan mengarahkan tindakan. <br /><br />3.1. Mengapa Meditasi Penting?: Belajar dari Kehidupan Yesus<br /> Yesus, sebagai seorang Guru sejati, menempatkan meditasi dan doa dalam posisi yang sangat penting dalam hidupNya. Hal ini secara eksplisit diungkapkan oleh para penginjil: “…mengasingkan diri ke tempat yang sunyi ; marilah ke tempat yang sunyi, supaya kita sendirian, dan beristirahatlah seketika. Maka berangkatlah mereka untuk mengasingkan diri ke tempat yang sunyi ; Yesus membawa Petrus, Yohanes dan Yakobus, lalu naik ke atas gunung untuk berdoa ; Akan tetapi Ia mengundurkan diri ke tempat-tempat yang sunyi untuk berdoa ; pagi-pagi benar, waktu hari masih gelap, Ia bangun dan pergi ke luar. Ia pergi ke tempat yang sunyi dan berdoa”. Ada beberapa catatan dari pola hidup Yesus ini:<br /> Pertama, Sebelum menjalankan tugas perutusanNya, Yesus berpuasa di padang gurun selama 40 hari-40 malam. Yesus memulai karyaNya dalam sebuah keheningan dan kesunyian. Dalam keheningan dan kesunyian, visi dan misi cenderung lebih mudah ditemukan dan diarahkan. Memang ada tantangan untuk mengarahkan secara salah apa artinya menjadi utusan. Tetapi hati yang selalu hening, dalam diam yang diliputi oleh terang Ilahi, sanggup memutuskan dengan tepat apa yang terbaik. <br /> Hal itu berlanjut tatkala Yesus sudah berkarya: sebelum dan sesudah menjalankan sesuatu pelayanan, Ia selalu pergi ke tempat yang sunyi untuk berdoa, bermeditasi. Karya Yesus, dalam berbagai bentuknya mengalir dari hati yang hening yang disertai pertimbangan bijaksana untuk menyatakan dengan penuh kasih, lembut sekaligus tegas kehendak BapaNya di tengah manusia dan dunia. Dengan kata lain, hidup Yesus oleh caraNya “menarik diri” dari kehidupan ramai, mengalami ketenangan batin, selalu menimba inspirasi baru, pada akhirnya, selalu memiliki orientasi theosentris (God centered-berpusat pada Allah), bukan diriNya sendiri (self-centered). Karena itu, karya Yesus baik dalam pewartaan maupun pelayananNya merupakan eksplisitasi dari pelaksanaan kehendak Bapa. <br /> Kedua, Meskipun ada kesan bahwa “pengunduran diri Yesus” ke tempat yang sunyi lebih menekankan soal “locus” (kesunyian atau keheningan lahiriah) tetapi sebenarnya tidak hanya berhenti sampai di situ. Keheningan batin bisa dirasakan di mana-mana, tanpa ada garis demarkasi yang tajam. Namun adalah sesuatu yang wajar, jika kehadiran kita di tempat yang sunyi, tenang lebih menjanjikan suasana yang kondusif daripada di tempat yang ramai, walaupun hal itu bukan tak mungkin. Jika seseorang dapat membuat spiritual discernment (pemindaian Roh) secara otomatis, dalam waktu yang relatif singkat, itu lebih merupakan buah yang dituai atas usaha yang terus-menerus menceburkan diri ke dalam keheningan batin dan kedekatan yang intim dengan Allah.<br /> Ketiga, tatkala berhadapan dengan orang Yahudi, khususnya pemimpin agama, orang Farisi dan ahli Taurat, Yesus selalu menjawab pertanyaan mereka dengan singkat, jelas tetapi tepat sasar. Ketika Ia berkotbah, kata-kataNya mengalir, memberikan daya yang sangat kuat sehingga orang-orang mengikuti Dia, bahkan ke mana saja Ia pergi. Kata-kata yang keluar dari mulut Yesus tentu bersumber pada keheningan batin yang dimilikiNya. Kata-kata itu secara spontan keluar untuk memberikan ketenangan, penghiburan, kedamaian, kepastian, pengharapan dan kebahagiaan, singkatnya keselamatan bagi mereka yang percaya kepadaNya. Daya “Kata-kata” (Sabda) Yesus yang telah ditulis dalam Kitab Suci, tetap bergema dan memiliki pengaruh bagi manusia hingga saat ini dan akan tetap mempunyai kekuatan sampai kapanpun.<br /> <br />3.2. Meditasi Dalam Kehidupan Imam<br /> Dalam usaha membangun hidup rohaninya, seorang imam sudah sewajarnya membaca Sabda Allah dalam suasa doa dan meditasi, misalnya melalui metode Lectio Divina. Melalui jalan ini imam mendengarkan Dia yang bersabda dengan rendah hati dan penuh kasih. Berkotbah merupakan satu bentuk pewartaan khas Imam. Kotbah merupakan pewartaan Sabda Allah dengan cara memaklumkannya secara aktual, sehingga mereka merasa dan mengalami bahwa Allahlah yang tengah berbicara kepada mereka. Hal ini menjadi mungkin karena Imam telah lebih dahulu mengalami Allah dalam keheningan batinnya lalu mengalir keluar lewat kata-kata pewartaan dan seluruh sikap hidupnya. Morton T. Kelsey berkata, “tidak mungkin seseorang melayani Allah, untuk berbicara tentang realitas spiritual kepada manusia modern tanpa kedekatan dan mengalami sendiri Allah dalam hidupnya”. <br /> Dalam permenungannya, Rm. Dr. Hubertus Leteng Pr memberikan dua makna bagi meditasi untuk menghidupkan api spiritualitas hidup seorang imamat. Dua point itu juga akan menuntun kita melihat peran meditasi dalam membangun kotbah yang bisa berbicara kepada umat dan mendarat di atas realitas kehidupan real mereka.<br /> <br />3.3.1. Meditasi sebagai Momentum Perjumpaan dengan Realitas Jamak (diri, lingkungan, sesama dan Tuhan)<br /> Melalui aktivitas meditasi, seorang Imam berhadapan dengan realitas yang jamak, kenyataan yang tidak pernah bersifat tunggal. Imam sebagai manusia berhadapan dengan pelbagai kemungkinan obyek yang ditemukannya. Ada beberapa pemikiran berkaitan dengan hal ini. Pertama, Dalam meditasi ia menarik semua kenyataan itu ke dalam dirinya, merenungkannya dan merasakan getaran eksistensi setiap obyek itu dan kemudian memberikan tanggapan atasnya secara khusus. Johnanes B. Lotz mengatakan bahwa meditasi juga mengantar manusia untuk kembali kepada dirinya yang paling dalam dan unik, kepada pusat pribadinya, di mana ia sepenuhnya menjadi diri sendiri, kepada kemerdekaan pribadi, di mana ia sepenuhnya memiliki dan menentukan diri sendiri, serta memberi dirinya itu karakter yang paling dalam. Dengan demikian, bermeditasi secara essensial berarti menjadi diri sendiri, bukan sebagai suatu kesenangan erotik dalam memandang diri sendiri, melainkan sebagai sebuah upaya untuk mencapai diri sendiri dan beristirahat dalam diri dan dengan diri. Dengan upaya itulah tata tertib dasar dari hidup manusia diwujudkan. <br /> Setiap orang yang sanggup masuk ke dalam diri sendiri, berupaya untuk memahami siapakah dirinya yang sesungguhnya, akan semakin mampu memahami orang lain, lingkungan dan Allahnya. Ketidakmampuan untuk menerima diri sendiri membuat banyak orang jatuh ke dalam idealisme, mimpi dan khayalan yang berlebihan dan akhirnya meraih absurditas dalam hidupnya. Barangkali orang yang menjadi gila lebih disebabkan oleh ketidaksanggupan mereka untuk mengorganisir keinginan, cita-cita, kehendak dan kemauan mereka secara baik. Atau juga mereka yang menjadi “pribadi sulit”. Dalam dunia filsafat, Sokrates pernah berujar, “gnoti seauton” untuk menegaskan bahwa hidup perlu direfleksikan, direnungkan terus menerus untuk menemukan maknanya.<br /> Melalui meditasi, seorang imam memiliki kerelaan untuk menerima diri sendiri: kelemahan dan kekuatannya, kekurangan dan kelebihannya. Menerima diri dengan rela adalah jalan lapang yang membebaskan dirinya dari segala bentuk idealisme yang keliru, khususnya ketika ia menemukan bahwa ternyata ia memiliki kekurangan dan kelemahan di dalam dirinya. Meditasi membuat ia semakin yakin bahwa dirinya, dari asalnya, adalah berarti, memiliki keunikan dan serentak keistimewaan. Oleh karena kesadaran diri bahwa ia berarti, ia juga termotivasi untuk menerima tanggung jawab yang diberikan Tuhan kepadanya. Tugas kotbah pada gilirannya, adalah sebuah anugerah, bahwa Tuhan memperkenankan dirinya untuk menjadi pewarta, “mulut Allah” yang menyampaikan sabdaNya. Kotbah yang lahir dari ketulusan dan kerelaan sangat kentara: tenang, berwibawa, memiliki penekanan-penekanan yang terasa jelas dan cenderung padat-berisi. Kotbah yang lahir dari kerelaan, juga disertai rasa tanggung jawab memiliki karakter sbb: tidak tergesa-gesa atau merasa dikejar waktu, tak mau menyampaikan sesuatu asal-asalan, tidak bergairah, loyo, tidak memberikan banyak penyimpangan dari teks atau yang sama sekali tak dimaksudkan oleh teks, baik teks in se maupun interpretasinya.<br /> Kedua, Meksipun mengenal diri sebagai bagian yang esensial, itu bukan berarti suatu sikap egois yang lupa akan realitas lain di luar dirinya sendiri. Manusia adalah makluk sosial (ens sociales) yang selalu berhubungan dengan “dunia luar”, termasuk dengan sesamanya. Ketika ia bermeditasi, ia mempertimbangkan isi pewartaannya, apakah sesuai dengan konteks pendengar, selaras dengan kemampuan menanggapi serta cocok dengan kebutuhan konkrit mereka? Jawaban atas berbagai pertanyaan ini bukan bagaimana merangkai kata-kata yang indah, puitis dan abstrak, melainkan apakah diksi (pemilihan kata) yang dipakai tepat sasar, menyentuh pemahaman dan terutama mencapai kebutuhan mereka. <br /> Pada akhirnya, kotbah yang baik bukan dinilai dari soal kelogisan, kerunutan ide, keabstrakan cara menyampaikan serta penggunaan kata-kata yang bombastik. Kotbah yang baik, dengan bahasa dan cara yang sederhana mesti menimbulkan kesan tertentu di dalam hati pendengar. Itu berarti, bukan suatu tawaran ide yang instan, melainkan sebuah “lemparan” Sabda Tuhan yang memunculkan refleksi baru di dalam benak mereka dan atas jawaban yang mereka temukan sendiri, mereka memutuskan apa yang hendak mereka lakukan dalam kehidupan, sesuai dengan inspirasi Sabda itu.<br /> Jika setiap kotbah mempertenggangkan kepentingan umat, maka refleksi yang dibangun dalam meditasi selalu bersifat dan berorientasi sosial, bukan individualistik. Ketika imam mulai mencari dirinya sendiri dengan tujuan supaya menjadi terkenal, jadi pahlawan, tanpa mempertimbangkan dengan bijak efek kata-katanya, lalu mulai mengkotbahkan sesuatu yang tak bisa dipahami umat, maka di saat itulah ia sebenarnya kehilangan identitas, jati diri sebagai gembala yang mewartakan Sabda Tuhan. Juga tatkala imam terlibat dalam arus perdebatan politis, membela kelompok tertentu serentak mengenyahkan kelompok yang lain, ia sebenarnya tidak membawa suara Tuhan, tetapi suaranya sendiri yang “dipaksa” untuk dijadikan sebagai seruan profetis, meski dalam kenyataan akhirnya kandas juga.<br /> Ketiga, Imam adalah seorang yang dipanggil dan diutus untuk melaksanakan kehendak Allah. Seperti Kristus utusan Bapa, tidak melaksanakan kehendakNya sendiri, tetapi kehendak Dia yang mengutusNya, demikian juga seorang imam. Seorang imam tidak mencari dan melaksanakan kehendaknya sendiri. Kehendak Allahlah yang menjadi keutamaan seorang Imam, kesempurnaan hidupnya, panduan tingkah lakunya, yang terungkap dalam setiap sabdaNya sebagai mana dikatakan dalam Dei Verbum, adalah “santapan jiwa, sumber jernih dan kekal hidup rohani bagi manusia”. <br /> Melalui meditasi kerelaan, ketulusan dan kesetiaan mendengarkan Sabda Allah membuat imam dalam kesehariannya selalu merindukan kehendak Allah, sebagaimana Kristus yang menjalankan misi dan tugas perutusanNya dalam kerangka itu. Itulah sebabnya mengapa seorang imam yang demikian selalu berkata dalam hatinya seperti sebuah Lagu dalam Ekaristi, “bersabdalah ya Tuhan, aku abdiMu bersedia mendengarkannya”. Atau seorang musafir yang mencari Allah dalam tulisan St. Yohanes dari Salib: “Di manakah Engkau bersembunyi Kekasih? Aku tertinggal mengeluh! Kau lari bagai rusa; dan hatiku terluka: Aku kejar memanggil yang hilang”. Menjadi “terluka” karena kesan yang yang ditimbulkan Allah, ada akibat langsung dari pengalaman akan cinta Allah. “Luka” itu menjadi sebuah kerinduan abadi untuk tetap merasakan kehadiranNya, untuk selalu mendengarkan sabdaNya. <br /> Hati yang mendengar dengan tulus Sabda Tuhan akan menjadi lahan di mana Sabda akan bertumbuh subur dan berkembang hingga memperoleh banyak hasil saat dituai dalam rangkaian kata-kata kotbah. Ketika di dalam hati “Tuhan dan suaraNya telah kabur”, maka yang keluar dari mulut saat mewartakan ialah kata-kata yang cenderung menghakimi, memarahi dan menghindari Sabda Pengharapan yang dapat memberikan kesejukan bagi para musafir dan kembara di padang peziarahan yang merayakan Ekaristi dalam keseluruhan hidup mereka. <br /> Sebagai seorang pewarta, “berbahagialah orang yang mengisi tabung panahnya sampai penuh. Ia tidak akan dipermalukan oleh musuh…” Tabung panah kita adalah hati yang selalu dikosongkan dan kemudian untuk diisi oleh Allah dan sabdaNya. Anak panah “Sabda” itulah yang dilontarkan ke hadapan hati dan hidup umat beriman. Lontaran yang tepat: melalui kata-kata yang keluar dari kedalaman hati yang penuh cinta dan keintiman dengan Sang Sabda, dan sasaran yang telak: umat yang telah dipahami konteksnya, masalah konkritnya dan kesanggupan mereka untuk menerima merupakan jalan menuju kotbah yang “mendarat” sekaligus menarik. <br /> <br />3.3.2. Meditasi sebagai Momentum Pertobatan dan Rekonsiliasi <br /> <br /> Kotbah merupakan buah dari sedimentasi yang solid antara Sabda Allah. Kotbah kehidupan memiliki kekuatan untuk mengubah. Ia mengubah orang yang mendengarnya, tetapi sekaligus mereka yang menyampaikannya. Kata-kata memiliki kekuatan. Setiap kata mempunyai arti. Pada arti yang tercipta itu terletak kekuatan kata. Begitu seorang imam mewartakan tentang kerajaan Allah, ia sendiri mesti hakul yakin bahwa kerajaan Allah itu sungguh ada dan tersedia untuk mereka yang telah percaya.<br /> Dalam kenyataan, Imam sebagai seorang manusia tidak terlepas dari kelemahan manusiawi yang menyertai hidupnya. Ia memiliki keinginan, cita-cita dan bayangan tertentu tentang jabatan dan tugas pelayanannya. Tak jarang ia bisa jatuh dalam penghayatan yang keliru, terbius trend zaman yang berorientasi materialistis: turut serta dalam berbagai usaha ekonomi pribadi, terlibat dalam MLM (multi level marketing) , dsb. Ia juga bisa terpuruk dalam kenyataan yang membiusnya untuk selalu tampil sesuai mode yang sedang berkembang. Bahkan ia bisa merelakan banyak waktu yang ada hanya untuk menonton TV, misalnya. Kemajuan media komunikasi yang sangat pesat membuat imam juga terhempas dalam pusaran HP (hand phone), sehingga tak jarang banyak waktu dipergunakan untuk memencet tombol mengirim SMS (short message service), daripada membaca buku rohani, membuat permenungan pribadi atas masalah aktual umat, membuat evaluasi atas kotbah-kotbah yang telah dibawakan dan dibagikan kepada umat atau mengadakan kunjungan pastoral ke rumah atau lingkungan yang miskin dan dililiti pelbagai persoalan. <br /> Meditasi menyadarkan imam untuk merefleksikan kembali motivasi menjadi imam, melihat secara jujur komitmen pelayanannya, praksis pastoralnya, visi dan misi Kristus yang diembannya. Ia diajak untuk “kembali” ke “pelataran kudus”, berani membuang pikiran, keinginan-kehendak serta perbuatan yang tidak sesuai dengan orientasi hidupnya sebagai seorang imam. Dengan kata lain, ia mesti ber-metanoia: berani secara radikal mengubah hidupnya yang tidak sesuai dengan esensi panggilannya menuju kepada cara hidup baru, cara hidup dalam Roh. Ia mesti bertobat dari cara hidup yang menganggap enteng tugas kotbah. Ada anggapan yang kuat bahwa kotbah itu semacam bagian tambahan, siap atau tidak, no problem. Atau ada pastor tertentu menganggap bahwa apapun yang disampaikan imam, umat harus dengar, suka atau tidak suka.<br /> Ada saatnya hidup rohani menjadi kering, pelayanan jadi kacau, arah tidak lagi begitu jelas, meski sudah berusaha mati-matian menjalankan tugas dengan baik, sepenuh hati dan tulus. Meditasi tidak jalan, doa terasa hambar. Kesulitan itu sering terjadi karena meditasi terlalu banyak menggunakan pikiran, daya khayal, gerak perasaan dan kerinduan kita sendiri yang kerap jauh dari apa yang sedang kita pikirkan, bayangkan atau lakukan. Inilah pengalaman yang disebut St. Yohanes dari Salib sebagai “malam gelap”, sebuah jalan yang mesti dilewati jika ingin bersatu dengan Sang Kekasih (Allah). Berkomentar tentang hal ini Yohanes mengatakan bahwa buah-buah yang paling baik tumbuh di atas tanah yang dingin dan kering. Dalam meditasi, kekeringan tersebut menghasilkan kerendahan hati, keuletan, ketenangan dan kehendak untuk tetap bertahan dan terus berusaha mengembangkan kehidupan batin setiapkali menghadapi rintangan. Boleh jadi meditasi kita menjadi prosais dan pucat. Namun itu tidak terlalu penting, kalau dengan bantauannya kita dapat menjalin hubungan antara akan dan kehendak kita di satu pihak dengan hal-hal ilahi di pihak lain, tidak peduli betapa kelam pandangan kita saat itu. Pada saat hati dan budi dijejali pelbagai pikiran dan perasaan, pergumulan batin berjalan secara kritis. Ia mempertanyakan kembali motivasi, isi dan sikap pewartaan imam dalam kotbahnya. Pertanyaan-pertanyaan itu menghasilkan buah permenungan yang digodok dalam terang Sabda yang otentik-original.<br /> Pada akhirnya ia memiliki sikap seperti Yesus. Ia merubah arah pewartaannya dengan meletakkan kehendak Allah sebagai pusat, bukan demi kepentingan pribadi, kelompok atau golongan tertentu yang terlimitasi oleh waktu. Karena jika itu yang terjadi, tidak ada dimensi keabadian dalam pewartaanNya. Ia menjadi sadar bahwa perjuangan Yesus adalah “mengubah perspektif” manusia tentang Allah dan keselamatan yang ditawarkanNya. Hal ini tampak nyata dalam segala perjuanganNya melawan para imam kepala dengan kepentingan politik mereka, melawan para farisi dengan gambaran mereka tentang Allah yang menekan rakyat jelata dan orang berdosa, melawan para murid yang mengharapkan seorang mesias yang bertindak dengan kekerasan dan mencari kejayaan politis. Yesus sesungguhnya melawan suatu semangat, suatu roh yang menjiwai dan menggerakkan semua manusia dan institusi manusia sehingga mereka bertindak atas suatu cara yang merusakkan kesejahteraan manusia yang benar dan dengan cara demikian menghalangi perkembangan Kerajaan Allah, menghalangi bertumbuhnya kesejahteraan manusia yang dinginkan Allah.<br /> Mengubah perspektif secara benar adalah sebuah pertobatan. Pertobatan menyadarkan seorang imam bahwa “persembahan kepada Allah ialah jiwa yang menyesal” seraya percaya juga “hati yang remuk redam tak pernah Kau tolak”. Ia akan menjadi sebuah rekonsiliasi bila ada kesediaan untuk mengakui bahwa ia kerap salah dalam menilai tugas pewartaannya, enggan untuk serius dan penuh dedikasi. Rekonsiliasi akan terwujud bila karena kesadaranya itu ia berubah dan semakin memperhatikan “pihak lain” yang menjadi sasaran pewartaannya, bukan demi dirinya sendiri. Inilah sikap “passing-over” (melewati tapal batas) untuk berani memahami orang lain dan menilik dari cara mereka memandang dan membawa mereka ke pemahaman yang benar.<br /> Pada akhirnya, seorang imam yang menjadikan meditasi bagian dari hidupnya menghasilkan buah-buah padi Sabda Allah yang bernas. Kemauannya untuk terlibat bergumul dalam masalah aktual dan pembatinan peristiwa itu melalui meditasi memberi efek positif bahwa ia menyajikan Kabar Gembira yang berakar pada realitas umat. Karena itu, pernyataan St. Paulus kepada jemaat di Efesus hendaknya tetap menjadi pegangan bagi setiap pengkotbah: “Jangan ada kata buruk keluar dari mulutmu, melainkan hanyalah yang baik untuk membangun iman dan mendatangkan rahmat bagi para pendengar. Janganlah menyusahkan Roh Kudus Allah, sebab dalam Dialah kamu dimeteraikan untuk hari penyelamatan. Jauhkanlah dari kamu segala kepahitan, kegeraman, kemarahan, pertikaian, fitnah serta segala macam kejahatan. Bersikaplah ramah seorang terhadap yang lain, berlakulah lembut hati dan hendaklah saling mengampuni, seperti Allah telah mengampuni kamu dalam Kristus”. <br /> <br />3.3.3. Meditasi sebagai Momentum Transformasi <br /> Para penulis rohani dan mistikus memandang meditasi sebagai bagian yang sangat penting dalam kehidupan seorang manusia religius. Melalui meditasi, manusia dimungkinkan mengalami kedekatan yang intim dengan Tuhan. Menurut St. Teresa dari Yesus, semakin memasuki ruang batinnya, merefleksikan hidupnya ia akan semakin mencintai. Manusia tidak hanya mencintai Tuhan dengan sepenuh hati tetapi ia juga berani mencintai sesamanya seperti dirinya sendiri. <br />Meditasi dan doa yang tak kunjung putus memungkinkan seorang imam ditransformasikan ke dalam cara memandang, cara berpikir dan cara bertindak Allah. Inilah yang kerap disebut sebagai kontemplasi, di mana terjadi persatuan kehendak antara manusia dan Allah dalam cinta. Sehingga benarlah kata St. Paulus, “…aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidup yang kuhidupi sekarang dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku…” Proses transformasi ini terjadi kalau imam betul menjadikan kehendak Allah sebagai satu-satunya pegangan bagi hidup, misi dan karya pastoralnya. Melalui kotbah seorang imam menjadi “mulut Allah” yang mewartakan SabdaNya. Dan imamlah yang mestinya menjadi pelaksana Sabda yang pertama sehingga dari penghayan pribadinya itu, ia memberikan teladan atau contoh kepada umatnya. St. Yakobus berkata, “Hendaklah kamu menjadi pelaku firman dan bukan hanya pendengar saja”. Transformasi akan menjadi sebuah kenyataan yang kasat mata bila firman dan cara hidupnya menjadi satu.<br /> <br />4. PENUTUP<br /> <br /> Meditasi adalah jalan menuju diri sendiri, sesama, lingkungan dan Tuhan. Imam sebagai gembala umat menjalankan meditasi dalam kesadaran bahwa aktivitas itu memiliki arti penting bagi perjalanan hidup rohaninya dan bagi karya pelayanannya di tengah umat. Salah satu tugas penting imam adalah mewartakan Sabda Allah, khususnya dalam bentuk homili atau kotbah. <br /> Di tengah banyaknya kritikan yang hadir sebagai tanggapan terhadap isi dan cara berkotbah yang terkesan “tidak menarik”, seorang imam dipanggil untuk menarik diri ke dalam keheningan batin, membuat otokritik seraya melihat dari dekat tentang “kekurangan-kekurangannya”. Mengenal diri dengan baik melalui proses meditasi membuat seorang imam mampu dan sadar akan kemampuan dan kekurangannya, sehingga ia bisa realistis terhadap diri dan sesamanya. Pengenalan diri itu pula membawa rasa percaya diri sekaligus tanggung jawab untuk mewartakan dengan tulus, jujur dan penuh dedikasi.<br /> Mengenal sesama dan lingkungan juga penting. Melalui meditasi, seorang imam dipanggil untuk berani “keluar dari diri sendiri”, coba untuk memahami umat dari perspektif mereka. “Keluar” untuk mengerti dan menyelami secara serius persoalan konkrit yang mereka alami, membuat permenungan atasnya lalu mencari solusi yang tepat sasar. Persoalan konkrit mereka dan jawaban aktual serta tepat sasar inilah yang menjadikan kotbah terasa “berarti” dan “mendarat”.<br /> Meditasi juga membawa seorang imam ke hadirat Allah. Melalui doa dan meditasi yang berkesinambungan, imam akhirnya sadar akan kelemahan dan kekurangannya. Ia tahu bahwa ia lemah. Karena itu ia datang dengan “tangan kosong” ke hadirat Allah dan meminta agar Allah-lah yang mengisi kekosongannya. Dengan jalan ini, ia sungguh menaruh kepercayaan akan belas kasih Allah dan kebaikanNya. Ia juga semakin yakin bahwa ia tidak bekerja sendirian, melainkan bersama Allah yang memberinya kekuatan. Ia menjadi begitu dekat dengan Allah, sebab Ia adalah interior intimo, Dia yang berada lebih dekat daripada diriku sendiri. Mendengarkan Dia, menjalankan apa yang menjadi kehendaknya membuat seorang imam ditransformasikan ke dalam hidup Allah sendiri. Menjadi satu dengan Allah adalah pengalaman kontemplasi, di mana imam dan Allah mengalami persatuan dalam cinta. Pengalaman persatuan dengan Allah inilah yang diwartakan oleh imam dalam kotbahnya. Ia tidak hanya mewartakan kata-kata kosong, tetapi sesuatu yang memiliki dasar kokoh dalam pengalaman konkrit. Kotbah yang berbicara dari pengalaman konkrit akan menjadi lebih hidup dan bermakna. “Kotbah hidup” imam sendiri juga menentukan, bahwa ia ternyata bukan hanya bisa berkata-kata tetapi juga sanggup menghayatinya dalam hidup. Adalah moment pertobatan yang perlu dibangun dalam meditasi jika ternyata antara Sabda dan penghayatan hidup imam terbentang jurang yang dalam.***<br /> <br /> <br /> <br /> <br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /> <br />REFERENSI<br /><br /><br />DOKUMEN DAN BUKU:<br /><br />Barry. William A. & Robert G. Doherty, Contemplative in Action. New York: <br />Paulist Press, 2002.<br />Carreto. Carlo, Kotamu adalah Gurunmu, terj. Andreas Tefa Sawu. Ende: Nusa <br />Indah, 1995.<br />_____________, In Search of Beyond. London: Darton, Longman and Todd, <br />1977.<br />de Meesters. Carlos, Lectio Divina, terj. Piet Go. Malang: Dioma, 1992.<br />de Meesters. Koen, Tangan Kosong-Theresia dari Kanak-Kanak Yesus, terj. <br />Cyprianus Verbeek. Yogyakarta: Kanisius, 1984.<br />Hardawiryana. Robert (penterj.), Dokumen Konsili Vatikan II. Jakarta: Obor, <br />1992.<br />Humphrey. Naomi, Meditasi Jalan Ke Dalam Diri. Jakarta: Abdi Tandur, 2000.<br />Jager. Willigis Contemplation A Christian Path. Misouri: Triumph Books, 1994.<br />Kelsey. Morton T., Companion on the Inner Way: The Art of Spiritual Guidance.<br />New York: Crossroad Publishing Company, 1983.<br />Lalu. Yosef, Inilah Puteraku Terkasih, Homili Tahun C. Ende: Nusa Indah, 1985.<br />_____________, Tuhan segala Bangsa, Homili Tahun B. Ende: Nusa Indah, <br />1984.<br />Leteng. Hubertus, Spiritualitas Imamat Motor Kehidupan Imam. <br />Maumere: Ledalero, 2003.<br />_____________, Cinta Kasih Pastoral Seorang Imam: Pedoman Penghayatan <br />dan Pengamalan Cinta Kasih Seorang Imam. Ruteng: Sekpas <br />Keuskupan Ruteng, 1999.<br />_____________, Khotbah Tahun C, Seri Kotbah 3. Maumere: Ledalero, 2003.<br />_____________, Relasi antar Pribadi Seorang Imam Selibater. <br />Ruteng: Sekpas Keuskupan Ruteng, 1999.<br />Levey. Judith S. & Agnes Greenhall (eds.), The Concise Columbia Encyclopedia<br />New York: Avo Books, 1983.<br />Lerner. Eric, Journey of Insight Meditation: a personal experience of the Budha’s <br />way. London: Turnstone Books, 1977.<br />Peters. J.P.A., Lagu Batin Sumber Hidup, terj. Cyprianus Verbeek. <br />Yogyakarta: Kanisius, 1985.<br />Rahner. Karl, Everyday Faith. New York: Herder and Herder, 1968.<br />_____________, On Prayer. New York: Paulist Press, 1958.<br />Slatery. Peter, Sumber-sumber Karmel, terj. E. Siswanto. Malang: Dioma, 1993.<br />St. Teresa dari Yesus, Puri Batin, terj. Marie Terese. Bandung: <br />Karmel Lembang, 1992.<br />Vouillume. Rene, Faith and Contemplation. London: Darton, Longman and <br />Todd, 1974.<br />Verbeek. Cyprianus, Dalam Kuasa Cinta. Malang: Dioma, 1993.<br />Yohanes dari Salib, Cinta Membimbing. terj. Verbeek. Cyprianus. <br />Malang: Dioma, 1981.<br /><br />MAJALAH, MANUSKRIP DAN WEBSITE INTERNET:<br /><br />Djiwandono. Soedjati, “Kotbah Kurang Menarik?” dalam: Mingguan HIDUP,<br />16 Februari 2003.<br />Bala. Robert, “Kotbah dan Informasi” dalam: Mingguan HIDUP, 16 Februari <br />2003.<br />Decky. Teobald, “Kekuatan Kata” dalam: ZIARAH, No. 3, Thn IV, <br />Desember 2000.<br />http://www.geocities.com/seapadre 1999/ dari P. Phil Bloom.<br />http://www.ignatius.net/pastor.html dari P. Joseph Pellegrino.<br />Isaak. Servulus, Literatur Kenabian-Profetismus. Maumere: STFK Ledalero, 1999.<br />Komang. J.B., “Kolom Homili” dalam: Mingguan HIDUP, 24 November 2002.<br />Rivai. S., “Bila Imam dan Kaum religius ikut MLM” dalam: Mingguan HIDUP, <br />4 Mei 2003.<br />Utomo. Christ Widya, “Tentang Kotbah” dalam: Mingguan HIDUP, <br />24 Agustus 1997.<br />Watanama. Lorent, “Kotbah yang baik” dalam: Mingguan HIDUP, <br />19 Januari 2003.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /> <br /><br /></span>LEMBAGA PENDIDIKAN DAN KAJIAN DEMOKRASIhttp://www.blogger.com/profile/09261201344588543137noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7244928221306403263.post-23238896481980303302010-03-08T23:36:00.000-08:002010-03-08T23:40:36.556-08:00SISI LAIN BUDAYA PESTAMenilik Fenomena Kemiskinan Umat Keuskupan Agung Ende<br />Sebuah Pergumulan Teologis-Kontekstual<br /><br />Kanisius Teobaldus Deki, M.Th<br /><br /><br />Abstract: The local Church, the metropolitan Diocese of Ende, claims itself as the Church of the poor. It is based on the fact that most of its people are economically poor. Many people face difficulties in fulfilling their primary needs appropriately. Most of them are farmer, like others in Nusa Tenggara Timur (90%). Many families have a very limited land for farming; some even have no land; therefore, they have to go to work as blue-collar workers abroad, such as to Malaysia ad other countries. In this writing, I try to explore the cultural factor which mostly influences the life of people of God and the pastoral life in The Metropolitan Diocese of Ende. Among the many phenomena, this writing is focusing on the fact which is related to traditional feasts and their business. The problem is analyzed simultaneously from sociological and theological perspective.<br /><br />Key-words: Budaya, Kemiskinan, Pergumulan rangkap.<br /><br /><span class="fullpost"><br />Sudah merupakan sebuah kenyataan yang tak terbantahkan bahwa manusia yang hidup di atas bumi adalah mahkluk yang berbudaya. Kebudayaan melingkupi seluruh aspek kehidupan manusia. Ia mempengaruhi pola pikir dan tingkah laku bahkan turut membentuk identitas manusia. Hal ini disebabkan karena dalam setiap kebudayaan terdapat tiga aspek penting yang mempengaruhi dan memberikan isi kepada kebudayaan itu. Aspek pengetahuan berisi sejumlah pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman konkret dan dijadikan pengetahuan bersama. Aspek nilai atau etika mengandung nilai-nilai yang diterima bersama, dan aspek tindakan berisi hasil-hasil karya manusia dari kebudayaan tertentu serta sejumlah aturan dan ketetapan yang mengontrol pelaksanaan aturan bersama tersebut. Ketiga aspek kebudayaan ini membuat kebudayaan manusia menjadi kaya tetapi serentak tatkala kebudayaan setempat dihadapkan dengan kebudayaan dan pandangan hidup lain, khususnya Gereja, maka secara spontan muncul sebuah proses penilaian. Dalam proses itu, budaya lokal akan temukan bahwa ada hal yang dimilikinya mesti dipertahankan dan ada pula hal yang perlu diperbaharui. Dengan demikian kebudayaan itu diharapkan akan tetap tumbuh bersama iman dan berkembang sesuai dengan tuntutan zaman. <br />Sejalan dengan hal itu, patut disadari bahwa sebelum agama Katolik hadir di wilayah Keuskupan Agung Ende , masyarakat setempat sudah memiliki kebudayaan masing-masing. Namun sejak keberadaan Gereja di wilayah ini masih cukup terasa bahwa antara Gereja dan kebudayaan setempat belum terlalu tampak pengaruh yang signifikan. Keduanya seakan berdiri sendiri-sendiri dengan memperlihatkan interaksi yang lemah hingga belum membawa pengaruh yang berarti.<br />Dalam kajian ini, saya coba membedah masalah kebudayaan umat KAE, yang sangat mempengaruhi kehidupan umat serta karya pastoralnya selama ini. Ada banyak fenomena kebudayaan, tetapi saya hanya menyoroti kenyataan yang berkaitan dengan pesta-pesta adat dan segala urusan yang berkaitan dengannya. Sorotan terhadap persoalan ini ditinjau dari aspek sosial serta didalami secara teologis sebagai sebuah pergumulan rangkap.<br /><br />MEMBACA KENYATAAN DAN MENEMUKAN TANTANGAN BUDAYA PESTA DI WILAYAH KAE<br /><br />Kenyataan Dunia Mondial<br /><br />Modernitas merupakan istilah yang kerap menjadi tema utama serentak menjadi arah dominan dalam perjuangan bangsa-bangsa di seluruh dunia. Modernitas lalu diterjemahkan secara ekslusif sebagai kemajuan. Lalu dampak yang lebih jauh ialah betapa kerapnya sebuah kemajuan disama-artikan dengan kesejahteraan. Karena itu tak pelak lagi, negara-negara berusaha untuk meningkatkan kesejahteraan, yang dilihat sebagai muara terciptanya sebuah negara, dengan meningkatkan kemampuan di segala bidang terutama mega-proyek ekonominya.<br />Usaha meningkatkan dan memperluas ekspansi ekonomi melahirkan banyak akibat. Persaingan yang tidak sehat hadir sebagai kenyataan yang tak terelakan. Negara-negara yang kuat akhirnya keluar sebagai pemenang tersebab ia memiliki keunggulan yang menguasai industri dan perdagangan lintas negara. Sedangkan negara-negara lain, umumnya negara dunia ketiga yang sedang berkembang, menjadi mangsa. Negara-negara berkembang, oleh karena ketidaksanggupannya meraih kesempatan dalam percaturan ekonomi internasional, menjadi konsumen yang tak kunjung membebaskan diri dari cengkraman negara-negara maju dari dunia pertama. Hutang-hutang semakin besar, ketergantungan semakin tinggi. Negara-negara berkembang akhirnya menjadi tak berdaya, bahkan untuk memutuskan sesuatu untuk dirinya sendiri.<br />Sementara negara-negara maju membuat pesta demi pesta untuk merayakan kemenangannya, negara-negara berkembang malah meratapi keadaan dirinya yang tak enggan keluar dari krisis ekonomi dan persoalan yang melilitinya di dalam negeri. Walaupun ada kegembiraan yang coba dirayakan negara-negara berkembang, itu tak lebih sebuah ungkapan prihatin atas kenyataan kemiskinan mereka di tengah kemajuan yang dicapai negara-negara maju di dunia pertama.<br /><br />Kenyataan Indonesia<br /><br />Sejak kemerdekaannya, perjuangan yang dilakukan Indonesia, sebagaimana negara-negara Asia umumnya, adalah “nation building”. Nasionalisme dalam pelukisan ini dibaca M. M Thomas secara positif, yakni sebagai gerakan yang berupaya untuk melaksanakan “nation making” dan bukannya bersifat totaliter, agresif dan isolasionis. Di tengah nation building itu, muncul berbagai tantangan, baik yang datang dari luar maupun yang datang dari dalam. Dari luar, keberpihakan politis terhadap negara tertentu serentak perlawanan kepada negara lain. Jika negara yang dilawan bersekutu dengan negara yang memberikan donasi kepada Indonesia, maka pembekuan donasi sama artinya membunuh kemajuan yang sedang merangkak menuju kenyataan yang lebih baik dan menciptakan krisis. Krisis ekonomi lalu menjadi tantangan dari dalam. Ia bisa melahirkan gerakan fundamentalisme (Islam radikal, terorisme), separatisme (GAM, Papua), pertikaian antar ras (Sambas-Kalimantan), intervensi militer (TNI dalam Politik), konflik antar agama (Ambon, Poso) dsb. Yang menyebabkan negara menjadi kacau. Dalam kebalauan itu, negara lalu mengimpikan sebuah kenyataan yang ideal, masyarakat madani (civil society) dan serentak di satu pihak kenyataan itu tak mungkin, tersebab tidak tersedianya struktur yang lebih menjamin terciptanya (kekurangan keahlian, kesalahan manajemen, keserakahan, korupsi, kolusi dan nepotisme) kemampuan untuk berproduksi dan melakukan transaksi dagang dengan dunia luar.<br />Badai krisis belum berlalu dari Indonesia, bahkan bisa dikata, negara Indonesia hanya hidup dari pinjaman luar negeri. Itu berarti menciptakan utang yang harus dibayar oleh generasi-generasi selanjutnya.<br /><br />Kenyataan Gereja Lokal KAE<br />Sekilas Tentang KAE <br /><br />Sebelumnya, KAE terdiri dari tiga Kevikepan yakni: Bajawa, Ende dan Maumere. Masing-masing Kevikepan adalah satu wilayah Kabupaten. KAE menjadi Perfektus Apostolik tanggal 16 September 1913 lalu menjadi Vikariat Apostolik 12 Maret 1922. selanjutnya pada tanggal 8 Maret 1951 menjadi Vikariat Apostolik Ende dan menjadi Keuskupan Agung tanggal 3 Januari 1961. Hingga tahun 2001, KAE memiliki umat Katolik yang cukup besar di Flores dengan jumlah 654. 914. Umat sebanyak itu tersebar di 79 paroki dan dilayani oleh 119 imam projo dan 159 imam religius.<br />Terbanyak umat KAE memiliki mata pencaharian sebagai petani, sebagaimana masyarakat Nusa Tenggara Timur umumnya (sekitar 90%). Keluarga-keluarga ini adalah petani yang memiliki lahan garapan sempit, bahkan sebagian tidak memiliki lahan sama sekali sehingga mesti mencari pekerjaan lain, entah sebagai buruh di kota maupun pergi ke tanah rantauan seperti Malaysia dan negara-negara lain. Di samping karena sempitnya lahan yang dimiliki, kondisi sebagian besar wilayah yang kering kerontang dan alat pertanian yang tidak memadai ikut mempengaruhi tingkat kemajuan dan kesejahteraan ekonomi masyarakat. Gencarnya tanaman perdagangan belakangan ini tidak menyentuh sebagian besar masyarakat karena akhirnya luas lahan ikut menentukan juga. Dengan angka ketergantungan yang besar dalam keluarga-keluarga ini, penghasilan yang kecil itu praktis dihabiskan untuk membeli makanan dan kebutuhan-kebutuhan dasar lainnya.<br />Gereja lokal KAE dalam berbagai kesempatan menyadari dirinya sebagai Gereja kaum miskin. Hal ini didasari oleh kenyataan umum bahwa umat KAE masih tergolong rendah tingkat ekonominya. Banyak umat masih kesulitan untuk memenuhi kebutuhan primernya secara lebih layak dan memadai.<br />Dalam kaitan dengan persoalan ini, MUSPAS IV KAE tahun 2000 mencoba membuat terobosan dalam karya pastoral keuskupan dengan upaya pemberdayaan umat basis sebagai solusi terhadap kenyataan pastoral yang dialami. Tujuan jangka panjangnya adalah agar Gereja lokal KAE bisa menjadi Gereja mandiri, baik dari segi ketenagaan, hidup iman dan mandiri secara ekonomi (ketersediaan dana yang cukup untuk memungkinkan kehidupan yang sejahtera). Tanpa mengabaikan dua kemandirian sebelumnya, hal yang terakhir menjadi sorotan utama akhir-akhir ini. Menurut refleksi kami, ada dua hal yang membuat Gereja lokal KAE masih sulit mandiri secara ekonomis tersebab kemampuan dan kondisi ekonomi umat yang masih lemah dan pola hidup umat yang dirasakan kurang mendukung kemandirian hidup itu, yang terkespresi dalam budaya pesta.<br />Pola hidup yang kurang mendukung kemandirian itu diangkat berdasarkan sebuah kenyataan umum di wilayah KAE yakni umat masih akrab dengan pola hidup boros yang terjadi dalam berbagai macam bentuk pesta adat atau dalam urusan yang berkaitan dengan adat. Pola hidup seperti itu dirasakan kurang mendukung perkembangan hidup masyarakat karena di sana telah terjadi pemborosan dan penghamburan: waktu, materi, peluang-kesempatan di satu sisi, sementara di sisi lain masih menjalankannya sebagai tradisi yang tak terbantahkan. Mereka menerima saja kenyataan itu tanpa menilai lebih jauh apakah masih cukup relevan dengan perkembangan hidup mereka serta pemenuhan kebutuhan hidup lainnya yang lebih urgen.<br /><br />Membaca Kenyataan umat KAE: Injil Sebagai Paradigma<br />Untuk membaca kenyataan umat KAE dalam perspektif melihat budaya pesta dari sisi lain, maka saya menggunakan teks Yohanes 2:1-11 dengan sebuah perluasan sebagai satu paradigma. Beberapa pokok berikut ini akan dikemukakan.<br />1. Dalam kisah yang telah dibaca, waktu Yesus sudah mempergandakan anggur sebanyak enam tempayan dengan kualitas terbaik di pesta perkawinan di Kana, nama Yesus semakin kuat bergema di daerah itu. Hal itu diketahui setelah tuan pesta menyelidiki dari mana asal anggur itu dan pelayan memberitahukan bahwa Yesuslah yang membuatnya dan Bunda Maria telah menyuruh mereka menyediakan tempayan yang berisi air. Orang-orang lalu berharap agar mereka, setiap kali pesta, mengundang Yesus dan Ia mau datang ke pesta mereka. Alasan yang paling kentara ialah supaya Yesus melipat-gandakan jumlah anggur lagi sehingga mereka bisa minum sampai mabuk. Mereka mulai malas menyediakan anggur, sebab Yesus pasti berbelaskasihan dan mau membantu mereka mengadakan anggur terbaik. Dalam kemalasan itu, mereka tidak mau berbuat apa-apa, pasif, hanya menunggu kehadiran Yesus. <br />Kehadiran Gereja di tengah sebuah kebudayaan baru menimbulkan rasa kagum, ingin tahu karena berbeda dengan apa yang mereka miliki. Kekaguman itu nyata dari respek dan keinginan yang kuat untuk memilikinya. Para misionaris datang dari negeri jauh, tampang mereka lain, bahasa juga berbeda, aktivitas mereka yang tak sama dengan masyarakat setempat. Tatkala menyaksikan betapa sederhananya sarana yang digunakan oleh masyarakat setempat untuk mengolah tanah, mereka memperkenalkan alat-alat baru bahkan mesin-mesin yang modern. Mereka juga mendirikan gedung-gedung (Gereja dan Sekolah), membagikan makanan dan minuman asing serta gaya hidup yang menjadi impian masyarakat lokal. Bagi kebanyakan orang, mereka adalah wujud dari sebuah impian: di mana tak ada lagi derita kekurangan pangan, ketiadaan uang dan kekalutan yang disebabkan ketidakpastian hidup. Dan ketika umat di KAE (sebagai lahan baru) mengenal Gereja, mereka lalu memberi diri dibaptis, dengan suatu sikap spontan untuk mewujudkan impiannya tentang hidup yang lebih layak dan tampil “beda” dengan nenek moyang mereka.<br />Kekaguman mereka akan munculnya perubahan baru membuat mereka lupa akan akar, basis di mana mereka sendiri berasal. Mereka lalu hidup dalam imajinasi spontan , enggan menghargai hasil karya dan produksi sendiri. Bahkan yang lebih parah ialah mereka mulai bergantung pada donasi dari mereka yang datang. Tak ada usaha untuk menumbuhkan-kembangkan usaha ke arah kemandirian. Semuanya bersikap pasif, menunggu saja dari pihak luar, seraya berharap agar “mujizat” tak bosan-bosannya menghampiri mereka.<br />2. Ternyata Yesus tidak selalu datang. Ini menimbulkan rasa kesal di hati tuan pesta dan mereka yang diundang. Mereka lalu mencemoohkan Yesus sambil tak mau melakukan sesuatu untuk mengadakan anggur mereka sendiri (entah membeli atau dari kebun sendiri). <br />Kehadiran Kabar Gembira (Yesus) Gereja yang pada mulanya menimbulkan “decak kagum” lalu beralih ke kemarahan spontan dan kemudian terstruktur. Mereka lalu bernostalgia pada masa lampau di mana Gereja begitu “bermurah hati”, dalam arti selalu gratis. Dalam nostalgia itu, mereka selalu ingat akan kebaikan Gereja masa lampau sambil membenci Gereja yang ada sekarang ini. Sikap benci itu sering tak dinyatakan secara eksplisit, melainkan hanya inplisit. Sebagai bentuk nyata yang terekspresi ke luar: Mereka lalu enggan untuk mengikuti kegiatan di Gereja, berbagai pembinaan diabaikan, program-program pengembangan sosial-ekonomi tak berjalan, kewajiban mereka sebagai anggota Gereja, khususnya dalam bidang tanggung jawab moral, adminstrasi, dsb. sering diabaikan.<br />Dalam keadaan penuh kemarahan, mereka menggantikan kekaguman akan “anggur baru-asing” dengan kembali ke anggur milik mereka. Mereka lalu terlibat lagi dalam kemabukan. Tetapi sekarang kemabukan itu disebabkan oleh dua hal. Pertama, kemabukan sering muncul sebagai muara real dari sebuah pesta. Dan kedua, kemabukan tersebab rasa frustrasi karena kehilangan anggur terbaik yang pernah mereka kecapi di pesta perkawinan itu. Perilaku hidup mereka yang kecewa akan perubahan Gereja lama ke Gereja Baru sangat kentara oleh pelbagai komentar yang ada dalam masyarakat tetapi sambil melegitimasi perbuatan buruk yang mereka lakukan. Komentar yang tidak konstruktif terus berjalan, sementara partisipasi dalam membangun Gereja dan masyarakat tidak tampak. Mereka tetap bernostalgia walaupun kenyataan hidup yang mereka alami menuntut mereka lebih bekerja keras.<br /><br />3. Peran Maria (para Imam atau petugas pastoral) sebagai Pengantara. Yesus tidak datang lagi ke pesta. Demikianpun Bunda Maria. Lalu, peran Maria sebagai pengantara kembali diambil alih oleh sebuah lembaga adat (yang sejak dulu sudah ada dan menjalankan fungsinya). Pengantara “baru” mulai memikirkan bagaimana menghadirkan sekian banyak tempayan anggur untuk memenuhi keinginan masyarakat. Mereka kemudian menemukan jawabannya: kita harus tetap membuat berbagai pesta sesuai dengan peristiwa-peristiwa penting. Itulah sebabnya pesta-pesta digelar secara periodik sesuai musimnya. Pesta-pesta dibuat dengan pelbagai maksud. Pengantara baru menetapkan aturan dan hukum untuk pesta-pesta itu. Antara lain: bahwa semua anggota masyarakat wajib mengikuti pesta adat, turut terlibat di dalamnya secara aktif termasuk membiayai pesta itu. Di sini pesta bukan lagi sebuah kesempatan untuk mengalami kegembiraan yang utuh, melainkan kenyataan yang terasa membebankan. Kegembiraan yang dituai hanya temporal saja sifatnya, sesudah itu ia hilang lenyap. Muncul kerinduan untuk mengikuti pesta perkawinan yang pernah dialami di Kana.<br />4. Sementara umat berada dalam kebingungan apakah terus melanjutkan pesta-pesta (walaupun tanpa anggur sejati) dan kemabukan sebagai akibatnya, Gereja (secara langsung atau tidak) malah mengadaptasi pesta-pesta itu dalam pelbagai peristiwanya. Muncullah pesta Sambut Baru di Maumere (dulu termasuk wilayah KAE) yang menghabiskan banyak biaya dan menjadi peluang baru untuk membereskan urusan adat yang belum selesai, pesta-pesta kaul kekal meriah dan tahbisan yang menghabiskan biaya puluhan dan bahkan ratusan juta rupiah.<br />5. Kenyataan adanya pesta, yang di dalamnya tak lagi ditemukan anggur sejati, pada satu sisi melahirkan kegembiraan (walaupun terbanyak hanya bersifat sementara) tetapi pada sisi lain menimbulkan rasa tak aman karena dililiti hutang, rasa tak puas karena telah terjadi pertikaian dan perpecahan dalam keluarga akibat ketakterlibatan beberapa anggota keluarga. Padahal, anggur (kebahagiaan) yang diberikan Yesus membuat orang merasa gembira dan pada akhirnya memuji karena telah “menyimpan anggur yang baik sampai sekarang”.<br />Pengembangan kisah pesta perkawinan di Kana bisa diperluas lagi. Tetapi saya hanya mengangkat tiga isu yang muncul dari perluasan teks itu sebagai tantangan yang harus dijawab. Tiga isu itu adalah:<br />1. Isu sikap ketergantungan (dalam pokok satu): Dalam proses pewartaan Kabar Gembira (Injil) sikap mana yang mau dipakai Gereja: belajar budaya terlebih dahulu lalu mewartakan Injil melalui nilai-nilai positif dari budaya atau memberikan sesuatu yang baru sama sekali sampai mereka lupa akan akar budayanya?<br />2. Isu Keterlibatan (pokok dua dan tiga): Gereja datang untuk mewartakan Kabar Gembira (Yesus, Anggur Sejati). Di saat yang sama, mereka telah memiliki budaya yang telah memberi mereka pegangan hidup. Ketika Gereja hendak mewartakan Kabar Gembira, apa yang dilakukan Gereja dalam membangun kehidupan umat: bekerja sendiri atau bersama-sama? Dalam teologi Pembebasan misalnya, sangat ditekankan dimensi keterlibatan aktif bagi dan bersama kaum miskin dantertindas. Maka hanya dalam praksis pembebasan yang mentransformasikan hidup kaum miskin dan tertindas itu, hidup umat beriman berada dalam kesatuan dengan Sang Sabda yang mengidentifikasikan diri dengan mereka. <br />3. Isu Peran dan Misi Gereja (pokok empat dan lima): Setelah melihat bahwa ada bahaya mereka melupakan akar budaya mereka, Gereja berusaha membuat adaptasi, terjemahan atas isi Kabar Gembira (Yesus) ke dalam budaya setempat. Karena itu Gereja juga membuka kesempatan untuk berpesta (merayakan hidup secara lain) Tetapi apakah Gereja bisa kritis-selektif terhadap budaya yang ada? <br />Perluasan teks Yesus mempergandakan anggur dengan kualitas terbaik ini diberikan sebagai satu paradigma, sekaligus tantangan untuk membaca budaya pesta di KAE dengan beberapa isunya. <br />Terdapat tiga kerangkan teologis yang bisa digunakan untuk mejelaskan kenyataan yang ada, yakni kerangka “Penciptaan-Kejatuhan-Penebusan”, “Antikristus-Kristus” dan “Kematian-Kebangkitan Kristus”. <br /><br />1. Kerangka “Penciptaan-Kejatuhan-Penebusan”<br /><br />Umat KAE lahir sebagai masyarakat agraris yang mayoritasnya menggantungkan hidup dengan berladang. Sejak zaman dulu mereka bergantung seutuhnya dari kemurahan alam. Berkaitan dengan ketergantungan itu, mereka lalu memiliki tata cara sendiri, yang merupakan bagian dari budaya, untuk menjaga keselarasan dengan alam itu. Alam atau kosmos adalah serentak Pengada pertama (causa prima) dan penjamin kehidupan. Ketika Gereja hadir, alam bukan lagi pusat melainkan Kristus sebagai Allah yang datang membebaskan dan menyelamatkan mereka. Gereja serentak membangun institusi pendidikan yang mengajarkan juga teknologi baru. Gereja mau melepaskan umat dari keterbelengguan kemiskinan dan keterbelakangan. Kehadiran Gereja dan pengaruhnya justru serentak merupakan kejatuhan bagi institusi budaya dengan hampir semua sistem (khususnya budaya pesta yang sudah ada). Kenyataan itu disadari oleh mereka yang sudah menghayatinya sejak sekian lama. Mereka sadar bahwa hidup ini kian ditantang oleh berbagai macam kebutuhan yang harus dipenuhi (kebutuhan sehari-hari, biaya pendidikan, biaya perawatan kesehatan, dsb). Karena itu muncul rintihan supaya dibebaskan dari situasi terbelenggu atau menurut bahasa Konsili Vatikan II, “mendidik manusia untuk kebebasan batin”. <br /><br />2. Kerangka “Antikristus-Kristus”<br />“Kristus Anggur Sejati” adalah simbol penebusan-pembebasan-penyelamatan yang dirindukan. Tetapi kedatangan Anggur Sejati selalu didahului oleh kenyataan Anggur Palsu. Anggur palsu selalu membuat orang-orang yang hadir dalam pesta kehidupan mabuk. Dalam kemabukannya mereka lalu dihinggapi benih-benih ilusi: lalu mereka mengejar ilusi dengan sikap pasif-enggan bekerja keras, terlibat dalam perjudian, pencurian, dan berbagai tindakan negatif lainnya. Tetapi anggur palsu akan kehilangan daya pikatnya sebab dia tidak sanggup membebaskan umat dari kemiskinan dan keterbelengguan yang ada. Hanya daya Anggur Sejati Kristuslah yang bisa menyelamatkan mereka.<br /><br />3. Kerangka “Kematian-Kebangkitan Kristus”<br />Kristus-Anggur Sejati yang sudah wafat dan bangkit, wafat dan bangkit lagi dalam setiap situasi sejarah. Kita bisa mengatakan pesta-pesta yang sudah menimbulkan pelbagai macam soal (terlepas dari unsur positifnya), mengharuskan umat berteriak supaya dibebaskan dari tuntutan wajib untuk terlibat secara aktif. Kristus mati dalam diri mereka yang tidak mampu terlibat dalam pesta, sementara budaya menuntut mereka untuk terlibat. Akibatnya mereka yang tidak sanggup terkucil. Mereka tertindas karena pesta yang dibuat dengan suatu paksaan tanpa memperhitungkan ketidakmampuan ekonomi anggotanya.<br /><br /><br />BERUPAYA MENEMUKAN TITIK TEMU PASTORAL YANG RELEVAN: BERTEOLOGI SEBAGAI PERGUMULAN RANGKAP <br /><br />Terdapat tiga tahap atau metode yang saya angkat untuk bergumul dengan kenyataan dan tantangan umat KAE berkaitan dengan budaya pesta, yakni “attending” (menghadirkan dua kenyataan), “assertion” (menghadapkan dua kenyataan itu satu dengan yang lain) dan “decision” (memutuskan apa yang harus dilakukan). <br /><br />Attending: Budaya Pesta dan Sisi Positifnya <br /><br />Pesta-pesta yang dilakukan oleh umat KAE bukan tanpa nilai positif. Ia juga muncul untuk tujuan itu. Berikut ini saya akan memperlihatkan nilai-nilai positif dari Budaya Pesta:<br /><br />1. Kebersamaan dan Persatuan<br />Praktek hidup berbudaya mengajarkan masyarakat untuk bekerja sama dan menggalang persatuan yang kuat. Ini sebuah modal yang berarti bagi pengembangan hidup bersama. Setiap orang dipanggil untuk ikut serta dalam ikatan kebersamaan dan menyumbangkan pikiran, tenaga dan materi untuk sebuah maksud bersama.<br /><br />2. Perwujudan Identitas Diri<br />Kebudayaan dan setiap unsur khas yang terdapat di dalamnya menunjukkan identitas seorang pribadi. Di dalamnya mereka bisa berperan sesuai dengan statusnya masing-masing. Orang dikenal dari kebudayaannya. Dan lebih dari itu seseorang tidak tercabut dari akarnya.<br /><br />3. Kerja sama <br />Nilai ini sangat menonjol dalam setiap kebudayaan. Setiap pihak yang memiliki tugas dan tanggung jawab masing-masing bisa bertemu dan bekerja sama. Hal ini terlihat dari pembicaraan bersama sampai pada pelaksanaannya.<br /><br />4. Kerukunan dan Persaudaraan<br />Ikatan budaya selalu membuat masyarakat merasa sebagai saudara. Tentu saja hal ini tidak luput dari konflik, tetapi warna persaudaraan sangat tampak dalam kegiatan-kegiatan adat setempat.<br /><br />5. Nilai Syukur<br />Pesta-pesta yang digelar (baik adat maupun yang terkait dengan adat) selalu mengangkat nilai syukur sebagai hal dominant. Dengan demikian, adat- kebiasaan sungguh menekankan aspek ini kepada semua penganutnya.<br /><br />Assertion: Budaya Pesta dan Praktek Pembebasan<br />Secara harfiah, mujizat yang terjadi di Kana sebenarnya hanya berupaya menyelamatkan rasa malu tuan pesta di hadapan para tamunya. Sebagai tamu yang ikut diundang Yesus ingin supaya Ia dapat menyelamatkan situasi kritis yang dialami tuan pesta. Tapi dampaknya ialah bahwa tuan pesta merasa gembira karena diselamatkan. Rasa gembira itu begitu membekas lalu menimbulkan rasa ingin tahu, siapakah Yesus itu. Pertemuan dengan pribadi Yesus menyebabkan tuan pesta dari Kana merasa bahagia, bahagia karena dia mengenal tentang keselamatan. Itulah puncak dari pertemuan dengan Yesus: mengenal dan akhirnya mengalami keselamatan.<br />Pesta-pesta yang dilakukan juga memiliki tujuan positif. Semua orang tak akan memungkiri kenyataan itu. Tetapi, prosesnya untuk mengalami pembebasan, itulah yang memiliki terbanyak sisi gelapnya, sebuah kenyataan yang tidak membawa pembebasan. Pesta yang ada merupakan pembebasan sementara, tersebab kemudian usai pesta orang lebih terbelenggu karena menghadapi kenyataan hidup yang paradoksal. Kegembiraan yang dituai dari pesta akhirnya mengalami nasib naas: ia hanya bergerak selama pesta berlangsung, sesudahnya terjerat kembali ke dalam kubangan kemiskinan.<br />Berikut beberapa catatan singkat tentang sisi gelap budaya pesta:<br />1. Orang dituntut untuk memenuhi aturan adat dengan mengorbankan materi (barang maupun uang) yang begitu besar tanpa sering tidak memperhitungkan kemampuan orang secara ekonomis. Pesta-pesta adat selalu mempunyai siklus yang tetap setiap tahunnya, tetapi penghasilan umat tidak selalu tetap. Tetapi sebagai sesuatu yang ritual pesta itu harus tetap dijalankan, apapun yang terjadi. <br />2. Pesta adat dan hal-hal yang berkaitan dengannya sering menimbulkan konflik dan ketegangan dengan begitu banyak pihak. Orang-orang yang tidak terlibat dengan sendirinya dikucilkan atau merasa terkucil dari masyarakat adat (tanah persekutuan) Di sini muncul pemaksaan secara tidak langsung.<br />3. Ada pemborosan yang tidak perlu. Akibatnya urusan adat bisa membelenggu orang dan membuat orang tidak maju. Belum lagi pemborosan itu mengakibatkan banyak hal penting lain harus diabaikan.<br />4. Pesta adat dan pesta lain sering juga didasarkan atas gengsi atau harga diri (prestise) yang memiliki nilai yang dangkal. Kehebatan diri dianggap lebih penting daripada kesederhanaan.<br />5. Tuntutan pesta adat atau hal yang berkaitan dengannya sering berpengaruh pada hdup keluarga. Terkadang tuntutan adat (dalam perkawinan) mengabaikan perhatian yang sebenarnya diberikan kepada keluarga baru. Tuntutan belis yang tinggi menyebabkan lahir pola hidup merantau, orang terpaksa merantau untuk “membayar” belis atau utang yang ditimbulkan olehnya. Selain itu dalam dunia pendidikan, anak-anak tidak bisa melanjutkan pendidikannya karena ketiadaan biaya.<br />Dari sekian sisi gelap sebuah budaya pesta, dapat dipastikan mengakibatkan hilangnya nilai-nilai lain: keharmonisan keluarga, kesejahteraan ekonomis, pendidikan yang terbengkelai, kesehatan yang tak terjamin, dsb.<br /><br />Decision: Teologi yang Relevan dengan Konteks: Gereja Mau Buat Apa?<br /><br />1. Bersikap Realistis-Kritis <br /><br />Budaya Pesta merupakan suatu kenyataan yang sudah ada sejak zaman lampau, jauh sebelum Gereja menghadirkan Kabar Gembira (Yesus) di KAE. Itu juga suatu fakta yang tak mungkin dimungkiri. Bahwa ia ada sebagai suatu realitas itu harus diterima dan diakui. Tetapi sikap pengakuan mesti merupakan suatu tindakan kritis, dalam arti pengakuan tidak merupakan pembenaran atas setiap aksi budaya itu. Lalu apa yang menjadi norma? Umat mesti memiliki suatu prioritas dalam hidup, yakni mengutama keselamatan (baca: kesejahteraan) lahir maupun batin. <br />Jika budaya pesta ternyata tidak menyebabkan kehidupan masyarakat ditandai oleh dijunjung tingginya nilai keadilan dan kebenaran, maka ia harus diarahkan ke jalan yang benar. Pesta sejati dilakukan hanya sebagai ekspresi atas penghirauan sikap yang adil dan benar. Allah, melalui nabi Amos, menandaskan hal itu. Kami mengutip teks itu:<br /><br />Aku membenci, Aku menghinakan perayaanmu dan Aku tidak senang dengan perkumpulan rayamu…Jauhkanlah daripada-Ku keramaian nyanyian-nyanyianmu, lagu gambusmu Aku tidak mau dengar. Tetapi biarlah keadilan bergulung-gulung seperti air dan kebenaran seperti sungai yang mengalir (Bdk. Kitab Amos 5:21-27). <br /><br />Keadilan dan kebenaran hendaknya menjadi tema yang terus bergema dan pada akhirnya bermuara pada Kristus sebagai keadilan dan kebenaran yang sejati.<br /><br />2. Keterlibatan<br /><br />Kemiskinan yang menjadi warna dominant umat KAE menjadi sebuah kenyataan lain. Kita perlu mencari akarnya. Salah satu temuan kita ialah budaya pesta yang tidak berimbang dengan kemampuan menghasilkan umat. Tapi juga pertanyaan perlu diarahkan kepada umat: kenapa kemampuan menghasilkan kurang? Apakah mereka betul telah tenggelam dalam pusaran anggur palsu (mental malas, hidup dalam ilusi) sehingga mereka mabuk (pasif, tidak tahu mau buat apa, pikiran dangkal)? Gereja hadir sebagai pengantara yang sanggup membaca kerisauan, kecemasan dan kebalauan umat yang sedang kehabisan anggur (kemampuan atau daya) untuk melanjutkan “pesta kehidupan”.<br />Gereja Nusa Tenggara Timur umumnya Gereja kaum agraris. Sejauh mana Gereja telah terlibat dala mengentaskan kemiskinan (pengetahuan, sumber daya) umatnya? Keterlibatan bisa diartikan dalam dua hal: pertama, Gereja terlibat untuk melibatkan umat dalam persoalan-persoalan mereka sendiri: mencari akar permasalahan, memikirkannya secara bersama lalu mencari jalan keluar. Sekarang bukan zaman donasi lagi. Sikap Yesus ialah menyuruh menebarkan jala ketika mereka ketiadaan ikan (Bdk. Luk 5:4). Jala ditebarkan karena mereka tidak memiliki ikan. Ikan tidak mereka miliki, tetapi jala ada. Tebarkanlah jalamu…adalah menebarkan segenap daya yang ada dalam diri mereka. Karena itu, partisipasi yang aktif dalam membangun hidup mereka (berangkat dari dalam) menyebabkan mereka realistis bahwa para perantara (Gereja) hanya berlaku sebagai mediator. Keputusan untuk maju berada di tangan umat sendiri. Hal ini dibuat supaya mereka tidak semata-mata tergantung pada belas kasihan pihak lain untuk membawa mereka ke hidup yang lebih layak. <br />Kedua, Gereja membaca kerisauan umat lalu mencari solusi alternatif. Kita sudah melibatkan umat dalam mencari solusi untuk persoalan mereka. Sebagai pengantara, Gereja memberikan juga solusi alternatif yang bisa membebaskan mereka. Menurut hemat kami, program Delsos atau PSE mesti mendapat tempat yang luas dalam karya pastoral Gereja di KAE. Gereja berbicara dari mimbar dan praksis hidup nyata. Inilah jalan, di mana pada satu sisi mereka sendiri terlibat untuk mencari pembebasan selain itu sebagai pengantara kita juga memberikan jalan lain untuk tujuan yang sama. Inilah cara Gereja bersolider dengan kemiskinan mereka. Solider sejatinya adalah sikap aktif untuk melakukan tindakan pembebasan.<br /><br />3. Self-Critic untuk Menjadikan Kesederhanaan sebagai Budaya Tandingan : Model Perjuangan Gereja<br /><br />Ketika Gereja memberikan penilaian kritis terhadap budaya pesta umat KAE, penilaian itu terasa tak menggigit. Jika Gereja lokal sadar bahwa budaya pesta juga menyebabkan umat KAE tetap terpuruk dalam situasi kemiskinan, maka kesadaran itu serentak mengarahkan dirinya untuk melakukan self-critic atas praksis teologi dan pastoralnya.<br />Bukan rahasia lagi bahwa Gereja, khususnya kaum religius dan klerus, sering kali menjadikan pesta sebagai budaya dan gaya hidup. Kita bisa sebut hal yang paling kentara ialah sisi lain pesta kaul kekal dan tahbisan. Kedua pesta ini selalu dijalankan dengan biaya yang sangat besar dan melibatkan begitu banyak orang di dalamnya. Padahal sering kali menjadi contradictio in terminis, menghayati kaul kemiskinan dengan gaya hidup yang kurang lebih mewah (anti kesederhanaan). Lalu kalau mau menjadikan budaya pesta dan sisi lainnya (yang menjadi salah satu faktor penghambat untuk mencapai hidup yang sejahtera) sebagai isu pastoral yang mau ditanggulangi bersama, bagaimana dengan perilaku imam, kaum religius? Kesederhanaan yang dibangun dari dalam diri Gereja sendiri menyebabkan umat sebagai anggota Gereja Allah mendapatkan sebuah model. Model kemiskinan injili yang telah diajarkan Yesus merupakan imperative bagi anggota Gereja (klerus, religius, awam) untuk menjadikannya sebagai budaya tandingan bagi dunia yang cenderung mengarahkan dirinya kepada sikap konsumerisme yang karenanya eksploitasi menjadi kenyataan yang tak terelakan. Kita melawan kecenderungan itu untuk mengubah dari dalam Gereja sendiri. Pertobatan yang benar untuk berpihak kembali kepada kaum miskin dan tertindas, hanya mungkin kalau keterlibatan tampak dalam praksis. Praksis yang menjunjung tinggi pola hidup sederhana merupakan bentuk perlawanan atau tandingan bagi main stream dunia.<br />Keprihatinan dan keterlibatan Gereja dalam mensejahterakan umatnya ialah juga dengan memberikan contoh yang memungkinkan tersedianya tempat yang luas kepada pola hidup yang sederhana.<br /><br /> <br />PENUTUP: SEBUAH KESIMPULAN<br /><br />Gereja lokal KAE perlu terlibat membantu umat menemukan akar permasalahan yang mereka hadapi berkaitan dengan kemiskinan sebagian besar umatnya. Keterlibatan itu tampak dalam usaha penyadaran umat akan pentingnya kemandirian dan kerja keras serta penghargaan terhadap nilai-nilai krisiani dan universal seperti keadilan dan kebenaran serta pelayanan. Selain itu Gereja juga mesti terlibat mencari dan menemukan solusi alternatif dengan mengembangkan program-program sosial-ekonomi.<br />Harapan akan munculnya Anggur Sejati (Kristus) merupakan arah pembebasan yang mau dicapai. Di saat umat KAE sudah menghayati kemandiriannya (dalam berbagai aspek kehidupan), tatkala mereka berperilaku adil dan benar sebagai ekspresi iman mereka akan Kristus, dan saling melayani (Bdk. Kis 2:41-47), maka di saat itulah pesta sebenarnya baru terjadi. <br />Jika Kristus tidak ditampakkan sebagai jiwa dari sebuah pesta, dan pembebasan bukanlah tema sentral yang mau diangkat, maka pesta itu adalah sebuah acara untuk memabukan diri dengan anggur palsu yang membawa ilusi. Contoh yang benar dari Gereja akan membawa umat kepada sebuah model yang hidup, tetapi bukan berarti sebuah ketergantungan dan tanpa usaha sendiri. Budaya pesta akan menjadi sebuah saat di mana hidup betul dirayakan jika ada proses seleksi yang kritis atasnya dan membawa pembebasan yang utuh.***<br /><br /> <br /><br />BIBLIOGRAFI<br /><br />Emanuel Gerrit Singgih, Berteologi dalam Konteks: Pemikiran-pemikiran Mengenai <br />Kontekstualisasi Teologi di Indonesia. Yogyakarta: Kanisius, 2000<br />Ferd. Heselaars Hartono (ed.), Teologi Praktis Pastoral dalam Era Modernitas-<br />Postmodernitas. Yogyakarta: Kanisius, 1999. <br />L.J., Luzbetac, The Church and Culture. California: William Carey Library, 1977. <br />R. Hardawiryana (penterj.), Dokumen Konsili Vatikan II. Jakarta: Obor, 1993. <br />Lambert Lame Uran, Sejarah Perkembangan Misi Flores Dioses Agung Ende. Ende: <br />Sekretariat KAE, 1993. <br />F.X. Sumantara Siswoyo, et. al (penyunt.), Buku Petunjuk Gereja Katolik <br />Indonesia 2001. Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2001. <br />John M. Prior dan Amatus Woi (eds.), Membaca Tanda Zaman Pada Akhir <br />Sebuah Zaman. Maumere: Puslit Candraditya, 2003. <br />Team Pusat Pastoral KAE, Pastoral Pembebasan Dan Pemberdayaan <br />Keuskupan Agung Ende Memasuki Milenium Ketiga. Ende: PUSPAS, 2001. <br />J.B. Banawiratma & J. Muller, Berteologi Sosial Lintas Ilmu: Kemiskinan sebagai <br />Tantangan Hidup Beriman. Yogyakarta: Kanisius, 1993. <br />Yosep Maria Florisan (penterj.), Model-Model Teologi Kontekstual. <br />Maumere: Ledalero, 2002. <br />Yoseph Suban, Bahan Kuliah Membuat Kristologi Lokal. STFK Ledalero, 1999.<br />____________, Bahan Kuliah Teologi Asia. STFK Ledalero, 1999.<br />____________, Bahan Kuliah Teologi Kontekstual. STFKLedalero, 2003.<br /><br /><br />***<br /> <br />Kanisius Teobaldus Deki, M.Th adalah Pengajar STKIP ST.PAULUS Ruteng-Flores-NTT-Indonesia. Mendirikan Lembaga Pendidikan & Kajian Demokrasi, juga direktur lembaga yang sama.<br /></span>LEMBAGA PENDIDIKAN DAN KAJIAN DEMOKRASIhttp://www.blogger.com/profile/09261201344588543137noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7244928221306403263.post-49622991313623454142010-03-07T18:59:00.000-08:002010-03-07T19:02:46.284-08:00Suarakan Kebenaran Jangan Tanggung-tanggungKiprah Lembaga Pendidikan dan Kajian Politik (LPKD) yang didirikan oleh Kanisius Teobaldus Deki, MTh setelah launchingnya pada tanggal 12 Pebuari 2010 lalu mendapat beragam respon dari masyarakat. Ketika Suara Nuca Lale mempublikasikan dua kegiatan perdananya, cukup banyak animo masyarakat Manggarai yang muncul. Betapa tidak, dalam forum pertamanya yang menghadirkan dua tokoh Manggarai yang kini berkiprah dalam pentas arus pemikiran nasional, seperti Boni Hargens dan Max Regus, banyak perspektif pencerahan politik yang terlontar dan menjadi penggugah “kegelisahan” masyarakat Manggarai yang sedang mengikuti sepak terjang para kandidat Calon Bupati dan Wakil Bupati Manggarai Periode 2010-2015 yang masih dinominasi oleh tokoh-tokoh berwajah lama. <br />Tidak sedikit pula yang bertanya-tanya mengapa lembaga yang melibatkan banyak orang muda Manggarai di Ruteng ini muncul dengan banyak ide-ide “melawan arus”. Berikut wawancara Jimmy Carvallo, Wartawan Suara Nuca Lale dengan Bung Nick, sapaan akrab Kanisius T. Deki M.Th (33) yang dilangsungkan dirumah kediamannya di Tenda, Ruteng beberapa waktu lalu. <br /><br /><span class="fullpost"><br />Suara NL: Ada banyak apresiasi positif saat LPKD di-launching beberapa waktu lalu. Masyarakat menaruh banyak harapan. Tetapi ada juga pertanyaan seputar lahirnya LPKD. Mengapa dibentuk dekat Pilkada?<br /><br />Kami juga menerima banyak komentar dan tanggapan. Masyarakat menilai bahwa perlu dihadirkan sebuah lembaga yang menjadi elemen penguatan masyarakat di bidang advokasi demokrasi. Masyarakat kita membutuhkannya. Kalau soal timing, sebenarnya tidak ada tendensi politis, selain karena urgensitas adanya lembaga non pemerintah yang bergerak dibidang demokrasi. Lembaga ini lahir dari sebuah kajian panjang. Sejak tahun 2009 lalu kami membuat penelitian langsung (participant observer) dengan menjadi peserta dalam kontestan Pemilihan Legislatif. Nyata bagi kami bahwa masyarakat perlu dibantu untuk membuat pilihan politis yang berdampak pada perubahan.<br /><br />Suara NL: Menarik bahwa telah ada kajian rasional yang telah dibuat sebagai dasar pendirian lembaga. Apa kira-kira maksud lebih jauh dari adanya lembaga ini?<br /><br />LPKD didirikan dengan Akta Notaris No. 12, Tanggal 19 Januari 2010. Maksud lembaga ini didirikan adalah demi terwujudnya masyarakat dan institusi lokal yang demokratis, berkeadilan, sadar gender, bebas sub-ordinasi, melestarikan lingkungan hidup dan mengembangkan kesejahteraan masyarakat. <br /><br />Suara NL: Apa kegiatan yang menjadi fokus LPKD?<br /><br />Adapun kegiatan yang akan dilakukan antara lain penelitian dan pengembangan demokrasi, penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan demokrasi dalam berbagai sektor formal dan informal, pengembangan media kajian dan informasi, pengembangan jaringan kerja sama lintas (agama, suku, budaya, lembaga), pelatihan dan peningkatan SDM serta penghargaan atas HAM.<br /><br />Suara NL: Sekarang ini Pilkada sudah di depan mata, apa program yang mendesak dilakukan LPKD? Sejauh ini, bagaimana tanggapan masyarakat atas aktivitas LPKD?<br /><br />Kegiatan Pendidikan Politik Aktual dilakukan melalui dialog radio (Ntala Gewang FM, Lumen 2000FM) dan seminar/lokakarya yang dilakukan secara kontinu dalam kerja sama dengan LEMBAGA PEMILIH INDONESIA (LPI). Kita berupaya memberikan catatan kritis atas pelaksanaan program pemerintah selama 5 (lima) tahun terakhir ini. Bahwa pembangunan tidak bisa hanya berorientasi pada fisik (state building) tetapi lebih kepada manusianya (nation building). Paradigma pembangunan kita selama ini justru menjerumuskan masyarakat ke arah yang salah. Seolah-olah bangun jalan raya, bangun kantor bupati yang megah itulah yang paling penting. Masyarakat memberi apresiasi positif dan sangat mendukung lembaga ini. Mereka selalu bertanya pada kami, “Apa yang harus kami lakukan?”<br /><br />Suara NL:Bicara tentang pembangunan, bukankah infrastuktur itu penting?<br />Kami tidak menafihkan arti pentingnya. Tetapi semua itu berorientasi pada manusia. Bukan pada proyek itu sendiri dan pemberi proyek. Kami melihat banyak penyimpangan. Dari segi kuantitas pemerintah selama 5 (lima) tahun sudah berbuat banyak. Namun dari segi kualitas sangat memerihatinkan. Banyak ruas jalan yang sudah diaspal hanya bertahan beberapa bulan, sesudahnya menjadi kali kering baru. Jembatan belum diresmikan sudah roboh. Air PAM, baru diresmikan sesudahnya tak menyalurkan air. Kantor bupati yang megah, apakah ada korelasi dengan efektivitas pelayanan terhadap masyarakat? Mobil mewah, apa urgensitasnya? Beberapa sekolah nol persen, perekonomian diklaim naik persentasenya, tidak diikuti penurunan jumlah angka kemiskinan. Belum lagi korupsi. Inilah fakta-fakta tak terbantahkan yang bermuara pada simpulan bahwa pemerintah belum mengurus masyarakat secara benar, kecuali memperkaya diri dan kroni-kroninya.<br /><br />Suara NL: Sehubungan dengan Pilkada 2010, bagaimana peran lembaga ini?<br />Kita mengajak masyarakat untuk membuka mata. Kita butuh peradigma baru. Pemimpin baru yang berkiblat pada kesejahteraan rakyat banyak (pro bonum commune) yang miskin (pro poor) baik dari segi program maupun komtimen. Itulah sebabnya kita melakukan pendidikan politis secara berkesinambungan.<br /><br />Suara NL: Apa ada kriteria khusus?<br />Kita butuh pemimpin yang jujur, tidak lagi menipu rakyat. Rakyat sudah babak belur dikibuli terus-menerus. Kita butuh pemimpin yang bekerja dengan segenap hati, kerja keras dan bertanggungjawab. Manggarai juga Manggarai Barat butuh pemimpin yang smart (cerdas), accountable dan bersih bukan saja pada tataran konseptual tetapi juga aplikasi praktis. Selain itu pemimpin Manggarai ke depan adalah pemimpin kontekstual. Manggarai ini daerah pertanian, kebijakan di bidang pertanian dan peternakan mestinya menjadi andalan. Bukan sebaliknya. Pemimpin yang sanggup menciptakan pasar yang seimbang bagi hasil pertanian, bukan semata-mata pro pengusaha yang telah membiayai Pilkada. Di sini banyak yang kualifikasi pendidikannya Pascasarjana bahkan ada yang tamatan luar negeri. Kita manfaatkan kemampuan mereka. Yang lama dan sudah berumur, kita minta untuk istirahat dan beri masukan.<br /><br />Suara NL: Apa harapan untuk pemilih Manggarai di ajang Pilkada 2010?<br />Tokoh-tokoh adat jangan lagi mau ditipu dengan janji-janji yang bombastik. Bahasa Manggarainya, eta awang kang (melangit). Kaum agamawan, diharapkan membawa firman Tuhan dengan benar dan tak usah menjadi nabi palsu. Suarakan kebenaran, jangan tanggung-tanggung. Umat bosan melihat sikap agamawan yang melempem di hadapan penguasa. Masyarakat kita sudah mulai cerdas. Diharapkan kaum intelektual tetap mengawal mereka. Lembaga Pendidikan Tinggi diharapkan untuk punya peran strategis dalam pendidikan demokrasi. STKIP St. Paulus, STIPAS St. Sirilus, UNWIRA Kampus Ruteng, UNIKOM dan OEMATONIS Kampus Ruteng jangan diam saja bahkan pada saat fakta rakyat Manggarai ditindas dan dibelenggu orientasi pembangunan yang dangkal. Selain itu, LPKD juga berupaya mengajak kaum muda untuk berpikir kritis melalui berbagai media, pergerakan di jalanan ekstra parlementer serta meningkatkan kemampuan berpikir logis melalui penerbitan buku serta artikel yang berbobot.***<br />(Dimuat di:Nuca Lale<br />Suara Manggarai, Edisi 14, 1-15 Maret 2010)<br /><br /></span>LEMBAGA PENDIDIKAN DAN KAJIAN DEMOKRASIhttp://www.blogger.com/profile/09261201344588543137noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7244928221306403263.post-255290141458740842010-03-05T05:21:00.000-08:002010-03-05T05:24:34.683-08:00GEREJA YANG BERPIJAK DAN TERLIBATMencari Jati Diri Teologi Pembebasan Di Tengah Kemiskinan dan Ketertindasan Masyarakat NTT<br /><br />Kanisius Teobald Decky, M. Th.<br /><br />Abstract: Since the second Vatican council echoed throughout the world, Church of South East Region has become aware of the need to take account of the native culture of local society. Various efforts and activities in inculturation, dialogue beetwen religions, and liberation movement appeared in the reflection on theology. Consequently, a mult-sector dialoque, as the Bishop Conference of Asia called it “Triplet Dialogue” or “dialog rangkap tiga”, appeared through the efforts. Christian communities have been aware that they can seriosly build the local church of South East Region if they build a continual dialogue between cultures, religion, experiences within economic, social and political lives of South East people. The focus of the writing is to know how the relationship between the theological reflection and the social context of life, which is oppressed by the poverty and structural oppression, develop in the church.<br /><br />Key-words: Keberpihakan, kemiskinan, ketertindasan, teologi pembebasan<br /><br /><span class="fullpost"><br /><br />1. Pengantar<br />Hampir setiap hari kita membaca di media massa tentang masalah krusial yang menimpa masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT). Masalah – masalah itu berkutat antara bencana alam yang diakibatkan oleh perubahan iklim global sampai pada bencana yang ditimbulkan karena keserakahan manusianya. Selain dianggap wilayah kritis nan gersang, NTT kerap dinilai sebagai wilayah yang paling banyak menimbulkan belas kasihan. Masalah kemiskinan yang memprihatinkan, sumber daya alam yang melimpah tetapi tidak dieksplorasi secara maksimal, korupsi yang telah membudaya dan melibatkan hampir semua elemen masyarakat, pengangguran intelektual yang sulit ditekan, perjudian yang sukar diberantas, kekerasan dan ketidakadilan sosial dan hukum, budaya yang kian merosot dan tak jua mampu beradaptasi dengan kemajuan pesat yang ditimbulkan trend modernitas dan kehidupan religius yang seolah-olah menuju kepunahan.<br />Menghadapi Masalah-masalah yang muncul ke permukaan kenyataan masyarakat NTT, pelbagai pihak memberikan tanggapan serentak jawaban. Pemerintah dengan prosedur hukum dan kebijakannya, coba mempresentasikan jawaban itu dalam program yang dicanangkannya. Demikian juga lembaga-lembaga lain, termasuk Gereja. Penduduk NTT sebagian besar adalah orang-orang Kristen. Bagaimana upaya Gereja menjawabi tantangan aktual NTT, adalah sebuah pertanyaan yang urgen untuk dijawab. Tulisan ini berbicara tentang upaya menemukan Teologi Pembebasan, sebuah usaha untuk menemukan jati diri Teologi di tengah kemiskinan masyarakat untuk menemukan pembebasan. Kerangka pembebasan memposisikan diri pada historisitas manusia yang selalu berada dalam “proses menjadi” terus menerus. Bagaimana pertautan antara refleksi teologis dan konteks aktual yang terperangkap dalam keterjajahan kemiskinan dan struktur yang menindas, merupakan sisi tilik yang coba menjadi fokus tulisan ini dalam usaha menemukan teologi yang kontekstual. <br /><br />2. Teologi Pembebasan: Refleksi Historis dan Praksis<br />2.1. Kilas Balik Sejarah<br />Pertama nian saya ingin mengemukakan arti teologi. Kata “teologi” berasal dari kata Yunani “theologia” yang secara etimologis berarti ilmu (logia) tentang Allah [Theos]. Sebagai fides querens intellectum [iman yang mencari pemahaman], teologi menggunakan sumber daya rasio, khususnya ilmu sejarah dan filsafat. Dengan kata lain teologi adalah pengetahuan adikodrati yang metodis, sistematis dan koheren tentang apa yang diimani sebagai wahyu Allah atau berkaitan dengan wahyu itu. Di hadapan misteri ilahi, teologi selalu “mencari” dan tidak pernah sampai pada jawaban terakhir dan pemahaman yang selesai. Untuk itu dalam pencariannya, teologi terbagi dalam berbagai gaya dan bidang sesuai dengan kebutuhan riil manusia, dan salah satunya adalah Teologi Pembebasan.<br />Sejak abad ke-15, saat Columbus menemukan beberapa pulau di Karibia, Kolumbia, sejarah kolonialisme mulai dibentangkan di negeri Amerika Latin. Negara-negara Barat khususnya Spanyol dan Portugis datang ke negeri ini dan menjadi penjajah. Pada abad ke-19, banyak wilayah di Amerika Latin berhasil memperoleh kemerdekaan dan berdiri menjadi negara-negara baru. Tragisnya, meski kolonialisasi politis berakhir, tidak diikutsertakan kebebasan yang integral. Kolonialisme politik diganti oleh kolonialisme ekonomi. Puncak eksploitasi terjadi dalam dasawarsa 1950-an ketika Amerika Latin mengadopsi model ekonomi Barat, yakni kapitalisme. Sistem ekonomi kapitalis ternyata tidak membawa kemakmuran bagi rakyat seperti yang diharapkan tetapi malah mengakibatkan kemiskinan yang masif. Hanya segelintir orang yang mengalami kemakmuran sedangkan mayoritas terbesar masyarakat mengalami kemiskinan yang ekstrem. Kapitaslisme justru semakin memantapkan struktur sosial ekonomia yang eksploitatif.<br />Berhadapan dengan realitas kemiskinan ini, Gereja Amerika Latin pada umumnya tidak banyak melakukan hal yang berarti selain kegiatan sosial karitatif seperti mendirikan dan mengelolah rumah sakit, panti asuhan dan lembaga pendidikan. Gereja Amerika Latin hidup dalam dunia getto-nya sendiri. Konsekuensinya jelas, Gereja Amerika Latin mengambil posisi netral terhadap kenyataan kemiskinan yang masif. Kemiskinan adalah urusan negara dan karena itu gereja tidak perlu membuat intervensi atasnya. Melalui posisi netralnya, Gereja telah mendukung status quo kemiskinan. Netral berarti diam dan pasif terhadap kenyataan yang ada. Itu artinya turut melanggengkan realitas kemiskinan meskipun realitas tersebut merupakan ketidakadilan sosial dan bertentangan dengan nilai-nilai Kerajaan Allah yang diwartakan Yesus dan Gereja. <br />Berpijak pada kenyataan ini muncul refleksi dan reaksi yang coba diwakili oleh tiga kelompok besar. 1) Umat kristen kebanyakan yang dalam pengalaman hidup hariannya merasakan jarak besar yang memisahkan Gereja dari Injil dan keterasingan Gereja dari dunia nyata Amerika Latin. 2) Kelompok orang yang dalam perjuangannya menemukan Gereja sebagai kekuatan penghalang untuk membentuk masyarakat yang lebih adil. 2) Kelompok elite kaya dan berkuasa yang merasa tidak senang dengan inisiatif dan gerakan perjuangan yang dilakukan oleh beberapa kelompok dinamis.<br />Refleksi yang muncul di atas ketertindasan dan kemiskinan rakyat Amerika Latin diberi nama Teologi Pembebasan (Liberation Theology). Teologi Pembebasan adalah sebuah nama untuk teologi yang muncul dan berkembang di Amerika Latin dan berorientasi pada kemerdekaan. Gerakan ini meluas dan menjadi sebuah perjuangan pergerakan di Amerika Latin karena diilhami oleh pelbagai refleksi. Refleksi-refleksi itu antara lain: 1) Peristiwa pembebasan orang Israel dari Mesir, pewartaan kenabian yang menuntut keadilan, dan pewartaan Kerajaan Allah oleh Yesus Kristus. 2) Membaca Kitab Suci dalam terang pembebasan integral; dan 3) Mengarahkan diri pada akar di mana struktur-struktur ketidakadilan dan ketergantungan ekonomi menindas begitu banyak orang miskin.<br />Tokoh-tokohnya yang terkenal: Juan Luis Segundo, John Subrino dan Gustavo Gutierez melalui bukunya yang berjudul A Theology of Liberation, muncul untuk menyuarakan Teologi Pembebasan. Para tokoh gerakan ini sangat memperhatikan peranan teologi dalam mendorong terjadinya perubahan sosial dan mengembangkan spiritualitas pembebasan yang berpijak di atas tanah kehidupan rakyat, iman dan perjuangan mereka. <br />Menanggapi gerakan Teologi Pembebasan di Amerika, pada tahun 1987 dalam ensiklik Solicitudo Rei Socialis, Paus Yohanes Paulus II mengajak seluruh dunia untuk mengusahakan “perkembangan dan pembebasan” yang mewujudkan diri dalam cinta dan pelayanan sesama, khususnya mereka yang paling miskin. <br /><br />2.2. Menyesuaikan Konteks, Menemukan Format Baru Berteologi<br />Gerakan Teologi Pembebasan kemudian menjadi gerakan mondial yang merambah hampir ke seluruh dunia, khususnya negara-negara yang tercakup dalam “dunia ketiga”, termasuk Asia dan Afrika, negeri yang kerap diidentikkan dengan “dunia ketiga”. Dalam menjawabi soal dunia ketiga, yang miskin, terpecah, tertindas, bergantung dan yang sedang membangun kepercayaan diri untuk memberikan alternatif baru, teologi dunia ketiga terbentuk. Sehubungan dengan soal umum ini ada beberapa ciri umum dari teologi ini. <br />1) Memilih berpihak pada yang miskin dan lemah. 2) Solidaritas dengan mereka yang menderita dibentuk pada level yang sangat mendasar dalam komunitas-komunitas dasar entah bersifat kristen atau manusiawi/ekumenis, untuk hidup dan berjuang bersama. 3) Untuk betul berakar dan percaya diri coba dijawabi tantangan indigenisasi dan inkulturasi. 4) Metode baru berteologi. Cara berteologi klasik yang hanya berkutat di ruangan (kelas, belajar, tamu) ke dapur, bergumul dengan soal-soal kehidupan sehari-hari sehingga menghasilkan teologi yang fragmentaris, tidak lengkap dan pluralistik, yang menyatukan bacaan Kitab Suci, doa, diskusi dan refleksi. Bergerak dalam satu lingkaran hermeneutik yang memadukan aksi dan refleksi, passing over dan coming back, suspicion dan retrieval. Perpaduan ini disebut “praxis”.<br />5) Bergumul dengan dosa dan kejahatan yang bersifat pribadi (kultural) dan sistemik (struktural) dengan satu strategi khusus: Kritik diri (otokritik) mesti dibuat untuk bisa (credible dan berani) mengeritik yang lain. Dalam berpihak pada kaum miskin dan lemah, pergumulan mesti juga dibuat dengan mereka yang sudah menciptakan kesengsaraan dan ketidakberdayaan kaum miskin dan lemah itu. Cinta mesti dibuat tanpa melupakan keadilan, Salib mesti dipikul untuk melengkapi yang masih kurang dalam penderitaan Kristus dalam menebus dunia.<br />6) Allah kita adalah Tuhan sejarah. Dia sedang bekerja di dunia ini, untuk membebaskan dan menyelamatkan umatNya. Upaya pembebasan dan pemberdayaan mereka yang tertindas dan lemah merupakan partisipasi kita dalam kerja Allah. 7) Tuhan sejarah sudah diwahyukan dalam Yesus Kristus. Dia menunjukkan kita jalan bagaimana berpartisipasi dalam karya Allah di dunia ini dan menjiwai kita dalam upaya berpartisipasi ini. 8) Yesus Kristus Sabda yang menjelma, sebagai Logos abadi hadir dan bekerja secara universal. Kepercayaan akan kenyataan ini menggerakan kita untuk membangun satu ekumene baru dan bekerja dengan semua pihak demi satu tujuan yang sama yakni: menegakkan keadilan, kedamaian dan keluhuran martabat manusia lelaki-perempuan dan alam ciptaan.