Rabu, 16 Juni 2010

Pemilu Kada Manggarai, Replikasi Karakter Orde Baru?

Kanisius Teobaldus Deki, M.Th
Direktur Lembaga Pendidikan dan Kajian Demokrasi,
Staf Pengajar STKIP St. Paulus Ruteng


Jelang Pemilu Kada, pada 01 Juni 2010, Lembaga Pendidikan dan Kajian Demokrasi (LPKD) bekerja sama dengan Radio FM Lumen 2003 menyelenggarakan dialog Publik, apa yang menjadi fokus dalam diskusi itu?

LPKD melakukan pendidikan politik dalam aras Pencerdasan Politik dengan menghadirkan narasumber nasional Boni Hargens dan Rm. Max Regus Pr. Yang kami bangun adalah sebuah upaya untuk membantu masyarakat pemilih menggunakan hak pilihnya secara benar. Penyadaran ini perlu untuk mendisposisikan kembali nilai yang paling hakiki dari demokratisasi yakni pembangunan yang memihak kepada masyarakat dan penggunaan kekuasaan secara arif untuk orientasi kesejahteraan bersama.

Benarkah ada pihak yang merasa terganggu dengan dialog itu?

Kami tidak bisa memastikannya. Tetapi sementara dialog berlangsung ada yang mengaku anggota Panwaslu datang meminta penjelasan tentang acara dialog itu. Alasan bahwa ini adalah “masa tenang” tidak masuk akal karena kami nonpartisan dan bukan kandidat yang akan berlaga di Pemilu Kada. Ya, symptom kecemasan yang berlebihan. Malah kami harus bertanya: Ada apa di balik semua ini? Adakah skenario tertentu yang sedang dimainkan? Malam hari pada tanggal yang sama Panwaslu juga melakukan dialog di radio yang sama meng-counter acara dialog yang kami lakukan. Ini maksudnya apa?

Hasil Pilkada Manggarai sangat fantastik, apa penyebabnya menurut Anda?

Berbeda dengan Manggarai Barat dengan Ngadha, perolehan paket Incumbent di Manggarai sangat mencolok bahkan hampir mustahil. Di Manggarai Barat dengan komposisi pesaing yang mempunyai wilayah pengaruh merata di hampir semua kecamatan menyebabkan perolehan suara antara paket GustI dan yang lainnya tidak terpaut terlalu jauh. Bahkan ada arah ke dua putaran. Sedangkan di Manggarai paket Incumbent (34,54%) jauh meninggalkan paket yang lain (Victory 15,21%). Kalau ditanya, apa penyebabnya, itu harus dibuat kajian yang objektif. Namun hemat saya, orang Manggarai mayoritas memiliki pendidikan yang rendah, karena itu perspektif mereka akan apa yang disebut “pembangunan” sangat harafiah. Belum lagi kalau benar ada money politic dan penyalahgunaan kekuasaan.

Bagaimana pandangan Anda tentang Proses Pemilu Kada 03 Juni lalu di Manggarai dari sisi politik?
Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara. Politik juga suatu seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional. Menurut Aristoteles, politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama. Selain itu, politik merupakan hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan Negara, kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di masyarakat dan segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik. Bertitik tumpu pada teori-teori ini, Pemilu Kada 03 Juni lalu adalah salah satu bentuk proses demokrasi untuk membangun daerah ini.
Menyinggung soal demokrasi di Indonesia secara luas, penilaian Anda?
Persoalan utama dalam negara yang tengah melalui proses transisi menuju demokrasi seperti Indonesia saat ini adalah pelembagaan demokrasi. Yaitu bagaimana menjadikan perilaku pengambilan keputusan untuk dan atas nama orang banyak bisa berjalan sesuai dengan norma-norma demokrasi, umumnya yang harus diatasi adalah merobah lembaga feodalistik (perilaku yang terpola secara feodal, bahwa ada kedudukan pasti bagi orang-orang berdasarkan kelahiran atau profesi sebagai bangsawan politik, pemilik uang dan yang lain sebagai rakyat biasa) menjadi lembaga yang terbuka dan mencerminkan keinginan orang banyak untuk mendapatkan kesejahteraan.
Demokrasi kita belum tumbuh secara benar. Apakah bisa dikatakan demikian?
Kenapa tidak? Demokrasi menjadi sebuah moment bersama untuk sebuah pembaharuan jika semua stake holder yang tergabung di dalamnya memahami apa itu demokrasi dan mengapa ia perlu.
Kesulitan realnya?
Pertama, Menurut data statistik tingkat buta huruf kita sangat tinggi. Itu artinya apa? Rakyat kita belum bisa mencerapkan gagasan-gagasan tentang demokrasi yang benar ke tengah-tengah masyarakat kita. Sehingga ketika ada kandidat berduit datang merayu, mereka pikir itulah yang terbaik. Apalagi, mereka sudah disemaputkan oleh ketiadaan beras. Mereka tidak tahu inilah kesempatan emas untuk memilih pemimpin yang cerdas. Manggarai ini kan subur, mestinya penduduk berkecukupan pangan. Jadi money politics tidak bisa ditepis. Kedua, lembaga-lembaga pendukung demokrasi di Negara Berkembang belum berfungsi secara maksimal, termasuk di Indonesia, misalnya menyoal netralitas KPUD/Panwaslu. Apakah benar mereka sungguh netral? Padahal mereka ini adalah “penjaga gawang” dari keberhasilan Pemilu yang benar. Ketiga, penjaga keamanan (Polisi, Brimob). Sebagian besar rakyat Manggarai masih takut pada penjaga keamanan. Bahkan kalau digertak saja mereka langsung surut. Nah di sini kesulitannya, kalau penjaga keamanan ini berpihak pada kandidat tertentu, ya tentu sulit sekali dibayangkan apakah rakyat mau mengadu jika ada pelanggaran. Keempat, aturan tidak mundurnya Incumbent sebagai Kepala Daerah, kecuali saat kampanye saja, sangat menguntungkan paket yang masih berkuasa. Tipis sekali perbedaan antara pergi kunjungi rakyat dan mengkampanyekan diri. Bahasa lainnya seperti kata pepatah “Sekali merengkuh dayung, dua-tiga pulau terjangkau”. Para demonstran mempersoalkan pemasangan baliho pembangunan oleh Humas Setda yang baru muncul di hari-hari terakhir kampanye. Mana baliho itu 5 (lima) tahun lalu? Mengapa baru muncul sekarang persis ketika baliho kandidat lainnya telah dibongkar?
Berarti ada hubungan timbal balik di satu pihak tujuan dari adanya demokrasi dan posisi vital rakyat serta elemen-elemen penjamin demokrasi itu?
Tentu. Demokrasi yang benar membawa perubahan dalam bentuk kesejahteraan. Sejatinya kata "demokrasi" berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Konsep demokrasi menjadi sebuah kata kunci tersendiri dalam bidang ilmu politik yang mengarah pada bonum commune (kesejahteraan bersama). Hal ini disebabkan karena demokrasi saat ini disebut-sebut sebagai indikator perkembangan politik suatu negara.
Dalam konteks Manggarai sejauh ini, ada pro dan kontra terhadap hasil Pemilu Kada, tanggapan Anda?
Pro-kontra adalah bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan yang demokratis. Untuk bisa membuktikan manakah yang benar dan manakah yang salah tidak cukup dengan nasihat saleh untuk menerima saja kekalahan. Atau mengamini begitu saja hasil yang sudah ada. Yang perlu di perhatikan ialah bagaimana proses Pemilu Kada itu dijalankan? Adakah unsur-unsur yang melawan aturan? Adakah aturan-aturan yang dipaksakan? Semua ini harus diteliti, jika ada pelanggaran Undang-undang dalam proses, Pemilu Kada harus dibatalkan demi hukum.
Berarti Anda setuju bahwa demostrasi harus tetap digelar?
Pertama, demontrasi tidak identik dengan hal yang negatif, namun tidak cukup dengan demonstrasi. Yang diperlukan ialah mencari bukti-bukti yang valid bahwa telah ada satu proses yang menyimpang. Misalnya, adakah urgensitasnya Bupati mengeluarkan Surat No. HK/125/2010 tanggal 22 Mei 2010 tentang Pembentukan Tim Koordinasi dan Monitoring pada saat Kampanye Pemilu Kada? Hal yang sama juga untuk Surat Wakil Bupati Manggarai No. 052/HMS/127/V/2010 tanggal 31 Mei 2010. Surat tersebut melanggar pasal 80 UU No. 32 tahun 2004. Apakah ada jaminan bahwa seorang Camat dan Kades/Lurah netral dalam menjalankan tugasnya tanpa intimidasi dan arahan? Bukankah monitoring dilakukan oleh KPUD dan Panwaslu? Atau, bagaimana dengan indikasi kasus money politic di kecamatan Cibal dan kecamatan-kecamatan lainnya? Juga kasus pelemparan rumah Camat di Reo? Semua ini harus dikaji lebih dalam dan cermat sehingga menghasilkan keputusan yang benar. Kedua, prinsip Jurdil (Langsung, Umum, Rahasia, bebas, Jujur dan Adil) dalam Pemilu sangat penting. Soal jujur dan adil sangat krusial dalam Pemilu Kada kita. Dugaan penggunaan Mesin Birokrasi yang kentara sangat membantu kandidat yang berkuasa untuk memperoleh kemenangan. Ini melanggar pasal 79 ayat 1 huruf C dan ayat 4 UU 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Kalau ini benar terjadi, bukankah ini replikasi karakter Orde Baru? Sebuah tragedi maut demokrasi di era reformasi! Ketiga, kebenaran harus diperlihatkan. Jika ada saluran yang tersumbat, baiklah kita buka. Jangan ditutup-tutupi. Sebab, sebuah proses yang benar tentu menghasilkan keputusan yang benar. Penelikungan kebenaran harus dihentikan karena demokrasi yang benar tidak akan mengorbankan kebenaran sebagai unsur hakikinya.
Rekomendasi Anda?
KPUD dan DPRD jangan cepat-cepat mengambil keputusan final sebelum hal-hal yang disampaikan 8 (delapan) kandidat lainnya diteliti secara benar sehingga menemukan kesahiannya. Rapat pleno dan sidang Paripurna yang dibuat hanya demi selesainya satu proses demokratisasi secara artifisial akan membawa dampak yang luas bagi kehidupan kita. Lebih-lebih tindakan kekerasan dan kekacauan yang tak terukur. Rapat pleno KPUD dan Sidang Paripurna DPRD juga harus mengutamakan prinsip kebenaran menjadi inti keputusan itu. Demikianpun rekomendasi Gubernur dan Keputusan Mendagri. Untuk masyarakat Manggarai harus menuntut haknya, demi meraih demokrasi yang benar.***

Selengkapnya...

Selasa, 08 Juni 2010

SURAT PENOLAKAN TAMBANG DI CENOP- KECAMATAN LAMBALEDA- MANGGARAI TIMUR

SURAT PENOLAKAN TAMBANG

No : -
Lampiran : 1 jepitan
Perihal : Pernyataan Sikap

Yth. Bapak Bupati Manggarai Timur
Di
Borong

Dengan hormat,
Kami masyarakat kampung Cenop, Desa Nampar Tabang, Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai Timur, baik sebagai pemilik lahan di “Lodok Wae Lempis” yang di dalamnya terkandung mangan, maupun sebagai bagian yang tak terpisahkan dari “Pa’ang Olon Ngaung Musin” kampung Cenop, datang ke hadapan Bapak untuk menyatakan sikap kami sebagai berikut:
1. Menolak dengan keras terhadap berbagai bentuk aktivitas pertambangan di sekitar lahan dan kampung kami dengan alasan sebagai berikut:
1) Hidup kami masih bergantung pada tanah. Di atas lahan yang kami miliki sekarang telah tumbuh tanaman perdagangan seperti kemiri, jambu mete dan kakao yang selama ini menjadi sumber penghasilan yang menopang ekonomi kami.
2) Lahan yang di dalamnya terkandung mangan lokasinya sangat dekat dengan permukiman warga kampung Cenop dan kampung Weleng. Aktivitas pertambangan di lokasi tersebut tentu saja akan sangat berdampak buruk bagi kelangsungan hidup warga kedua kampung tersebut.
3) Lokasi tersebut sangat dekat dengan lokasi SMPN 2 Lamba Leda (kurang lebih berjarak 100 meter). Aktivitas pertambangan tentu saja akan menciptakan kondisi yang tidak nyaman untuk kegiatan pembelajaran di sekolah tersebut.
4) Lokasi tersebut berada langsung di dekat daerah aliran sungai. Jika dilakukan aktivitas pertambangan maka akan sangat merugikan kegiatan pertanian di beberapa lahan persawahan milik masyarakat kampung Lengko Tong dan Tumbak di Desa Satar Punda, serta kampung Waso dan Runting di Desa Satar Padut.
5) Kurang lebih 200 meter dari lokasi tersebut terdapat mata air (Wejang), tempat warga kampung Cenop menjalankan ritus adat “Barong Wae” untuk setiap kali melakukan upacara adat. Aktivitas pertambangan tersebut akan melecehkan simbol budaya kampung Cenop.
2. Menolak dengan tegas pihak, baik pribadi maupun kelompok, yang mengatasnamakan masyarakat kampung Cenop untuk menyatakan persetujuan terhadap aktivitas pertambangan di lahan milik masyarakat kampung Cenop.
3. Mengutuk dengan keras warga kampung Cenop yang lahannya diserahkan untuk kegiatan pertambangan. Terhadap mereka kami berpandangan bahwa:
1) Mereka adalah orang-orang yang tidak memiliki kepekaan sosial, tidak menghargai kepentingan bersama, mengorbankan kepentingan bersama demi pemuasan keinginan mereka yang egois.
2) Mereka adalah orang-orang yang tidak konsisten karena mereka telah membuat pernyataan menolak terhadap aktivitas eksplorasi dan eksploitasi mangan di lahan yang mereka miliki tertanggal 3 Mei 2009 yang disaksikan oleh 33 peserta rapat dan diketahui oleh Tu’a Teno Cenop atas nama Bapak Paulus Rangka (Surat Pernyataan Penolakan terlampir).
3) Mereka telah melakukan penipuan terhadap masyarakat untuk mendapatkan persetujuan masyarakat kampung Cenop dan kampung Diwuk terhadap aktivitas pertambangan dengan modus menandatangani persetujuan menjadi tenaga kerja ketika nanti aktivitas pertambangan resmi dilakukan.
Demikian pernyataan sikap kami untuk menjadi pertimbangan Bapak dengan harapan agar diterima dan dengan demikian Bapak tidak mengeluarkan ijin eksplorasi dan eksploitasi pertambangan di “Lodok Wae Lempis” yang dimaksud. Kami akan terus melakukan penolakan sampai Bapak mengabulkan permohonan kami untuk tidak mengeluarkan ijin eksplorasi dan eksploitasi mangan di wilayah kami. Atas perhatian Bapak kami mengucapkan terima kasih.

Cenop, 6 Juni 2010
Koordinator Sekretaris


Rofus Janus Anton Ego

Tembusan:
1. Yth. Ketua DPRD Kabupaten Manggarai Timur di Borong
2. Yth. Kepala Dinas Pertambangan Kabupaten Manggarai Timur di Borong
3. Yth. Ketua JPIC SVD Provinsi Ruteng di Ruteng
4. Media massa
5. Arsip Selengkapnya...

Sabtu, 29 Mei 2010

PEMBANGUNAN MANGGARAI DAN TRAGEDI KEMANUSIAAN

Kanisius Teobaldus Deki, M.Th
Staf Pengajar STKIP St. Paulus,
Direktur Lembaga Pendidikan dan Kajian Demokrasi

Kabupaten Manggarai berada di ujung barat Pulau Flores. Manggarai dikenal sebagai daerah subur ditandai dengan tingginya kontribusi sektor pertanian bagi perekonomian daerah ini. Hampir semua jenis tanaman pertanian seperti padi, jagung, umbi-umbian dan sayur-sayuran tumbuh subur di daerah ini. Begitu pula tanaman perdagangan seperti kopi, cengkeh, fanili, cokelat, kemiri dan pisang dengan mudah kita temui di daerah ini. Bahkan Manggarai dikenal sebagai salah satu daerah penghasil kopi terbesar di NTT.
Dari sisi geografis, Kabupaten Manggarai berada di antara Kabupaten Manggarai Barat di sebelah barat dan Kabupaten Manggarai Timur di sebelah timur. Sementara di bagian utara berbatasan dengan laut Flores dan bagian selatan laut Sawu.
Luas wilayah Kabupaten Manggarai adalah 4.188,90 km persegi yang terdiri dari daratan Pulau Flores dan Pulau Mules. Kabupaten Manggarai kini menjadi kabupaten induk bagi Kabupaten Manggarai Barat yang definitif tahun 2003 dan Kabupaten Manggarai Timur tahun 2007. Pemekaran Manggarai menjadi tiga kabupaten ini disebabkan karena luasnya wilayah yang membuat upaya memajukan dan mensejahterakan masyarakat sulit diwujudkan.
Secara administratif, Kabupaten Manggarai terbagi atas 9 kecamatan yakni kecamatan Satar Mese, Satar Mese Barat, Wae Rii, Reo, Cibal, Ruteng, Lelak, Rahong Utara dan Langke Rembong. Masing-masing kecamatan terbagi lagi atas wilayah desa/kelurahan, yakni Satar Mese 19 desa, Satar Mese Barat 20 desa, Wae Rii 16 desa, Cibal 27 desa, Reok 20 desa, Ruteng 16 desa, Rahong Utara 12 desa, Lelak dan Langke Rembong 11 kelurahan. Total desa/kelurahan mencapai 138 desa dan 11 kelurahan.
Tulisan ini lebih merupakan sebuah tinjauan kritis atas apa yang telah terkonstruksi dalam pembangunan di Manggarai dan hasil-hasil yang dapat terukur pada dimensi kemanusiaan yang utuh dari manusia.


Salah Kaprah Pembangunan
Masyarakat Manggarai dengan tingkat pendidikan yang rendah cenderung melihat pembangunan dalam orientasi State Building (pembangunan fisik) dan bukan Nation Building (pembangunan manusia). Karena itu ukurannya jelas: berhasil atau tidaknya pembangunan bertitik tumpu pada berapa jalan yang dibuka, bukan pada apakah makin sejahtera masyarakat, makin banyak yang berpendidikan, makin banyak yang sehat, dll. Sebuah pembangunan yang integral dan berdimensi plural.
Membaca alur pemikiran pembangunan yang dibacakan Bupati Manggarai dalam Laporan Akhir Masa Jabatan di hadapan DPRD Manggarai, ada kesan kuat menonjolkan pembangunan infrastruktur sebagai ”fokus utama” dari kerja kepemimpinan selama 5 (lima) tahun pasangan Drs. Christian Rotok dengan Dr. Kamelus Deno (Credo). Hal itu juga sering terlontar dari kampanye-kampanye jelang Pemilu Kada Manggarai tahun ini oleh Credo dan tim. Juga sebagian masyarakat mengafirmasi hal itu sebagai keberhasilan Credo.
Program pembangunan Credo lebih diarahkan ke pengembangan infrastruktur. Pembangunan jalan, jembatan dan berbagai sarana fisik selalu menjadi perhatian utama sehingga masalah gizi diabaikan. Dari sini dapat diketahui wawasan pasangan Credo tentang pembangunan adalah bagaimana memanfaatkan dana yang ada. Pembangunan lebih bernuansa proyek, bukan sungguh-sungguh membangun. Artinya karena lebih berfokus pada hal tersebut, maka problem-problem lain seperti gizi, pendidikan, kesehatan, ekonomi memiliki skala prioritas yang sekunder. Dana untuk pembangunan yang berorientasi pada masyarakat miskin juga masih sangat kecil.
Meskipun banyak proyek infrastruktur dijalankan pemerintah, sebagian besar masyarakat masih tinggal di tempat yang secara fisik tidak bisa dikatakan layak. Sebanyak 46,47 persen keluarga tinggal di rumah berlantai tanah, 48,93 persen rumah penduduk berdinding bambu, 41,85 persen penduduknya mengkonsumsi air dari sumber yang tak terlindungi dan air sungai. Sedangkan hanya 17,57 persen penduduknya hidup dengan listrik. Listrikpun sering padam dan Pemda seolah-olah cuci tangan atas masalah ini.

Tragedi Kemanusiaan
Selama lima tahun masa pemerintahan Credo, paling kurang ada beberapa masalah akut yang mencuat ke permukaan. Di sini saya hanya menyebutkan tiga hal. Masih banyak soal lain seperti korupsi yang menguat di masa pemerintahan ini dan persoalan tambang yang krusial, tapal batas hutan yang tak terselesaikan, dll.
Pertama Masalah Pendidikan. Mari kita cermati bersama profil masalah pendidikan di Kabupaten Manggarai. Data statistik memperlihatkan bahwa pada usia wajib sudah sekolah (10 tahun ke atas) angka buta huruf mencapai 9,35 % dari total jumlah wajib belajar pada usia yang sama. Dari prosentase itu, laki-laki mengalami nasib yang lebih untung dibanding perempuan, karena 11,58 % perempuan buta huruf dibanding laki-laki 7,05 %.
Sedangkan prosentase kelulusan di tingkat SLTP atau setingkatnya memilukan, karena dibanding kabupaten-kabupaten lain di NTT, Kabupaten Manggarai mengalami kemunduran yang luar biasa. Prosentase kelulusan tingkat SMP tahun 2007/2008, di Kabupaten Manggarai hanya mencapai 62,50 % dari total peserta ujian, sedangkan Kabupaten TTS mencapai 71,14 %, Manggarai Barat 78,74 %. Lebih menyedihkan karena tingkat kelulusan kabupaten baru mekar (berdiri) seperti Kabupaten Sumba Tengah lebih tinggi dibanding Kabupaten Manggarai, karena peringkat prosentase kelulusan setingkat SMP di Kabupaten Sumba Tengah mencapai 68,48 %. Hal yang sama bagi Manggarai Timur lebih gemilang di bandingkan Manggarai.
Wajah kelulusan tingkat SLTA atau setingkatnya juga memperlihatkan angka yang memprihatinkan. Kabupaten Manggarai hanya 55,12 % kelulusannya, sedangkan TTS mencapai 92,22 %, Manggarai Barat 66,97 %, Manggarai Timur menembus angka 90,69 %. Tetapi Kabupaten Manggarai lebih unggul dibanding Sumba Tengah yang hanya 37,18 % tingkat kelulusan SLTA atau setingkatnya.
Lebih memprihatinkan angka kelulusan Siswa SLTP dan SMU/SMK di Manggarai 2008/2009. SLTP 59,99%, SMU 82,31 % dan SMK 96,10%. Sedangkan tahun 2009/2010, SLTP 43,29%, SMK 47,67% dan SMU hanya 26,29%. Dari tahun ke tahun angka kelulusan kita makin turun. Pendidikan formal tingkat menengah di Manggarai terpuruk ke titik nadir.
Angka-angka prosentase ini mau memperlihatkan apa dalam kinerja, semangat dan fokus penyelesaian problem manusia Manggarai ke depan? Artinya masalah pendidikan menyimpan bom waktu di masa depan, terutama penyediaan sumber daya manusia untuk mengelola pembangunan daerahnya. Tambahan lagi, kader-kader intelektual akan kian surut jika perbaikan nasib pendidikan di Manggarai belum terencana dengan baik. Belum lagi jika kita menilik angka korupsi di bidang ini yang meluas.
Kedua, Masalah Kesehatan. Di Kabupaten Manggarai hanya ada 2 (dua) rumah sakit (yang dikelola oleh pemerintah dan milik swasta). Persediaan tempat tidur untuk melayani orang sakit hanya 161 tempat tidur dengan rincian 101 tempat tidur di rumah sakit pemerintah, dan 60 tempat tidur di rumah sakit swasta. Jumlah dokter 22 orang, perawat 216 orang dan bidan 135 orang.
Jumlah Puskesmas 15, Puskesmas Pembantu (Pustu) 63, Poskesdes 40, Polindes 26 dan Posyandu 624.
Angka itu memperlihatkan bahwa sebaran infrastruktur tidak berbanding lurus dengan sebaran jumlah penduduk yang hendak dilayani. Karena itu, kasus gizi buruk, angka kematian balita dan angka kematian ibu tetap tinggi. Angka balita gizi kurang (2008) mencapai 37,3 % dan angka kematian bayi 48,90 %. Sedangkan jumlah penduduk yang hendak dilayani adalah 504.163 jiwa.
Masalah gizi di Manggarai menuai cerita baru. Gizi di Manggarai dinilai masih bermasalah sangat tinggi dan kronis. Angka kesakitan yang tinggi dan praktek pemberian makan yang tidak baik merupakan penyebab langsung masalah gizi tersebut.
Problem gizi balita ini memperlihatkan angka yang mengenaskan. Balita gemuk di Manggarai hanya 5,1 %, berbadan pendek mencapai 60,6 % dan gizi kurang mencapai 24,2 % dibanding rerata NTT secara keseluruhan. Karena itu, jangan harap ada kader pemain basket, sepak bola dan volley ball yang baik dari Manggarai di masa depan. Pantaslah kalah terus di El Tari Memorial Cup di sejumlah event dan kesempatan.
Angka penyakit pada balita 14 hari juga memperlihatkan keprihatinan yang mendalam. Anak-anak Manggarai yang baru lahir berusia 14 hari terkena penyakit (sakit) mencapai 69,5 % sedangkan pada usia dan saat yang sama, NTT rerata 57,3 %. Anak-anak juga mengalami demam hebat dengan mencapai posisi 57,1 % dan pada saat yang sama di NTT mencapai 46,6 %.
Jumlah orang berbadan pendek di Manggarai mencapai angka yang mencengangkan karena berada di atas 80 % lebih. Lalu pertanyaannya, bagaimana mungkin mendorong hadirnya manusia bermutu di Manggarai di masa depan? Di manakah semua alokasi anggaran yang diintervensi pemerintah (daerah, propinsi dan pusat) serta pihak ketiga?
Sementara itu, situasi dan kondisi rawan pangan di Manggarai senantiasa menjenguk masyarakatnya. Angka-angka berikut ini akan berbicara banyak soal itu. Rawan pangan mencapai 50,3 % dibanding NTT 40,8 %. Sedangkan resiko rawan mematok prosentase pada angka 32,5 %. Artinya, jika intervensi tidak tepat dan kurang tepat, maka Manggarai akan tetap menjadi satu kabupaten yang selalu rawan pangan sepanjang tahun. Apalagi yang dinilai agak tahan pangan hanya 17,2 %. Tentu saja para pegawai dan para pebisnis masuk di dalam angka 17,2 % itu.
Mengapa angka gizi kurang dan gizi buruk itu begitu tinggi di Manggarai dan bagaimana nasib sumber pangan mereka? Sumber pangan yang dimakan orang Manggarai di Manggarai memperlihatkan hal sebagai berikut. Hanya 45 % penduduk Manggarai yang memiliki jagung dan diproduksi sendiri, sedangkan 22 % lebih jagung diperoleh dengan cara membeli sedangkan bantuan lain 18 %.
Beras yang diproduksi sendiri hanya 26 % sedangkan yang dibeli mencapai 42 %, sedangkan Raskin mencapai 17 %. Singkong (bahasa Manggarai : tetehaju) diproduksi sendiri mencapai 71 % persis sama dan sebanding dengan produksi dan konsumsi daun singkong. Orang Manggarai pengkonsumsi daun singkong tertinggi di NTT. Sedangkan roti dan biskuit hampir 100 % dibeli. Umbi-umbian lain, semisal, ubi talas, keladi dan lainnya mencapai angka yang sama dengan singkong 71 %.
Bagaimana dengan ikan, mie, daging, telur, susu, gula dan minyak? Hampir 100 % orang Manggarai memperoleh semuanya dengan cara membeli. Sisanya hasil cimpa atau pemberian. Artinya, ketergantungan masyarakat Manggarai pada pasar sangat tinggi.
Lalu bagaimana dengan sebaran jenis mata pencaharian orang Manggarai. Hasil kiriman dari jauh (entah dari anaknya yang merantau atau sanak keluarga) hanya 2,0 %, PNS 2,0 %, Pedagang 3,5 % dan nelayan 1,7 %. Bertani 17,5 % sedangkan buruh tani mencapai angka yang mengejutkan yaitu 43,2 %. Artinya apa? Artinya manusia Manggarai kini mengalami krisis hebat tak memiliki lahan garapan untuk bertani kecuali menjadi buruh tani belaka.
Ketiga, Masalah Ekonomi. Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Manggarai tahun 2005-2010 sangat fluktuatif, baik yang diakibatkan oleh perubahan-perubahan eksternal maupun internal. Tahun 2005 Manggarai di level 2,14, NTT: 3,42, 2006 Manggarai 5.30, NTT: 5.08, 2007: Manggarai 6,03 dan NTT: 5.15, sedangkan tahun 2008 NTT 4,81, Manggarai jatuh ke level yang jauh lebih rendah dari dua tahun sebelumnya yakni 2,86.
Tragisnya sebagian besar masyarakat manggarai tergolong miskin. Rata-rata pengeluaran masyarakat Manggarai setiap bulan per-orang adalah Rp 161.688. Tingkat PDRB dan Pendapatan per Kapita Kabupaten Manggarai terkesan terus mengalami peningkatan, padahal kenaikan tidak significant bahkan masih lebih rendah dari PDRB dan Pendapatan per Kapita Provinsi NTT dan Nasional. Tahun 2005 PDRB Manggarai 2,2777,281 sedangkan NTT 3,476,397. Tahun 2008 Manggarai 3,854,082 dan NTT 4,768,486. Selisihnya sangat jauh. Tahun 2005: 1,199,116 dan tahun 2008: 914,404. Tahun 2005 Pendapatan per Kapita Manggarai 2,137,083 sedangkan NTT 3,281,657. Tahun 2008 Manggarai 3,610,846 sedangkan NTT 4,469,637. Selisinya terpaut jauh. Tahun 2005: 1,144,574 dan tahun 2008: 858,791.

Pemilu Kada dan Kans Perubahan
Upaya penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Manggarai terlihat belum optimal. Hal ini ditunjukkan oleh persentase KK miskin di Kabupaten Manggarai pada tahun 2008 (62,9%) yang menurun dari 67,8% pada tahun 2005. Namun tingkat kemiskinan ini masih lebih tinggi dibandingkan persentase KK miskin tingkat Provinsi NTT tahun 2008 yang sebesar 56,75%. Dengan kata lain, tingkat kemiskinan kita secara absolut masih tinggi. Tantangan utama yang dihadapi dalam penanggulangan kemiskinan di Manggarai pada masa mendatang adalah meningkatkan pemenuhan hak-hak dasar masyarakat miskin; merencanakan pembangunan dan penganggaran yang berpihak pada masyarakat miskin (pro poor); meningkatkan partisipasi dan akses masyarakat miskin dalam pengambilan keputusan; mensinergikan kebijakan pusat dan daerah dalam penanggulangan kemiskinan; mengoptimalkan potensi ekonomi lokal dan menekan laju pertumbuhan penduduk.
Tantangan ke depan adalah meningkatkan percepatan pertumbuhan ekonomi tanpa mengabaikan pemerataan pembangunan antarwilayah; pertumbuhan ekonomi harus dinikmati oleh masyarakat; mendorong pertumbuhan yang cepat pada sektor tersier tanpa mengabaikan pertumbuhan sektor primer yang memiliki daya tahan terhadap krisis perekomian global dan nasional; meningkatkan pertumbuhan ekonomi pada sektor sekunder dan tersier sebagai lokomotif dalam penyerapan tenaga kerja dan pengimbang pertumbuhan sektor primer yang terus menurun; mendorong pembangunan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru; menciptakan iklim usaha yang kondusif sehingga mampu menarik minat investor.
Kenyataan-kenyataan ini belum bisa dijangkau oleh Credo selama 5 (lima) tahun yang telah lewat. Sebuah kegagalan kemanusiaan Manggarai yang sangat substansial dan akut. Pemilu Kada tanggal 3 Juni 2010 oleh banyak orang dilihat sebagai moment untuk menciptakan perubahan. Pada titik ini, harapan akan perubahan yang signifikan juga diletakkan pada orientasi pembangunan berbasis konteks, perubahan pola kepemimpinan, standar pencapain pembangunan serta mekanisme yang digunakan. Sebuah imperatif bahwa di masa depan, kegagalan yang sama tidak perlu dilanjutkan.*** Selengkapnya...

Minggu, 25 April 2010

Studi Kebijakan Penanganan Gizi Kabupaten Manggarai

PENGANTAR

Hingga tahun ini, telah lima tahun sudah bupati Christian Rotok menjalankan roda pemerintahan kabupaten Manggarai. Meskipun kabupaten ini merupakan wilayah tersubur di NTT, namun hingga akhir pemerintahannya penderita gizi buruk dan gizi kurang masih berceceran dimana-mana. Sepertinya penanganan masalah gizi bukan saja menjadi perhatian utama Pemerintah Manggarai, hahkan masalah ini seperti berada diluar kerangka berpikir mereka. Indikasinya dalam teks pertanggung jawaban Bupati Manggarai yang dibacakan 31 Maret 2010 kemarin tidak menyinggung sama sekali masalah perkembangan gizi buruk di Manggarai padahal ini merupakan masalah penting yang menyangkut sumber daya manusia.

Apakah gizi buruk di Manggarai memang sudah tidak ada lagi? Hingga Juli 2009 di kabupaten ini masih terdapat 1.767 anak gizi kurang dan 109 anak gizi buruk. Jumlah ini didasarkan data dinas kesehatan. Meskipun perkembangan gizi buruk menunjukkan trend yang menurun, namun ada berbagai versi data mengenai penderita masalah gizi yang dimiliki sumber-sumber di pemerintahan. Satu dengan yang lainnya menunjukkan jumlah yang berbeda. Hal ini menunjukkan kesimpangsiuran dalam pendataan masalah gizi di pemerintahan. Kesimpangsiuran pendataan sering menyebabkan kesimpangsiuran penanganannya pula.


Tahun 2005, Manggarai masuk dalam 16 kabupaten yang dinyatakan sebagai daerah yang mengalami KLB gizi buruk oleh pemerintah provinsi NTT. Lalu apa yang telah dilakukan pemerintah sejak KLB hingga saat ini jika sampai saat ini masih ada ribuan anak dengan masalah kecukupan gizi? Jika diperiksa dari kebijakan dan program pemerintah 2005 dan 2009 hampir tidak ada perubahan yang signifikan baik dalam kebijakan maupun program-programnya.

Pemerintah Manggarai meletakkan bidang pendidikan sebagai prioritas utama dalam kebijakannya. Alokasi anggaran yang disisihkan untuk bidang ini tidak main-main yaitu 33% pada tahun 2009. Namun sayangnya hasil kerja di bidang ini tidak sesuai dengan besarnya anggaran yang diperoleh. Angka kelulusan siswa SMP dan SMA terus merosot sejak 2006 hingga 2009. Ini merupakan catatan besar bagi Pemerintah Manggarai dalam membenahi sektor pendidikan yang secara tidak langsung terkait dengan penanganan masalah gizi. Masalah gizi salah satunya dipicu oleh rendahnya pendidikan secara mutu maupun kuantitas masyarakat.

Di sektor pertanian agaknya mengalami kemacetan dalam usaha perluasan area tanam sehingga luas lahan yang bisa dibudidayakan tidak mampu mengimbangi pertumbuhan angkatan kerja. Padahal luas lahan yang belum termanfaatkan masih sangat luas. Akibatnya setiap tahun jumlah pengangguran semakin meningkat. Kendala minimnya jumlah tenaga penyuluh yang tidak mencukupi kebutuhan seluruh desa juga merupakan masalah tersendiri.

Walaupun demikian ada inisiatif kreatif dari kalangan kelompok agamawan yang mencoba memutus rangkaian penyebab busung lapar ini. Ekopastoral yang merupakan gerakan pastoral kategorial Ordo Fransiskan untuk masyarakat petani yang berkantor di Pagal mencoba mengajak para petani untuk meningkatkan produksi pangan dan hortikultura untuk konsumsi sehari-hari. Melalui pertanian organik masyarakat akhirnya bisa menikmati peningkatan jumlah produksi pangan dengan biaya produksi yang murah. Selengkapnya...

Daerahku Malang, Daerahku Gizi Buruk

Workshop-Studi Kebijakan Penanganan Gizi Kabupaten Manggarai -2009
Ecosoc Right Institute, Jakarta 26-29 April 2010
Catatan Perjalanan 1


Siang terik 10 April 2010… hand phone-ku bordering. Aku melihat angka yang tertera. Eh, ada nomor baru. Segera kusapa, “Halo, ada yang kami bisa bantu?” Di seberang sana memberikan jawaban, serentak bertanya, “Apakah benar ini Kanisius dari LPKD?” “Benar”, jawabku. Suara itu memperkenalkan diri sebagai peneliti dari Ecosoc. Mbak Yanti, itulah namanya. Sejak saat itu, ada diskusi hangat yang menyengat sekaligus menimbulkan duka: Manggarai didera gizi buruk! Itulah sebuah simpulan sementara setelaj ada sebuah kajian rasional-objektif atas fakta Manggarai yang kaya sumber daya alam sekalgus kaya orang miskin.

“Tolong, kita lakukan kajian bersama”. Demikian awal perjalanan penelitian tentang gizi bersama Ecosoc. Tiket sudah di-issued mbak Yanti. Routenya Ruteng-Kupang-Surabaya-Jakarta. Jadilah tanggal 24 saya bersama Esti dari JPIC berangkat dengan Riau Air dari Ruteng ke Kupang. Di Kupang sempat pelesir ke rumah saudara sambil menumggu jadwal perjalanan lanjutan. Kami bertemu dengan Okto dari Alor. Okto ini dari tampangnya persis seorang body guard kawakan di AS. Mirip orang dari Puerto Richo: tinggi, besar, rambut panjang dan kekar. Selanjutnya kami terbang pkl. 13.30 dengan Mandala Air Bus 320. Pesawat yang ini masih baru dengan jumlah seat 160. Ada keanggunan tersendiri berada di dalamnya.

Tiba di Cengkareng pkl 17.00. Dengan taxi Blue Bird kami meluncur ke Klender. Rumah yang disambang adalah Wisma Samadi milik Keuskupan Agung Jakarta. Sempat pusing karena mutar-mutar. Sopir juga belum hafal benar daerah ini. Lalu setelah 1 jam berkeliling, tibalah di rumah yang dulunya RS cabang Carolus. Teman-teman lain berdatangan: Melki dari Florim, Frans Pantur dari Kupang, Ernet dari Rote, Dr. Yan dari TTU serta teman-teman asal Jakarta… Selengkapnya...

Jumat, 09 April 2010

Gereja Manggarai yang Membebaskan

Bingkisan Kecil di Hari Tahbisan Uskup Ruteng

Kanisius Teobaldus Deki, M.Th
Pengajar STKIP St. Paulus & Direktur Lembaga Pendidikan dan Kajian Demokrasi

Hari-hari ini, Gereja Keuskupan Ruteng yang memiliki wilayah pelayanan untuk Manggarai Raya (Manggarai Barat, Manggarai Tengah dan Manggarai Timur), sedang dilanda suka cita. Betapa tidak! Setelah sekian lama ada dalam penantian, akhirnya Uskup baru, Mgr. Hubertus Leteng Pr ditahbiskan pada 14 April 2010. Pada 08 April 2010 Yang Mulia dijemput secara resmi dengan ramainya menuju kota Ruteng. Ribuan umat memadati jalan protokol. Tempik sorak-sorai juga kesemarakan menjadi nada yang sulit ditepis dari kegembiraan kolosal umat. Tak ketinggalan murid-murid SD, siswa-siswi SLTP & SLTA. Termasuk mahasiswa-mahasiswi kampus STKIP St. paulus. Di mana-mana wajah Monsigneur dipampang dalam baliho yang besar. Hampir bersaing ketat dengan para kandidat politik yang akan berebut tahta menjadi Bupati-Wakil Bupati di Manggarai.
Di tengah keramaian, di antara lambaian tangan-tangan kecil siswa SD yang memegang bendera merah-kuning, juga kesigapan regu penjemputan dalam busana adat yang indah, muncul berbagai pertanyaan yang menyeruak masuk: Apakah peristiwa ini akan membawa orang Manggarai Raya ke arah pembebasan? Bagaimana kita membangun Gereja kita sebagai Gereja yang Membebaskan? Pertanyaan-pertanyaan ini melahirkan sebuah ikhtiar untuk menulis gagasan kecil ini, lebih sebagai bingkisan di hari tahbisan Mgr. Hubertus.


Tekanan kolonialisme masa lampau masih terbaca dalam kecemasan-kecemasan orang Manggarai menghadapi tantangan hidup aktual masa kini. Mereka sudah terbiasa menghadapi pengalaman kekerasan, penindasan dan ketidakadilan struktural yang dipaksakan. Dalam situasi seperti ini, mereka sangat mengharapkan terciptanya situasi pembebasan dari keterbelengguan multiwajah. Ketika suara mereka tidak didengarkan oleh penguasa, tatkala hak-hak mereka tak dihiraukan dan mereka tidak sanggup untuk melawan, mereka mengharapkan Gereja tidak berdiam diri. Orang Manggarai rindu memiliki Gereja yang menjadi wakil mereka untuk bersuara menentang penindasan yang telah lama mereka alami. Gereja tidak boleh hanya menjadi penonton yang tidak berpihak pada mereka. Apalagi berkolaborasi dengan kebijakan-kebijakan yang jelas-jelas merugikan rakyat-umat Manggarai.
Gereja yang berdialog adalah Gereja yang aktif, terlibat dalam konteks budaya dan masalah-masalah orang Manggarai. Persoalan yang paling aktual ialah, bagaimana nilai-nilai budaya orang Manggarai dengan tradisi sastra lisannya menjadi sarana yang efektif untuk mendialogkan Kabar Gembira Yesus Kristus? Kesediaan Gereja untuk mendengarkan keluh kesah, harapan dan bersama mereka yang dirugikan berjuang untuk menemukan jalan pembebasan. Hanya suatu masyarakat yang terbuka, partisipatif mampu mengatasi keterpecahan kebudayaan kosmik yang disebabkan oleh pesatnya laju pasar internasional. Ini berarti Gereja Manggarai menciptakan suatu kebudayaan dialogal, di mana setiap orang dinilai [didengarkan] dan setiap orang ambil bagian dalam pengambilan keputusan yang demokratis.
Dialog itu sendiri merupakan evangelisasi pembebasan dalamnya misi Kristus dihadirkan. Dialog pada tahap pertama dan utama adalah kesediaan untuk saling membuka diri. Dalam dialog, kedua belah pihak memiliki kedudukan yang setara, sederajad di mana anggapan superioritas dan inferioritas ditiadakan. Gereja sebagai institusi mendialogkan tawaran keselamatan Yesus Kristus kepada orang Manggarai. Dalam budaya dialogal, orang Manggarai akan mengkomunikasikan pengalaman hidup dan budaya mereka kepada Gereja. Demikianpun sebaliknya.
Kebudayaan kosmik orang Manggarai telah menjadi sekular tatkala kaum miskin disamun dari bahasa yang dalamnya mereka mengungkapkan jati diri, martabat dan nilai-nilai hidup mereka yang terdalam. Dalam situasi krisis kebudayaan [terlepas dari akar budaya asli dan menjadi ragu atasnya] mereka ditawarkan untuk membuka diri terhadap yang transenden. Dalam konteks seperti ini, tempat Gereja ialah ada bersama-sama dengan kaum miskin dan yang tergusur sebab di situlah Allah akan ditemukan. Konkritnya, ada beberapa langkah pembebasan yang dapat menjadi reksa pastoral.
Pertama, dialog yang dijalankan dengan penuh ketulusan, keterbukaan berusaha meyakinkan orang Manggarai bahwa dari kebudayaannya terdapat banyak nilai Kristiani [yang dalam awal abad ke-20 disebut naturaliter Cristiana-orang Kristen secara alami] yang dapat menjadi basis iman mereka kepada Kristus. Di sini anggapan yang terlanjur didengungkan pada zaman lampau tentang superioritas ajaran Kristen akan runtuh dengan sendirinya. Baik budaya lokal Orang Manggarai maupun tradisi Kristen berjalan dalam saling menerima dan memberi. Di sini dialog akan membebaskan orang Manggarai dari keterbelengguan historis yang merupakan stigma ciptaan misionaris masa lampau.
Kedua, dialog pembebasan tidak dibuat sebatas saling menerima dan memberi nilai-nilai yang membangun partisipasi umat menuju keselamatan. Lebih dari itu, dialog diarahkan ke praksis kehidupan sehari-hari orang Manggarai. Itu berarti Gereja terlibat dalam persoalan kemiskinan, ketidakadilan, penindasan, kekerasan, pemberdayaan orang Manggarai secara aktif. Pengakuan akan eksistensi budaya, lembaga-lembaga adat-istiadat merupakan bagian dari misi pembebasan itu. Jika Pemerintah Kabupaten Manggarai hanya menjadikan kebudayaan dan institusi adat sebatas komoditas politik, demi meraup keuntungan di atas upaya penjualan dan pengangkangan terhadapnya, maka Gereja mesti berada pada garda depan untuk tampil sebagai pembela. Di sisi lain, Gereja bisa menjadi suara kritis terhadap praktek-praktek budaya yang diksriminatif, membelenggu dan keliru tersebab menista martabat kemanusiaan. Tetapi suara Gereja akan didengarkan jika ia terlebih dahulu mau mendengarkan dan aspiratif terhadap budaya lokal.
Ketiga, dalam pergolakan politis dan kebijakan-kebijakan Pemkab Manggarai, Gereja mesti tetap memiliki suara profetis. Ketika Gereja Manggarai kehilangan suara profetisnya, ia menjadi sama seperti garam yang tidak asin atau lampu yang tak berminyak. Orang Manggarai tidak membutuhkan bangunan Gereja yang megah, ruang pertemuan pastoral yang mewah [karena itu akan menyebabkan pungutan “derma” semakin gencar dan terkesan “memaksa”]. Gereja Manggarai harus tetap menjadi Gereja kaum sederhana yang hidup bersahaja. Seperti rumah Gendang yang tetap sederhana, Gereja hendaknya menampilkan diri secara ugahari, bersolider dengan umat yang tertindas dan menjadi pembela mereka. Advokasi hak-hak masyarakat Manggarai selama ini lebih banyak dilakukan oleh lembaga lain yang cepat tanggap terhadap persoalan publik. Di manakah peran Gereja? Gereja akan tetap dipahami sebatas institusi, gedung, jika tidak terlibat dalam kehidupan konkrit umat. Saatnya, praktek pembebasan ini dimulai, melepaskan dominasi teologi Barat, berupaya menjalin keterkaitan antara aktus-praksis dan refleksi demi menjawab tantangan aktual umat. Gereja perdana adalah Gereja para martir. Sudah tiba waktunya Gereja Manggarai keluar dari kenyamanan, berdiri bersama umatnya di bawah terik matahari untuk menentang kelaliman. Meskipun bayarannya adalah tubuh bersimbah darah.
Dalam dialog yang mengedepankan lonto leok, terdapat komunikasi timbal balik antara kedua pihak atau bahkan dengan lebih banyak pihak. Sebagaimana tradisi sastra lisan menghidupkan berbagai bentuk ungkapan persaudaraan dan mencari keterjalinannya, demikian pula Teologi Relasi Manggarai berusaha menghubungkan warta keselamatan Yesus Kristus dalam dialog yang aktif dengan kehidupan aktual. Semangat dialog ini harus menjadi pilihan pertama dalam menyelesaikan konflik horizontal maupun vertical yang telah melanda Manggarai dari waktu ke waktu. Berhadapan dengan situasi seperti ini, pengembangan relasi yang dialogal merupakan suatu keniscayaan. Pada tahap ini, dialog bukan lagi sarana evangelisasi, melainkan evangelisasi itu sendiri. Ketika Gereja Manggarai mengembangkan relasi yang dialogal ini, terdapat kurang lebih empat hal yang harus jelas dan menjadi kesadaran bersama, yakni hakikat dari dialog, alasan-alasan untuk berdialog, kondisi-kondisi yang memungkinkan dialog dan model-model dialog yang efektif. Dialog rangkap tiga: dengan kebudayaan, agama-agama dan situasi kemiskinan serta ketertindasan merupakan jawaban yang tepat untuk semakin memahami Gereja lokal Manggarai dan menawarkan pendekatan pastoral yang sesuai dengan konteks mereka.
Konsekuensinya jelas. Gereja tidak lagi dimengerti sebatas mimbar sekaligus pusat yang merupakan kiblat umat. Gereja adalah kehidupan umat itu sendiri yang harus disucikan terus menerus oleh perjuangan mencapai keselamatan. Gereja adalah medan perjuangan di mana mereka berusaha mengaplikasikan nilai-nilai kristiani dalam hidup konkret. Dengan demikian, Gereja bukan lagi lembaga yang menghasilkan berbagai dokumen iman, melainkan tempat pengalaman iman didialogkan, dibagikan sebagai santapan rohani. Pejabat-pejabat Gereja adalah penghubung yang sanggup membahasakan kebutuhan real umat. Gereja karenanya tidak berarti singular. Sebagai sarana keselamatan yang berziarah menuju Allah, Gereja adalah umat Allah yang mendengarkan Sabda dan mengikuti kehendakNya. Umat Allah yang berbicara di rumah-rumah Gendang, di tempat lodok uma, di depan kantor DPR, di halaman kantor Bupati tentang masa depan bersama yang berorientasi kepada keselamatan Yesus Kristus adalah juga Gereja yang diilhami oleh Roh Kudus. Jadi, tempat bukan soal lagi, karena di manapun umat-rakyat dapat berdialog dengan sesama saudaranya dalam namaNya, di situ Allah hadir.***

Selengkapnya...

Jumat, 26 Maret 2010

Gereja Dialog di Manggarai

Permenungan Jelang Tahbisan Uskup Ruteng

Kanisius T. Deki, M.Th

Sejak gema Konsili Vatikan II bergaung hingga ke seluruh pelosok dunia, Gereja lokal Manggarai semakin menyadari perlunya menghargai kebudayaan asli masyarakat setempat. Bahkan muncul berbagai usaha inkulturasi, dialog antar agama dan gerakan pembebasan dalam teologi. Melalui upaya-upaya ini muncullah dialog multi sektor, yang oleh Uskup se-Asia menyebutnya sebagai “dialog rangkap tiga”. Komunitas-komunitas Kristiani menjadi sadar bahwa mereka dapat dengan sungguh-sungguh membangun sebuah Gereja lokal Manggarai yang otentik kalau terjadi dalam proses dialog terus menerus dengan kebudayaan-kebudayaan, agama-agama, pengalaman-pengalaman aktual dalam aktivitas ekonomi, sosial dan politik orang Manggarai.


Dalam dialog yang mengedepankan lonto leok, terdapat komunikasi timbal balik antara kedua pihak atau bahkan dengan lebih banyak pihak. Sebagaimana tradisi sastra lisan menghidupkan berbagai bentuk ungkapan persaudaraan dan mencari keterjalinannya, demikian pula Teologi Relasi Manggarai berusaha menghubungkan warta keselamatan Yesus Kristus dalam dialog yang aktif dengan kehidupan aktual. Semangat dialog ini harus menjadi pilihan pertama dalam menyelesaikan konflik horizontal maupun vertical yang telah melanda Manggarai dari waktu ke waktu. Berhadapan dengan situasi seperti ini, pengembangan relasi yang dialogal merupakan suatu keniscayaan. Pada tahap ini, dialog bukan lagi sarana evangelisasi, melainkan evangelisasi itu sendiri. Ketika Gereja Manggarai mengembangkan relasi yang dialogal ini, terdapat kurang lebih empat hal yang harus jelas dan menjadi kesadaran bersama, yakni hakikat dari dialog, alasan-alasan untuk berdialog, kondisi-kondisi yang memungkinkan dialog dan model-model dialog yang efektif. Dialog rangkap tiga: dengan kebudayaan, agama-agama dan situasi kemiskinan serta ketertindasan merupakan jawaban yang tepat untuk semakin memahami Gereja lokal Manggarai dan menawarkan pendekatan pastoral yang sesuai dengan konteks mereka.
Konsekuensinya jelas. Gereja tidak lagi dimengerti sebatas mimbar sekaligus pusat yang merupakan kiblat umat. Gereja adalah kehidupan umat itu sendiri yang harus disucikan terus menerus oleh perjuangan mencapai keselamatan. Gereja adalah medan perjuangan di mana mereka berusaha mengaplikasikan nilai-nilai kristiani dalam hidup konkret. Dengan demikian, Gereja bukan lagi lembaga yang menghasilkan berbagai dokumen iman, melainkan tempat pengalaman iman didialogkan, dibagikan sebagai santapan rohani. Pejabat-pejabat Gereja adalah penghubung yang sanggup membahasakan kebutuhan real umat. Gereja karenanya tidak berarti singular. Sebagai sarana keselamatan yang berziarah menuju Allah, Gereja adalah umat Allah yang mendengarkan Sabda dan mengikuti kehendakNya. Umat Allah yang berbicara di rumah-rumah Gendang, di kebun-kebun, di depan kantor DPR, di halaman kantor Bupati tentang masa depan bersama yang berorientasi kepada keselamatan Yesus Kristus adalah juga Gereja yang diilhami oleh Roh Kudus. Jadi, tempat bukan soal lagi, karena di manapun umat-rakyat dapat berdialog dengan sesama saudaranya dalam namaNya, di situ Allah hadir.***

Selengkapnya...

MENJADI GEREJA PEMBEBAS

Permenungan Jelang Tahbisan Uskup Ruteng

Kanisius Teobaldus Deki, M.Th

Tekanan kolonialisme masa lampau masih terbaca dalam kecemasan-kecemasan orang Manggarai menghadapi tantangan hidup aktual masa kini. Mereka sudah terbiasa menghadapi pengalaman kekerasan, penindasan dan ketidakadilan struktural yang dipaksakan. Dalam situasi seperti ini, mereka sangat mengharapkan terciptanya situasi pembebasan dari keterbelengguan multiwajah. Ketika suara mereka tidak didengarkan oleh penguasa, tatkala hak-hak mereka tak dihiraukan dan mereka tidak sanggup untuk melawan, mereka mengharapkan Gereja tidak berdiam diri. Orang Manggarai rindu memiliki Gereja yang menjadi wakil mereka untuk bersuara menentang penindasan yang telah lama mereka alami. Gereja tidak boleh hanya menjadi penonton yang tidak berpihak pada mereka. Apalagi berkolaborasi dengan kebijakan-kebijakan yang jelas-jelas merugikan rakyat-umat Manggarai.Gereja yang berdialog adalah Gereja yang aktif, terlibat dalam konteks budaya dan masalah-masalah orang Manggarai.

span class="fullpost">

Berkaitan dengan orientasi menjadi Gereja Pembebas, ada catatan kritis untuk Gereja Keusukupan Ruteng: Pertama, kalau Gereja menyembah mammon yakni: uang dan kuasa, maka sulitlah baginya untuk melaksanakan peran profetis terhadap orang kaya dan berkuasa yang merupakan penindas rakyat Manggarai. Arah praksis pastoral juga akan berubah, Gereja akan merasa aman dengan diakonia karitatif tetapi bukan diakonia sosial, atau dengan pelayanan sosial tapi bukan aksi sosial. Kedua, terdapat dua tugas pelayanan Gereja dalam menghadirkan dirinya di Manggarai, yakni pelayanan keimanan untuk menciptakan rekonsiliasi yang membebaskan dan pelayanan profetis untuk menciptakan konflik yang membebaskan. Ada dialektika antara rekonsiliasi dan konflik dalam kehidupan rakyat Manggarai. Gereja terpanggil untuk menjadi pembawa “hambor” [damai] di tengah rakyat serentak membawa konflik di tengah rasa damai yang palsu.
Ketiga, berhadapan dengan para korban, Gereja mesti mengidentikan dirinya dengan mereka. Identifikasi diri ini bukan merupakan penerimaan pasif atas penderitaan melainkan transformasi yang memampukan melalui mana kekuatan – kekuatan kematian dan kejahatan dikalahkan berkat kuasa kebangkitan. Di sini dituntut dari Gereja sebuah peran ganda, bukan hanya profetis tetapi juga politis. Keempat, untuk merubah situasi ketidakadilan, kita mesti membuat analisis atas seluruh situasi dengan menggunakan pendekatan sistemis yang bermaksud mematahkan monopoli para penguasa dan untuk memberdayakan kaum lemah serta mendorong mereka menemukan jati diri dan martabat sebagai orang bebas. Untuk sampai pada gerakan pembebasan kaum lemah, Gereja harus bekerja sama dengan mereka. Memang di sini butuh kesabaran dari pihak Gereja dan merupakan proses pengosongan diri dari kecenderungan menggandeng pihak - pihak yang kuat dan berkuasa. Pertanyaan yang tersisa ialah “Apakah kita mau menjadikan Gereja kita sebagai sarana Pembebas atau malah menjadi abdi penindas?” Jawaban ada pada kita.***
Selengkapnya...

Selasa, 23 Maret 2010

LPKD-SENAT STKIP TURUN JALAN

RUTENG,24 MARET 2010
Terkait persiapan sidang Gugatan Class Action bagi Kasus Penolakan Tambang di Reo-Manggarai, Lembaga Pendidikan & Kajian Demokrasi bersama Senat Mahasiswa STKIP ST. PAULUS Ruteng sepakat untuk melakukan aksi jalanan. Jumlah massa yang terlibat sebanyak 375 orang terdiri atas masyarakat dan mahasiswa, dipimpin langsung oleh diretur LPKD dan Ketua Senat Mahasiswa. Aksi ini sebagai lanjutan dari kegiatan pengumpulan dukungan masyarakat untuk menolak pertambangan. adapaun alasan mendasar dari aksi ini ialah sebagai reaksi atas sikap Pemkab yang tetap memberikan ijin Kuasa Tambang kepada perusahaan tambang meskipun rakyat sudah menderita. Hingga saat ini PT. Sumber Jaya Asia masih melakukan eksploitasi walaupun gugatan masyarakat makin gencar.

Menurut Stevan Divan, Ketua Senat Mahasiswa, tindakan eksploitatif merupakan sebuah pengangkangan terhadap nilai kemanusiaan dan Pemkab yang telah memberikan ijin Kuasa Pertambangan melawan hakikat dari jati dirinya sebagai pelindung masyarakat. Mestinya Pemkab tidak mengeluarkan ijin karena nyata di lapangan masyarakat dirugikan. "Kita mesti lawan kebijakan seperti ini", ungkapnya kepada LPKD.

Selain itu, Kanisius T. Deki, M.Th, direktur LPKD menandaskan bahwa perjuangan ini tidak akan berhenti. "Kita akan tetap bergerak bahkan dengan pelibatan massa yang lebih besar supaya Pemerintah membatalkan ijin-ijin tambang itu. Kita temukan bahwa antara Pemkab dan perusahaan tambang sedang ada sandiwara. Perlawanan merupakan jalan yang tidak bisa dihindari", ujarnya di depan kantor PN Ruteng.

Sementara itu, Wakil PN Ruteng menjelaskan akan memproses maksud dari LPKD-Senat Mahasiswa melalui prosedur normatif. "Kami akan teruskan sesuai prosedur hukum yang berlaku. Esok kita sidang pertama." janjinya. Usai melakukan dialog dengan PN, massa kembali pulang ke rumah masing-masing dan sepakat untuk melakukan aksi lagi setelah ada keputusan dari PN Ruteng.

LAKUKAN KONSOLIDASI
Pada 22-23 Maret, LPKD lakukan konsolidasi dengan sejumlah elemen masyarakat dan mahasiswa. Hadir dalam rapat konsolodasi antara lain Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa STIPAS ST. SIRILUS, KETUA SENAT MAHASISWA STKIP ST. PAULUS, JPIC OFM, JPIC SVD dan Pers. Jumlah tanda tangan dukungan dari masyarakat melalui LPKD sebanyak 575 dan dari Senat Mahasiswa 1,200. Tak ketinggalan Senat Dosen STKIP St. Paulus juga melakukan hal yang sama. "Intinya, masalah tambang harus menjajdi perhatian bersama", demikian kata Pater Servulus Isaak, Lic, Ketua STKIP ST. PAULUS. Namun demosntrasi besar-besaran belum direstui oleh Pater Ketua karena alasan tahbisan uskup Ruteng. "Kita baru melalkukan aksi besar-besaran seusai tahbisan uskup", demikian janjinya kepada peserta rapat Senat (21/3/2010) lalu.

Konsolidasi tetap dijalankan dengan maksud agar soal ini diselesaikan sampai tuntas. LPKD bertekad untuk menggerakkan semakin banyak pihak terlibat dalam aksi ini. Steven Divan dalam penjelasannya juga sepakat dan melakukan koordinasi dengan kampus lain.***
Selengkapnya...

Senin, 22 Maret 2010

SURAT DUKUNGAN GUGATAN CLASS ACTION SOAL TAMBANG MANGGARAI DI PENGADILAN NEGERI RUTENG

No : 03/Per-Sik/III-1/2010
Lamp. : 1 (satu) Jepit
Hal : DUKUNGAN DAN PERNYATAAN SIKAP

Kepada Yth.
KETUA PENGADILAN NEGERI RUTENG
Di Tempat

Dengan hormat,
Bersama surat ini kami, LEMBAGA PENDIDIKAN DAN KAJIAN DEMOKRASI (LPKD) dan MASYARAKAT MANGGARAI RAYA (nama terlampir), pada tempat pertama menyampaikan DUKUNGAN bagi pelaksanaan Gugatan Class Action pada Pengadilan Negeri Ruteng atas kasus tambang di wilayah Kabupaten Manggarai & Manggarai Barat dengan alasan dan tuntutan sbb:



1. Pemerintah Kabupaten perlu mengkaji ulang kebijakan serta asumsinya bahwa pertambangan mendatangkan kesejahteraan bagi rakyat Manggarai dan Manggarai Barat, karena faktanya tidak demikian.
2. Menimbang bahwa potensi pertanian, perdagangan dan pariwisata amat menjanjikan dan nyatanya memberi kontribusi besar bagi PAD Kabupaten Manggarai dan Manggarai Barat maka pertambangan harus dicoret dari prioritas kebijakan pembangunan di Manggarai dan Manggarai Barat, karena mendatangkan malapetaka ekologis untuk jangka panjang dan memandulkan potensi-potensi nyata Kabupaten Manggarai seperti pertanian, perdagangan dan pariwisata.
3. Dalam menentukan suatu kebijakan sudah sepatutnya Pemerintah Kabupaten mempertimbangkan dimensi sosial, budaya, ekonomi dan religius yang merupakan elemen dasar dari bangunan manusia Manggarai dan Manggarai Barat. Kebijakan dalam pertambangan justru mengabaikan hal-hal tersebut.
4. Kabupaten Manggarai dan Manggarai Barat adalah wilayah padat penduduk dengan mayoritas rakyat yang hidup dari pertanian. Perusahaan pertambangan yang menghancurkan permukaan bumi (tanah) tidak pantas untuk dilakukan di wilayah padat penduduk seperti Kabupaten Manggarai dan Manggarai Barat.
5. Mengubah keyakinan palsu bahwa investor mendatangkan kesejahteraan bagi rakyat, tetapi memperlakukan dan membangun manusia Manggarai sebagai pelaku pembangunan dan ‘investor’ utama bagi kemajuan wilayahnya. Kecakapan aktual manusia Manggarai dan Manggarai Barat adalah bertani dan menanam tanaman pangan dan perdagangan. Pembangunan yang bijak harus selalu bertumpu dan berangkat dari kecakapan nyata manusianya, sehingga ‘tujuan pembangunan, yakni membangun manusia seutuhnya’ akan tercapai. Mengidealkan investor asing sebagai pelaku pembangunan demi kesejahteraan, bukan saja melecehkan kemampuan dan kecakapan dasar manusia Manggarai, tetapi meminggirkan manusia Manggarai dan Manggarai Barat sendiri sebagai subyek pembangunan, padahal manusia Manggarai adalah investor utama dari kemajuan Manggarai hingga kini.
6. Memajukan sektor-sektor ekonomi potensial riil Manggarai dan Manggarai Barat sesuai dengan prioritas, urgensi dan kompetensi manusia Manggarai sekarang ini. Kekayaan alam yang belum dapat diolah manusia Manggarai karena kompetensi serta keahliannya yang belum memadai, adalah warisan mengagumkan untuk generasi manusia Manggarai di masa depan. Manggarai bukan saja tanah warisan leluhur, tetapi terutama, tanah pinjaman dari anak cucu yang harus kita kembalikan kepada mereka.
7. Hentikan semua usaha pertambangan yang sekarang ada; jangan ada lagi izin Kuasa Pertambangan baru.


Besar harapan kami pihak Pengadilan Negeri Ruteng menindaklanjuti surat kami ini.


Ruteng, 22 Maret 2010
KETUA,




KANISIUS TEOBALDUS DEKI, M.TH

TEMBUSAN:
1. Bupati Manggarai
2. Ketua DPRD Manggarai
3. Kapolres Manggarai
4. Kejari Ruteng
5. HU Pos Kupang
6. HU Flores Pos
7. Suara Nuca Lale
8. JPIC Keuskupan Ruteng
9. JPIC SVD Ruteng
10. JPIC OFM Indonesia

Selengkapnya...

Jumat, 19 Maret 2010

Butir-Butir Adat Manggarai

Penulis: Petrus Janggur, BA
Penerbit: Yayasan Siri Bongkok 2010
Jumlah Halaman: xvii + 162
Harga : 40.000 (Ruteng), 50.000 (Luar Ruteng)



Menilik Butir-Butir Adat Manggarai Melalui Tradisi Lisan
CATATAN PENGANTAR

Kanisius Teobaldus Deki, M.Th
Pengajar STKIP St. Paulus Ruteng &
Pemerhati Budaya Manggarai

Penggunaan tradisi lisan sebagai seni dalam ilmu-ilmu sosial menjadi hal biasa setelah terbitnya buku Jan Vansina: De la Tradition Orale: esai de methode historique [dalam bahasa Perancis 1961, dalam bahasa Inggris 1973]. Di sini Vansina menampilkan sarana-sarana sistematik untuk mengidentifikasi, mengumpulkan dan menafsirkan tradisi-tradisi lisan dalam rangka menemukan aspek-aspek masa lampau, terutama di tempat yang tidak memiliki dokumentasinya secara tertulis. Vansina mendefinisikan tradisi lisan sebagai “kesaksian verbal yang ditransimisikan dari satu generasi ke generasi lainnya atau ke generasi masa depan”. Sebelum Vansina membuat uraian sistematis dengan menampilkan contoh-contoh dari hasil penelitiannya di Ruanda-Urundi dan Kuba di Kongo, Afrika, tradisi lisan sudah berkembang secara universal pada berbagai kebudayaan di seluruh dunia. Tradisi lisan merupakan cikal-bakal tradisi tulisan yang berkembang sangat kuat pada zaman modern [dan kontemporer] hingga saat ini.



Dalam banyak literatur, istilah tradisi lisan sering disepadankan dengan “folklor” [oral and customary tradition], seperti yang digunakan di Amerika Serikat oleh Jan Harold Brunvand. Tentang Folklor, Arche Taylor mendefinisikannya sebagai bahan-bahan yang diwariskan oleh tradisi, baik melalui kata-kata dari mulut atau oleh adat istiadat dari praktek. Pada tahun 1948, dengan tegas Taylor mengatakan: “Folklor adalah bahan [material] yang diwariskan oleh tradisi, baik melalui kata-kata yang keluar dari mulut, atau melalui adat kebiasaan maupun praktek”.
Istilah tradisi berasal dari kata Latin traditio [dari tradere] yang berarti tradisi atau penyerahan [handing down]. Francis Bacon, seorang Filsuf Ilmu Pengetahuan, menggunakan kata yang sama untuk mendefinisikan pernyataan atau pengiriman pengetahuan. Sedangkan menurut Lorens Bagus, kata “tradisi” [Inggris: tradition] memiliki perluasan makna dalam berbagai bidang. Dalam bidang sejarah, tradisi berarti adat istiadat, ritus-ritus, ajaran-ajaran sosial, pandangan-pandangan, nilai-nilai, aturan-aturan, perilaku-perilaku yang diwariskan dari generasi ke generasi. Ia merupakan unsur warisan sosio-kultural yang dilestarikan dalam masyarakat atau dalam kelompok sosial masyarakat dalam kurun waktu yang panjang. Tradisi bersifat progresif kalau dihubungkan dengan perkembangan kreatif kebudayaan tetapi tradisi bersifat reaksioner kalau ia berkaitan dengan sisa-sisa yang sudah usang dari unsur-unsur budaya masa lampau. Dalam ranah ilmu, tradisi berarti kontinuitas pengetahuan dan metode-metode penelitian. Sedangkan dalam dunia seni, tradisi berarti kesinambungan gaya dan keterampilan.
Istilah “lisan” [oral] dapat diartikan sebagai kata-kata yang dituturkan, diucapkan. Dengan demikian, kata “lisan” dalam kaitan dengan Tradisi Lisan [Oral Tradition] berarti tradisi yang ditransmisikan secara lisan dalam berbagai bentuknya seperti ujaran rakyat [folk speech] yang diperinci lagi ke dalam bentuk dialek, julukan [naming], ungkapan-ungkapan dan kalimat tradisional [traditional pharases and sentences] yang dapat digolongkan dalam kelompok peribahasa [proverb and proverbial saying], sedangkan pertanyaan tradisional termasuk ke dalam teka-teki rakyat [folk riddles]. Selain itu ada sanjak rakyat [folk rhymes], syair rakyat [folk poetry], dan bermacam-macam cerita rakyat [folk narratives] seperti mite, legenda dan dongeng. Bentuk terakhir adalah nyanyian rakyat [folk song] dan balada rakyat [folk ballads] dengan musiknya.
Di antara banyak bahasa dan dialek di Indonesia, hanya delapan yang memiliki tradisi tertulis. Pada zaman sekarang di beberapa wilayah tertentu di Indonesia keberaksaraan masih merupakan hal yang baru. Pemeliharaan dan penyampaian adat kebiasaan, sejarah, pandangan hidup, agama, kedudukan sosial dan bahasa sangat mengandalkan kata lisan. Teks kisahan dapat berbentuk macam-macam: nyanyian, syair, prosa, lirik atau syair bebas. Cerita-cerita tersebut mengajarkan para pendengarnya memecahkan masalah atau teki-teki, menyampaikan tradisi, menyokong jati diri kebudayaan, dongeng khayalan, dan tak kalah pentingnya, menghibur.
Bagi penduduk di Nusa Tenggara, keadaan keberanekaragaman memberikan sumbangan terhadap kesusastraan pribumi yang hidup dan didasarkan pada susunan lisan. Pendongeng, ahli silsilah, pencerita suku, dan penggumam upacara keagamaan sangat penting bagi kelestarian tradisi setempat. Tradisi setempat mulanya terbentuk oleh keprihatinan kebudayaan dan upacara, kemudian berlangkah lebih jauh memasuki seluruh aspek kehidupan.
Buku Butir-butir Adat Manggarai ini berusaha menampilkan beberapa aspek budaya yang dipempatkan dalam fragmen-fragmen adat yang merupakan unsur-unsur pembentuk budaya. Salah satu pembacaan atas butir-butir budaya bisa dipahami secara lebih komprehensif dalam bingkai sastra. Tidak hanya itu, implementasi dan pengkomunikasiannya juga dilakukan melalui sastra lisan yang kuat berkembang dalam kehidupan orang Manggarai melalui pelbagai ritus serta perayaan komunal. Maka, berbarengan dengan kehadiran buku ini, mengambil sastra sebagai sebagai wujud tradisi lisan serta fokus, menjadi bermakna tatkala uraian-uraian di dalamnya bersentuhan langsung dengan bentuk-bentuk sastra itu.
Dalam pembagian yang umum, menurut isinya kesusastraan dibagi menjadi empat bagian yakni epik, lirik, didaktik dan dramatik. Sementara menurut bentuknya ada prosa, puisi dan prosa liris. Epik adalah karangan yang bersifat obyektif. Artinya, pengarang melukiskan apa yang terjadi sesungguhnya seperti dalam kenyataan tanpa memasukan unsur emosi dan imajinasi penulisnya. Sebaliknya lirik adalah semua jenis karangan yang bersifat subyektif. Dalam karangan jenis ini pengarang secara intens melukiskan imajinasi dan ilham pribadinya. Bahasa sastra selalu terkait dengan emosi [perasaan] dan pikiran, fantasi dan lukisan angan-angan, penghayatan batin dan lahir, peristiwa dan khayalan dengan bentuk bahasa yang istimewa.
Secara khusus dalam pengantar ini, saya memusatkan perhatian pada dua bentuk utama sastra yang sudah menjadi lazim yakni Prosa naratif yang terungkap dalam pelbagai kisah rakyat [tombo nunduk, tombo turuk] dan Puisi lirik yang dieskpresikan melalui peribahasa, tamsil-tamsil [go’et], syair-syair doa [torok] dan syair-syair lagu-lagu rakyat [dere, nenggo]. Sejarah lisan [Oral History] maupun tradisi lisan dalam tradisi budaya Orang Manggarai memang merupakan bagian “keutamaan adak” [disebut pecing adak: tahu adat, kenal hukum], sebuah perilaku budaya yang harus dilakoni setiap warga generasi sebagai jati diri sejarah tanah air dan keturunannya.
Tombo Nunduk dapat dipahami sebagai aktivitas dalam meneruskan sejarah keberadaan sebuah keturunan suku [klan yang disebut wa’u] yang dikisahkan terus menerus secara lisan kepada setiap generasi keturunan itu. Sedangkan Tombo Turuk dimengerti sebagai cerita-cerita yang memiliki berbagai makna kehidupan: sosial, spiritual, ekonomis, humor, pendidikan nilai, dll. Kedua jenis prosa ini dikisahkan dalam bentuk lisan oleh generasi tua kepada anak-anaknya umumnya demi alasan pedagogis dan penerusan sejarah keberadaan diri dan masyarakat. Go’et-go’et adalah kata-kata bijak yang diramu sebagai syair-syair bertuah. Bentuknya tidak selalu sama tetapi bervariasi namun memiliki tujuan yang sama yakni untuk mendidik, mengeritik dan juga menghibur. Torok adalah doa-doa yang biasa didaraskan di berbagai tempat, misalnya di lodok [titik pusat dari perkebunan komunal yang disebut lingko], di compang [batu-batu yang disusun menyerupai altar persembahan], di Mbaru Gendang [disebut juga Mbaru Tembong, rumah adat], dan tempat-tempat lain pada saat upacara-upacara adat dilangsungkan. Syair-syair dere adalah barisan kata-kata bermakna yang membentuk sebuah lagu. Syair-syair dere ini memiliki fungsi yang sama seperti prosa-prosa: menyampaikan usul-asal, mengisahkan kembali sebuah peristiwa, mengajukan sebuah pertanyaan, mengeritik sistem sosial yang ada, menghibur, dsb.
Di tengah usaha mencari jawaban atas persoalan-persoalan yang tengah melanda orang Manggarai, sempat timbul sebuah kesangsian metodis [dubium methodicum] di dalam diri saya yang berakhir pada pada pertanyaan: “Masih relevankah membuat analisa atas tradisi lisan pada zaman di mana tradisi itu sudah banyak tertinggal bila dibandingkan dengan tradisi tulisan dan audio-visual yang sulit diimbangi?” Pertanyaan ini sungguh menggelitik untuk melihat kembali urgensitas sebuah analisa yang bertitik pangkal pada tradisi lisan, khususnya bentuk sastra yang dimiliki oleh Orang Manggarai. Di Indonesia pada masa sekarang, tradisi lisan harus bersaing dengan cetakan, radio, televisi dan film. Sementara itu menjadi kenyataan yang umum, pendidikan massal yang dilakukan dalam bahasa Indonesia, bahasa resmi negara, cenderung menekankan yang dominan, kebudayaan “sastra” dengan mengorbankan yang “non sastra”. Meneruskan pengetahuan yang terwujud dalam teks lisan merupakan tantangan bagi kebudayaan Indonesia yang sedang berubah sekarang.
Untuk memberikan jawaban, saya berkeyakinan bahwa meskipun tradisi tertulis dan budaya audio-visual kian menjamur, namun perkembangan itu belum merata. Masih banyak wilayah yang belum dirambah oleh teknologi canggih seperti itu. Dan yang lebih penting, tradisi lisan adalah bagian dari kehidupan manusia. Ia bahkan merupakan bentuk primer dari komunikasi manusia. Kemajuan, bagaimanapun pesatnya, tak akan menghapus tradisi lisan sebagai bagian dari kebudayaan. Jika kenyataan ini diterima, maka penjelasan yang adekuat tentang relasi antara sastra dan budaya mesti dibuat sehingga analisa apapun yang akan berkembang dalam tulisan ini tidak keluar dari bingkai itu.
Dari sisi inilah kita dapat menarik benang merah dari apa yang dihasilkan oleh bapak Petrus Janggur, seorang pencinta budaya Manggarai dan penulis yang produktif-kreatif, dalam bukunya ini. Uraian tentang beo (kampung), pola perkawinan, mbaru gendang (rumah adat Manggarai), pesta congko lokap dan penti, posisi laki-laki sebagai ata one-perempuan sebagai ata pe’ang, tata krama dan pertumbuhan manusia dari sisi tilik orang Manggarai, mendapat tempat yang wajar.
Sastra merupakan bagian dari kebudayaan. Sastra mengungkapkan budaya manusia, manusia mengekspresikan dirinya dalam pelbagai bentuk unsur dan komponen budaya. Jadi, ada relasi timbal balik antara sastra, budaya dan manusia. Mengikuti alur pemikiran ini, manusia akan bisa dipahami apabila dapat dimengerti budayanya. Tentang budaya E.B. Taylor, seorang antropolog, berpendapat bahwa kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan, kepercayaan, kesenian, kesusilaan dan hukum, adat-istiadat dan setiap kecakapan serta kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.
Lowie, seorang ahli lain menambahkan unsur pewarisan yang berlangsung dari zaman lampau, melalui pelbagai bentuk pendidikan, entah formal maupun informal. Pernyataan Lowie didukung oleh Keesing yang mengatakan bahwa kebudayaan merupakan tingkah laku yang diperoleh melalui pelajaran bermasyarakat [The behavior acquired through social learning]. Sedangkan Kluckhohn memandang kebudayaan sebagai keseluruhan cara hidup suatu bangsa, warisan masyarakat yang diperoleh individu melalui kelompoknya [The total life way of a people, the social legacy the individual acquires from his group]. Lebih lanjut Kluckhohn menjelaskan bahwa kebudayaan adalah cara berpikir, cara merasa, cara meyakini dan menanggap. Kebudayaan adalah pengetahuan yang dimiliki warga kelompok yang diakumulasi [dalam ingatan manusia, buku-buku dan obyek-obyek] untuk digunakan di masa depan. Beberapa pendapat lain mengatakan bahwa kebudayaan adalah seluruh warisan masyarakat [total social heredity], atau lebih sempit lagi tradisi [tradition] ataupun adat-istiadat.
Berbagai pendapat antropolog di atas masing-masing memiliki pendasaran tersendiri yang tentu juga menunjukkan kekhasan horison dan perspektif. Meskipun demikian, terdapat banyak unsur yang sama, khususnya bentuk dan isi kebudayaan serta cara bagaimana kebudayaan itu diwariskan, dilestarikan dan diteruskan. Terdapat beberapa ciri kebudayaan yang dapat dirangkum dari pengertian-pengertian itu sebagai berikut:
Pertama, kebudayaan berciri stabil. Kebudayaan adalah tradisi, sistem, cara. Istilah-istilah ini mengandung pengertian ketetapan, kesetabilan. Sebenarnya kebudayaan selalu merupakan sistem yang tetap, stabil. Ia adalah penyesuaian diri yang lama dengan situasi konkrit alam sekitarnya. Alam yang konkrit ini juga berarti hubungan dengan kelompok-kelompok lain dalam arti lingkungan sosial. Jadi, kebudayaan disebabkan dan dibentuk oleh dua faktor utama yakni: manusia yang berakal budi dan lingkungan sosial di mana ia hidup.
Kedua, kebudayaan bersifat dinamis, bisa berubah. Kebiasaan manusia akan hidup biasanya tetap, tetapi kenyataan sosial cenderung berubah. Misalnya sistem pemerintahan, ilmu pengetahuan dan teknologi, pengaruh yang datang dari luar dan sebagainya. Hal ini berpengaruh pada perubahan kebudayaan juga. Tentang perubahan ini dapat dikatakan bahwa semakin besar isolasi terhadap pengaruh luar maka perubahan juga semakin lamban, demikan juga sebaliknya. Kebudayaan bersifat dinamis. Ia adalah warisan masyarakat, tetapi itu sesuatu yang belum final, melainkan tetap in statu fieri [dalam proses berubah], yang berada dalam “proses menjadi” terus menerus [in continuing process]. Itu artinya, menurut Herkovits, kebudayaan bukan saja suatu rencana, melainkan juga perencanaan [not only a plan, but also a planning].
Ketiga, kebudayaan merupakan milik masyarakat. Kebudayaan tidak pernah menjadi milik individu semata. Kebudayaan selalu memiliki karakter sosial sebagai milik bersama masyarakat. Masyarakat dapat dipahami sebagai “kelompok individu yang berorganisasi secara tetap dan yang mengikuti cara hidup bersama serta mempunyai kesadaran akan hubungannya dengan golongannya [group consciousness]”. Dengan kata lain, unsur-unsur yang mempersatukan setiap anggota masyarakat adalah cara hidup bersama dan kesadaran akan hubungannya dengan golongannya.
Butir-butir Adat Manggarai lalu mempresentasikan sebuah model kebudayaan orang Manggarai, yang bukan saja sebagai fosil masa lampau, tetapi juga menjadi artefak yang kontekstual, dinamis serta membumi. Butir-butir ini juga merupakan upaya melanjutkan tradisi lisan untuk kelak menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan orang Manggarai atau siapapun yang ingin memanfaatkannya. Pada akhirnya, dari sastranya, orang Manggarai menghadirkan identitas kediriannya melalui tindakan-tindakan bermakna dalam seluruh rentangan peristiwa hidupnya. Itulah yang menjadi latar eksistensi dan kesejatiannya.***


Selengkapnya...

Kamis, 18 Maret 2010

MORI JARI DEDEK: ALLAH YANG HIDUP DAN TERLIBAT

Sebuah Pencarian Komparatif Budaya Asli dan Spiritualitas Karmel

Kanisius Teobaldus Deki
Theology Department-STKIP St. Paulus


Abstract:
For the Manggarai people, the existence of Mori Keraeng has a magnificent meaning / sense. Mori Keraeng is God for human being with the whole realities. He creates and maintains the life and warrant ”Mose tedeng len” (life-length in eternity). From the human being side, faithfullness is urged to follow His divine will, maintain the harmonious relationship with one’s own self, others and the environment. Mori Keraeng is the Living God. Therefore, realizing one’s own faded essence and weaknesses,human being must have an intentional thought (mind),sense (heart),words and conduct before God. It is this attitude that makes the Manggarai people feel sure that Mori Jari Dedek (God of all Creations / Creator) presents in an actual Being here on this very occassion through those who do the right things. This article tries to trace the interrelationship among the originally Manggarai Culture in viewing God and His actuality when it (such cultural view) is connected to the Carmelite’s Spirituality.


Key-words:
Studi komparatif, Allah, Budaya, manusia beriman.



1. Pengantar

Dami N. Toda , dalam bukunya, Manggarai Mencari Pencerahan Historiografi, menjelaskan secara jelas, rinci dengan data yang akurat tentang perkembangan penelitian yang dibuat oleh orang luar. Harus diakui bahwa setiap peneliti memiliki perspektif sendiri dengan orientasi khas serta motivasi yang beragam sehingga deviasi selalu tak terelakkan jika ternyata sebuah sejarah dibelokkan. Dan kita maklum bahwa penulisan sejarah terkait erat dengan pre-understanding setiap orang yang datang. Itulah sebabnya, seperti Habermas pernah tandaskan, setiap pernyataan yang keluar selalu terjalin dengan maksud tertentu. Berhadapan dengan kenyataan ini, sebuah imperatif yang tidak bisa ditawar-tawar naik ke permukaan kesadaran, bahwa kita sendiri sebagai “anak tanah” harus juga belajar menggali budaya kita, mengunyahnya dan membiarkan dia menjadi sebuah energi yang membuat hidup ini memiliki daya (élan vital). Orang “dalam” (in-sider) harus punya horizon tentang apa yang dimilikinya, supaya ia bisa berkata-kata dari kepunyaannya sendiri.
“Gali (cake), Kunyah (mama) dan Olah (gori)” adalah aktivitas yang coba menjadi sebuah proses dalam pembahasan ini. Kita ingin mengetahui jawaban atas pertanyaan, “siapakah Allah bagi masyarakat asli Manggarai, bagaimana religiositas orang Manggarai” dan kalau bisa ditanyakan, “apakah ada benang merah yang bisa menghubungkannya dengan spiritualitas Karmel?” Karena itu menjadi jelas bagi kita bahwa: 1] mula-mula kita “menggali” dengan membaca uraian ini, lalu 2] kita “mengunyah” yakni terlibat untuk memikirkan, menanggapi atau bahkan memberikan perluasan serta catatan kritis, dan akhirnya 3] kita “mengolah” bahan ini untuk menjadi mose nai [makanan hidup] permenungan di perjalanan perutusan dan pelayanan, sehingga kehadiran kita menjadi “berarti”, tersebab kita mengenal dan memahami siapa yang menjadi subyek pelayanan kita. Dengan kata lain, muara pendekatan kita ialah bagaimana “teks” dan “konteks” disandingkan dalam spiritualitas yang hidup.
Berjalan dalam sebuah pencarian yang tetap aktual ini, adalah sebuah kemestian bahwa kita memiliki “seni” tertentu, yang secara sadar atau tidak, mengharuskan kita menjadi “seniman” untuk mengolah hidup kita. Seorang sastrawan Indonesia, Chairul Anwar mengatakan,
“tiap seniman harus menjadi seorang perintis jalan. Itu artinya ia mesti memiliki keberanian, tenaga hidup. Ia tidak segan-segan memasuki hutan rimba penuh binatang buas, mengarungi lautan lebar-tak bertepi. Seniman ialah tanda dari hidup yang melepas-bebas” .
Menjadi seniman dalam hidup panggilan sebagai religius “menuntut komitmen pribadi yang menyeluruh dan yang diekspresikan secara nyata dalam suatu pola hidup yang injili dan melaksanakan nasihat-nasihat Injil dan dalam hidup komunitas”. Untuk mencapai kenyataan itu, refleksi yang memiliki perspektif holistik-mondial perlu dibangun, termasuk bila refleksi itu ditopang oleh tonggak yang berbasiskan budaya-lokal.


2. Kepercayaan akan Allah, Agama dan Kehidupan Manusia
Sejak zaman purbakala, manusia, bahkan dalam tahap perkembangan yang sangat primitifpun mempunyai kesadaran akan hadirnya sebuah kekuatan “lain” yang berada di luar kemampuannya untuk memahami. Mircea Eliade, dalam studinya memperlihatkan bahwa penyelidikan fenomenologis mengenai agama menimbulkan gambaran tentang manusia sebagai mahkluk yang sifatnya amat religius (homo religious). Bagi mereka, seluruh kosmos terbuka kepada “yang kudus”. Pada prinsipnya, obyek apa saja: matahari, bulan, bumi, air, gunung, hutan, batu karang, pohon, gua, dsb dapat menjadi hierofani baginya. Obyek manapun yang diduduki oleh “yang kudus” itu menjadi manifestasi dirinya. Kehadiran “Yang kudus” kemudian secara turun temurun dialami dalam hierofani, ritus dan mitos. Kenyataan itu, dalam ke-tak-mengerti-an manusia sering dianalogkan dengan “Yang Ilahi”.
Langkah yang telah dimulai dalam agama primal dilanjutkan dengan kehadiran agama-agama institusional-wahyu yang memberikan kepastian bahwa “Yang Ilahi” itu adalah Allah. Dr. Georg Kirchberger SVD mencatat beberapa bidang pengalaman akan Allah.

2.1. Alam
Dalam kehidupannya, setiap orang yang mengamati dan mengalami dunia dan alam sekitarnya dengan mata serta hati terbuka, akan menjadi sadar bagaimana seluruh alam itu merupakan suatu hadiah besar yang menunjang dan mempertahankan hidupnya. Pengalaman itu menjadi lebih intens dan terasa kuat dalam “situasi-situasi batas”. Misalnya suatu masyarakat yang menderita kelaparan karena musim kemerau yang berkepanjangan, mengalami hujan pertama sebagai berkat, sebuah permulaan akan munculnya kehidupan baru. Jika orang terbuka kepada kebaikan yang ada, segera orang akan berpikir bahwa pasti ada sesuatu yang menyelenggarakan semua itu. Pada saat itulah muncul refleksi tentang “Yang Ilahi”.

2.2. Sejarah
Pada dasarnya sejarah merupakan suatu deretan peristiwa yang dilakukan, diatur dan harus dipertanggungjawabkan oleh manusia. Tetapi setiap manusia mengharapkan agar deretan peristiwa itu tidak hanya merupakan kumpulan aksi dan reaksi yang tak berarti dan tak bertujuan. Kita merindukan sejarah sebagai sebuah arus perkembangan yang mempunyai tujuan dan manusia berharap tujuan itu bernilai positif. Kita berharap bahwa sejarah berkembang menuju kebahagiaan dan kesejahteraan manusia yang semakin besar. Berhadapan dengan keterbatasan-kenisbian kodrati manusia, ia pada akhirnya menyadari bahwa hanya kepada “Yang Ilahi” ia memiliki intensionalitas historis. Dengan lain perkataan, Allah adalah akhir dari sebuah sejarah keselamatan.

2.3. Hubungan Antar Pribadi
Persahabatan dan setiap relasi cinta antar manusia menjadi sebuah petunjuk yang mengarahkan kita kepada Allah. Setiap relasi cinta, kalau berkembang dengan semakin mendalam, semakin pula merindukan keabadian dan keutuhan. Dua orang yang saling mencintai semakin rindu untuk memberikan diri secara menyeluruh satu kepada yang lain. Di sana akan muncul sebuah kerinduan akan sebuah relasi yang abadi. Namun, dalam kenyataan, kerinduan itu tak pernah terjawab tuntas, tersebab kita diciptakan sebagai mahkluk fana. Oleh karena itu, setiap cinta yang sungguh mendalam antar manusia, menunjukkan keterbatasannya yang tak terelakkan kepada suatu cinta yang sungguh total, lestari dan abadi yang menanam kerinduan tadi dalam cinta manusia yang terbatas itu. Kerinduan akan ke-tak-terbatas-an di dalam cinta yang terbatas menjadi suatu pengalaman tidak langsung mengenai adanya cinta tak terbatas, yakni Allah.

2.4. Pengalaman Batin
Secara pribadi di dalam batin kita, dapat kita temukan sekian banyak pengalaman yang menjadi tanda bagi kehadiran suatu kekuatan yang malampui diri kita sendiri. Kalau kita terbuka terhadap realitas ini dan memberikan tempat untuk kehadirannya, kita akan melihatnya sebagai kebesaran Allah. Suara batin kita juga bisa mengeskpresikan kenyataan ini. Ada banyak saat di mana kita ”ditegur” oleh suara batin untuk membebaskan diri dari perbuatan yang dikategorikan sebagai dosa. Suara batin ini juga mengarahkan kita untuk melakukan hal-hal yang baik. Suara-suara “baik” yang keluar dari kedalaman batin inilah yang kerap disadari sebagai “suara Allah”.

3. Teori Kulturkreislehre tentang Uhrmonotheismus dengan Wujud Tertinggi Orang Manggarai

Wilhelm Schmidt mengetengahkan teori Kultur Kreislehre yang mengatakan bahwa Uhrmonotheismus (Wujud Tertinggi) bukanlah perkembangan baru tetapi merupakan bentuk kebudayaan yang sudah sangat tua, yang tersebar di berbagai kebudayaan manusia. Namun bentuk kebudayaan yang sudah sangat tua itu tetap mengalami perkembangan sejalan dengan lajunya perkembangan zaman. Meskipun tidak ada perubahan mendasar pada bentuk aslinya. Wujud Tertinggi telah mengalami perubahan pada sebutan untuk mengekspresikannya.
Dalam masyarakat Manggarai, Wujud Tertinggi disebut dengan nama, seperti: Mori[n] (Tuhan), Mori[n] agu ngaran (Tuhan Dan penguasa), Mori Keraeng, Mori Sombang, dsb.
Pengaruh masuknya agama Kristen (khususnya Katolik) menyebabkan munculnya penyingkatan sebutan untuk Wujud Tertinggi. Jika pada zaman lampau penyebutan Wujud Tertinggi diungkapkan dalam bentuk yang panjang dan rumusan baku yang sulit jika dipadukan dengan kebiasaan praktis, maka zaman kini jarang digunakan, kecuali pada upacara-upacara adat yang memiliki ritus tetap.


4. Dimensi Keagamaan: Kepercayaan akan Wujud Tertinggi Dan Religiositas Orang Manggarai

4.1. Dimensi Iman (Kepercayaan)
Ivan Haryanto, et. al., dalam studi mereka tentang Agama Asli Manggarai menjelaskan bahwa terminologi iman dalam pemahaman asli Manggarai disebut imbi (percaya). Terminologi ini secara eksplisit menggambarkan relasi antara seseorang atau sekelompok orang dengan yang lain. Relasi ini terbentuk karena rasa percaya. Karena itu, imbi dipahami sebagai satu sikap percaya kepada sesuatu yang lain, baik orang-pribadi, kelompok maupun kekuatan lain. Dalam konteks religius, terminologi ini menggambarkan sikap dan keterarahan hati manusia kepada Wujud Tertinggi dalam agama primal orang Manggarai.
A. J. Verheijen dalam studinya menemukan bahwa teori Kulturkreiselehre tentang Uhrmonotheismus menemukan kebenarannya jika diaplikasikan kepada kehidupan religius orang Manggarai. Karena itu Verheijen membuat klasifikasi beberapa nama Wujud Tertinggi orang Manggarai, sebagai berikut:

4.1.1. Nama-nama untuk Wujud Tertinggi
1] Mori[n]: Tuhan Mori[n] agu Ngaran: Tuhan dan Penguasa, 2] Mori Keraeng: Tuhan Allah, 3] Mori Sombang:
Kata Mori berarti “tuan”, “pemilik”, “penguasa”. Tuhan diimani sebagai tuan, pemilik, penguasa atas kehidupan (de morin mose dite ho’o). penambahan sufiks –n menunjukkan fungsi gramatik, khususnya bentuk possessive. Demikian kata ngaran menekankan aspek “kuasa” Tuhan atas segala yang ada di bumi. Mori agu Ngaran adalah rumusan baku yang kerap dipakai dalam doa-doa resmi orang Manggarai, misalnya: “Hia te Morin agu ngaran tana lino ho’o” (Dia yang Empunya dam miliki bumi ini). Sedangkan sebutan Mori Keraeng adalah nama diriNya, “Mori Keraeng hitu muing ngasang wekin”.
Hampir di seluruh Manggarai, termasuk daerah Riung-Ngadha kita bisa menjumpai sebutan Mori Sombang untuk Tuhan. Pada mulanya nama ini dipakai dalam dongeng-dongeng Manggarai, yakni Karaeng Goa. Dia berkuasa atas Manggarai sebelum Bima. Barangkali sesudah pengaruh kekuasaan mereka lenyap, sebutan ini dipakai untuk Wujud Tertinggi, yang secara eksplisit bisa dilihat dalam buku nyanyian Gereja.

4.1.2. Nama untuk Wujud Tertinggi sebagai Pencipta:
1]Jari agu Dedek: Penjadi dan Pembentuk, 2]Ciri agu Wowo: Penjadi dan Pengacu, 3]Jari agu Wowo: Penjadi dan Pembentuk, 4]Jari agu Dading: Penjadi dan Pelahir.
Kata “Jari” berarti: menjadi, berhasil, berjalan baik. Kata Dedek dipakai untuk: membuat, membentuk. Menempa dan lain-lain. Kata ciri berarti menjadi, tumbuh menjadi, menjelma, mendapat bentuk” dan kata wowo berarti: menuang, mengacu, leburkan, lahirkan. Kata jari dan wowo memiliki arti yang sama dengan ciri agu wowo. Kata “dading” berarti: melahirkan, beranak. Kata ini diterapkan pada pria, misalnya: emá dading (ayah kandung).
Jika kita perhatikan dengan sungguh-sungguh, Tuhan dalam kehidupan orang Manggarai dilihat sebagai pencipta pertama [causa prima] segala sesuatu yang ada.

4.1.3. Paralelisme nama Wujud Tertinggi
1] Ame eta-Ine wa: Ayah di atas-Ibu di bawah, 2] Ronan eta mai-Winan wa mai: Suaminya di atas-Istrinya di bawah, 3] Tanan wa-Awang eta: Bumi di bawa, Langit di atas, 4] Wulang agu Leso: Bulan dan Matahari.
Sangat kentara dalam pemikiran orang Manggarai bahwa Tuhan adalah Dia yang memiliki segala sesuatu, yang melingkupi manusia dan seluruh ciptaan dengan kuasa dan kasihNya yang tak terhingga. Langit adalah tahta Allah, bumi adalah tumpuan kakiNya, bulan dan matahari adalah tanda kehadiranNya.


4.1.4. Nama Wujud Tertinggi sebagai mata angin:
1] Par agu Kolep: Timur dan Barat, 2]Ulun le-Wa’in lau: Hulu sungai, hilir sungai. Tuhan dilihat sebagai sumber kehidupan yang terbit di ufuk Timur dan tenggelam di ufuk Barat. Tuhan tetap setia, esensi Tuhan selalu begitu, sama seperti sumber air yang muncul di Utara dan mengalirkan kehidupan ke Selatan.

4.1.5. Nama-nama Lain:
1]Empo, 2]Sengaji, 3]Dewa.
Kata “empo” berarti: nenek moyang, kakek-nenek. Selanjutnya kata “empo” digunakan untuk semua orang yang kita segani. Tetapi kerap nama ini jarang digunakan untuk Wujud Tertinggi karena keterkaitannya dengan arti jamak yang bermakna ganda. Misalnya, kata yang sama bisa digunakan untuk roh halus, setan (empo poti mese-setan besar).
Sebutan “sengaji” memiliki arti yang mirip dengan kata “empo” dan diarahkan untuk penguasa. Dalam doa-doa kata ini jarang digunakan. Demikian halnya dengan kata “dewa” memiliki arti yang sangat fleksibel dan jarang digunakan. Rupanya kata ini bukan kata asli Manggarai.
Dari beberapa pemikiran tentang nama Wujud Tertinggi, terdapat sebuah silogisme spontan sekaligus eviden bahwa orang Manggarai percaya adanya Wujud Tertinggi, bahwa dunia ini pasti memiliki penciptanya, causa prima yang menyelenggarakan kehidupan dan tetap terlibat dalam seluruh perjuangan hidup ciptaanNya, termasuk manusia.

4.2. Dimensi Pengetahuan
Pada bagian terdahulu, kita sudah melihat kenyataan adanya pengakuan akan Wujud Tertinggi dalam kehidupan religius orang Manggarai. Muncul pertanyaan baru, “Bagaimana iman itu dilanjutkan kepada generasi berikutnya?” Dalam beberapa wawancara yang pernah kami buat terhadap beberapa tokoh adat, mereka memberikan jawaban atas dimensi pengetahuan ini dalam beberapa bentuk.
Pertama, pertanyaan akan eksistensi alam semesta. Pertanyaan ini menjadi pintu masuk untuk mengetahui sesuatu sekaligus menggugah kesadaran setiap orang Manggarai untuk mengakui bahwa ada “Sesuatu yang mengatasi kodrat manusia”. Pengetahuan ini bersifat spontan sebagai tuntutan rasional untuk mencari tahu sebab adanya sesuatu.
Kedua, Upacara-upacara komunal (pande adak). Dalam upacara-upacara komunal masyarakat, seperti Penti (upacara syukur panen), upacara kehamilan (lamba wakas) dan kelahiran (cear cumpe), upacara perkawinan, upacara kematian, upacara adat “lingko” (kebun komunal). Melalui upacara ini doa-doa didaraskan kepada Wujud Tertinggi. Para peserta mendengarnya, mengingat dan mengulangnya jika generasi tua sudah berpulang. Upacara-upacara adat komunal berfungsi sebagai “sekolah lisan” di mana tradisi diwariskan secara turun temurun.
Ketiga, Doa dan Lagu-lagu (Ngaji agu Dere). Bagi orang Manggarai memiliki arti jamak: tidak hanya terbatas pada fungsi menghibur tetapi lebih dari itu, lagu mempunyai fungsi pedagogis dan historis. Demikian halnya doa-doa yang diucapkan dalam pelbagai ritus adat komunal memiliki aspek ganda: terarah kepada Wujud Tertinggi tetapi serentak merupakan model bagi generasi yang akan menjadi penerus budaya. Bapak Petrus Jelalu dalam wawancara yang pernah dibuat Ivan Haryanto, et. al. menjelaskan, lagu yang dibuat untuk berbagai upacara sarat dengan ajaran iman. Misalnya lagu Sanda Lima biasa dinyanyikan dalam upacara penti. Dalam lagu ini terdapat beberapa permohonan berkaitan dengan lima kebutuhan pokok manusia: mbaru bate ka’eng (rumah tempat tinggal), natas bate labar (halaman bermain), wae bate teku (sumber tempat menimba air), uma bate duat (kebun tempat mengais rejeki) dan compang (tempat persembahan kepada Wujud Tertinggi).
Keempat, Nasihat atau Petuah (Go’et). ajaran tentang Wujud Tertinggi diterjemahkan dalam kebijaksanaan-kebijaksanaan lokal orang Manggarai dalam apa yang disebut Go’et yakni ungkapan, amsal, pepatah dan petuah. Nasihat-nasihat ini berbicara tentang kehidupan manusia dalam dua dimensi: vertikal dengan Wujud Tertinggi dan relasi horizontal dengan sesama dan alam lingkungan.
Misalnya go’et yang berbicara tentang relasi horizontal manusia: neka anggom le anggom lau, eme data, data muing, neka demeng data (jangan memiliki kekayaan karena merampas dan menggelapkan harta orang lain). Go’et ini berisikan ajaran bagi manusia dan masyarakat agar mengakui hak milik orang lain, mendapatkan kekayaan melalui cara yang halal, tidak mengklaim atau menggelapkan harta orang lain demi kekayaan. Selain itu, ada go’et yang berbicara tentang relasi horizontal dengan Wujud Tertinggi, misalnya, “neka beng agu Dedek, neka ngantit kamping Jari” (jangan takut dan ragu-ragu terhadap Tuhan yang menjadikan kita). Go’et ini merupakan ajakan bagi manusia untuk mendekatkan diri kepada Wujud Tertinggi lewat doa (ngaji). Selain itu go’et ini memiliki pesan agar manusia tidak mengabaikan doa (ngaji).
Kelima, Mitos dan Cerita Rakyat (Tombo Turku). Menurut Mircea Eliade, mitos tidak hanya sekedar pemikiran intelektual dan bukan pula hasil logika, tetapi terlebih merupakan orientasi spiritual dan mental untuk berhubungan dengan yang ilahi. Bagi masyarakat asli, mitos berarti suatu cerita yang benar dan ini menjadi milik mereka yang paling berharga, karena merupakan sesuatu yang suci, bermakna dan menjadi model bagi tindakan manusia, memberikan makna dan nilai bagi kehidupan ini. Mitos menceritakan bagaimana suatu realitas berkesistensi melalui tindakan mahkluk supra natural. Demikian halnya dengan peran dan fungsi mitos bagi orang Manggarai. Dalam bukunya, Verheijen mengumpulkan sejumlah mitos orang Manggarai tentang berbagai hal, seperti: awal mula bumi, manusia dan roh-roh: terjadinya bumi, pemisahan manusia dari “darat” [peri], nenek moyang yang dimakan “darat”, dsb. Tombo turuk merupakan kisah-kisah cerita yang bermuatan pedagogis dan memiliki unsur hiburan. Biasanya tombo turuk dikisahkan malam hari menjelang tidur. Orang tua sebagai pencerita (arrator) sering mengisahkan sebuah peristiwa yang tampak nyata dengan maksud memberikan petuah tertentu terhadap anak-anaknya. Selain itu, tombo turuk juga menjadi medan pergulatan tafsir atas kejadian aktual dalam masyarakat, entah pergulatan politis maupun sosial, budaya dan ekonomi. Kisah-kisah ini menjadi semacam kumpulan cerita pendek yang diungkapkan secara lisan dan diwariskan turun temurun kepada setiap generasi. Beberapa cerita pendek yang cukup dikenal seperti: Timung Te’e (Mentimun Matang), Empo Poti Mese (Setan Jahat), Lanur , Pondik, Anak Kalok (Anak Yatim), dsb.

4.3. Dimensi Praktek: Pelbagai Ritus Dan Peruntukkannya
Ulasan kita tentang relasi yang sangat dekat antara orang Manggarai dengan Wujud Tertinggi terjalin melalui pelbagai ritus yang memiliki tujuan dan maksud yang khas. Sejak manusia dikandung dalam rahim ibu hingga mati, orang Manggarai memiliki ritus adak tertentu. Beberapa ritus itu antara lain: ritus Lamba Wakas dan Jambat (saat kehamilan), Weda rewa tuke mbaru (saat peminangan), Kelas (kenduri) dan lain-lain. Hal sama ketika orang Manggarai mengerjakan kebun, ritus-ritus dibuat mulai dari pembukaan kebun baru (lingko-tanah persekutuan komunal) sampai pada upacara syukur panen: upacara pemancangan “Teno” oleh Tu’a Teno (kepala kampung urusan pembagian tanah komunal) pada saat pembagian tanah lingko, upacara Kalok/Weri/Wa’u wini (saat musim menanam) sampai “penti”. Dalam pelbagai ritus itu, doa-doa dan lagu-lagu dipanjatkan kepada Wujud Tertinggi, entah permohonan pun ucapan syukur. Hubertus Leteng dalam skripsinya tentang doa asli Manggarai menjelaskan bahwa doa sebagai ekspresi iman dalam agama asli orang Manggarai dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian, yakni: berdasarkan ciri-ciri, intensi dan pelaksana atau pelaku.
1] Ciri-ciri : Ciri Teosentris. Dalam doa-doa asli nama Wujud Tertinggi disebut secara eksplisit. Kepada Dia-lah doa-doa dilambungkan. Ciri Mediasi: Para leluhur dipercayai sebagai perantara. Karena itu nama leluhur disebut dalam doa. Ciri sosial: doa-doa asli tidak hanya mementingkan diri sendiri tetapi juga orang lain, komunal dan keutuhan seluruh ciptaan. 2] Intensi: ada dua macam doa yakni doa permohonan dan doa syukur. Ketika memulai musim tanam orang Manggarai akan mempersembahkan babi atau ayam kepada Wujud Tertinggi dan leluhur agar kiranya Wujud Tertinggi berkenan memberkati benih (wini) yang akan ditanam. Ritus yang sama dibuat pasca panen. 3] Pelaksana atau pelaku: Doa-doa asli Manggarai dari aspek pelakunya dibagi dalam dua kelompok: Pertama, doa pribadi. Dalam menghadapi berbagai pengalaman, entah kecewa maupun gembira orang Manggarai memiliki tanggapan dan jawaban atasnya. Salah satu bentuk tanggapan dan jawabannya ialah melalui doa pribadi. Doa-doa pribadi ini biasanya singkat, spontan, terbuka dan jujur. Doa-doa seperti ini biasanya disebut “Keng” atau “Wada agu Gesar”. Misalnya seorang yang sedang mengalami sakit berat akan berdoa, “Mori, ba’eng koe mendim ho’o…” (Tuhan, kasihanilah hambaMu ini…). Kedua, doa bersama. Doa bersama terjadi dalam ritus-ritus komunal dalam berbagai kesempatan, misalnya: ritus Simo Le’as / Rames Le’as yang merupakan upacara pemulihan ketika seorang ibu mengalami keguguran. Maksud ritus ini ialah supaya Wujud Tertinggi dan roh leluhur memulihkan kesehatan jasmani-rohani ibu yang bersangkutan dengan harapan tidak terjadi keguguran lagi. Doa bersama juga dapat terjadi dalam ritus Kelas, Penti, dsb. Terminologi yang biasa dipakai dalam ritus-ritus komunal adalah “Tudak” yang disampaikan oleh “Ata Peci” [pribadi yang memiliki kharisma spiritual yang biasanya terdapat pada Tu’a Golo ataupun ata mbeko-dukun].

4.4. Dimensi Pengalaman Keagamaan
Menurut Edward Schillebeecks, pengalaman berarti seseorang bertemu langsung dengan sesuatu obyek dan belajar melalui pertemuan itu. Melalui pertemuan langsung itu kita mengenal obyek-obyek yang kita alami, kita memperoleh pengetahuan langsung tentang obyek itu. Namun pengalaman seperti itu tidak pernah “murni” dalai arti bahwa semata-mata obyek itu menyatakan diri kepada subyek yang mengalami. Seseorang bisa mengalami sesuatu melalui interpretasi atas obyek itu. Interpretasi itu berlangsung dalam pengalaman manusia sendiri.
Orang Manggarai memiliki pengalaman akan Wujud Tertinggi. Mereka tidak pernah mengatakan bahwa pernah berhadapan muka dengan Wujud Tertinggi. Meskipun ada ata mbeko yang mengasosiasikan mimpi tertentu sebagai pertemuan dengan Mori Keraeng dan pernyataan diriNya yang intens kepada mereka. Tetapi semua orang Manggarai mengakui bahwa mereka mengalami kehadiranNya dalam peristiwa hidup harian mereka. Itulah sebabnya, lahir berbagai nama Wujud Tertinggi yang dianalogkan dengan alam-kosmos, bentuk doa, ritus-ritus pemulihan, dan go’et yang mengekspresikan kedekatan yang relasional-intim antara orang Manggarai dengan Wujud Tertinggi.
Kehadiran “ata pecing” atau “ata mbeko” sangat penting dalam menafsir kehendak Yang Ilahi. Jika terjadi kemalangan komunal berupa berbagai penyakit, bencana alam, kematian yang irrasional, ata pecing memiliki tugas untuk mencari sebab-musabab dan menemukan solusinya. Peran ata pecing sangat menentukan dalam berbagai segi kehidupan: religius, social, politik, ekonomi dan budaya. Revelasi diri dan kehendak dari Mori Keraeng dinyatakan lewat “nipi” [mimpi] dari ata pecing. Ata pecing ini menyampaikan maksud de Morin agu Ngaran kepada orang yang untuknya revelasi itu ditujukan.

4.5. Dimensi Sosial Keagamaan
Iman Dan kepercayaan akan Wujud Tertinggi orang Manggarai memiliki dimensi sosial. Iman itu tidak hanya bermakna, meminjam istilah Filsafat, “in se” (dalam dirinya sendiri), tetapi juga mempunyai “per se” (untuk sesuatu yang lain). Sebab jika iman itu tidak berbicara dan terkait dengan kehidupan real, maka iman itu nirmakna. Ada beberapa dimensi sosial yang saya temukan antara lain:
Pertama, Iman dan kepercayaan akan Wujud Tertinggi dalam diri orang Manggarai membuat mereka merasa yakin dan pasti bahwa mereka adalah anak-anak dari Mori agu Ngaran. Keyakinan itu begitu kuat sehingga menimbulkan pengharapan untuk kelak bersatu dengan seluruh arwah leluhur dalam kebersamaan dengan Mori Keraeng. Tetapi untuk bisa tinggal bersama Dia, orang Manggarai, baik secara privat maupun komunal, mesti memiliki sikap hidup yang baik, kepercayaan yang utuh pada Mori Jari Dedek dan kesetiaan untuk mentaati laranganNya. Kerinduan untuk bersatu dengan Mori agu Ngaran inilah yang membuat orang Manggarai pada zaman lampau lebih dominan mengarahkan dirinya kepada kebaikan.
Kedua, orang Manggarai memiliki berbagai norma dan aturan yang diyakini sebagai jalan untuk mencapai kebahagiaan kelak [mose tedeng len]. Berikut ini ada beberapa norma umum. 1] Relasi antara pria Dan wanita. Aturan relasi pria-wanita sangat ketat. Sebagai contoh: mengintip perempuan yang sedang mandi disebut “loma lelo” [pemerkosaan dengan cara melihat]. Atau barangsiapa yang ketahuan melakukan “jurak” [incest] diberi hukuman paling berat. Jika hal ini terjadi, maka akan dibuat upacara pemulihan yang disebut “oke jurak” atau “doro rekes”. Dalam upacara ini disembelih kerbau putih sebagai hewan korban penyilihan dosa dan mohon ampun dari dosa lewat “songgo”[doa pemulihan]. 2] Relasi dengan orang yang lebih tua dan orang yang lebih muda. Orang-orang muda berkewajiban mematuhi perintah orang-orang tua. Demikian halnya relasi antara pemimpin adak [tu’a golo] dengan anggota masyarakat [sangged lawa wan koe, etan tu’a]. dari orang muda dituntut ketaatan dan dari orang tua dituntut sikap hidup yang baik, tutur kata yang sopan, berkualitas, bijaksana, dan patut dipanut.
Ketiga, orang Manggarai dan keluarga. Konsep tentang Wujud Tertinggi mempunyai dampak yang luas, termasuk relasi antar sesama. Keluarga sebagai institusi masyarakat terkecil sangat diperhatikan. Dalam relasi dengan orang tua [kandung], seorang anak melihat mereka sebagai “mori kraeng ata ita le anak” [Tuhan yang kelihatan]. Karena itu bersikap kasar terhadap orang tua dilarang. Sebaliknya, anak adalah “wae tuka de Morin agu Ngaran” [benih Tuhan dan Pemilik] yang harus diperhatikan oleh orangtua. Memukul orangtua dan menelantarkan anak-anak adalah perbuatan tercela.
Keempat, orang Manggarai dengan sesamanya [keluarga dekat dan semua orang lain]. Dengan “Hae Wa’u”- “Ase Ka’e” [kakak-adik, sepupu] hubungan diwarnai oleh persahabatan kental. Mereka harus saling mendukung satu sama lain. Itulah sebabnya, urusan “laki” atau “wai” [peminangan] dan berbagai urusan keluarga dijalankan secara bersama-sama sebagai tanggungan keluarga besar. Ada juga yang disebut dengan “Anak Wina-Anak Rona” yakni hubungan yang terjalin karena perkawinan. Keluarga mempelai laki-laki disebut: anak wina, sedangkan keluarga anak perempuan disebut: anak rona. Anak rona memiliki kewajiban untuk membayar belis dan sida kepada anak wina dalam urusan kematian, pernikahan, dan urusan adat lainnya dari anak rona.
Ikatan kekerabatan tidak hanya dibangun berdasarkan hubungan darah, tetapi juga asal [cama beo-satu kampung-asal]. Orang Manggarai merasa memiliki kewajiban untuk saling memperhatikan sesama asal di manapun mereka berada. Biasanya, orang-orang seasal dianggap sebagai “saudara” [ase-ka’e, cama tau] di tempat perantauan [tanah mbeot]. Mereka yang tiba lebih dahulu [ngo te kolo] menyiapkan tempat bagi mereka yang datang kemudian [cai musi]. Orang-orangtua menitipkan pesan supaya yang lebih tua menjadi pendamping bagi mereka yang muda. Secara inplisit, otoritas orangtua diserahkan kepada mereka yang dipercayai itu. Mereka biasa mengatakan, “Nana, jaga di’a-di’a asem ho’o. Reweng dite, reweng dami” [Jagalah adikmu ini, kami menitipkan suara kami padamu].

5. Mori Jari-Dedek: Tuhan yang Hidup dan Terlibat
Bagi orang Manggarai, kehadiran Mori Keraeng memiliki arti yang sangat besar. Mori Keraeng adalah Tuhan bagi manusia dengan segala kenyataannya. Ia menciptakan, menjaga, memelihara kehidupan dan menjamin “mose tedeng len” (kehidupan kekal hingga keabadian). Dari manusia dituntut kesetiaan untuk mengikuti kehendakNya, menjaga relasi yang harmonis dengan diri sendiri, sesama dan lingkungan.
Mori Keraeng adalah Tuhan yang hidup. Karena itu, menyadari segala kerapuahan dan kelemahannya, manusia mesti memiliki intensionalitas batin, pikiran, perkataan dan perbuatan kepadaNya. Sikap inilah yang membuat orang Manggarai yakin bahwa Mori Jari-Dedek hadir aktual, di sini, saat ini dalam diri orang-orang yang berbuat baik. Kerap ada ucapan, “Tuhan ada padamu” [One ite nai de Morin] bila ada yang cara hidupnya baik.

6. Yesus Kristus: Sebuah Pencarian Keterkaitan Wujud Tertinggi orang Manggarai Dan Kharisma Karmel

6.1. Panggilan Karmel: Mengikuti Yesus, Mengakui Eksistensi Allah Dan Mengalami bahwa Ia sungguh Hidup Dan Terlibat

Kita sudah melihat uraian tentang Wujud Tertinggi orang Manggarai. Menelusuri jejak Allah dalam iman dan kepercayaan primal orang Manggarai, satu kenyataan yang bisa ditemukan dalam rumusan “doktrinal iman” mereka ialah bahwa Mori agu Ngaran, Mori Jari Dedek, Mori Keraeng dengan berbagai sebutan tidak memiliki putera [anak]. Inilah jalan yang bisa menjadi sebuah “uma cumang tau” [lahan yang mempertemukan] ajaran Kristiani-iman primal orang Manggarai. Sedangkan hal-hal yang tidak sulit dipertemukan ialah gagasan tentang “ketunggalan” Allah. Meskipun “Yang Ilahi” orang Manggarai disebut dengan gaya parallelisme, Mori Keraeng tetaplah satu pribadi [monotheismus]. Lalu bagaimana bisa dihubungkan dengan kharisma dan spiritualitas Karmel?
St. Albertus, dalam Prolog Regula, menulis,
“Berulang kali dan dalam pelbagai cara para Bapa Suci menentukan bagaimana setiap orang, dalam serikat manapun ia hidup atau cara hidup apapun yang dipilihnya, harus hidup taat kepada Yesus Kristus dan setia mengabdiNya dengan hati yang suci dan hati nurani yang murni”.
Menurut alur gagasan ini, pernyataan di atas pada gilirannya bermuara pada suatu komitmen untuk mengikuti Yesus, karena pada hakekatnya kita dipanggil untuk mengikuti Allah dan mengambil bagian dalam persekutuan Trinitas.
Persatuan dengan Allah merupakan arah dan tujuan hidup setiap pengikut kharisma Karmel. Persatuan itu kerap disebut “pengalaman kontemplasi” yang digambarkan Konstitusi sbb:
Kontemplasi adalah perjalanan batin para Karmelit, yang timbul karena prakarsa bebas Allah. Pengalaman itu menyentuh dan mengubah kita. Pengalaman kontemplasi membimbing kita kepada persatuan denganNya yang dialami dalam cinta, mengangkat kita sehingga kita dapat menikmati cintaNya yang diberikanNya dengan cuma-cuma serta hidup di hadiratNya dengan penuh cinta. Kontemplasi merupakan suatu pengalaman akan cinta Allah. Pengalaman itu begitu kuat sehingga memiliki daya yang mengubah. Cinta yang sama memiliki kekuatan untuk mengosongkan pola pikir, cinta dan perilaku manusiawi kita yang terbatas dan tak sempurna, pada gilirannya mengubahnya menjadi ilahi.
Persatuan dalam cinta dengan Allah! Sebuah pernyataan yang menjadi muara dari kontemplasi. Namun untuk sampai pada kontemplasi ini, ada ‘jembatan” [letang-temba] yang coba dibangun sebagai “alat bantu”, yakni berupa tiga kharisma dasariah: doa, persaudaraan dan pelayanan .
Pertanyaan yang perlu diajukan kepada kita ialah: 1] Apakah kita sungguh mengalami bahwa Allah hidup dalam doa-doa kita? Apakah doa-doa dan relasi yang kita bangun dengan sama saudara, merupakan ekspresi dari “intimitas” dengan Allah? Apakah pelayanan yang kita berikan merupakan “suatu kesadaran” akan kehadiran Allah yang ada dalam diri sesama, yang membutuhkan uluran tangan kita? 2] Jika Allah sungguh-sungguh terlibat dalam Doa, Persaudaraan dan pelayanan kita, perlu dipertanyakan: Allah macam manakah yang kita imani? Model-model kualitas dominan yang kita hayati sangat mempengaruhi cara hidup, pola pikir serta tutur kata kita. 3] Dari pengalaman orang Manggarai akan kehadiran Allah yang hidup dan terlibat dalam kenyataan historis, aktual dan masa depan, kita menemukan suatu keyakinan bahwa keharmonisan hidup merupakan pilihan yang tak terelakkan. Muncul pertanyaan: Ketika situasi menjadi disharmonis karena ke-chaos-an, mampukah kita, sebagai orang yang percaya bahwa Allah hidup dan terlibat dalam diri kita, menjadi pribadi yang memberikan keyakinan bahwa Ia sungguh ada dalam diri kita?

6.2. Peran Mediasi Insan Beriman di Tengah Dunia: Ata Pecing [Penafsir] versus para Pengikut Kharisma Karmel.

Orang Kristen adalah murid Kristus, yang telah dipilih dan kemudian diutusNya ke tengah dunia. Kita menjadi seperti Petrus, mengantarai Kerajaan Surga dengan dunia. Dalam kepercayaan agama primal Manggarai, “Ata Pecing” memiliki peran sangat penting. Merekalah yang menyampaikan kehendak Mori Keraeng kepada anak-anakNya. Dalam diri mereka ada kekuatan yang diasalkan pada kekuatan Mori Keraeng. Mereka memiliki kemampuan untuk menyembuhkan, memohon sesuatu untuk masyarakat adak-komunal, menjadi mediator bila terjadi kesalahan publik masyakat adak. Dia menjadi perantara antara Mori agu Ngaran, Jari Dedek. Masyarakat yakin akan kemampuannya yang diperoleh karena relasi khusus dengan Yang Ilahi.
Orang Kristen beriman kepada Allah. Iman itu memungkinkan dia disebut mahkluk rohani (kaum religius). Kata “religius” mengandung makna kedekatan dengan Allah. Imam, Bruder, Frater, Suster dan awam adalah “orang-nya Allah”[man of God, ata de Morin], “dekat dengan Allah” [ruis agu Morin] dan bahkan “Alter Christi”. Benarkah orang Kristen sudah hidup seperti itu?
Membaca Berita Karmel, saya terkesan dengan tulisan Rm. Krisna Aji O.Carm yang memberikan catatan tanggapan atas Pertemuan Karmelit Muda. Rm. Krisna kira-kira menulis begini:
Saya ingin bertanya kepada Anda, kita semua. Apakah yang saudara usulkan sebagai usulan brilian, misalnya: tentang hidup doa, ini merupakan usulan yang masih angan-angan atau usulan yang memang Saudara hidupi? Keduanya membawa hasil, akibat yang berbeda. Kalau usulan saudara masih terbatas pada angan-angan; saya ingin seorang Karmelit itu dalam hidup doa begini dan bukan begitu, maka kalau usulan saudara dijadikan keputusan dalam Kapitel, berlaku untuk semua, tidak akan jalan. Begitu diputuskan kita semua bingung. Berbeda kalau usulan brilian Saudara berasal dari hidup saudara-saudara maka bila diumumkan langsung ditanggapi. Mengapa? Karena hidup doa merupakan hidupnya. Melakukan dengan lebih mantap apa yang sudah dilakukan, dihidupi…hidup doa kita jadikan hidup sehari-hari…dalam hidup persaudaraan melatih untuk menjadikan hidup Yesus Kristus sendiri sebagai hidup kita. Mencintai dalam wujud mengampuni….melatih diri menjadi miskin. Kalau minus-mata bertambah, berani hanya mengganti lensanya saja, frame-nya tetap….
Sebagai insan beriman, hidup kita adalah keseharian dalam usaha mencari Allah dan upaya ditemukan Allah. Dari perjalanan sejarah Ordo Karmel kita melihat perjalanan panjang pergumulan itu. Konstitusi menulis, “…kontemplasi juga mempunyai nilai injili dan gerejawi. Praksisnya bukan hanya sumber hidup rohani kita, melainkan juga menentukan mutu hidup persaudaraan dan pelayanan kita di tengah umat Allah”. Hal ini berarti bahwa kontemplasi harus mempunyai buah, yakni cinta kasih dalam pelayanan dan hidup bersaudara dengan sesama manusia. Hidup yang telah ditransfomasikan kepada cara hidup Yesus sendiri adalah inti dari peziarahan kita insan beriman.
Pertanyaan untuk kita: 1] Sejauh mana kita telah menampakkan sikap transformatif itu dalam hidup pelayanan kita, sehingga orang-umat Allah sungguh yakin bahwa kita adalah mediator, orang dekat Allah, murid Kristus? 2] Dalam kenyataan dunia yang penuh kegelisahan ini, mampukah kita hadir sebagai “pengantara” yang memberikan jalan keluar terbaik bagi persoalan yang ada seturut kompetensi kita sebagai kaum religius?

7. Penutup
Hingga saat ini kita dijejali dengan konsep Wujud Tertinggi orang Manggarai yang memandang Mori Keraeng sebagai Wujud Tertinggi yang sungguh hidup, ada dan terlibat dalam keseharian hidup mereka. Dalam ‘imbi’ itulah mereka hidup dan berjalan mencapai persatuan denganNya.
Pada bagian kedua, saya coba menarik “benang merah” sebagai usaha mencari keterkaitan antara spiritualitas Kristen, khususnya Kharisma Karmel dan Wujud Tertinggi. Persatuan dengan Allah dalam Kontemplasi yang bermuara dalam kehidupan real [praksis] adalah buah terindah dari hidup yang telah ditransformasikan ke dalam hidup Allah sendiri.***



REFERENSI

BUKU-BUKU:

Kirchberger. Georg, Allah: Pengalaman dan Refleksi dalam Tradisi
Kristen. Maumere: LPBAJ, 2000
Eliade. Mircea, Patterns in Comparative Religion. London-New
York, 1958.
_________, The Sacret and the Profane. New York, 1961
_________, Myths, Dreams and Misteries: The encounter between
contemporary faiths and archaic realities. New York, 1967.
_________, Myth and Reality. London: George Allen & Unwin LTD,
1964.
_________, Images and Symbols, Studies in Religious Symbolism.
New York: A Search Book, Sheed & Ward, 1969.
_________, The Two and The One. London: Harvill Press, 1965.
Distar. Nico Syukur, Pengalaman Dan Motivasi Beragama [Jakarta:
Lapennas, 1982
Hemo. Dorotheus, Ungkapan Bahasa Daerah Manggarai Provinsi
NTT [Ruteng: 1990.
Toda. Damian N., Manggarai Mencari Pencerahan Histriografi.
Ende: Nusa Indah, 1999.
Verheijen. A. Jilis, Manggarai Dan Wujud Tertinggi [Jakarta: LIPI-
Uthctrect-RUL, 1990
Yassin. H.B., Chairul Anwar Pelopor Angkatan 45. Jakarta: Gunung
Agung, 1985


ARTIKEL DAN MANUSKRIP:

Decky. Teobald kanisius, “Konsep Tentang Wujud Tertinggi Pada
Suku Manggarai Dan Teori Kulturkreiselehre Menurut
Wilhelm Schmith”, Kuliah Antropologi Budaya. STFK
Ledalero, 1998
____________“Sejenak di Padang Gurun” dalai: Berita Karmel, No.
November , 1998.
Ivan Haryanto, et. al., “Agama Asli Manggarai”, sebuah studi yang
dipresentasikan dalam: Kuliah Perbandingan Agama, di
Ledalero 25 November 2003
Hubert Leteng, Pr, “Percikan Kristiani Dalam Doa-doa Asli
Manggarai”, Skripsi [STFK Ledalero, 1985
Krisna O.Carm, “Menggelitiki Karmelit Muda” dalam: Berita
Karmel, No. 259-Juli 1999
Stark dan Glock, “Dimension of Religious Commitment”, dalam:
Roland Roberson [ed.], Sociology of Religion. Baltimore:
Penguin Books, 1971.
Buku Nyanyian Dere Serani. Sekpas Keuskupan Ruteng, 1980



***

Selengkapnya...