Jumat, 26 Maret 2010

Gereja Dialog di Manggarai

Permenungan Jelang Tahbisan Uskup Ruteng

Kanisius T. Deki, M.Th

Sejak gema Konsili Vatikan II bergaung hingga ke seluruh pelosok dunia, Gereja lokal Manggarai semakin menyadari perlunya menghargai kebudayaan asli masyarakat setempat. Bahkan muncul berbagai usaha inkulturasi, dialog antar agama dan gerakan pembebasan dalam teologi. Melalui upaya-upaya ini muncullah dialog multi sektor, yang oleh Uskup se-Asia menyebutnya sebagai “dialog rangkap tiga”. Komunitas-komunitas Kristiani menjadi sadar bahwa mereka dapat dengan sungguh-sungguh membangun sebuah Gereja lokal Manggarai yang otentik kalau terjadi dalam proses dialog terus menerus dengan kebudayaan-kebudayaan, agama-agama, pengalaman-pengalaman aktual dalam aktivitas ekonomi, sosial dan politik orang Manggarai.


Dalam dialog yang mengedepankan lonto leok, terdapat komunikasi timbal balik antara kedua pihak atau bahkan dengan lebih banyak pihak. Sebagaimana tradisi sastra lisan menghidupkan berbagai bentuk ungkapan persaudaraan dan mencari keterjalinannya, demikian pula Teologi Relasi Manggarai berusaha menghubungkan warta keselamatan Yesus Kristus dalam dialog yang aktif dengan kehidupan aktual. Semangat dialog ini harus menjadi pilihan pertama dalam menyelesaikan konflik horizontal maupun vertical yang telah melanda Manggarai dari waktu ke waktu. Berhadapan dengan situasi seperti ini, pengembangan relasi yang dialogal merupakan suatu keniscayaan. Pada tahap ini, dialog bukan lagi sarana evangelisasi, melainkan evangelisasi itu sendiri. Ketika Gereja Manggarai mengembangkan relasi yang dialogal ini, terdapat kurang lebih empat hal yang harus jelas dan menjadi kesadaran bersama, yakni hakikat dari dialog, alasan-alasan untuk berdialog, kondisi-kondisi yang memungkinkan dialog dan model-model dialog yang efektif. Dialog rangkap tiga: dengan kebudayaan, agama-agama dan situasi kemiskinan serta ketertindasan merupakan jawaban yang tepat untuk semakin memahami Gereja lokal Manggarai dan menawarkan pendekatan pastoral yang sesuai dengan konteks mereka.
Konsekuensinya jelas. Gereja tidak lagi dimengerti sebatas mimbar sekaligus pusat yang merupakan kiblat umat. Gereja adalah kehidupan umat itu sendiri yang harus disucikan terus menerus oleh perjuangan mencapai keselamatan. Gereja adalah medan perjuangan di mana mereka berusaha mengaplikasikan nilai-nilai kristiani dalam hidup konkret. Dengan demikian, Gereja bukan lagi lembaga yang menghasilkan berbagai dokumen iman, melainkan tempat pengalaman iman didialogkan, dibagikan sebagai santapan rohani. Pejabat-pejabat Gereja adalah penghubung yang sanggup membahasakan kebutuhan real umat. Gereja karenanya tidak berarti singular. Sebagai sarana keselamatan yang berziarah menuju Allah, Gereja adalah umat Allah yang mendengarkan Sabda dan mengikuti kehendakNya. Umat Allah yang berbicara di rumah-rumah Gendang, di kebun-kebun, di depan kantor DPR, di halaman kantor Bupati tentang masa depan bersama yang berorientasi kepada keselamatan Yesus Kristus adalah juga Gereja yang diilhami oleh Roh Kudus. Jadi, tempat bukan soal lagi, karena di manapun umat-rakyat dapat berdialog dengan sesama saudaranya dalam namaNya, di situ Allah hadir.***

0 komentar: