Jumat, 09 April 2010

Gereja Manggarai yang Membebaskan

Bingkisan Kecil di Hari Tahbisan Uskup Ruteng

Kanisius Teobaldus Deki, M.Th
Pengajar STKIP St. Paulus & Direktur Lembaga Pendidikan dan Kajian Demokrasi

Hari-hari ini, Gereja Keuskupan Ruteng yang memiliki wilayah pelayanan untuk Manggarai Raya (Manggarai Barat, Manggarai Tengah dan Manggarai Timur), sedang dilanda suka cita. Betapa tidak! Setelah sekian lama ada dalam penantian, akhirnya Uskup baru, Mgr. Hubertus Leteng Pr ditahbiskan pada 14 April 2010. Pada 08 April 2010 Yang Mulia dijemput secara resmi dengan ramainya menuju kota Ruteng. Ribuan umat memadati jalan protokol. Tempik sorak-sorai juga kesemarakan menjadi nada yang sulit ditepis dari kegembiraan kolosal umat. Tak ketinggalan murid-murid SD, siswa-siswi SLTP & SLTA. Termasuk mahasiswa-mahasiswi kampus STKIP St. paulus. Di mana-mana wajah Monsigneur dipampang dalam baliho yang besar. Hampir bersaing ketat dengan para kandidat politik yang akan berebut tahta menjadi Bupati-Wakil Bupati di Manggarai.
Di tengah keramaian, di antara lambaian tangan-tangan kecil siswa SD yang memegang bendera merah-kuning, juga kesigapan regu penjemputan dalam busana adat yang indah, muncul berbagai pertanyaan yang menyeruak masuk: Apakah peristiwa ini akan membawa orang Manggarai Raya ke arah pembebasan? Bagaimana kita membangun Gereja kita sebagai Gereja yang Membebaskan? Pertanyaan-pertanyaan ini melahirkan sebuah ikhtiar untuk menulis gagasan kecil ini, lebih sebagai bingkisan di hari tahbisan Mgr. Hubertus.