<br />Jika Teologi Pembebasan di Amerika Latin lahir dari kesejarahan dan konteks aktual mereka, maka dalam bingkai yang sama, Afrika melahirkan “pembebasan” dalam teologi inkulturasi dan Asia teologi ekumenis . Misi pembebasan inilah yang menjadi bahasa dan praksis bersama sesuai dengan pengalaman dan kenyataan serta kebutuhan dominan. Meskipun demikian, Teologi Pembebasan dalam wilayah Asia dan Afrika yang telah menemukan nama dan bentuk barunya, tetap memiliki keterkaitan dengan teologi Pembebasan Amerika Latin tersebab mempunyai karakteristik dan persoalan yang sama.<br /><br /><br /><br />3. Menuju Konteks NTT: Gereja Yang Berpijak dan Terlibat <br />3.1. Membaca Konteks NTT<br />Gereja masuk ke NTT sejak abad ke-16 dan kemudian lebih intensif sejak abad ke-19. Sejak Gereja hadir terdapat pelbagai usaha untuk meningkatkan sumber daya manusia melalui pengenalan kehidupan religius dan proses pendidikan formal dan informal. Selain itu, melalui Gereja diperkenalkan kepada masyarakat NTT rumah sakit dan panti-panti asuhan. Sejak saat itu pula, Gereja menjadi sebuah lembaga yang dekat dan menyatu dengan kehidupan umat NTT. <br />Dalam proses penyatuan total dengan masyarakat NTT, ternyata Gereja cenderung menampilkan diri sebagai “yang tetap asing” dalam pandangan orang NTT. Gereja [merasa] mewakili kultur Barat, termasuk dalam cara ia berteologi. Adat istiadat orang asli serta kepercayaannya akan Wujud Tertinggi dianggap sebagai penyembahan berhala dan karenanya perlu dimusnahkan. Penghargaan akan nilai-nilai religius asli sangat kurang. <br />Melalui lembaga dan strukturnya yang mapan, Gereja berjalan dalam kerangka logis dan sistematis. Kerangka ini hanya bisa diimbangi oleh lembaga-lembaga yang memiliki metode dan prinsip yang sama. Tragisnya, masyarakat NTT kebanyakan adalah masyarakat agraris yang sulit memahami kerangka logis-sistematis dalam keseluruhan hidup mereka. Karakteristik masyarakat NTT sulit beradaptasi dengan lembaga Gereja. Karena itu, ada kesenjangan metodis yang terjadi antara lembaga Gereja di satu pihak dengan masyarakat di pihak lain. Metode yang dipunyai Gereja tidak adaptif dengan kenyataan masyarakat dan hanya bisa diimbangi oleh pemerintah yang memiliki kerangka yang sama.<br />Dampak yang timbul ialah bahwa Gereja dekat dengan pemerintah. Kedekatan ini bisa membawa sekaligus dua efek. Pertama, Gereja bisa melayani umat-masyarakat yang satu dan sama melalui pelbagai program yang multiaspek. Ada missio bersama yang harus dijalankan demi tujuan yang sama. Akibat lanjutnya, Gereja-Pemerintah menjadi mitra yang solid di berbagai sektor kehidupan: pendidikan, kesehatan, pembukaan isolasi untuk wilayah-wilayah terpencil, dsb. Kerja sama yang tidak kritis bisa melupakan kekhasan yang dimiliki oleh dua lembaga ini membawa akibat buruk bagi masyarakat. Kekuasaan pemerintah dilegitimasi (atau tetap menjaga netralitas dengan diam, mendukung status quo) oleh Gereja, termasuk kalau kekuasaan itu terperosok ke dalam jurang bencana sosial: KKN, kekerasan, ketidakadilan, dsb. Kedua, Gereja-Pemerintah tetap menjaga kekhasan tetapi memiliki opsi yang sama untuk umat-masyarakat. Kedua lembaga ini otonom, tetapi saling membagi (share of power). Jika ini yang terjadi, Gereja bisa tetap menjalankan misi profetisnya. Ia menjadi sebuah kekuatan alternatif yang berdiri sendiri, tahan terhadap pengaruh luar, tak rentan terhadap intervensi yang mematikan.<br />Gereja regio Nusa Tenggara, termasuk NTT berjalan dalam dua tegangan ini. Dalam banyak peristiwa yang dialami umat-masyarakat, gereja tidak memberikan reaksi yang jelas. Ketika rakyat dari Colol-Manggarai tertembak dan dianiaya tanggal 10 Maret 2005, Gereja terkesan tidak menyuarakan posisinya secara jelas. Dalam sikap diamnya, Gereja seolah-olah melegitimasi kekerasan dan ketidakadilan yang dialami oleh rakyat-umat Manggarai. Kasus aktual, ketika Boni Tampoi, mantan Kapolres Manggarai divonis bebas oleh PN Kupang, Gereja regio Nusra tak bergeming sedikitpun untuk memberikan komentar ataupun pernyataan sikap. Gereja dan institusinya menjadi terpencil, terlempar dari pusat aktivitas real umatnya.<br /><br />3.2. Menemukan Jati Diri Teologi NTT yang Membebaskan <br />Untuk menghasilkan sebuah Teologi yang membebaskan, berikut ini saya mempresentasikan tiga prinsip dasar yang harus diindahkan oleh setiap penciptaan refleksi pembebasan dan pemerdekaan di NTT.<br /><br />3.2.1. Gereja yang Berdialog<br />Pada zaman lampau ketika Gereja mewartakan Injil ke wilayah NTT, para misionaris datang dengan anggapan yang keliru tentang budaya asli. Praktek-praktek keagamaan asli kerap dianggap sebagai bentuk penyembahan berhala. Karena itu mereka dijauhkan dari akar kehidupan lokal dan kehilangan identitas budayanya. Kategori negatif semacam itu sudah melekat sedemikian erat maka sulit untuk diubah. Konsekuensinya, penghargaan terhadap budaya asli sangat kurang. Orang-orang yang baru mengenal Kristus harus juga “bertobat” (baca: melepaskan) dari budaya mereka sendiri. Di sini kebudayaan Kristen dianggap sebagai yang harus diterima untuk serentak mengeliminasi budaya sendiri. Metode yang dipakai ialah instruksi yang beraroma paksaan dengan “ancaman kutukan”. <br />Pertemuan antara masyarakat asli dengan Gereja NTT menghasilkan dua hal penting. Pertama, suatu campuran terjadi antara unsur kekristenan yang penting bagi masyarakat dan kebudayaan asli mereka. Hal ini bisa dinamakan sebagai inkulturasi spontan. Dalam istilah Antropologis, sinkretisme merupakan suatu “syarat mutlak” (sine qua non) demi pengakaran Injil di antara kebudayaan-kebudayaan lain. Kedua, oleh orang yang beragama muslim, kehadiran misi Gereja Katolik maupun Zending Protestan merupakan bentuk penjajahan baru karena terkait erat dengan “pemain” yang sama yakni orang Eropa. “Penjajahan” dalam bentuk lain juga dirasakan oleh kebudayaan-kebudayaan asli.<br />Sejak gema Konsili Vatikan II bergaung hingga ke seluruh pelosok dunia, Gereja regio Nusa Tenggara semakin menyadari perlunya menghargai kebudayaan asli masyarakat setempat. Bahkan muncul berbagai usaha inkulturasi, dialog antar agama dan gerakan pembebasan dalam teologi. Melalui upaya-upaya ini muncullah dialog multi sektor, yang oleh Uskup se-Asia menyebutnya sebagai “dialog rangkap tiga”. Komunitas-komunitas Kristiani menjadi sadar bahwa mereka dapat dengan sungguh-sungguh membangun sebuah Gereja lokal NTT yang otentik kalau terjadi dalam proses dialog terus menerus dengan kebudayaan-kebudayaan, agama-agama, pengalaman-pengalaman aktual dalam aktivitas ekonomi, sosial dan politik orang NTT.<br />Dalam dialog yang mengedepankan lonto leok (musyawarah berdasarkan persaudaraan), terdapat komunikasi timbal balik antara kedua pihak atau bahkan dengan lebih banyak pihak. Sebagaimana tradisi sastra lisan menghidupkan berbagai bentuk ungkapan persaudaraan dan mencari keterjalinannya, demikian pula Teologi Pembebasan NTT berusaha menghubungkan warta keselamatan Yesus Kristus dalam dialog yang aktif dengan kehidupan aktual. Semangat dialog ini harus menjadi pilihan pertama dalam menyelesaikan konflik horizontal maupun vertical yang telah melanda NTT dari waktu ke waktu. Berhadapan dengan situasi seperti ini, pengembangan relasi yang dialogal merupakan suatu keniscayaan. Pada tahap ini, dialog bukan lagi sarana evangelisasi, melainkan evangelisasi itu sendiri. Ketika Gereja NTT mengembangkan relasi yang dialogal ini, terdapat kurang lebih empat hal yang harus jelas dan menjadi kesadaran bersama, yakni hakikat dari dialog, alasan-alasan untuk berdialog, kondisi-kondisi yang memungkinkan dialog dan model-model dialog yang efektif. Dialog rangkap tiga: dengan kebudayaan, agama-agama dan situasi kemiskinan serta ketertindasan merupakan jawaban yang tepat untuk semakin memahami Gereja regio NTT dan menawarkan pendekatan pastoral yang sesuai dengan konteks mereka.<br />Konsekuensinya jelas. Gereja tidak lagi dimengerti sebatas mimbar sekaligus pusat yang merupakan kiblat umat. Gereja adalah kehidupan umat itu sendiri yang harus disucikan terus menerus oleh perjuangan mencapai keselamatan. Gereja adalah medan perjuangan di mana mereka berusaha mengaplikasikan nilai-nilai kristiani dalam hidup konkret. Dengan demikian, Gereja bukan lagi lembaga yang menghasilkan berbagai dokumen iman, melainkan tempat pengalaman iman didialogkan, dibagikan sebagai santapan rohani. Pejabat-pejabat Gereja adalah penghubung yang sanggup membahasakan kebutuhan riil umat. Gereja karenanya tidak berarti singular. Sebagai sarana keselamatan yang berziarah menuju Allah, Gereja adalah umat Allah yang mendengarkan Sabda dan mengikuti kehendakNya. Umat Allah yang berbicara di rumah-rumah Gendang, di tempat lodok uma, di kantor DPR, di kantor Bupati tentang masa depan bersama yang berorientasi kepada keselamatan Yesus Kristus adalah juga Gereja yang diilhami oleh Roh Kudus. Jadi, tempat bukan soal lagi, karena di manapun umat-rakyat dapat berdialog dengan sesama saudaranya dalam namaNya, di situ Allah hadir (Mat 18:20). <br /><br />3.2.2. Gereja yang Membebaskan<br />Tekanan kolonialisme masa lampau masih terbaca dalam kecemasan-kecemasan orang NTT menghadapi tantangan hidup aktual masa kini. Mereka sudah terbiasa menghadapi pengalaman kekerasan, penindasan dan ketidakadilan struktural yang dipaksakan. Dalam situasi seperti ini, mereka sangat mengharapkan terciptanya situasi pembebasan dari keterbelengguan multiwajah. Ketika suara mereka tidak didengarkan oleh penguasa, tatkala hak-hak mereka tak dihiraukan dan mereka tidak sanggup untuk melawan, mereka mengharapkan Gereja tidak berdiam diri. Orang NTT rindu memiliki Gereja yang menjadi wakil mereka untuk bersuara menentang penindasan yang telah lama mereka alami. Gereja tidak boleh hanya menjadi penonton yang tidak berpihak pada mereka. Apalagi berkolaborasi dengan kebijakan-kebijakan yang jelas-jelas merugikan rakyat-umat NTT.<br />Gereja yang berdialog adalah Gereja yang aktif, terlibat dalam konteks budaya dan masalah-masalah orang NTT. Persoalan yang paling aktual ialah, bagaimana nilai-nilai budaya orang NTT dengan tradisi sastra lisannya menjadi sarana yang efektif untuk mendialogkan Kabar Gembira Yesus Kristus? Kesediaan Gereja untuk mendengarkan keluh kesah, harapan dan bersama mereka yang dirugikan berjuang untuk menemukan jalan pembebasan. Hanya suatu masyarakat yang terbuka, partisipatif mampu mengatasi keterpecahan kebudayaan kosmik yang disebabkan oleh pesatnya laju pasar internasional. Ini berarti Gereja NTT menciptakan suatu kebudayaan dialogal, di mana setiap orang dinilai (didengarkan) dan setiap orang ambil bagian dalam pengambilan keputusan yang demokratis. <br />Dialog itu sendiri merupakan evangelisasi pembebasan dalamnya misi Kristus dihadirkan. Dialog pada tahap pertama dan utama adalah kesediaan untuk saling membuka diri. Dalam dialog, kedua belah pihak memiliki kedudukan yang setara, sederajad di mana anggapan superioritas dan inferioritas ditiadakan. Gereja sebagai institusi mendialogkan tawaran keselamatan Yesus Kristus kepada orang NTT. Dalam budaya dialogal, orang NTT akan mengkomunikasikan pengalaman hidup dan budaya mereka kepada Gereja. Demikianpun sebaliknya.<br />Kebudayaan kosmik orang NTT telah menjadi sekular tatkala kaum miskin disamun dari bahasa yang dalamnya mereka mengungkapkan jati diri, martabat dan nilai-nilai hidup mereka yang terdalam. Dalam situasi krisis kebudayaan (terlepas dari akar budaya asli dan menjadi ragu atasnya) mereka ditawarkan untuk membuka diri terhadap yang transenden. Dalam konteks seperti ini, tempat Gereja ialah ada bersama-sama dengan kaum miskin dan yang tergusur sebab di situlah Allah akan ditemukan. <br />Konkritnya, ada beberapa langkah pembebasan yang dapat menjadi reksa pastoral. Pertama, dialog yang dijalankan dengan penuh ketulusan, keterbukaan berusaha meyakinkan orang NTT bahwa dari kebudayaannya terdapat banyak nilai Kristiani (yang dalam awal abad ke-20 disebut naturaliter Cristiana-orang Kristen secara alami) yang dapat menjadi basis iman mereka kepada Kristus. Di sini anggapan yang terlanjur didengungkan pada zaman lampau tentang superioritas ajaran Kristen akan runtuh dengan sendirinya. Baik budaya lokal Orang NTT maupun tradisi Kristen berjalan dalam saling menerima dan memberi. Di sini dialog akan membebaskan orang NTT dari keterbelengguan historis yang merupakan stigma ciptaan misionaris masa lampau.<br />Kedua, dialog pembebasan tidak dibuat sebatas saling menerima dan memberi nilai-nilai yang membangun partisipasi umat menuju keselamatan. Lebih dari itu, dialog diarahkan ke praksis kehidupan sehari-hari orang NTT. Itu berarti Gereja terlibat dalam persoalan kemiskinan, ketidakadilan, penindasan, kekerasan, pemberdayaan orang NTT secara aktif. Pengakuan akan eksistensi budaya, lembaga-lembaga adat-istiadat merupakan bagian dari misi pembebasan itu. Jika Pemerintah Provinsi NTT hanya menjadikan kebudayaan dan institusi adat sebatas komoditas politik, demi meraup keuntungan di atas upaya penjualan dan pengangkangan terhadapnya, maka Gereja mesti berada pada garda depan untuk tampil sebagai pembela. Di sisi lain, Gereja bisa menjadi suara kritis terhadap praktek-praktek budaya yang diksriminatif, membelenggu dan keliru tersebab menista martabat kemanusiaan. Tetapi suara Gereja akan didengarkan jika ia terlebih dahulu mau mendengarkan dan aspiratif terhadap budaya lokal.<br />Ketiga, dalam pergolakan politis dan kebijakan-kebijakan Pemprov NTT, Gereja mesti tetap memiliki suara profetis. Ketika Gereja NTT kehilangan suara profetisnya, ia menjadi sama seperti garam yang tidak asin (Mat 5:13) atau lampu yang tak berminyak (Mat 25:3). Orang NTT tidak terlalu membutuhkan bangunan Gereja yang megah, ruang pertemuan pastoral yang mewah. Gereja NTT harus tetap menjadi Gereja kaum sederhana yang hidup bersahaja. Seperti rumah Gendang yang tetap sederhana, Gereja hendaknya menampilkan diri secara ugahari, bersolider dengan umat yang tertindas dan menjadi pembela mereka. Advokasi hak-hak masyarakat NTT selama ini lebih banyak dilakukan oleh individu-individu tertentu bersama pers dan LSM yang cepat tanggap terhadap persoalan publik. Di manakah peran institusi Gereja? Gereja akan tetap dipahami sebatas institusi, gedung, jika tidak terlibat dalam kehidupan konkrit umat. Saatnya, praktek pembebasan ini dimulai, melepaskan dominasi teologi Barat, berupaya menjalin keterkaitan antara aktus-praksis dan refleksi demi menjawab tantangan aktual umat. Gereja perdana adalah Gereja para martir. Sudah tiba waktunya Gereja NTT keluar dari kenyamanan, berdiri bersama umatnya di bawah terik matahari untuk menentang kelaliman. Meskipun bayarannya adalah tubuh bersimbah darah.<br /> <br />3.2.3. Gereja Milik Umat<br />Institusi Gereja dan institusi religius di NTT menjadi bagian yang terpisah dari kehidupan umat. Pemisahan itu semakin tegas tatkala kaum religius dan para imam memiliki gaya hidup yang dianggap asing oleh umat. Disebut “asing” karena kerap tidak mencirikan identitas mereka sebagai gembala yang sederhana, penuh komitmen dalam melayani umat, termasuk siap membela kepentingan umat. Gereja seolah-olah hanya sebatas institusi. Kenyataan ini membuat Gereja NTT masih jauh dari harapan Konsili Vatikan II sebagai umat Allah yang berziarah.<br />Karena itu, apa yang menjadi tantangan terbesar Gereja ialah menjadikan dirinya bagian dari kehidupan umat. Ia akan menjadi milik umat jika para imam, kaum religius menampilkan diri sebagai gembala yang menjaga kawanan domba, yang membawa diri sebagai bagian dari umat yang masih sederhana, terikat dalam budaya yang kental dengan kultur agrarisnya. Usaha mencari keterjalinan budaya dan ajaran iman Kristen merupakan buah terindah dari pergumulan teologi pembebasan.<br />Sebenarnya persoalan semacam ini tidak khas milik umat NTT. Di berbagai tempat Gereja mengalami hal yang sama, termasuk seluruh kawasan Asia. Tantangan besar bagi Gereja Asia dewasa ini ialah mendorong kaum awam, biarawan dan imam meninggalkan tempat berteduh Katoliknya yang aman dan bersama-sama dengan sesama Kristennya, membawa Injil ke dalam berbagai kekuatan yang kacau dan kasar serta saling berlawanan, kekuatan mana yang akan membentuk Asia pada abad ke-21. Di tengah-tengah tabrakan berbagai kepentingan ini, orang-orang Kristen akan menemukan akar yang sesungguhnya dari berbagai masalah yang sedang dihadapi Asia modern, pun pula landasan manusiawi dan religius yang mereka miliki bersama-sama dengan orang Asia yang beriman lain. Penemuan akar jati diri budaya yang diperhadapkan dengan ajaran tradisi Kristen menghasilkan iman sejati yang menjadi dasar Gereja milik umat.<br />Sekaranglah saatnya Gereja terlibat dalam memupuk benih iman dan memberdayakan orang-orang NTT dari dalam agar mereka menyadari potensi dan kekuatan mereka sendiri. Maksudnya supaya mereka bersatu menghadapi kekuatan opresif. Mereka dituntun untuk mencapai tujuan ini bukan melalu proses kemarahan dan kebencian terhadap kekuatan dan struktur penindas, melainkan melalui transformasi bertahap ke dalam kelompok murid Yesus, menimba sinar kekuatan dari Tuhan yang bangkit dan berkumpul di tengah mereka dari karya Roh Kudus di dalam diri, budaya dan kehidupan aktualnya.<br />Tiga rekomendasi pastoral untuk Gereja regio Nusa Tenggara di atas dapat dipadatkan dalam beberapa point berikut ini. Pertama, kalau Gereja menyembah mammon yakni: uang dan kuasa, maka sulitlah baginya untuk melaksanakan peran profetis terhadap orang kaya dan berkuasa yang merupakan penindas rakyat NTT. Arah praksis pastoral juga akan berubah, Gereja akan merasa aman dengan diakonia karitatif tetapi bukan diakonia sosial, atau dengan pelayanan sosial tapi bukan aksi sosial. Kedua, terdapat dua tugas pelayanan Gereja dalam menghadirkan dirinya di NTT, yakni pelayanan keimanan untuk menciptakan rekonsiliasi yang membebaskan dan pelayanan profetis untuk menciptakan konflik yang membebaskan. Ada dialektika antara rekonsiliasi dan konflik dalam kehidupan rakyat NTT. Gereja terpanggil untuk menjadi pembawa “hambor” (damai) di tengah rakyat serentak membawa konflik di tengah rasa damai yang palsu.<br />Ketiga, berhadapan dengan para korban, Gereja mesti mengidentikan dirinya dengan mereka. Identifikasi diri ini bukan merupakan penerimaan pasif atas penderitaan melainkan transformasi yang memampukan, melalui mana kekuatan – kekuatan kematian dan kejahatan dikalahkan berkat kuasa kebangkitan. Di sini dituntut dari Gereja sebuah peran ganda, bukan hanya profetis tetapi juga politis. Keempat, untuk merubah situasi ketidakadilan, kita mesti membuat analisis atas seluruh situasi dengan menggunakan pendekatan sistemis yang bermaksud mematahkan monopoli para penguasa dan untuk memberdayakan kaum lemah serta mendorong mereka menemukan jati diri dan martabat sebagai orang bebas. Untuk sampai pada gerakan pembebasan kaum lemah, Gereja harus bekerja sama dengan mereka. Memang di sini butuh kesabaran dari pihak Gereja dan merupakan proses pengosongan diri dari kecenderungan menggandeng pihak - pihak yang kuat dan berkuasa.<br />Kelima, pada akhirnya Gereja menciptakan komunitas ketetanggaan tersebab dari hakekatnya Gereja memiliki tugas missioner. Kelompok - kelompok ini membentuk satu nucleus baru. Partisipasi komunitas basis dalam membentuk Gereja lokal yang kuat mulai dari kelompok inti. Komunitas-komunitas inilah yang memiliki kisah - kisah hidup yang perlu diceritakan. Dalam pergumulan terus menerus, antara pengalaman hidup dan refleksi iman atasnya, mereka dapat menemukan iman sejati yang menjadi milik mereka. Di sinilah dialog itu menjadi mungkin karena keterkaitan dan keterlibatan setiap elemen secara aktif. Ini jugalah yang menjadi kisah baru Gereja NTT, mana kala ia sendiri hadir dan turut mengambil bagian di dalamnya dan membiarkan dirinya dibentuk oleh situasi dan pengalaman mereka. Sebuah kisah di mana Gereja menjadi “teks” baru yang berbicara dalam “konteks” baru pula.<br /><br /><br />4. Kesimpulan <br />Menjadi jelas buat kita bahwa NTT membutuhkan sebuah teologi yang membebaskan umat-masyarakat dari kenyataan kemiskinan-kemelaratan dan ketertindasan refleksi teologis lama yang mengangkangi kemanusiaan kita di hadapan Allah. Kita perlu menemukan sendiri matriks teologi yang lahir dari pengalaman kemiskinan dan ketertindasan umat-masyarakat NTT. Usaha ini dimulai dari cara Gereja memahami diri dan konteks di mana ia berada. <br />Ada dua sikap yang bisa menjadi pilihan Gereja untuk menemukan jati diri teologi yang membebaskan. Jika ia tetap lebih mengutamakan kemapanan lembaga maka Gereja akan tetap menjadi sebuah institusi yang kuat tetapi tidak memiliki daya pengaruh yang luas. Ia hanya menjadi milik penguasa yang lalim dan rejim predator. Karena itu ia menjadi institusi tanpa isi. Tetapi jika ia peduli terhadap ratap tangis kemiskinan dan ketertindasan yang diakibatkan oleh struktur yang eksploitatif, ketidakadilan dan pemasungan oleh kekuasaan yang rakus dan loba, serta berani menjadi martir, maka ia (mungkin) membuat institusi babak belur tetapi dalam kehancuran lembaga (yang dominan sebatas sarana) ia tetap memiliki jati diri karena substansinya tetap mengemuka, yakni memuliakan martabat kemanusiaan di hadapan Allah dan manusia serta semua isi semesta.<br />Dua ekstrim ini merupakan pilihan yang diambil jika Gereja memiliki keberanian. Bisa jadi Gereja tetap menjadi orang Samaria yang baik hatin (Luk 10:25-37). Dia merawat orang yang dianiaya dengan mendirikan rumah sakit, panti asuhan, posko bantuan dan lembaga sejenisnya (berada pada tataran kuratif semata). Tiap hari orang yang dirampok semakin banyak. Padahal, yang paling penting ialah menghentikan perampokan sehingga tidak terjadi aksi kekerasan terhadap korban (sekaligus preventif). Di sini Gereja perlu membuat identifikasi terhadap kerja sama yang tidak sehat dengan lembaga lain. Sikap kritis dan otonom membantu Gereja untuk menyuarakan suara Allah yang benci terhadap kekerasan, kelaliman dan ketertindasan yang menimpa kemiskinan rakyat jelata NTT. Sebuah teologi yang membebaskan hanya muncul dari keberpihakan, refleksi dan aktus yang terbangun di atas situasi dan kenyataan ini.***<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />REFERENSI<br /><br />Bevans. Steven, Model-Model Teologi Kontekstual, terj. Yosef Maria Florisan. Maumere:<br />Ledalero, 2002.<br />Chen. Marthen, Teologi Gustavo Gutierrez,. Yogyakarta: Kanisius, 2002.<br />Conterius. Wilhelm Djulei, “Teologi Misi”, Bahan Kuliah. STFK Ledalero, 2004.<br />Decky. Kanisius Teobald, Agama Katolik: Berada Pada Persimpangan? <br />Ruteng: LPA, 2005.<br />________, “Persaudaraan Menurut Tradisi Lisan Orang Manggarai: Sebuah Upaya <br /> Membangun Teologi Kontekstual”, Thesis. Maumere: STFK Ledalero, 2005.<br />Dian 18 Juni 2006: “Sikka Kelaparan, Warga Makan Putak”.<br />Dister. Niko Syukur, Pengantar Teologi. Yogyakarta: Kanisius, 2003.<br />________, Filsafat Agama Kristiani. Yogyakarta: Kanisius-BPK Gunung Mulia, 1985. <br />Dokumen Konsili Vatikan II. terj. Robert Hardawiriana, Jakarta: Obor, 1993.<br />E. Dussel, A History of the Church in Latin America. Grandrapids, Michigan: <br />Eerdmans, 1981.<br />Flores Pos 19 Juli 2006: “Ratusan Petani Demo Tolak Putusan PN Kupang”, <br />“Desak SBY Sikapi Serius”, “SPM Nilai DPRD Khianati Rakyat”. <br />Flores Pos, 20 Juli 2006: “Fonis Bebas Tak Hapus Hutang Darah”. <br />Flores Pos, 17 Juli 2006: “Hakim PN Ruteng Dilapor ke Komisi Judisial”.<br />Gutierresz. Gustavo, The Power of the Poor in History. Maryknoll, New York: Orbis<br />Books, 1983.<br />________, A Theology of Liberation. Maryknoll, N.Y: Orbis Book, 1973.<br />Hayon. Yoseph Suban, Teologi Asia. Maumere: Ledalero, 1999.<br />L. Boff dan Clovis Boff, Introducing Liberation Theology. Quezon City: <br />Claretian Publications,1987.<br />O’Collins. Gerald, dan Edward G. Farrugia, Kamus Teologi. Yogyakarta: Kanisius, 1996.<br />Prior. John Mansford, “Menuju Suatu Evangelisasi Baru Di Antara Masyarakat Nus<br />Tenggara” dalam: Georg Kirchberger dan John Mansford Prior [eds.], Mengendus<br /> Jejak Allah Dialog Dengan Masyarakat Pinggiran Jilid II. Ende: Nusa Indah, <br />1997.<br /><br /></span>LEMBAGA PENDIDIKAN DAN KAJIAN DEMOKRASIhttp://www.blogger.com/profile/09261201344588543137noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7244928221306403263.post-60669407740535429572010-03-04T16:01:00.000-08:002010-03-04T16:10:15.640-08:00KONSOLIDASI DEMOKRASISebuah Diskusi Publik & Bedah Buku<br />Aula Efata, 05 Februari 2010<br /><br />LPI (Lembaga Pemilih Indonesia) sebagai sebuah lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang advokasi demokrasi hadir di Ruteng untuk melakukan pencerahan politik bagi masyarakat Manggarai yang sebentar lagi akan mengadakan prosesi Pilkada. Adapun perkenalan lembaga dan kegiatannya berlangsung 4-5 Februari. Pada tanggal 4 Februari 2010, LPI mengadakan dialog radio yang dihadiri rohaniwan sekaligus sosiolog Max Regus, Pr MA dan Kanisius Teobaldus Deki, M.Th, ketua Lembaga Pendidikan dan Kajian Demokrasi (LKPD) sebagai narasumber dan Mantovany Tapung sebagai moderator. Dialog yang disiarkan live oleh Ntala Gewang (NG) FM ini bertemakan Konsolidasi Demokrasi-Sebuah Diskusi Publik.<br /><br /><span class="fullpost"><br /><br />Ada tiga aspek penting yang menjadi fokus dari kehadiran LPI yakni pendidikan politik pemilih, konsolidasi demokrasi dan pengawalan Pilkada. Pertama, Pendidikan politik bagi pemilih adalah sebuah kemutlakan. Tanpa pendidikan politik yang benar Pilkada hanya melakukan sebuah prosesi demokrasi formal, acara lima tahunan yang tanpa arti. Sebab, pendidikan politik mengarahkan rakyat pada pilihan yang benar dan tepat. Pendidikan politik dilakukan pada semua stake holder Pilkada, antara lain rakyat, kandidat, lembaga KPUD dan Partai Politik.<br />Kedua, Konsolidasi demokrasi dilakukan dengan menjalin simpul-simpul demokrasi yang ada. Konsolidasi dilakukan untuk membentuk kekuatan yang berimbang dalam mengatasi segala bentuk propaganda yang menyesatkan, verifikasi yang timpang, prosedur-prosedur yang sarat muatan politis demi menguntungkan pihak tertentu. Di sini kekuatan rakyat, organisasi massa, partai politik, kandidat, perguruan tinggi memiliki peran strategis untuk menjadi bagian dalam melakukan penguatan kapasitas demokrasi yang benar.<br />Ketiga, Pengawalan Pilkada. Sejak beberapa tahun lalu, LPI sudah menjadi salah satu lembaga nasional yang berkiblat pada aras demokrasi modern. LPI terlibat aktif dalam mengkawal Pmilihan Legilatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2009 lalu. Dari pengalaman demokrasi itu, ada kesadaran fundamental yakni diperlukannya sebuah pengawalan terhadap prosesi demokrasi, apapun namanya. Terkait Pilkada yang sebentar lagi akan dilaksanakan di Manggarai, LPI berkomitmen menjadi lembaga independent pemantau Pilkada. Dalam kaitan dengan pengawalan ini, LPI bekerja sama dengan semua elemen khususnya rakyat Manggarai dan pers. <br />Pada 5 Februari bertempat di aula Efata, LPI, lembaga milik Boni Hargens, pengamat politik Nasional kawakan dari UI bekerja sama dengan Lembaga Pendidikan dan Kajian Demokrasi (LPKD) melakukan diskusi publik dengan tema Konsolidasi Demokrasi yang secara khusus membedah buku ”Kebuntuan Demokrasi Lokal di Indonesia” (Penerbit Pharresia Institute, 2009). Tampil sebagai pembedah adalah Rm. Max Regus, Pr, MA, direktur Pharresia Institute Jakarta dan Drs. Rony Marut, aktivis LSM sekaligus anggota DPRD Manggarai. Bedah buku ini dimoderatori oleh Mantovany Tapung, M.Pd.<br />Romo Max mengingatkan melalui presentasinya perlu sekali demokrasi dilihat bukan saja sebagai proses formal tetapi sebagai bagian utuh dari etika politik. Bahwasannya, demokrasi dilihat sebagai pengarusutamaan (mainstreaming) nilai kebenaran, keadilan, dan kemakmuran.<br />Fokus yang diupayakan dalam diskusi yang melibatkan kelompok petani, pelajar, mahasiswa dan organisasi mahasiswa, pers dan LSM ini adalah bagaimana memecahkan kebuntuan demokrasi yang disebabkan oleh penyelewengan kekuasaan dan penafsiran monolitik atas kekuasaan. Dalam buku yang diedit oleh Boni Hargens ini, kritikan terlontar keluar atas polarisasi kebijakan dan pelegalan tindakan serta metode pembodohan yang dilakukan oleh pemegang kebijakan publik.<br />Salah satu kebijakan yang krusial adalah bagaimana tambang dilihat secara sepihak oleh Pemkab sebagai upaya memakmurkan rakyat. Padahal, sepanjang sejarah tambang, belum ada rakyat yang disejahterakan, malah mengalami kemiskinan dan kerusakan masif. PAD yang diharapkan terdongkrak, tidak tercapai. Menurut Drs. Roni Marut, yang terjadi adalah perbedaan tajam antara pelaporan royalti pertambangan dari perusahaan pertambangan dengan Pemkab. Mengapa terjadi perbedaan? Ke mana larinya uang itu? Untuk pembangunan Manggarai atau untuk kepentingan pribadi pejabat publik? Akibatnya yang terjadi malah pemiskinan. Rakyat dan lingkungan dimiskinkan secara sengaja.<br />Substansi dari kekuasaan sebenarnya ialah politik kemanusiaa, yakni bagaimana manusia menjadi fokus dari pembangunan. Dalam fenomen Pilkada sangat kentara bahwa yang terjadi adalah adanya sirkulasi elite. Demokrasi dimengerti sebagai sirkulasi elit: berpindanya kekuasaan dari kelompok singa ke kelompok rubah. Sirkulasi semacam ini hanya akan memindahkan kekejaman kepada kekejaman baru.<br />Ruang kebebasan menentukan kebijakan baru sangat terbuka. Pilkada adalah moment menentukan pilihan demi kebaikan di masa kini dan masa yang akan datang. Konstruksi Pilkada yang benar merupakan jalan yang dipilih untuk menciptakan perubahan. Romo Max menyatakan bahwa Demokrasi yang berkembang mengambil rupa tripola: kekuatan masyarakat sipil, state dan korporasi. Kenyataannya state dan korporasi bersekutu maka rakyat jadi korban. Yang dibutuhkan di Manggarai ialah pemimpin yang membangun Manggarai dari kekuatan lokal. Ada kebanggaan semu sebagian pemimpin yang menjadi pengemis di Jakarta. Padahal yang kita butuhkan adalah orang seperti Frans Sales Lega yang menciptakan kemandirian tanpa menjadi pengemis.<br />Diskusi Publik yang dihadiri oleh 50 orang dari berbagai elemen ini dilakukan oleh LPI dan LPKD berupaya membuka ruang diskusi sekaligus bersama elemen masyarakat mencari jalan keluar terbaik demi bonum commune (kesejahteraan bersama) masyarakat Manggarai.***<br />(Dimuat di Suara Nuca Lale edisi 24 Februari 2010)<br /></span>LEMBAGA PENDIDIKAN DAN KAJIAN DEMOKRASIhttp://www.blogger.com/profile/09261201344588543137noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-7244928221306403263.post-77141843579074679142010-03-04T16:00:00.000-08:002010-03-04T16:17:52.883-08:00SETELAH MANGGARAI TIMUR KABUPATENOleh Kanisius Teobaldus Deki<br /><br />17 Juli 2007 momentum bersejarah bagi Manggarai dan khususnya Manggarai Timur. Setelah berjalan dalam sebuah perseteruan yang kian meruncing, entahkah kabupaten baru ini jadi atau sekedar sebuah isu politis, dan meraibkan sekian banyak rupiah dari pundi-pundi daerah, serta tak luput polemik tentang perlu tidaknya anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Manggarai ke Jakarta yang lebih banyak dilihat sebagai kesempatan pelesir oleh sekian banyak orang, akhirnya, peristiwa tanggal 17 Juli menjadi saat keramat yang mesti ditulis dengan tinta emas oleh setiap insan Manggarai, khususnya penghuni wilayah geografis Manggarai Timur. Pertentangan, pertikaian apapun yang pernah terkonstruksi dalam ide Manggarai Timur Kabupaten, tinggal sebagai sebuah catatan sejarah yang terekam dalam lembaran-lembaran kertas yang kian lusuh ataupun, kalau masih tertinggal dalam hati sebagai sebuah “luka”, cumalah secuil kisah yang hampir pasti dapat dengan mudah dilupakan karena gema kebahagiaan pengumuman itu. <br /><br /><span class="fullpost"><br />Tak pelak lagi, pengumuman itu, seperti siraman air hujan yang membasahi lahan gersang lagi kerontang, telah dibuat babak belur oleh panasnya mentari bertahun-tahun. Ada nuansa sejuk dalam berita itu. Kegelisahan dan kecemasan semua pihak yang terikat secara emosional pun rasional pada Manggarai Timur dan masa depannya, akhirnya sirna. Itulah sebabnya, gema tepuk tangan anggota Dewan di gedung DPR Senayan, masih terngiang di gendang telinga banyak orang. Diskusi tentang keterlibatan anggota DPRD Manggarai tidak penting lagi walau jika ditelisiki secara rasional akan menimbulkan diskusi panjang. Semua pihak yang memerhati Manggarai Timur sepakat dalam satu kata: bahagia. Kebahagiaan itulah yang coba dirayakan dalam berbagai moment: misa syukur dan sederetan acara yang menyertainya di Jakarta pun di Manggarai. Ada kesan kuat seolah-olah predikat “kabupaten” menuntaskan harapan kebahagiaan yang masih tersisa oleh karena penyebaran “kue” pembangunan yang belum merata. Kebahagiaan yang terekspresi secara spontan merupakan sebuah ungkapan yang wajar dan sah-sah saja. Bahwasannya, sebuah perjuangan yang telah dirajut dengan susah-payah, jatuh-bangun, kini telah menuai hasil yang membawa begitu banyak kemungkinan untuk merenda taplak kesejahteraan Manggarai Timur di masa depan.<br />Berada pada pusaran lautan kegembiraan tersebab pengumuman itu, terselib sebuah kegalauan dalam dunia rasionalitas saya. Ada semacam perasaan “tak menentu” di tengah kebahagiaan itu. Mula-mula perasaan itu, dalam rentang waktu yang telah lebih sebulan, tak saya hiraukan tersebab asumsi pemikiran bahwa terlalu cepat untuk membuat sebuah penilaian atas proses yang baru mulai ini. Tetapi ruang kegelisahan itu semakin diperlebar oleh berbagai fenomena yang berkembang dalam masyarakat. Berbagai opini yang terungkap secara lisan dalam diskusi-diskusi nonformal dan percakapan harian akhirnya menguatkan niat saya untuk coba menampilkan kepada publik tirisan refleksi yang, mungkin saja, menjadi pemicu untuk mencapai KMT yang sejahtera. Akhirnya, kenyataan itu menyisakan satu pertanyaan penting: “Apakah harapan dan cita-cita yang terlebur dalam niat membentuk kabupaten baru dapat tercapai?” Pertanyaan ini menurut hemat saya adalah muara dari semua perjuangan panjang untuk membuat Manggarai Timur jadi kabupaten. Dengan kata lain, adakah sesuatu yang baik datang dari kabupaten baru ini? Istilah “baik”, sebuah kategori moral, memang sarat dengan berbagai interpretasi dan bisa mengundang diskusi panjang, antara lain: baik menurut siapa, baik untuk siapa, baik dengan cara apa, dsb. Tanpa bermaksud membawa kajian ini kepada interpretasi yang variatif, riilnya, di hadapan fakta ketertinggalan dan kemiskinan, apa yang dapat disodorkan predikat “kabupaten” kepada sebuah Manggarai Timur yang sejahtera?<br />Di hadapan berbagai macam pertanyaan yang sempat masuk ke pentas rasionalitas, terdapat beberapa point penting yang perlu diwacanakan dan diskusikan bersama demi terciptanya Manggarai Timur sejahtera.<br />Pertama, Pemimpin yang bervisi-misi kerakyatan. Usai pengumuman pengesahan KMT, ramai diperbincangkan tentang siapakah figur yang paling cocok untuk menjadi Penjabat di KMT. Muncullah nama-nama yang diusungkan dengan berbagai alasan yang melatarinya. Sebuah fenomena yang biasa di tengah fakta pemekaran. Terdapat klasifikasi kelompok atas para kandidat. Kelompok pertama mengatakan bahwa yang paling cocok adalah calon yang datang dari Manggarai Timur. Alasan yang mencuat ke permukaan, karena mereka lebih mengenal wilayah KMT dengan segudang persoalannya. Kelompok kedua mengatakan, janganlah orang dari wilayah KMT yang menjadi penjabat karena akan berakibat buruk pada praktek akumulasi kekayaan demi suksesi bupati pada periode awal bupati resmi. Lebih tepat kalau memilih orang dari luar wilayah KMT. <br />Terlepas dari wacana yang berkembang seperti argumentasi di atas, ada ungkapan bahwa pemimpin ibarat nahkoda kapal. Di tangannya ada kemudi yang mengatur haluan kapal. Kapal dapat sampai ke tujuan dengan selamat atau malah karam lalu paling tragis, membenamkan diri ke dasar laut karena kesalahan menentukan arah dan dalam mempertimbangkan faktor-faktor pendukung. Di tengah hura-hara akibat banyaknya kepala daerah yang dimeja-hijaukan karena kasus korupsi, dan maraknya pergunjingan kolaborasi tidak sehat antara kepala daerah dengan pengusaha dalam rangka mengeruk uang negara demi kepentingan pribadi, KMT dihadapkan dengan pilihan krusial. Ada dilema yang sulit didamaikan. Pertama, KMT baru lahir dan membutuhkan kerja keras seorang pemimpin yang pandai menemukan persoalan-persoalan aktual, menjalin kerja sama dengan banyak pihak dan mencari solusi yang kontekstual. Di sini, pemimpin mensinergiskan kekuatannya dengan stakeholder-stakeholder yang ada: masyarakat, dunia usaha dan akademisi. Ada anggapan otomatis bahwa dominasi pengusaha dalam sebuah kabupaten akan membuat percepatan roda pembangunan. Dominasi ini, jika tidak selektif akan membawa malapetaka pada marginalisasi masyarakat kebanyakan yang juga menjadi incaran adanya kabupaten baru. Jika pemimpin seperti ini yang diinginkan, maka lakon malapetaka penindasan akan dimulai dan direncanakan secara sadar. Sebuah tragedi yang kita pilih sendiri.<br />Kedua, pemimpin yang mengandalkan kekuatan lokal sebagai basis untuk mengembangkan KMT. Tekanannya lebih pada penghindaran dominasi yang berlebihan pihak luar. Ada perimbangan peran masyarakat dan dunia usaha. Jika ini yang dipilih, bisa jadi perkembangannya lamban karena kemungkinan modal usaha minim, tetapi akan membawa dampak positif, yakni penguatan kapasitas masyarakat lokal. Argumentasinya, bukan percepatan pembangunan yang dibutuhkan melainkan kehidupan sejahtera yang berkelanjutan. Di hadapan budaya instanisme yang kian menjerat budaya manusia modern, ada keinginan untuk membuat pembangunan fisik menjadi primadona. Padahal, pembangunan yang menitikberatkan hanya pada bidang fisik tanpa ditopang keseimbangan bidang lain akan menjadi timpang. Kesejahteraan yang dicita-citakan bukanlah parsial melainkan holistik. Jadi, pemimpin KMT bukan hanya punya visi dan misi tetapi juga komitmen untuk tetap realistis, kritis, kontekstual dalam merealisasikan perannya sebagai nahkoda KMT. <br />Kedua, Ekonomi kerakyatan baru KMT. Wilayah KMT sangat kaya akan hasil alam. Berbeda dengan KMB dan Manggarai, luas hutan KMT relatif lebih besar dan tanahnya lebih subur. Hal itu dapat dilihat dari perolehan hasil hutan dan perkebunan yang selama ini mendominasi di pasar. Selain itu, masih banyak lahan tidur di wilayah KMT yang belum digarap. Tetapi ada ironi di sana. Seperti lagu Koes Plus, “tongkat kayu dan batu jadi tanaman”, ekonomi KMT masih terbilang jauh dari sejahtera. Pemimpin yang arif akan menjadikan kesuburan dan kekayaan alam sebagai peluang untuk mengurangi kemiskinan demi mencapai kehidupan yang layak.<br />Di atas lahan yang subur dan kekayaan alam yang melimpah, pilihan ekonomi macam apa yang paling cocok? Ketika jalan-jalan dibuat dan daerah isolasi semakin terbuka, pengusaha telah masuk ke kampung-kampung untuk melakukan transaksi. Pengusaha dengan modal besar akan mematikan pengusaha dengan modal kecil. Padahal yang diperlukan adalah dibukanya sentra-sentra pemasaran di banyak titik sehingga memudahkan para petani menjual hasilnya secara layak. Ketika ekonomi masyarakat dicekoki oleh sistem ijon dan koperasi belum merasuki kehidupan, diperlukan sebuah komitmen untuk menemukan sistem ekonomi yang arif demi kemajuan yang signifikan.<br />Ketiga, Partisipasi Masyarakat dalam pembangunan. Hingar bingar berita tentang Manggarai Timur kabupaten telah meramaikan bursa penjualan tanah di sekitar lokasi yang diancang-ancangkan jadi ibu kota. Para pemilik uang dari Ruteng dan wilayah lain mulai memainkan jurus pembelian yang dramatis. Pemilik tanah, yang tercekik oleh tuntutan kebutuhan akhirnya menjual tanahnya dengan harga murah. Sementara itu, para pengusaha yang pandai membaca peluang, meraih kesempatan untuk memiliki sebanyak mungkin tanah di wilayah “calon” ibu kota. Masyarakat yang memiliki ekonomi lemah akhirnya terjungkal ke jurang peminggiran. Mereka yang tak sanggup berkompetisi dalam pertarungan ekonomis menjadi “orang asing” di wilayah sendiri. <br />Pertanyaan yang muncul ialah, “Untuk siapa kabupaten baru ini jika terbanyak rakyat tak dapat terlibat secara penuh dalam pembangunan?” Jika pertanyaan ini dikritisi, maka kita akan bersemuka dengan upaya strategis untuk membawa keterlibatan semakin banyak orang dalam pembangunan. Upaya-upaya inilah yang perlu dipikirkan dan didiskusikan. Kerap terjadi bahwa masyarakat kita terjebak dalam arus euforia “predikat” kabupaten baru tanpa tahu memaknainya. Alienasi adalah sebuah kemungkinan jika kebijakan pemerintah dan kesadaran masyarakat tidak bertemu dalam alur visi dan misi pelibatan yang sama. Manggarai Timur, setelah jadi kabupaten bisa jadi seperti kabupaten lainnya pengap dengan kesenjangan dan keterasingan bila hanya memenangkan kepentingan segelintir orang yang akan menjadi “penjajah” baru bagi sesamanya. Akhirnya, pertanyaan yang tersisa ialah, “Mau ke mana kita membawa (diri) kabupaten ini?”<br /><br />* Pengajar STKIP St. Paulus Ruteng, Direktur Lembaga Pendidikan dan Kajian Demokrasi, e-mail: d_teobald@yahoo.com (Dimuat di Majalah Mingguan DIASPORA, edisi Juni 2008)<br /><br /></span>LEMBAGA PENDIDIKAN DAN KAJIAN DEMOKRASIhttp://www.blogger.com/profile/09261201344588543137noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7244928221306403263.post-90448830348235795772010-03-04T03:59:00.000-08:002010-03-04T04:04:46.051-08:00MENGGAGAS TEOLOGI PERTANIAN DI MANGGARAI: Sebuah Pendekatan BiblisKanisius Teobaldus Deki, M.Th<br />1. Pendahuluan<br />Rakyat Manggarai Raya baru saja menyambut kabupaten baru yakni Manggarai Timur dengan pelantikan bupati pertamanya pada 14 Februari 2009. Rasa gembira mewarnai perasaan setelah sekian lama berjuang mewujudkan impian. Semua elemen, entah pemerintah maupun masyarakat yang telah bahu membahu memperjuangkannya, menaruh harapan di masa depan untuk lahirnya sebuah kesejahteraan yang selama ini didambakan. Sejak dimekarkannya dua kabupaten baru yakni kabupaten Manggarai Barat dan Manggarai Timur, kerap ada pertanyaan yang terlontar, “Apakah pembagian wilayah ini akan memberi dampak yang signifikan dengan kesejahteraan rakyat?”<br /><br /><span class="fullpost"><br />Pertanyaan ini perlu dihiraukan dan digubris karena esensinya. Urgensitas pertanyaan ini justru menyentuh ranah substansial dari alasan pemekaran yang berkiblat pada percepatan pertumbuhan pembangunan dan kemudahan pelayanan. Tidak meratanya pembangunan karena luasnya wilayah Manggarai Raya serta topografi bergunung-gunung ditengarai menyebabkan adanya ketertinggalan untuk sebagian wilayah yang belum tersentuh arus kemajuan yang dimainkan sejak Otonomi Daerah diberlakukan. Di samping itu berbelit-belitnya pelayanan publik atas masyarakat menjadi pemicu pemekaran dengan mempersingkat jalur melalui pendekatan sentra-sentra pelayanan ke tengah masayakarat.<br />Pertanyaan di atas lalu dikerucutkan ke realitas yang dihadapi oleh orang Manggarai Raya yang mayoritas penduduknya bermata pencaharian petani: “Apakah pembangunan ini juga akan memberikan jaminan kesejahteraan bagi petani? Kebijakan pertanian macam mana yang perlu diterapkan dalam konteks Manggarai? Benarkah penebangan hutan adalah akibat dari ketidakberesan para pemimpin menggumuli persoalan aktual petani yang kian terpinggirkan kemajuan? Ataukah arah kebijakan pembangunan tiga kabupaten ini tidak mendarat dengan konteks kultur pertanian orang Manggarai Raya?” Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi penting sebagai batu pijakan untuk menentukan arah hidup yang berorinetasi pada kesejahteraan manusia dan kestabilan alam.<br />Tulisan ini bermaksud menarik benang merah atas masalah aktual para petani yang sedang mempertahankan hidupnya secara berkelanjutan (sustainable life) dan pola pertanian yang menghiraukan keselarasan dengan alam. Adapun analisis yang berkembang dalam tulisan ini adalah sebuah perspektif teologis. Pendekatan teologis menurut hemat saya erat kaitannya dengan kenyataan rakyat Manggarai Raya yang penduduknya mayoritas telah berpegang teguh pada agama-agama wahyu, khususnya Katolik.<br /> <br />2. Membaca Dua Soal Pertanian di Manggarai <br />2.1. Perluasan Lahan Pertanian: Kawasan Hutan Terancam?<br />Peristiwa berdarah 10 Maret 2004 yang telah menelan banyak korban dari pihak masyarakat menyita perhatian dunia beberapa waktu lalu. Kasus yang ditengarai sebagai “serangan” oleh pihak keamanan, sebenarnya hanya merupakan puncak gunung es yang telah meleleh dari serangkaian bongkahan yang masih membeku. Semula orang-orang Colol dan Biting datang ke Mapolres memiliki tujuan untuk mempertanyakan beberapa anggota masyarakat yang ditahan sebelumnya, terkait dengan masalah penolakan pembabatan kopi rakyat yang menjadi kebijakan Bupati Manggarai Drs. Antony Bagul Dagur, MSi. Namun tanpa diduga, kehadiran mereka ditanggapi dengan tembakan oleh polisi yang sedang berjaga. Alih-alih untuk mempertahankan ekosistem hutan lindung dan konservasi alam, kebijakan Bupati Bagul akhirnya tersandung pada program terencana untuk membabat sekian ribu hektar perkebunan kopi rakyat Tangkul, Welu, Colol dan Biting, belum termasuk di beberapa kecamatan lain. <br />Dampak yang timbul dari peristiwa itu adalah adanya rasa tidak percaya rakyat terhadap pemerintah yang dianggap sebagai tiran bagi rakyat yang semestinya dilindunginya. Pemerintah lalu menjadi kubu yang mesti diwaspadai, dicurigai. Di mata rakyat yang mengalami secara langsung peristiwa kekerasan itu, pemerintah dianggap sebagai penguasa yang lalim. Sebuah konsekuensi logis mereka tarik, setiap penguasa yang lalim harus diperangi, dilawan dan dihancurkan. Konsep lama tentang Ema Pemerentah (bapak pemerintah) dilihat sebagai sesuatu yang meaningless, absurd dan hanya merupakan utopia yang tak boleh dipercaya begitu saja. Persepsi tentang Ema Dite (Bapak Kita) yang memiliki karakter melindungi, menjaga, memberikan daya hidup, menunjukkan aklak dan moral yang benar, mengajarkan kebajikan-kebajikan sesuai adak yang benar, pemberani menentang hal-hal yang di luar norma umum kemanusiaan, pembawa berkak (keberhasilan dan kemajuan) menjadi raib karena ternyata kenyataannya jauh dari identitas itu. Dan konsep yang telah lama diwariskan secara turun temurun dan otomatis ini ditinggalkan tatkala rakyat berhadapan dengan kekerasan yang melanggar perikemanusiaan.<br />Di pihak pemerintah, membaca beberapa fakta tak terbantahkan semisal keringnya sumber mata air dan banjir bandang yang menghantam banyak wilayah pesisir serta longsor yang terjadi secara beruntun, menjadi main reason (alasan utama) untuk melakukan konservasi serta perlindungan terhadap hutan. Bagi pemerintah, perlindungan terhadap hutan mutlak dilakukan. Argumentasi dasariah ini jelas menjadi titik pijak kelahirann kebijakan pembabatan tanaman rakyat yang (diklaim) berada di kawasan hutan.<br />Meski terjadi perang pendapat antara pro dan kontra terhadap kebijakan pemerintah, namun yang paling penting ialah memberikan jawaban yang tepat dan kontekstual terhadap permasalahan pertanian yang menyentuh basis kehidupan banyak orang Manggarai. Jawaban itu, entah berupa program berkelanjutan dalam penentuan tapal batas hutan maupun upaya pelurusan peta yang telah salah kaprah. Jawaban ini juga serentak eksplisitasi kegigihan pemerintah memperjuangkan rakyat dalam memenuhi kampanye politisnya. <br /><br />2.2. Lahan Sempit: Perang Tanding jadi Solusi?<br />Perang tanding merupakan salah satu contoh kasus berdarah yang melibatkan masyarakat adat dengan menelan banyak korban di pihak rakyat. Perebutan tanah sengketa di beberapa lingko (tanah adak) kerap berakhir dengan pertikaian fisik yang disebut “perang tanding” (raha rumbu tana). Perang tanding lalu menjadi sebuah ikon kekerasan tersendiri bagi Manggarai, termasuk kabupaten baru, Manggarai Barat dan Manggarai Timur. Perang tanding ini melibatkan masyarakat adat komunal (adak) secara aktif dan dianggap sebagai kewajiban setiap individu dalam masyarakat adak bersangkutan untuk terlibat. Keterlibatan secara berani sebagai ata rona (lelaki yang perkasa) dalam perang tanding membawa implikasi berlanjutnya tradisi balas dendam secara turun temurun dalam setiap masyarakat adat (beo adak) yang dilegalkan oleh adak. Dengan kenyataan ini, kekerasan menjadi sebuah tradisi berlanjut yang tak pernah bisa diramalkan kapan akan berhenti. <br />Berhadapan dengan kenyataan kekerasan yang berakhir dengan pembunuhan secara massal, pertanyaan-pertanyaan telah diajukan untuk mencari jawaban atas persoalan yang ada. Pertanyaan-pertanyaan itu misalnya: Benarkah watak orang Manggarai keras dan liar? Bukankah orang Manggarai memiliki filosofi hidup yang sangat mencintai keselarasan, perdamaian dan persaudaraan? Apa yang memicu perubahan sikap mereka sehingga menjadi sekian keras dan kasar? Unsur mana yang menjadi dominan dari setiap tindak kekerasan? Faktor mana yang menjadi hambatan untuk menciptakan perdamaian dan rekonsiliasi? Pihak, instansi, lembaga mana yang memungkinkan perdamaian menjadi kenyataan? Aspek esensial apa yang menyatukan kembali pihak yang bertikai? Bagaimana langkah konkrit bila usaha perdamaian dijalankan? Kita harus mulai dari mana jika ingin menyelesaikan konflik-konflik internal dan komunal ini? Ataukah lahan pertanian telah semakin sempit dan penduduk atau masyarakat berdesakan di lahan yang sama? Masih banyak pertanyaan yang bisa dideretkan. Pertanyaan-pertanyaan ini lahir dari sebuah rahim pemikiran yang prihatin akan kejadian-kejadian kekerasan kolosal yang melibatkan massa rakyat begitu banyak dan berakibat pada jatuhnya korban manusia dan harta benda.<br />Fakta menunjukkan populasi penduduk Manggarai telah meningkat tajam. Tahun 1980 penduduk Manggarai berjumlah 397. 525 dan tahun 2003 berjumlah 481. 679. Peningkatan jumlah penduduk dengan pertambahan jumlah angka kelahiran yang meningkat setiap tahun tidak diimbangi oleh perluasan lahan atau upaya untuk mencari lahan yang masih jarang penduduknya dengan translok atau transmigrasi. Kenyataan kemiskinan lalu menjerat orang Manggarai untuk mempersoalkan tanah-tanah tertentu dengan sebuah klaim berdasarkan sejarah masa lampau. Klaim ini menjadi senjata ampuh untuk mengambil kembali tanah yang telah diberi berdasarkan hibah (wida dan kapu manuk, lele tuak) atau transaksi jual-beli tanpa surat atau legalitas berdasarkan hukum.<br /><br />3. Menggagas Teologi Pertanian di Manggarai: Perspektif Biblis<br />Dua soal di atas mewarnai seri masalah yang dihadapi oleh orang Manggarai Raya entah sampai kapan. Pada awal masa pemerintahannya, Bupati Christian Rotok pernah dibuat sebuah gerakan untuk menyelesaikan masalah tapal batas dengan sistem pengelolaan hutan secara bersama dengan melibatkan semua stakeholders, merujuk pada pasal 1 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2007. Selain itu dilakukannya rekonstruksi tapal batas. Namun setelah sekian tahun berlalu belum dihasilkannya guidelines baru dan tetap sebagai pedoman bagi petani yang pada masa Bupati sebelumnya justru menjadi korban. Selain itu penyelesaian persoalan perang tanding baru sebatas pendekatan hukum perdata dan pidana. Maka kemungkinan adanya gugatan baru masih sangat terbuka.<br />Karena semakin terbukanya masalah-masalah ini untuk diulangi maka upaya konsientisasi multiaspek sangat diperlukan. Pendekatan hukum serta otoritas kerap tidak membawa hasil yang memadai. Konsientisasi berkelanjutan sebagai “mega proyek” perlu dilakukan termasuk berbasis refleksi teologis.<br />Uraian tentang teologi, berteologi dan berpikir teologis dalam kaitan dengan teologi pertanian kiranya membutuhkan sebuah penjelasan yang cukup memadai. Ada dua elemen di dalam telogi itu yakni: pertama, teologi itu sendiri dan kedua, pertanian selaras alam yang dijadikan subyek sekaligus orientasi berteologi. Dalam banyak literatur disebutkan bahwa kata “teologi” berasal dari dua kata Yunani yakni “theos” (Tuhan) dan “logoi” (pengetahuan). Theology adalah pengetahuan mengenai Allah. Bertitik pijak pada dua kata itu dapat dikatakan bahwa, Teologi adalah refleksi rasional lagi sistematis mengenai iman. Dalam konteks teologi Kristen berarti refleksi mengenai iman Kristen. Sedangkan pertanian selaras alam adalah upaya bertani yang mempertimbangkan alam sebagai basis dari kehidupan yang di dalamnya upaya eksplorasi alam dalam bidang pertanian dimungkinkan yang serta merta menciptakan equilibrium atmosfir kehidupan semesta.<br />Untuk sampai pada ranah teologis ini, perlulah saya ketengahkan pendasaran biblis yang menjadi titik pijak dalam memperluas penjelasan dan analisis. <br />Terdapat beberapa teks dari kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru yang secara eksplisit mendukung uraian kita tentang pertanian yang selaras alam. Konsep dasarnya ialah bahwa alam semesta adalah “kosmos” yang memiliki keteraturan. Supaya kosmos ini tidak berubah ke chaos (kebalauan), prinsip perimbangan (equilibrium) adalah pilihan mutlak dan tunggal. <br /><br />3.1. Taman Eden: Representasi Hidup yang Harmonis <br />Manggarai Raya yang terbentang dari Selat Sape di ujung Barat dan Wae Mokel di ujung Timur merupakan sebuah wilayah yang memiliki kadar kesuburan berbeda. Di beberapa tempat kegersangan menjadi pemandangan yang tak bisa dihindari. Bukit-bukit kersang dapat dengan mudah dijumpai di pulau-pulau seputar Labuan Bajo, di bagian Selatan Wae Lengga serta di perbatasan dengan Ngada di bagian Utara. Data tahun 2003 untuk kabupaten Manggarai (termasuk Manggarai Timur) menunjukkan luas lahan kritis dalam kawasan hutan sebesar 9.765 ha dan di luar kawasan hutan 40.719 ha. Data tahun 2005 menunjukkan penurunan yakni luas lahan kritis dalam kawasan hutan sebesar 9.725 ha dan di luar kawasan hutan 40.690 ha. <br />Sementara itu, sejumlah dataran dan wilayah yang subur kini perlahan-lahan gersang tersebab penggundulan yang dilakukan karena dua alasan. Pertama, lahan pertanian yang kian sempit menyebabkan masyarakat dengan mudah memperluas tanahnya dengan merambah areal hutan serta pembalakan liar (illegal loging). Kedua, pola pertanian yang tidak mengindahkan keberlangsungan kehidupan yang seimbang melalui penggunaan bahan-bahan kimia untuk pupuk dan obat-obatan pembasmi serangga dan pola pembakaran lahan yang menyebabkan matinya bakteri-bakteri pembusuk. Tercemarnya tanah dan ekosistem yang berkembang dalam tanah berdampak pada ketidakseimbangan dalam penciptaan humus tanah yang dibutuhkan oleh tanaman. <br />Kitab Kejadian 2:8-25 mempresentasikan hubungan manusia dengan lingkungan di sekitarnya. Digambarkan oleh kitab ini bahwa Allah menumbuhkan berbagai jenis pohon dan tanaman yang menarik dan buahnya dapat dimakan. Suasana segar serta hijau digambarkan dengan aliran air yang membelah taman Eden. Kelimpahan air dilukiskan dengan penjelasan air yang terbagi menjadi empat cabang: Pison, Gihon, Tigris dan Efrat. Teks yang dapat dipakai sebagai acuan untuk membahasakan “pertanian” adalah ayat 15, “Tuhan Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu”. Menarik sekali penggalan kalimat “untuk mengusahakan dan memelihara”. Potongan kalimat itu sangat bermakna karena memiliki arti yang sepadan dengan usaha pertanian. <br />Teks yang sama menggarisbawahi keharmonisan alam manusia. Pada tempat pertama manusia adalah bagian dari keseluruhan ekosistem tata penciptaan. Walaupun dia diberi tugas untuk menjaga dan memelihara, ia memiliki kewajiban untuk hidup bersama dalam keseimbangan dengan yang lain. Fakta keringnya sebagian sumber mata air atau berkurangnya debit mata air di Manggarai sangat mencemaskan para petani. Jika saja sawah-sawah yang berpotensi subur ketiadaan air maka bukan tidak mungkin kemiskinan adalah kenyataan yang sulit dielakkan. Penurunan persediaan air irigasi pedesaan berdampak pada berkurangnya jumlah areal produksi pertanian yang berakibat menurunnya pendapatan petani dari sektor pertanian. Data BPS Manggarai tahun 2003 memperlihatkan bahwa pada tahun 2002 perkembangan kontribusi sektor pertanian pada posisi 55% dan tahun 2003 turun ke posisi 53%. Penurunan ini bisa jadi disebabkan menurunnya produksi dan produktivitas lahan basah yang berada di sekitar kawasan kritis yang ternyata menyerap tenaga kerja lebih dari 80% dari total tenaga kerja di kabupaten Manggarai. Ketidaksanggupan manusia mempertahankan equilibrium hutan dan ekosistem di dalamnya membawa dampak kemiskinan yang sulit diatasi karena penurunan produktivitas kerja serta produksi pertanian yang berarti hilangnya sumber pendapatan.<br />Menyikapi soal semakin kritisnya lahan pertanian, maka jalan keluar yang bisa ditempuh adalah pemeliharaan hutan dengan penggalangan reboisasi dan penghentian pembalakan liar. Selain itu, upaya penanaman pohon di lahan pertanian milik masyarakat adalah sebuah pilihan yang tepat demi perluasan wilayah tangkapan air. <br /><br />3.2. Membangun Sikap Adil: Belajar dari Kasus Nabot<br />Persoalan perang tanding (raha rumbu tana) yang telah menyejarah di Manggarai serta peristiwa berdarah, semisal Rabu Kelabu, bersumber pada tuntutan keadilan. Tercatat dua hal penting dalam perseteruan berdarah di Manggarai Raya. Pertama, tanah yang diberikan oleh orang tua dalam bentuk wida dan kapu manuk-lele tuak sering menyisakan persoalan yang krusial. Kedua, pemerintah melalui undang-undang dan peraturan-peraturan mengklaim secara sepihak keberadaan tanah-tanah suku. Kenyataannya, oleh masyarakat, secara historis Negara lahir jauh setelah kampung mereka terbentuk atau berdiri. Klaim Negara lalu dilihat sebagai bentuk penindasan yang beraroma paksaan. Sejarah pengklaiman kampung oleh Negara sebenarnya mengikuti alur kekuasaan para penjajah di masa lalu mulai dari kekuasaan Goa-Talo, Bima, Belanda dan Jepang. Tidak adanya infiltrasi damai atas kampung-kampung ini ke dalam Negara menyebabkan adanya ketimpangan dalam mengidentifikasi dirinya di dalam kekuasaan Negara.<br />Teks 1Raj 21: 1-29 yang berkisah tentang tanah milik Nabot di Yizreel yang subur dan penuh dengan tanaman berbuah ranum juga mempresentasikan kekayaan pertanian orang Israel di zaman lampau. Raja Ahab menghendaki kebun itu karena ingin menanam sayur di sana sekaligus letaknya dekat dengan rumahnya. Ahab menawarkan tanah pengganti atau uang jika Nabot bersedia. Namun Nabot menolak. Satu-satunya alasan Nabot tidak memberikan kebun itu kepada raja ialah karena tanah itu merupakan “milik pusaka nenek moyang” (ay. 3) yang diwariskan kepadanya. Izebel istri Ahab merasa kesal dengan tindakan Nabot dan membuat sebuah trik yang akhirnya menyebabkan Nabot dilempari batu hingga mati. Menarik sekali bahwa uang dan tanah pengganti bukan merupakan jaminan pemilik tanah akan tergiur untuk menukarkan tanahnya. Ada alasan substansial yang sulit ditakar dengan apapun. Karena itu tak segan-segan pemiliknya mempertahankan tanah itu hingga titik darah penghabisan.<br />Teks 1Raja-raja di atas memberikan satu kesimpulan pokok yakni keadilan adalah kemutlakan. Manusia akan bisa hidup memenuhi eksistensinya hanya dalam keadilan. Problem yang kerap terjadi ialah menarik sebuah benang merah antara kesetiaan yang terbangun untuk mengabdi Negara di satu pihak dan mempertahankan kehidupan di pihak lain. Negara berkewajiban untuk mensejahterakan masyarakat dan masyarakat berhak untuk hidup secara benar dalam Negara. Pencaplokan tanah ulayat secara sepihak misalnya merupakan bentuk arogansi kekuasaan Negara yang tidak berkeadilan. Hukum Negara bukan untuk disembah secara membabi buta, melainkan untuk ditafsir secara kreatif dalam aplikasinya sesuai dengan konteks yang real. Bagaimana mempertautkan hukum positif dan kearifan lokal merupakan kerja yang harus dilakukan demi mencapai tatanan kehidupan yang berkualitas dan manusiawi.<br /><br />3.3. Model Animasi Pertanian: Perumpamaan tentang Benih<br />Selama Yesus menjalankan hidup di Palestina mewartakan datangnya Kerajaan Surga dengan perumpamaan-perumpamaan. Terdapat kontekstualisasi metode dan isi pengajaranNya. Yesus selalu menggunakan perumpamaan dalam menjelaskan maksud pewartaanNya. Dalam teks tentang Perumpamaan tentang seorang Penabur (Mat 13:1-23) Yesus memakai istilah ”benih”. Selain itu Yesus juga menggunakan dalam perumpamaan lain semisal biji sesawi, ilalang, gandum, anggur, bunga bakung, dst. Berikut ini kutipan dari teks Mat 13:4-8:<br /><br />”Benih pertama jatuh di pinggir jalan, lalu datanglah burung pipit dan memakannya sampai habis. Sebagian jatuh di tanah yang berbatu-batu, yang tidak banyak tanahnya, lalu benih itupun segera tumbuh, karena tanahnya tipis. Tetapi sesudah matahari terbit, layulah ia dan menjadi kering karena tidak berakar. Sebagian jatuh di semak berduri, lalu semakin besarlah semak itu dan menghimpitnya sampai mati. Dan sebagian jatuh di tanah yang baik lalu berbuah: ada yang seratus kali lipat, ada yang tiga puluh kali lipat”.<br /><br />Penggalan teks ini secara lugas dan tegas membuat identifikasi tanah dan korelasinya dengan benih. Benih akan bertumbuh dengan baik dan menghasilkan buah berlimpah hanya juga berada pada kondisi yang sesuai. Benih tidak bisa tumbuh dengan subur jika tanahnya tidak memungkinkan : pinggir jalan tempat orang lewat, tanah yang berbatu-batu dengan kandungan tanah yang minim dan tanah yang dipenuhi semak belukar.<br />Teks ini tidak saja berbicara tentang bagaimana benih itu tumbuh dan menghasilkan buah. Dalam sebuah kerangka paralelisme, teks yang sama membahas tentang animasi metodelogi pertanian yang dijalankan orang Manggarai Raya. Pertama, bahan yang dijadikan benih oleh para petani bukanlah pilihan berdasarkan sebuah penelitian ilmiah, tetapi lebih karena ada asumsi menurut tradisi yang ada berkaitan dengan pandangan tentang benih yang baik. Pola pengawetan benih juga sudah ditradisikan secara turun temurun misalnya menyimpan benih di atas para-para (leba). Tentang benih yang baik ditakar melalui ukuran serta jenisnya. Kerap kali hasil pertanian tidak maksimal karena pembibitan yang tidak bermutu. <br />Kedua, benih yang didatangkan kepada masyarakat, khususnya melalui proyek pemerintah, tidak tepat sasar. Banyak benih yang didatangkan dari luar Flores tidak cocok dengan kondisi alam di Flores. Kasus aktual yang paling nyata adalah ubi aldira yang dikembangkan di Manggarai Barat. Selain itu, turunnya benih dalam bentuk kokeran (kayu, coklat, jambu mete, dll) ke tengah masyarakat dilakukan persis di musim kemerau dan masyarakat tidak mempunyai pasokan air yang cukup untuk menyiramnya. Akibatnya, kokeran tanaman yang ada mati sebelum sempat bertumbuh.<br />Ketiga, masalah korupsi, kolusi dan nepotisme dalam pembenihan. Bukan rahasia lagi bahwa banyak perusahaan yang melakukan penangkaran benih di Manggarai tidak qualified. Penunjukkan perusahaan itu secara langsung oleh pemerintah bukan berdasarkan keahlian dan profesionalisme melainkan karena ada hubungan dekat dengan pejabat tertentu. Dengan demikian, hasil yang diterima masyarakat tidak maksimal. Demikianpun distribusi koker terkait dengan kepentingan-kepentingan berbau politis (demi kemenangan dalam Pilkada atau Pileg). Fenomen semacam ini berkembang dalam masyarakat dan menjadi sebuah kenyataan yang sudah umum.<br />Benih yang baik jika ditanam di tanah yang subur akan menghasilkan panenan yang berlipat ganda. Hirauan kita pada konteks Manggarai rupanya tidak hanya pada benih in se (di dalam dirinya sendiri) tetapi pada konsep pembangunan yang sedang digulirkan pemerintah saat ini. Fakta memperlihatkan bahwa alam Manggarai sangat cocok untuk pertanian tetapi setting politik yang dimainkan lebih pada penumpukkan proyek dalam bidang infrastruktur. Padahal meski jalan-jalan diperlukan, namun kualitas hasil pertanian yang lebih diutamakan. Itulah sebabnya, rekomendasi utama dan terutama dalam penyediaan tenaga teknis diarahkan pada penambahan jumlah personil PPL pertanian dan peningkatan kualitasnya. Terdapat ironi yang sulit dipertanggungjawabkan ketika pola pertanian masyarakat kita masih tradisional, persis ketika dunia sudah memasuki pentas pasar global yang berkiprah pada kualitas hasil pertanian.<br /><br />3.4. Pengusaha - Pekerja: Solidaritas yang Belum Terbangun?<br />Selain bicara tentang korelasi tanah dan benih, Yesus juga mengisahkan tentang bagaimana relasi kerja dan upah dalam konteks solidaritas sosial. Teks Mat 20:1-16 membahas tentang Perumpamaan tentang Orang-orang Upahan di Kebun Anggur. Setelah tuan kebun bersepakat dengan para pekerja di pagi itu, pekerja-pekerja itu langsung bekerja. Menjelang tengah hari, tuan kebun itu juga menemui pekerja lain yang sedang menganggur. Tuan kebun itu memberi kesempatan kepada pekerja yang menganggur. Soal muncul di sore hari. Semua pekerja, baik yang bekerja mulai pagi hari maupun yang mulai di siang hari, mendapat upah yang sama. Protespun muncul. Seolah-olah ada ketidakadilan. Tetapi tuan kebun itu berkata:<br /><br />”Saudara, aku tidak berlaku tak adil terhadap engkau. Bukankah kita telah sepakat sedinar sehari? Ambillah bagianmu dan pergilah; aku mau memberikan kepada orang yang masuk terakhir ini sama seperti kepadamu. Tidakkah aku bebas mempergunakan milikku menurut kehendak hatiku? Atau iri hatikah engkau, karena aku murah hati?” (Mat 20:13-15).<br /><br />Pertanian erat kaitannya dengan pekerja. Pekerja membutuhkan upah sedangkan pemilik kebun membutuhkan para pekerja agar kebunnya bersih dan tanaman bertumbuh dengan subur. Tema tentang ”upah yang adil” menjadi krusial tersebab korelasinya dengan kenyataan kemiskinan dan upaya pemenuhan kebutuhan secara memadai. Teks ini memperlihatkan bagaimana sudut pandang (point of view) seorang pekerja yang bertumpu pada rasa solidaritas terhadap yang menganggur, diperhadapkan dengan kemampuan membaca kenyataan itu oleh pekerja dari sisi tilik keadilan. Tidak bertemunya sisi tilik menyebabkan konflik sosial yang sulit dihindarkan. <br />Masalah pekerja di Manggarai bukan terletak pertama-tama pada ketiadaan lapangan kerja melainkan pada politik dunia usaha. Kembali pada uraian tentang politik kekuasaan yang didominasi pembangunan infrastruktur, bidang pertanian yang mestinya menjadi andalan orang Manggarai Raya, belum secara luas dan dalam mendapat perhatian. Bahkan ada fakta bahwa setiap kandidat Kepala Daerah yang akan bertarung dalam Pilkada didanai oleh pengusaha-pengusaha. Pengusaha-pengusaha menginvestasikan uangnya dalam kancah politik Pilkada untuk kemudian menuai hasilnya dalam keterlibatan menentukan kebijakan. Akibat langsungnya ialah harga-harga komoditi sulit beranjak naik sementara harga barang pabrikan tak pernah turun. Harga-harga komoditi pertanian para petani lebih ditentukan pasar melalui hukum penawaran. Permintaan tinggi maka harga naik, sedangkan jika permintan rendah, penawaran tinggi, harga turun. Dan permintaan hanya datang dari satu pihak yakni pengusaha. Para petani tidak sedikitpun dilindungi melalui Perda atau produk hukum lainnya yang memproteksi serta ikut mengintervensi harga demi menstabilkan perekonomian masyarakat.<br />Ketidakadilan struktural yang dihadapi oleh masyarakat Manggarai Raya sebenarnya berbasis pada konsep balas budi penguasa terhadap pengusaha. Semakin banyak modal yang ditanam demi mendukung kandidat tertentu, semakin luas pula pengaruhnya dalam menentukan kebijakan yang akan diambil. Analisis ini terbaca dari ”lingkaran dalam” (non stuktural) yang sering menjadi rujukan serta pertimbangan penguasa.<br />Dalam kondisi politik perekonomian yang demikian, sikap solider terhadap sesama penganggur tidak mungkin muncul. Pengusaha dan penguasa tidak akan mencari pekerja yang sedang menganggur karena semua sektor yang memungkinkan pertumbuhan kebutuhan tenaga kerja telah diboikot oleh jaringan-jaringan primordialisme seperti: tim sukses, keluarga, pendukung, dsb. Akibat yang paling nyata ialah adanya penumpukkan pekerjaan di tangan segelintir orang sementara mayoritas pekerja tidak tertampung lahan ataupun medan kerja lainnya semisal proyek-proyek pembangunan yang didanai pemerintah. Kenyataan semacam ini akhirnya menimbulkan konflik sosial yang akut. Kelompok pengusaha dan penguasa lalu ditengarai sebagai biang keladi dari kemiskinan masif yang dialami masyarakat. Bukan tidak mungkin asumsi ini berefek pada tindakan anarkis massa melalui people power yang berdampak pada kekerasan. Berusaha menemukan pengusaha yang murah hati dan penguasa yang bertanggungjawab mencarikan kerja bagi penganggur adalah komitmen politik yang harus digulirkan.<br />Solidaritas sosial pengusaha dan pekerja membawa angin perubahan pada semakin bertumbuhnya perekonomian masyarakat yang selama ini dikuasai oleh segelintir pengusaha dan kroni-kroni penguasa. Solidaritas ini juga mempertegas perlunya kerja sama yang seimbang dalam memajukan pertanian yang berdampak pada kemakmuran bersama. <br /><br />4. Kesimpulan<br />Analisis yang berkembang dalam tulisan ini memperlihatkan bahwa kerusakan lingkungan hidup di Manggarai Raya bukan semata-mata disebabkan oleh ketiadaan kesadaran untuk menghiraukan perlunya pola pertanian yang selaras alam. Masalah krusial yang timbul adalah efek negatif dari pola kebijakan pembangunan yang tidak kontekstual. Wilayah Manggarai Raya yang luas dan subur sebenarnya menghadirkan, di satu sisi, lahan pertanian yang maha luas dan di lain sisi, upaya mengeksplorasi kekayaan pertanian dengan politik kebijakan yang seimbang. Terminologi “seimbang” di sini adalah adanya pemerataan hasil sebagai buah dari konsep solidaritas sosial antara pengusaha, penguasa dan pekerja yang didominasi petani.<br />Kemiskinan yang meliliti masyarakat petani menyebabkan mereka jatuh terjerembab dalam jurang pengeksploitasian lingkungan hidup, termasuk memilih sikap instant dalam mengelola lahan pertanian mereka. Sikap bijaksana dengan memanfaatkan kekayaan alam untuk memberikan kesuburan dilihat sebagai pelambatan proses menemukan hasil yang dibutuhkan.<br />Perspektif biblis melalui pembahasan beberapa teks kitab suci dan analisis atasnya ke konteks lokal merupakan tonggak-tonggak yang dapat dipakai untuk menggagas sebuah teologi pertanian selaras alam. Sebagai tonggak ia hanyalah alat penyanggah yang masih harus dikembangkan ke arah yang lebih spesifik sekaligus komprehensif. Teks-teks yang kita pakai sebagai rujukan pembahasan ini menegaskan bahwa alam-lingkungan hidup adalah ibu semua yang hidup. Sebagai ibu ia adalah penjamin keberlangsungan kehidupan yang diberikan Allah. Menjaga dan memelihara lingkungan alam identik dengan memperpanjang fase kehidupan semua mahkluk hidup yang ada dalam semesta ini. Sebuah teologi yang tidak saja memperbincangkan peran Tuhan, tetapi lebih kepada peran manusia yang telah diberi hati oleh Tuhan untuk mengarahkan manusia kepada perbuatan baik. Perbuatan baik melalui kebijakan yang adil adalah harapan yang masih dinantikan demi sebuah bonum commune untuk Manggarai Raya tercinta!.***<br /><br />Penulis adalah Direktur Lembaga Pendidikan dan Kajian Demokrasi (LPKD), pengajar Sekolah Tinggi Ilmu Pendidikan dan Keguruan St. Paulus Ruteng.<br /><br /><br /></span>LEMBAGA PENDIDIKAN DAN KAJIAN DEMOKRASIhttp://www.blogger.com/profile/09261201344588543137noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7244928221306403263.post-32683649020482843212010-03-04T02:11:00.000-08:002010-03-04T02:14:23.446-08:00Disfungsi Lembaga Adat Dalam Sistem Penguasaan dan Pengelolahan TanahKanisius Teobaldus Deki, M.Th<br /><br />Dalam masyarakat agraris Manggarai terdapat Tu’a Golo yang berperan sebagai kepala wilayah yang mencakupi kampung [golo], tanah, hutan dan air. Selain Tu’a Golo, terdapat Tu’a Teno yang diberi wewenang untuk secara khusus mengurus pembukaan lahan kebun yang baru dan pembagiannya yang merata untuk semua masyarakat komunal. Dalam penelitian yang dibuat oleh Maria Ruwiastuti dan team (“Sistem Penguasaan Asli dan Politik Hukum Tanah di Manggarai Tengah”, 1994) tentang persoalan tanah, kenyataan ini melahirkan gagasan yang dikenal luas dalam filosofi kehidupan orang Manggarai yang membahasakan kesatuan antara tanah dan kehidupan mereka yakni, “gendangn one, lingkon pe’ang” [yang secara harfiah diartikan sebagai rumah di dalam, tanah di luar]. Dalam proses pembukaan lahan pertanian yang baru [lingko] dan pembagiannya, Tu’a Teno terlebih dahulu mengundang [siro] semua suku [panga] yang ada dalam wilayah kampung untuk mengadakan “lonto leok” [bermusyawarah] supaya mengatur pembagian tanah secara adil dan bijaksana kepada semua warga. <br /><span class="fullpost"><br />Lingko biasanya dibedakan atas beberapa jenis. Menurut penelitian Ruwiastuti pembagian lingko bisa dilihat dari jenis hewan yang dikorbankan. Pertama, Lingko Randang atau Lingko Rame yaitu sebidang tanah garapan yang dibuka dengan melakukan upacara adat dengan hewan korban yang besar berupa seekor kerbau atau babi merah [éla rae]. Bidang tanah yang dibuka dengan babi merah disebut lingko wina [lingko perempuan] dan yang dibuka dengan kerbau disebut lingko rona [lingko lelaki]. Lingko rame biasanya dikunjungi setiap tahun untuk mengadakan upacara penti. Kedua, Lingko Saungcué yaitu ladang garapan yang dibuka dengan membunuh seekor babi tanpa memandang warna bulunya. Mereka yang menggarapnya mempunyai kewajiban untuk mempersembahkan seekor ayam di lahan garapan itu setiap tahunnya (“Sengketa Tanah di Manggarai: Temuan, Pendapat, Analisis dan Rekomendasi Berdasarkan Penelitian Lapangan yang Dilakukan di Manggarai Tengah pada bulan Oktober-November 1994”). Selain pembagian dengan menelisik hewan yang dikorbankan, Lingko Randang [atau disebut juga Lingko Rame] memiliki ukuran yang sangat luas sehingga semua warga masyarakat golo mendapat bagiannya dalam tanah persekutuan komunal itu. Sedangkan Lingko Saungcuè [disebut juga Lingko Kina] memiliki ukuran yang lebih kecil dan warga yang tidak mendapat bagian dalam lingko itu dialihkan ke lingko yang baru dengan tetap memperhatikan asas keadilan. Robert Lawang dalam kajiannya “Konflik Tanah di Manggarai Flores Barat (1999)” mengakui adanya pembagian jenis lingko. Selain lingko rame, ada juga lingko yang disebut sebagai Lingko bon yakni kebun biasa yang dibagikan kepada mereka yang tidak mendapat bagian dalam lingko rame. Lingko rame selalu memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan rumah gendang, kampung dan warga kampung seluruhnya. Dalam arti inilah ungkapan “gendangn one, lingkon pe’ang” mengungkapkan analogi suami-istri [rona-wina]. Rumah gendang adalah suami untuk lingko yang adalah istri. Karena itu mengambil sebuah lingko identik dengan merebut istri. Konsekuensinya, pemilik lingko akan berusaha melalui pelbagai cara mempertahankannya.<br />Biasanya lingko dikelolah dengan mekanisme yang tetap dan jelas. Beberapa mekanisme itu antara lain: Pertama, Lodok. Lodok adalah pembagian tanah garapan dengan satu titik pusat dan daripadanya ditarik jari-jari yang membatasi bidang garapan dari setiap warga yang mengerjakan kebun. Pada titik pusat lodok ditanami pohon waru [haju Teno] yang dibentuk menyerupai gasing sehingga disebut mangka [gasing]. Setiap garis jari-jari berakhir pada batas yang disebut cicing. Mekanisme kedua adalah membuka lahan pertanian baru dengan cara yang sama seperti lodok namun ukuran lahannya lebih kecil. Lahan jenis ini disebut neol. Akhirnya, mekanisme yang ketiga disebut tobok, yaitu membuka kebun baru di luar batas lingko. Tobok diperuntukkan bagi mereka yang tidak mendapat bagian pada lingko. <br />Dari struktur dan mekanisme tradisional yang ada sebenarnya tidak ada indikasi pencaplokan tanah antar kampung atau komunitas. Tu’a-tua Golo dan Tu’a-tu’a Teno setiap kampung saling menghormati dan mengakui perbatasan lingko masing-masing dengan batas-batas alamiah seperti sungai, gunung atau kawasan hutan keduanya. Setiap Tu’a Teno mengetahui dengan persis batas-batas lingkonya sehingga jikalau terjadi soal dengan batas-batas lingko akan dengan mudah diselesaikan dalam rumah Gendang. <br />Sejak Manggarai diklaim dan akhirnya dijajah oleh pihak luar [Goa-Tallo, Bima dan Belanda], identitas kemanggaraian mulai luntur lalu pudar sejalan dengan perkembangan yang multidimensional. Perubahan-perubahan itu menyata dalam hal-hal berikut ini. Pertama, Kehadiran penjajah selalu melegitimasi secara sepihak kekuasaan dalam masyarakat serentak meniadakan eksistensi penguasa lokal. Kedua, Penjajah juga menempatkan hukum, peraturan dan undang-undangnya secara sepihak, mengatasi hukum, peraturan dan undang-undang masyarakat asli Manggarai yang sebelumnya sudah memiliki perangkat hukum. Ketiga, Ketika Indonesia merdeka, peran dan fungsi pemerintahan lokal adat [Tu’a Golo, Tu’a Teno] tidak diakui sepenuhnya dan tidak diberi tempat yang selayaknya. Peran mereka dikesampingkan.<br />Efek yang timbul dari perubahan-perubahan dan pergeseran kekuasaan ini ialah tidak berfungsinya lembaga-lembaga adat dengan seluruh elemennya secara yuridis. Lembaga-lembaga itu menjadi disfungsi oleh kehadiran peraturan dan hukum baru di satu pihak, tetapi tetap dilihat memiliki pengaruh yang besar di pihak lain. Secara hukum, institusi pemerintahan adat tidak diakui perannya, tetapi dalam kenyataan justru banyak segi kehidupan masyarakat berkaitan dengan aplikasi real hukum atau peraturan adat.<br />Berkaitan dengan pola penguasaan atas tanah, pemerintah [Goa-Tallo, Bima dan Belanda] secara sepihak membuat peraturan untuk kepemilikan tanah tanpa menghiraukan pembagian yang telah dibuat oleh Tu’a Teno sebagaimana termaktub dalam tata laksana peraturan adat lingko. Ketika terjadi pergeseran kekuasaan dari Tu’a Golo ke Gelarang di zaman Goa-Tallo dan Bima, dan Dalu di zaman Belanda, peran dan pengaruh Tu’a Golo terhadap warganya dipangkas. Mereka yang sebenarnya memiliki kekuasaan atas “gendangn one, lingkon pe’ang” hanya menjadi kepala kampung yang berada di bawah kekuasaan Gelarang dan Dalu. Padahal, sengketa-sengketa tanah yang ada bertitik pangkal pada lokasi yang dibagi dengan menggunakan hukum adat yang tidak digubris oleh Gelarang ataupun Dalu. Hingga disaat Indonesia sudah merdeka pun penyelesaian masalah sengketa tanah tetap tidak menyentuh basis persoalan. Masalah-masalah sengketa tanah dibawa ke Pengadilan Negeri [PN] yang hanya memiliki produk hukum nasional [penyeragaman] yang tidak bereferensi kepada hukum adat [konteks lokal]. Mengapa referensi kepada hukum adat penting dilakukan? Hukum adat inilah yang membidani kelahiran sebuah lingko, pengakuan akan eksistensinya [penetapan tapal batas dan peta serta status yang jelas atasnya] dan keberlangsungannya di masa depan. <br />Ketika muncul kesadaran akan pentingnya intervensi hukum adat dalam penyelesaian konflik, institusi adat justru mengalami kesulitan dalam mengakomodasi persoalan yang ada. Kerusakan yang ditimbulkan oleh pengaruh pemerintahan kolonial terhadap institusi adat sudah sangat parah sehingga keterjalinan pengetahuan masyarakat pemiliknya juga terputus. Hal ini berakibat pada putusnya jalinan relasi pengetahuan lisan dan pewarisannya kepada setiap generasi baru. Persoalan muncul ketika setiap generasi tidak memiliki pengetahuan yang memadai tentang kepemilikan tanah lingko yang diwariskan secara lisan turun temurun. Akibatnya ada banyak pengetahuan tentang batas yang berbeda. Terdapat kenyataan, bahkan dalam satu wilayah persekutuan adat, pengetahuan tentang batas-batas tanah lingko tidak sama. Maka amat mungkin muncul berbagai klaim fiktif oleh generasi kemudian yang pada akhirnya memunculkan konflik horizontal.<br />Meskipun kita berada pada posisi dilematis berhadapan dengan pertanyaan tentang eksistensi lembaga adat dan peran yang dimainkan oleh fungsionaris adat yang kian lemah, namun ada kemestian untuk mencari titik temu antara esensi kehadirannya dengan masyarakat yang terakui oleh keberadaannya. Ada dialektika antara lembaga adat dan pengakunya. Terbanyak masyarakat Manggarai masih bereferensi pada tata aturan yang dimainkan aturan adat yang dikeluarkan oleh lembaga adat khususnya dalam kaitan dengan penguasaan dan pengelolaan tanah. Ada dua sikap yang bisa dipilih. Pertama, hukum positif (negara) di bidang agraria diberlakukan tanpa adaptasi yang kreatif atas masyarakat Manggarai. Argumentasi logis yang dikonstruksi atasnya karena Manggarai adalah bagian dari wilayah NKRI. Karena itu mutlak berlaku tata aturan negara atasnya (termasuk lembaganya), tanpa kompromi. Jika alur pemikiran ini yang menjadi main stream, maka penerapan hukum akan tetap tak mencapai harapan. <br />Kedua, terbangunnya kembali sistem lembaga adat yang mengembangkan suatu proses kreatif untuk mencapai eksistensinya yang kian terkikis oleh kemajuan zaman. Lembaga adat yang teradaptasi ini kemudian menegaskan jati dirinya dalam penemuan kembali rumusan tata aturan hakiki dari sistem penguasaan dan pengelolaan atas tanah di Manggarai seraya mempertautkannya dengan hukum positif. Bila jalan pikiran ini yang menjadi kiblat, maka masyarakat yang bereferensi pada hukum adat akan mendapat perspektif pencerahan karena hukum adat mereka tetap diterima persis ketika mereka sadar bahwa mereka adalah bagian dari NKRI. Persoalan akan tetap muncul ketika eksistensi masyarakat dipertanyakan, tatkala eksistensi yang dilekatkan pada matra adat-istiadat, tempat jati diri diperjelas dan dipertegas itu, ditolak oleh sebuah sistem baru atas nama negara. Persoalan yang mungkin tak pernah selesai jika tak ada kesadaran antara lembaga adat dan negara untuk saling menerima dan memberi secara kreatif.***<br /><br />*Direktur Lembaga Pendidikan & Kajian Demokrasi, Pengajar pada STKIP St. Paulus Ruteng, pemerhati budaya , bergerak dalam Kajian untuk Pendidikan Demokrasi Lokal.(PILAR, September 2007)<br /><br /></span>LEMBAGA PENDIDIKAN DAN KAJIAN DEMOKRASIhttp://www.blogger.com/profile/09261201344588543137noreply@blogger.com0