Tekanan kolonialisme masa lampau masih terbaca dalam kecemasan-kecemasan orang Manggarai menghadapi tantangan hidup aktual masa kini. Mereka sudah terbiasa menghadapi pengalaman kekerasan, penindasan dan ketidakadilan struktural yang dipaksakan. Dalam situasi seperti ini, mereka sangat mengharapkan terciptanya situasi pembebasan dari keterbelengguan multiwajah. Ketika suara mereka tidak didengarkan oleh penguasa, tatkala hak-hak mereka tak dihiraukan dan mereka tidak sanggup untuk melawan, mereka mengharapkan Gereja tidak berdiam diri. Orang Manggarai rindu memiliki Gereja yang menjadi wakil mereka untuk bersuara menentang penindasan yang telah lama mereka alami. Gereja tidak boleh hanya menjadi penonton yang tidak berpihak pada mereka. Apalagi berkolaborasi dengan kebijakan-kebijakan yang jelas-jelas merugikan rakyat-umat Manggarai.
Gereja yang berdialog adalah Gereja yang aktif, terlibat dalam konteks budaya dan masalah-masalah orang Manggarai. Persoalan yang paling aktual ialah, bagaimana nilai-nilai budaya orang Manggarai dengan tradisi sastra lisannya menjadi sarana yang efektif untuk mendialogkan Kabar Gembira Yesus Kristus? Kesediaan Gereja untuk mendengarkan keluh kesah, harapan dan bersama mereka yang dirugikan berjuang untuk menemukan jalan pembebasan. Hanya suatu masyarakat yang terbuka, partisipatif mampu mengatasi keterpecahan kebudayaan kosmik yang disebabkan oleh pesatnya laju pasar internasional. Ini berarti Gereja Manggarai menciptakan suatu kebudayaan dialogal, di mana setiap orang dinilai [didengarkan] dan setiap orang ambil bagian dalam pengambilan keputusan yang demokratis.
Dialog itu sendiri merupakan evangelisasi pembebasan dalamnya misi Kristus dihadirkan. Dialog pada tahap pertama dan utama adalah kesediaan untuk saling membuka diri. Dalam dialog, kedua belah pihak memiliki kedudukan yang setara, sederajad di mana anggapan superioritas dan inferioritas ditiadakan. Gereja sebagai institusi mendialogkan tawaran keselamatan Yesus Kristus kepada orang Manggarai. Dalam budaya dialogal, orang Manggarai akan mengkomunikasikan pengalaman hidup dan budaya mereka kepada Gereja. Demikianpun sebaliknya.
Kebudayaan kosmik orang Manggarai telah menjadi sekular tatkala kaum miskin disamun dari bahasa yang dalamnya mereka mengungkapkan jati diri, martabat dan nilai-nilai hidup mereka yang terdalam. Dalam situasi krisis kebudayaan [terlepas dari akar budaya asli dan menjadi ragu atasnya] mereka ditawarkan untuk membuka diri terhadap yang transenden. Dalam konteks seperti ini, tempat Gereja ialah ada bersama-sama dengan kaum miskin dan yang tergusur sebab di situlah Allah akan ditemukan. Konkritnya, ada beberapa langkah pembebasan yang dapat menjadi reksa pastoral.
Pertama, dialog yang dijalankan dengan penuh ketulusan, keterbukaan berusaha meyakinkan orang Manggarai bahwa dari kebudayaannya terdapat banyak nilai Kristiani [yang dalam awal abad ke-20 disebut naturaliter Cristiana-orang Kristen secara alami] yang dapat menjadi basis iman mereka kepada Kristus. Di sini anggapan yang terlanjur didengungkan pada zaman lampau tentang superioritas ajaran Kristen akan runtuh dengan sendirinya. Baik budaya lokal Orang Manggarai maupun tradisi Kristen berjalan dalam saling menerima dan memberi. Di sini dialog akan membebaskan orang Manggarai dari keterbelengguan historis yang merupakan stigma ciptaan misionaris masa lampau.
Kedua, dialog pembebasan tidak dibuat sebatas saling menerima dan memberi nilai-nilai yang membangun partisipasi umat menuju keselamatan. Lebih dari itu, dialog diarahkan ke praksis kehidupan sehari-hari orang Manggarai. Itu berarti Gereja terlibat dalam persoalan kemiskinan, ketidakadilan, penindasan, kekerasan, pemberdayaan orang Manggarai secara aktif. Pengakuan akan eksistensi budaya, lembaga-lembaga adat-istiadat merupakan bagian dari misi pembebasan itu. Jika Pemerintah Kabupaten Manggarai hanya menjadikan kebudayaan dan institusi adat sebatas komoditas politik, demi meraup keuntungan di atas upaya penjualan dan pengangkangan terhadapnya, maka Gereja mesti berada pada garda depan untuk tampil sebagai pembela. Di sisi lain, Gereja bisa menjadi suara kritis terhadap praktek-praktek budaya yang diksriminatif, membelenggu dan keliru tersebab menista martabat kemanusiaan. Tetapi suara Gereja akan didengarkan jika ia terlebih dahulu mau mendengarkan dan aspiratif terhadap budaya lokal.
Ketiga, dalam pergolakan politis dan kebijakan-kebijakan Pemkab Manggarai, Gereja mesti tetap memiliki suara profetis. Ketika Gereja Manggarai kehilangan suara profetisnya, ia menjadi sama seperti garam yang tidak asin atau lampu yang tak berminyak. Orang Manggarai tidak membutuhkan bangunan Gereja yang megah, ruang pertemuan pastoral yang mewah [karena itu akan menyebabkan pungutan “derma” semakin gencar dan terkesan “memaksa”]. Gereja Manggarai harus tetap menjadi Gereja kaum sederhana yang hidup bersahaja. Seperti rumah Gendang yang tetap sederhana, Gereja hendaknya menampilkan diri secara ugahari, bersolider dengan umat yang tertindas dan menjadi pembela mereka. Advokasi hak-hak masyarakat Manggarai selama ini lebih banyak dilakukan oleh lembaga lain yang cepat tanggap terhadap persoalan publik. Di manakah peran Gereja? Gereja akan tetap dipahami sebatas institusi, gedung, jika tidak terlibat dalam kehidupan konkrit umat. Saatnya, praktek pembebasan ini dimulai, melepaskan dominasi teologi Barat, berupaya menjalin keterkaitan antara aktus-praksis dan refleksi demi menjawab tantangan aktual umat. Gereja perdana adalah Gereja para martir. Sudah tiba waktunya Gereja Manggarai keluar dari kenyamanan, berdiri bersama umatnya di bawah terik matahari untuk menentang kelaliman. Meskipun bayarannya adalah tubuh bersimbah darah.
Dalam dialog yang mengedepankan lonto leok, terdapat komunikasi timbal balik antara kedua pihak atau bahkan dengan lebih banyak pihak. Sebagaimana tradisi sastra lisan menghidupkan berbagai bentuk ungkapan persaudaraan dan mencari keterjalinannya, demikian pula Teologi Relasi Manggarai berusaha menghubungkan warta keselamatan Yesus Kristus dalam dialog yang aktif dengan kehidupan aktual. Semangat dialog ini harus menjadi pilihan pertama dalam menyelesaikan konflik horizontal maupun vertical yang telah melanda Manggarai dari waktu ke waktu. Berhadapan dengan situasi seperti ini, pengembangan relasi yang dialogal merupakan suatu keniscayaan. Pada tahap ini, dialog bukan lagi sarana evangelisasi, melainkan evangelisasi itu sendiri. Ketika Gereja Manggarai mengembangkan relasi yang dialogal ini, terdapat kurang lebih empat hal yang harus jelas dan menjadi kesadaran bersama, yakni hakikat dari dialog, alasan-alasan untuk berdialog, kondisi-kondisi yang memungkinkan dialog dan model-model dialog yang efektif. Dialog rangkap tiga: dengan kebudayaan, agama-agama dan situasi kemiskinan serta ketertindasan merupakan jawaban yang tepat untuk semakin memahami Gereja lokal Manggarai dan menawarkan pendekatan pastoral yang sesuai dengan konteks mereka.
Konsekuensinya jelas. Gereja tidak lagi dimengerti sebatas mimbar sekaligus pusat yang merupakan kiblat umat. Gereja adalah kehidupan umat itu sendiri yang harus disucikan terus menerus oleh perjuangan mencapai keselamatan. Gereja adalah medan perjuangan di mana mereka berusaha mengaplikasikan nilai-nilai kristiani dalam hidup konkret. Dengan demikian, Gereja bukan lagi lembaga yang menghasilkan berbagai dokumen iman, melainkan tempat pengalaman iman didialogkan, dibagikan sebagai santapan rohani. Pejabat-pejabat Gereja adalah penghubung yang sanggup membahasakan kebutuhan real umat. Gereja karenanya tidak berarti singular. Sebagai sarana keselamatan yang berziarah menuju Allah, Gereja adalah umat Allah yang mendengarkan Sabda dan mengikuti kehendakNya. Umat Allah yang berbicara di rumah-rumah Gendang, di tempat lodok uma, di depan kantor DPR, di halaman kantor Bupati tentang masa depan bersama yang berorientasi kepada keselamatan Yesus Kristus adalah juga Gereja yang diilhami oleh Roh Kudus. Jadi, tempat bukan soal lagi, karena di manapun umat-rakyat dapat berdialog dengan sesama saudaranya dalam namaNya, di situ Allah hadir.***

0 komentar: