Kamis, 18 Maret 2010

MORI JARI DEDEK: ALLAH YANG HIDUP DAN TERLIBAT

Sebuah Pencarian Komparatif Budaya Asli dan Spiritualitas Karmel

Kanisius Teobaldus Deki
Theology Department-STKIP St. Paulus


Abstract:
For the Manggarai people, the existence of Mori Keraeng has a magnificent meaning / sense. Mori Keraeng is God for human being with the whole realities. He creates and maintains the life and warrant ”Mose tedeng len” (life-length in eternity). From the human being side, faithfullness is urged to follow His divine will, maintain the harmonious relationship with one’s own self, others and the environment. Mori Keraeng is the Living God. Therefore, realizing one’s own faded essence and weaknesses,human being must have an intentional thought (mind),sense (heart),words and conduct before God. It is this attitude that makes the Manggarai people feel sure that Mori Jari Dedek (God of all Creations / Creator) presents in an actual Being here on this very occassion through those who do the right things. This article tries to trace the interrelationship among the originally Manggarai Culture in viewing God and His actuality when it (such cultural view) is connected to the Carmelite’s Spirituality.


Key-words:
Studi komparatif, Allah, Budaya, manusia beriman.



1. Pengantar

Dami N. Toda , dalam bukunya, Manggarai Mencari Pencerahan Historiografi, menjelaskan secara jelas, rinci dengan data yang akurat tentang perkembangan penelitian yang dibuat oleh orang luar. Harus diakui bahwa setiap peneliti memiliki perspektif sendiri dengan orientasi khas serta motivasi yang beragam sehingga deviasi selalu tak terelakkan jika ternyata sebuah sejarah dibelokkan. Dan kita maklum bahwa penulisan sejarah terkait erat dengan pre-understanding setiap orang yang datang. Itulah sebabnya, seperti Habermas pernah tandaskan, setiap pernyataan yang keluar selalu terjalin dengan maksud tertentu. Berhadapan dengan kenyataan ini, sebuah imperatif yang tidak bisa ditawar-tawar naik ke permukaan kesadaran, bahwa kita sendiri sebagai “anak tanah” harus juga belajar menggali budaya kita, mengunyahnya dan membiarkan dia menjadi sebuah energi yang membuat hidup ini memiliki daya (élan vital). Orang “dalam” (in-sider) harus punya horizon tentang apa yang dimilikinya, supaya ia bisa berkata-kata dari kepunyaannya sendiri.
“Gali (cake), Kunyah (mama) dan Olah (gori)” adalah aktivitas yang coba menjadi sebuah proses dalam pembahasan ini. Kita ingin mengetahui jawaban atas pertanyaan, “siapakah Allah bagi masyarakat asli Manggarai, bagaimana religiositas orang Manggarai” dan kalau bisa ditanyakan, “apakah ada benang merah yang bisa menghubungkannya dengan spiritualitas Karmel?” Karena itu menjadi jelas bagi kita bahwa: 1] mula-mula kita “menggali” dengan membaca uraian ini, lalu 2] kita “mengunyah” yakni terlibat untuk memikirkan, menanggapi atau bahkan memberikan perluasan serta catatan kritis, dan akhirnya 3] kita “mengolah” bahan ini untuk menjadi mose nai [makanan hidup] permenungan di perjalanan perutusan dan pelayanan, sehingga kehadiran kita menjadi “berarti”, tersebab kita mengenal dan memahami siapa yang menjadi subyek pelayanan kita. Dengan kata lain, muara pendekatan kita ialah bagaimana “teks” dan “konteks” disandingkan dalam spiritualitas yang hidup.
Berjalan dalam sebuah pencarian yang tetap aktual ini, adalah sebuah kemestian bahwa kita memiliki “seni” tertentu, yang secara sadar atau tidak, mengharuskan kita menjadi “seniman” untuk mengolah hidup kita. Seorang sastrawan Indonesia, Chairul Anwar mengatakan,
“tiap seniman harus menjadi seorang perintis jalan. Itu artinya ia mesti memiliki keberanian, tenaga hidup. Ia tidak segan-segan memasuki hutan rimba penuh binatang buas, mengarungi lautan lebar-tak bertepi. Seniman ialah tanda dari hidup yang melepas-bebas” .
Menjadi seniman dalam hidup panggilan sebagai religius “menuntut komitmen pribadi yang menyeluruh dan yang diekspresikan secara nyata dalam suatu pola hidup yang injili dan melaksanakan nasihat-nasihat Injil dan dalam hidup komunitas”. Untuk mencapai kenyataan itu, refleksi yang memiliki perspektif holistik-mondial perlu dibangun, termasuk bila refleksi itu ditopang oleh tonggak yang berbasiskan budaya-lokal.


2. Kepercayaan akan Allah, Agama dan Kehidupan Manusia
Sejak zaman purbakala, manusia, bahkan dalam tahap perkembangan yang sangat primitifpun mempunyai kesadaran akan hadirnya sebuah kekuatan “lain” yang berada di luar kemampuannya untuk memahami. Mircea Eliade, dalam studinya memperlihatkan bahwa penyelidikan fenomenologis mengenai agama menimbulkan gambaran tentang manusia sebagai mahkluk yang sifatnya amat religius (homo religious). Bagi mereka, seluruh kosmos terbuka kepada “yang kudus”. Pada prinsipnya, obyek apa saja: matahari, bulan, bumi, air, gunung, hutan, batu karang, pohon, gua, dsb dapat menjadi hierofani baginya. Obyek manapun yang diduduki oleh “yang kudus” itu menjadi manifestasi dirinya. Kehadiran “Yang kudus” kemudian secara turun temurun dialami dalam hierofani, ritus dan mitos. Kenyataan itu, dalam ke-tak-mengerti-an manusia sering dianalogkan dengan “Yang Ilahi”.
Langkah yang telah dimulai dalam agama primal dilanjutkan dengan kehadiran agama-agama institusional-wahyu yang memberikan kepastian bahwa “Yang Ilahi” itu adalah Allah. Dr. Georg Kirchberger SVD mencatat beberapa bidang pengalaman akan Allah.

2.1. Alam
Dalam kehidupannya, setiap orang yang mengamati dan mengalami dunia dan alam sekitarnya dengan mata serta hati terbuka, akan menjadi sadar bagaimana seluruh alam itu merupakan suatu hadiah besar yang menunjang dan mempertahankan hidupnya. Pengalaman itu menjadi lebih intens dan terasa kuat dalam “situasi-situasi batas”. Misalnya suatu masyarakat yang menderita kelaparan karena musim kemerau yang berkepanjangan, mengalami hujan pertama sebagai berkat, sebuah permulaan akan munculnya kehidupan baru. Jika orang terbuka kepada kebaikan yang ada, segera orang akan berpikir bahwa pasti ada sesuatu yang menyelenggarakan semua itu. Pada saat itulah muncul refleksi tentang “Yang Ilahi”.

2.2. Sejarah
Pada dasarnya sejarah merupakan suatu deretan peristiwa yang dilakukan, diatur dan harus dipertanggungjawabkan oleh manusia. Tetapi setiap manusia mengharapkan agar deretan peristiwa itu tidak hanya merupakan kumpulan aksi dan reaksi yang tak berarti dan tak bertujuan. Kita merindukan sejarah sebagai sebuah arus perkembangan yang mempunyai tujuan dan manusia berharap tujuan itu bernilai positif. Kita berharap bahwa sejarah berkembang menuju kebahagiaan dan kesejahteraan manusia yang semakin besar. Berhadapan dengan keterbatasan-kenisbian kodrati manusia, ia pada akhirnya menyadari bahwa hanya kepada “Yang Ilahi” ia memiliki intensionalitas historis. Dengan lain perkataan, Allah adalah akhir dari sebuah sejarah keselamatan.

2.3. Hubungan Antar Pribadi
Persahabatan dan setiap relasi cinta antar manusia menjadi sebuah petunjuk yang mengarahkan kita kepada Allah. Setiap relasi cinta, kalau berkembang dengan semakin mendalam, semakin pula merindukan keabadian dan keutuhan. Dua orang yang saling mencintai semakin rindu untuk memberikan diri secara menyeluruh satu kepada yang lain. Di sana akan muncul sebuah kerinduan akan sebuah relasi yang abadi. Namun, dalam kenyataan, kerinduan itu tak pernah terjawab tuntas, tersebab kita diciptakan sebagai mahkluk fana. Oleh karena itu, setiap cinta yang sungguh mendalam antar manusia, menunjukkan keterbatasannya yang tak terelakkan kepada suatu cinta yang sungguh total, lestari dan abadi yang menanam kerinduan tadi dalam cinta manusia yang terbatas itu. Kerinduan akan ke-tak-terbatas-an di dalam cinta yang terbatas menjadi suatu pengalaman tidak langsung mengenai adanya cinta tak terbatas, yakni Allah.

2.4. Pengalaman Batin
Secara pribadi di dalam batin kita, dapat kita temukan sekian banyak pengalaman yang menjadi tanda bagi kehadiran suatu kekuatan yang malampui diri kita sendiri. Kalau kita terbuka terhadap realitas ini dan memberikan tempat untuk kehadirannya, kita akan melihatnya sebagai kebesaran Allah. Suara batin kita juga bisa mengeskpresikan kenyataan ini. Ada banyak saat di mana kita ”ditegur” oleh suara batin untuk membebaskan diri dari perbuatan yang dikategorikan sebagai dosa. Suara batin ini juga mengarahkan kita untuk melakukan hal-hal yang baik. Suara-suara “baik” yang keluar dari kedalaman batin inilah yang kerap disadari sebagai “suara Allah”.

3. Teori Kulturkreislehre tentang Uhrmonotheismus dengan Wujud Tertinggi Orang Manggarai

Wilhelm Schmidt mengetengahkan teori Kultur Kreislehre yang mengatakan bahwa Uhrmonotheismus (Wujud Tertinggi) bukanlah perkembangan baru tetapi merupakan bentuk kebudayaan yang sudah sangat tua, yang tersebar di berbagai kebudayaan manusia. Namun bentuk kebudayaan yang sudah sangat tua itu tetap mengalami perkembangan sejalan dengan lajunya perkembangan zaman. Meskipun tidak ada perubahan mendasar pada bentuk aslinya. Wujud Tertinggi telah mengalami perubahan pada sebutan untuk mengekspresikannya.
Dalam masyarakat Manggarai, Wujud Tertinggi disebut dengan nama, seperti: Mori[n] (Tuhan), Mori[n] agu ngaran (Tuhan Dan penguasa), Mori Keraeng, Mori Sombang, dsb.
Pengaruh masuknya agama Kristen (khususnya Katolik) menyebabkan munculnya penyingkatan sebutan untuk Wujud Tertinggi. Jika pada zaman lampau penyebutan Wujud Tertinggi diungkapkan dalam bentuk yang panjang dan rumusan baku yang sulit jika dipadukan dengan kebiasaan praktis, maka zaman kini jarang digunakan, kecuali pada upacara-upacara adat yang memiliki ritus tetap.


4. Dimensi Keagamaan: Kepercayaan akan Wujud Tertinggi Dan Religiositas Orang Manggarai

4.1. Dimensi Iman (Kepercayaan)
Ivan Haryanto, et. al., dalam studi mereka tentang Agama Asli Manggarai menjelaskan bahwa terminologi iman dalam pemahaman asli Manggarai disebut imbi (percaya). Terminologi ini secara eksplisit menggambarkan relasi antara seseorang atau sekelompok orang dengan yang lain. Relasi ini terbentuk karena rasa percaya. Karena itu, imbi dipahami sebagai satu sikap percaya kepada sesuatu yang lain, baik orang-pribadi, kelompok maupun kekuatan lain. Dalam konteks religius, terminologi ini menggambarkan sikap dan keterarahan hati manusia kepada Wujud Tertinggi dalam agama primal orang Manggarai.
A. J. Verheijen dalam studinya menemukan bahwa teori Kulturkreiselehre tentang Uhrmonotheismus menemukan kebenarannya jika diaplikasikan kepada kehidupan religius orang Manggarai. Karena itu Verheijen membuat klasifikasi beberapa nama Wujud Tertinggi orang Manggarai, sebagai berikut:

4.1.1. Nama-nama untuk Wujud Tertinggi
1] Mori[n]: Tuhan Mori[n] agu Ngaran: Tuhan dan Penguasa, 2] Mori Keraeng: Tuhan Allah, 3] Mori Sombang:
Kata Mori berarti “tuan”, “pemilik”, “penguasa”. Tuhan diimani sebagai tuan, pemilik, penguasa atas kehidupan (de morin mose dite ho’o). penambahan sufiks –n menunjukkan fungsi gramatik, khususnya bentuk possessive. Demikian kata ngaran menekankan aspek “kuasa” Tuhan atas segala yang ada di bumi. Mori agu Ngaran adalah rumusan baku yang kerap dipakai dalam doa-doa resmi orang Manggarai, misalnya: “Hia te Morin agu ngaran tana lino ho’o” (Dia yang Empunya dam miliki bumi ini). Sedangkan sebutan Mori Keraeng adalah nama diriNya, “Mori Keraeng hitu muing ngasang wekin”.
Hampir di seluruh Manggarai, termasuk daerah Riung-Ngadha kita bisa menjumpai sebutan Mori Sombang untuk Tuhan. Pada mulanya nama ini dipakai dalam dongeng-dongeng Manggarai, yakni Karaeng Goa. Dia berkuasa atas Manggarai sebelum Bima. Barangkali sesudah pengaruh kekuasaan mereka lenyap, sebutan ini dipakai untuk Wujud Tertinggi, yang secara eksplisit bisa dilihat dalam buku nyanyian Gereja.

4.1.2. Nama untuk Wujud Tertinggi sebagai Pencipta:
1]Jari agu Dedek: Penjadi dan Pembentuk, 2]Ciri agu Wowo: Penjadi dan Pengacu, 3]Jari agu Wowo: Penjadi dan Pembentuk, 4]Jari agu Dading: Penjadi dan Pelahir.
Kata “Jari” berarti: menjadi, berhasil, berjalan baik. Kata Dedek dipakai untuk: membuat, membentuk. Menempa dan lain-lain. Kata ciri berarti menjadi, tumbuh menjadi, menjelma, mendapat bentuk” dan kata wowo berarti: menuang, mengacu, leburkan, lahirkan. Kata jari dan wowo memiliki arti yang sama dengan ciri agu wowo. Kata “dading” berarti: melahirkan, beranak. Kata ini diterapkan pada pria, misalnya: emá dading (ayah kandung).
Jika kita perhatikan dengan sungguh-sungguh, Tuhan dalam kehidupan orang Manggarai dilihat sebagai pencipta pertama [causa prima] segala sesuatu yang ada.

4.1.3. Paralelisme nama Wujud Tertinggi
1] Ame eta-Ine wa: Ayah di atas-Ibu di bawah, 2] Ronan eta mai-Winan wa mai: Suaminya di atas-Istrinya di bawah, 3] Tanan wa-Awang eta: Bumi di bawa, Langit di atas, 4] Wulang agu Leso: Bulan dan Matahari.
Sangat kentara dalam pemikiran orang Manggarai bahwa Tuhan adalah Dia yang memiliki segala sesuatu, yang melingkupi manusia dan seluruh ciptaan dengan kuasa dan kasihNya yang tak terhingga. Langit adalah tahta Allah, bumi adalah tumpuan kakiNya, bulan dan matahari adalah tanda kehadiranNya.


4.1.4. Nama Wujud Tertinggi sebagai mata angin:
1] Par agu Kolep: Timur dan Barat, 2]Ulun le-Wa’in lau: Hulu sungai, hilir sungai. Tuhan dilihat sebagai sumber kehidupan yang terbit di ufuk Timur dan tenggelam di ufuk Barat. Tuhan tetap setia, esensi Tuhan selalu begitu, sama seperti sumber air yang muncul di Utara dan mengalirkan kehidupan ke Selatan.

4.1.5. Nama-nama Lain:
1]Empo, 2]Sengaji, 3]Dewa.
Kata “empo” berarti: nenek moyang, kakek-nenek. Selanjutnya kata “empo” digunakan untuk semua orang yang kita segani. Tetapi kerap nama ini jarang digunakan untuk Wujud Tertinggi karena keterkaitannya dengan arti jamak yang bermakna ganda. Misalnya, kata yang sama bisa digunakan untuk roh halus, setan (empo poti mese-setan besar).
Sebutan “sengaji” memiliki arti yang mirip dengan kata “empo” dan diarahkan untuk penguasa. Dalam doa-doa kata ini jarang digunakan. Demikian halnya dengan kata “dewa” memiliki arti yang sangat fleksibel dan jarang digunakan. Rupanya kata ini bukan kata asli Manggarai.
Dari beberapa pemikiran tentang nama Wujud Tertinggi, terdapat sebuah silogisme spontan sekaligus eviden bahwa orang Manggarai percaya adanya Wujud Tertinggi, bahwa dunia ini pasti memiliki penciptanya, causa prima yang menyelenggarakan kehidupan dan tetap terlibat dalam seluruh perjuangan hidup ciptaanNya, termasuk manusia.

4.2. Dimensi Pengetahuan
Pada bagian terdahulu, kita sudah melihat kenyataan adanya pengakuan akan Wujud Tertinggi dalam kehidupan religius orang Manggarai. Muncul pertanyaan baru, “Bagaimana iman itu dilanjutkan kepada generasi berikutnya?” Dalam beberapa wawancara yang pernah kami buat terhadap beberapa tokoh adat, mereka memberikan jawaban atas dimensi pengetahuan ini dalam beberapa bentuk.
Pertama, pertanyaan akan eksistensi alam semesta. Pertanyaan ini menjadi pintu masuk untuk mengetahui sesuatu sekaligus menggugah kesadaran setiap orang Manggarai untuk mengakui bahwa ada “Sesuatu yang mengatasi kodrat manusia”. Pengetahuan ini bersifat spontan sebagai tuntutan rasional untuk mencari tahu sebab adanya sesuatu.
Kedua, Upacara-upacara komunal (pande adak). Dalam upacara-upacara komunal masyarakat, seperti Penti (upacara syukur panen), upacara kehamilan (lamba wakas) dan kelahiran (cear cumpe), upacara perkawinan, upacara kematian, upacara adat “lingko” (kebun komunal). Melalui upacara ini doa-doa didaraskan kepada Wujud Tertinggi. Para peserta mendengarnya, mengingat dan mengulangnya jika generasi tua sudah berpulang. Upacara-upacara adat komunal berfungsi sebagai “sekolah lisan” di mana tradisi diwariskan secara turun temurun.
Ketiga, Doa dan Lagu-lagu (Ngaji agu Dere). Bagi orang Manggarai memiliki arti jamak: tidak hanya terbatas pada fungsi menghibur tetapi lebih dari itu, lagu mempunyai fungsi pedagogis dan historis. Demikian halnya doa-doa yang diucapkan dalam pelbagai ritus adat komunal memiliki aspek ganda: terarah kepada Wujud Tertinggi tetapi serentak merupakan model bagi generasi yang akan menjadi penerus budaya. Bapak Petrus Jelalu dalam wawancara yang pernah dibuat Ivan Haryanto, et. al. menjelaskan, lagu yang dibuat untuk berbagai upacara sarat dengan ajaran iman. Misalnya lagu Sanda Lima biasa dinyanyikan dalam upacara penti. Dalam lagu ini terdapat beberapa permohonan berkaitan dengan lima kebutuhan pokok manusia: mbaru bate ka’eng (rumah tempat tinggal), natas bate labar (halaman bermain), wae bate teku (sumber tempat menimba air), uma bate duat (kebun tempat mengais rejeki) dan compang (tempat persembahan kepada Wujud Tertinggi).
Keempat, Nasihat atau Petuah (Go’et). ajaran tentang Wujud Tertinggi diterjemahkan dalam kebijaksanaan-kebijaksanaan lokal orang Manggarai dalam apa yang disebut Go’et yakni ungkapan, amsal, pepatah dan petuah. Nasihat-nasihat ini berbicara tentang kehidupan manusia dalam dua dimensi: vertikal dengan Wujud Tertinggi dan relasi horizontal dengan sesama dan alam lingkungan.
Misalnya go’et yang berbicara tentang relasi horizontal manusia: neka anggom le anggom lau, eme data, data muing, neka demeng data (jangan memiliki kekayaan karena merampas dan menggelapkan harta orang lain). Go’et ini berisikan ajaran bagi manusia dan masyarakat agar mengakui hak milik orang lain, mendapatkan kekayaan melalui cara yang halal, tidak mengklaim atau menggelapkan harta orang lain demi kekayaan. Selain itu, ada go’et yang berbicara tentang relasi horizontal dengan Wujud Tertinggi, misalnya, “neka beng agu Dedek, neka ngantit kamping Jari” (jangan takut dan ragu-ragu terhadap Tuhan yang menjadikan kita). Go’et ini merupakan ajakan bagi manusia untuk mendekatkan diri kepada Wujud Tertinggi lewat doa (ngaji). Selain itu go’et ini memiliki pesan agar manusia tidak mengabaikan doa (ngaji).
Kelima, Mitos dan Cerita Rakyat (Tombo Turku). Menurut Mircea Eliade, mitos tidak hanya sekedar pemikiran intelektual dan bukan pula hasil logika, tetapi terlebih merupakan orientasi spiritual dan mental untuk berhubungan dengan yang ilahi. Bagi masyarakat asli, mitos berarti suatu cerita yang benar dan ini menjadi milik mereka yang paling berharga, karena merupakan sesuatu yang suci, bermakna dan menjadi model bagi tindakan manusia, memberikan makna dan nilai bagi kehidupan ini. Mitos menceritakan bagaimana suatu realitas berkesistensi melalui tindakan mahkluk supra natural. Demikian halnya dengan peran dan fungsi mitos bagi orang Manggarai. Dalam bukunya, Verheijen mengumpulkan sejumlah mitos orang Manggarai tentang berbagai hal, seperti: awal mula bumi, manusia dan roh-roh: terjadinya bumi, pemisahan manusia dari “darat” [peri], nenek moyang yang dimakan “darat”, dsb. Tombo turuk merupakan kisah-kisah cerita yang bermuatan pedagogis dan memiliki unsur hiburan. Biasanya tombo turuk dikisahkan malam hari menjelang tidur. Orang tua sebagai pencerita (arrator) sering mengisahkan sebuah peristiwa yang tampak nyata dengan maksud memberikan petuah tertentu terhadap anak-anaknya. Selain itu, tombo turuk juga menjadi medan pergulatan tafsir atas kejadian aktual dalam masyarakat, entah pergulatan politis maupun sosial, budaya dan ekonomi. Kisah-kisah ini menjadi semacam kumpulan cerita pendek yang diungkapkan secara lisan dan diwariskan turun temurun kepada setiap generasi. Beberapa cerita pendek yang cukup dikenal seperti: Timung Te’e (Mentimun Matang), Empo Poti Mese (Setan Jahat), Lanur , Pondik, Anak Kalok (Anak Yatim), dsb.

4.3. Dimensi Praktek: Pelbagai Ritus Dan Peruntukkannya
Ulasan kita tentang relasi yang sangat dekat antara orang Manggarai dengan Wujud Tertinggi terjalin melalui pelbagai ritus yang memiliki tujuan dan maksud yang khas. Sejak manusia dikandung dalam rahim ibu hingga mati, orang Manggarai memiliki ritus adak tertentu. Beberapa ritus itu antara lain: ritus Lamba Wakas dan Jambat (saat kehamilan), Weda rewa tuke mbaru (saat peminangan), Kelas (kenduri) dan lain-lain. Hal sama ketika orang Manggarai mengerjakan kebun, ritus-ritus dibuat mulai dari pembukaan kebun baru (lingko-tanah persekutuan komunal) sampai pada upacara syukur panen: upacara pemancangan “Teno” oleh Tu’a Teno (kepala kampung urusan pembagian tanah komunal) pada saat pembagian tanah lingko, upacara Kalok/Weri/Wa’u wini (saat musim menanam) sampai “penti”. Dalam pelbagai ritus itu, doa-doa dan lagu-lagu dipanjatkan kepada Wujud Tertinggi, entah permohonan pun ucapan syukur. Hubertus Leteng dalam skripsinya tentang doa asli Manggarai menjelaskan bahwa doa sebagai ekspresi iman dalam agama asli orang Manggarai dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian, yakni: berdasarkan ciri-ciri, intensi dan pelaksana atau pelaku.
1] Ciri-ciri : Ciri Teosentris. Dalam doa-doa asli nama Wujud Tertinggi disebut secara eksplisit. Kepada Dia-lah doa-doa dilambungkan. Ciri Mediasi: Para leluhur dipercayai sebagai perantara. Karena itu nama leluhur disebut dalam doa. Ciri sosial: doa-doa asli tidak hanya mementingkan diri sendiri tetapi juga orang lain, komunal dan keutuhan seluruh ciptaan. 2] Intensi: ada dua macam doa yakni doa permohonan dan doa syukur. Ketika memulai musim tanam orang Manggarai akan mempersembahkan babi atau ayam kepada Wujud Tertinggi dan leluhur agar kiranya Wujud Tertinggi berkenan memberkati benih (wini) yang akan ditanam. Ritus yang sama dibuat pasca panen. 3] Pelaksana atau pelaku: Doa-doa asli Manggarai dari aspek pelakunya dibagi dalam dua kelompok: Pertama, doa pribadi. Dalam menghadapi berbagai pengalaman, entah kecewa maupun gembira orang Manggarai memiliki tanggapan dan jawaban atasnya. Salah satu bentuk tanggapan dan jawabannya ialah melalui doa pribadi. Doa-doa pribadi ini biasanya singkat, spontan, terbuka dan jujur. Doa-doa seperti ini biasanya disebut “Keng” atau “Wada agu Gesar”. Misalnya seorang yang sedang mengalami sakit berat akan berdoa, “Mori, ba’eng koe mendim ho’o…” (Tuhan, kasihanilah hambaMu ini…). Kedua, doa bersama. Doa bersama terjadi dalam ritus-ritus komunal dalam berbagai kesempatan, misalnya: ritus Simo Le’as / Rames Le’as yang merupakan upacara pemulihan ketika seorang ibu mengalami keguguran. Maksud ritus ini ialah supaya Wujud Tertinggi dan roh leluhur memulihkan kesehatan jasmani-rohani ibu yang bersangkutan dengan harapan tidak terjadi keguguran lagi. Doa bersama juga dapat terjadi dalam ritus Kelas, Penti, dsb. Terminologi yang biasa dipakai dalam ritus-ritus komunal adalah “Tudak” yang disampaikan oleh “Ata Peci” [pribadi yang memiliki kharisma spiritual yang biasanya terdapat pada Tu’a Golo ataupun ata mbeko-dukun].

4.4. Dimensi Pengalaman Keagamaan
Menurut Edward Schillebeecks, pengalaman berarti seseorang bertemu langsung dengan sesuatu obyek dan belajar melalui pertemuan itu. Melalui pertemuan langsung itu kita mengenal obyek-obyek yang kita alami, kita memperoleh pengetahuan langsung tentang obyek itu. Namun pengalaman seperti itu tidak pernah “murni” dalai arti bahwa semata-mata obyek itu menyatakan diri kepada subyek yang mengalami. Seseorang bisa mengalami sesuatu melalui interpretasi atas obyek itu. Interpretasi itu berlangsung dalam pengalaman manusia sendiri.
Orang Manggarai memiliki pengalaman akan Wujud Tertinggi. Mereka tidak pernah mengatakan bahwa pernah berhadapan muka dengan Wujud Tertinggi. Meskipun ada ata mbeko yang mengasosiasikan mimpi tertentu sebagai pertemuan dengan Mori Keraeng dan pernyataan diriNya yang intens kepada mereka. Tetapi semua orang Manggarai mengakui bahwa mereka mengalami kehadiranNya dalam peristiwa hidup harian mereka. Itulah sebabnya, lahir berbagai nama Wujud Tertinggi yang dianalogkan dengan alam-kosmos, bentuk doa, ritus-ritus pemulihan, dan go’et yang mengekspresikan kedekatan yang relasional-intim antara orang Manggarai dengan Wujud Tertinggi.
Kehadiran “ata pecing” atau “ata mbeko” sangat penting dalam menafsir kehendak Yang Ilahi. Jika terjadi kemalangan komunal berupa berbagai penyakit, bencana alam, kematian yang irrasional, ata pecing memiliki tugas untuk mencari sebab-musabab dan menemukan solusinya. Peran ata pecing sangat menentukan dalam berbagai segi kehidupan: religius, social, politik, ekonomi dan budaya. Revelasi diri dan kehendak dari Mori Keraeng dinyatakan lewat “nipi” [mimpi] dari ata pecing. Ata pecing ini menyampaikan maksud de Morin agu Ngaran kepada orang yang untuknya revelasi itu ditujukan.

4.5. Dimensi Sosial Keagamaan
Iman Dan kepercayaan akan Wujud Tertinggi orang Manggarai memiliki dimensi sosial. Iman itu tidak hanya bermakna, meminjam istilah Filsafat, “in se” (dalam dirinya sendiri), tetapi juga mempunyai “per se” (untuk sesuatu yang lain). Sebab jika iman itu tidak berbicara dan terkait dengan kehidupan real, maka iman itu nirmakna. Ada beberapa dimensi sosial yang saya temukan antara lain:
Pertama, Iman dan kepercayaan akan Wujud Tertinggi dalam diri orang Manggarai membuat mereka merasa yakin dan pasti bahwa mereka adalah anak-anak dari Mori agu Ngaran. Keyakinan itu begitu kuat sehingga menimbulkan pengharapan untuk kelak bersatu dengan seluruh arwah leluhur dalam kebersamaan dengan Mori Keraeng. Tetapi untuk bisa tinggal bersama Dia, orang Manggarai, baik secara privat maupun komunal, mesti memiliki sikap hidup yang baik, kepercayaan yang utuh pada Mori Jari Dedek dan kesetiaan untuk mentaati laranganNya. Kerinduan untuk bersatu dengan Mori agu Ngaran inilah yang membuat orang Manggarai pada zaman lampau lebih dominan mengarahkan dirinya kepada kebaikan.
Kedua, orang Manggarai memiliki berbagai norma dan aturan yang diyakini sebagai jalan untuk mencapai kebahagiaan kelak [mose tedeng len]. Berikut ini ada beberapa norma umum. 1] Relasi antara pria Dan wanita. Aturan relasi pria-wanita sangat ketat. Sebagai contoh: mengintip perempuan yang sedang mandi disebut “loma lelo” [pemerkosaan dengan cara melihat]. Atau barangsiapa yang ketahuan melakukan “jurak” [incest] diberi hukuman paling berat. Jika hal ini terjadi, maka akan dibuat upacara pemulihan yang disebut “oke jurak” atau “doro rekes”. Dalam upacara ini disembelih kerbau putih sebagai hewan korban penyilihan dosa dan mohon ampun dari dosa lewat “songgo”[doa pemulihan]. 2] Relasi dengan orang yang lebih tua dan orang yang lebih muda. Orang-orang muda berkewajiban mematuhi perintah orang-orang tua. Demikian halnya relasi antara pemimpin adak [tu’a golo] dengan anggota masyarakat [sangged lawa wan koe, etan tu’a]. dari orang muda dituntut ketaatan dan dari orang tua dituntut sikap hidup yang baik, tutur kata yang sopan, berkualitas, bijaksana, dan patut dipanut.
Ketiga, orang Manggarai dan keluarga. Konsep tentang Wujud Tertinggi mempunyai dampak yang luas, termasuk relasi antar sesama. Keluarga sebagai institusi masyarakat terkecil sangat diperhatikan. Dalam relasi dengan orang tua [kandung], seorang anak melihat mereka sebagai “mori kraeng ata ita le anak” [Tuhan yang kelihatan]. Karena itu bersikap kasar terhadap orang tua dilarang. Sebaliknya, anak adalah “wae tuka de Morin agu Ngaran” [benih Tuhan dan Pemilik] yang harus diperhatikan oleh orangtua. Memukul orangtua dan menelantarkan anak-anak adalah perbuatan tercela.
Keempat, orang Manggarai dengan sesamanya [keluarga dekat dan semua orang lain]. Dengan “Hae Wa’u”- “Ase Ka’e” [kakak-adik, sepupu] hubungan diwarnai oleh persahabatan kental. Mereka harus saling mendukung satu sama lain. Itulah sebabnya, urusan “laki” atau “wai” [peminangan] dan berbagai urusan keluarga dijalankan secara bersama-sama sebagai tanggungan keluarga besar. Ada juga yang disebut dengan “Anak Wina-Anak Rona” yakni hubungan yang terjalin karena perkawinan. Keluarga mempelai laki-laki disebut: anak wina, sedangkan keluarga anak perempuan disebut: anak rona. Anak rona memiliki kewajiban untuk membayar belis dan sida kepada anak wina dalam urusan kematian, pernikahan, dan urusan adat lainnya dari anak rona.
Ikatan kekerabatan tidak hanya dibangun berdasarkan hubungan darah, tetapi juga asal [cama beo-satu kampung-asal]. Orang Manggarai merasa memiliki kewajiban untuk saling memperhatikan sesama asal di manapun mereka berada. Biasanya, orang-orang seasal dianggap sebagai “saudara” [ase-ka’e, cama tau] di tempat perantauan [tanah mbeot]. Mereka yang tiba lebih dahulu [ngo te kolo] menyiapkan tempat bagi mereka yang datang kemudian [cai musi]. Orang-orangtua menitipkan pesan supaya yang lebih tua menjadi pendamping bagi mereka yang muda. Secara inplisit, otoritas orangtua diserahkan kepada mereka yang dipercayai itu. Mereka biasa mengatakan, “Nana, jaga di’a-di’a asem ho’o. Reweng dite, reweng dami” [Jagalah adikmu ini, kami menitipkan suara kami padamu].

5. Mori Jari-Dedek: Tuhan yang Hidup dan Terlibat
Bagi orang Manggarai, kehadiran Mori Keraeng memiliki arti yang sangat besar. Mori Keraeng adalah Tuhan bagi manusia dengan segala kenyataannya. Ia menciptakan, menjaga, memelihara kehidupan dan menjamin “mose tedeng len” (kehidupan kekal hingga keabadian). Dari manusia dituntut kesetiaan untuk mengikuti kehendakNya, menjaga relasi yang harmonis dengan diri sendiri, sesama dan lingkungan.
Mori Keraeng adalah Tuhan yang hidup. Karena itu, menyadari segala kerapuahan dan kelemahannya, manusia mesti memiliki intensionalitas batin, pikiran, perkataan dan perbuatan kepadaNya. Sikap inilah yang membuat orang Manggarai yakin bahwa Mori Jari-Dedek hadir aktual, di sini, saat ini dalam diri orang-orang yang berbuat baik. Kerap ada ucapan, “Tuhan ada padamu” [One ite nai de Morin] bila ada yang cara hidupnya baik.

6. Yesus Kristus: Sebuah Pencarian Keterkaitan Wujud Tertinggi orang Manggarai Dan Kharisma Karmel

6.1. Panggilan Karmel: Mengikuti Yesus, Mengakui Eksistensi Allah Dan Mengalami bahwa Ia sungguh Hidup Dan Terlibat

Kita sudah melihat uraian tentang Wujud Tertinggi orang Manggarai. Menelusuri jejak Allah dalam iman dan kepercayaan primal orang Manggarai, satu kenyataan yang bisa ditemukan dalam rumusan “doktrinal iman” mereka ialah bahwa Mori agu Ngaran, Mori Jari Dedek, Mori Keraeng dengan berbagai sebutan tidak memiliki putera [anak]. Inilah jalan yang bisa menjadi sebuah “uma cumang tau” [lahan yang mempertemukan] ajaran Kristiani-iman primal orang Manggarai. Sedangkan hal-hal yang tidak sulit dipertemukan ialah gagasan tentang “ketunggalan” Allah. Meskipun “Yang Ilahi” orang Manggarai disebut dengan gaya parallelisme, Mori Keraeng tetaplah satu pribadi [monotheismus]. Lalu bagaimana bisa dihubungkan dengan kharisma dan spiritualitas Karmel?
St. Albertus, dalam Prolog Regula, menulis,
“Berulang kali dan dalam pelbagai cara para Bapa Suci menentukan bagaimana setiap orang, dalam serikat manapun ia hidup atau cara hidup apapun yang dipilihnya, harus hidup taat kepada Yesus Kristus dan setia mengabdiNya dengan hati yang suci dan hati nurani yang murni”.
Menurut alur gagasan ini, pernyataan di atas pada gilirannya bermuara pada suatu komitmen untuk mengikuti Yesus, karena pada hakekatnya kita dipanggil untuk mengikuti Allah dan mengambil bagian dalam persekutuan Trinitas.
Persatuan dengan Allah merupakan arah dan tujuan hidup setiap pengikut kharisma Karmel. Persatuan itu kerap disebut “pengalaman kontemplasi” yang digambarkan Konstitusi sbb:
Kontemplasi adalah perjalanan batin para Karmelit, yang timbul karena prakarsa bebas Allah. Pengalaman itu menyentuh dan mengubah kita. Pengalaman kontemplasi membimbing kita kepada persatuan denganNya yang dialami dalam cinta, mengangkat kita sehingga kita dapat menikmati cintaNya yang diberikanNya dengan cuma-cuma serta hidup di hadiratNya dengan penuh cinta. Kontemplasi merupakan suatu pengalaman akan cinta Allah. Pengalaman itu begitu kuat sehingga memiliki daya yang mengubah. Cinta yang sama memiliki kekuatan untuk mengosongkan pola pikir, cinta dan perilaku manusiawi kita yang terbatas dan tak sempurna, pada gilirannya mengubahnya menjadi ilahi.
Persatuan dalam cinta dengan Allah! Sebuah pernyataan yang menjadi muara dari kontemplasi. Namun untuk sampai pada kontemplasi ini, ada ‘jembatan” [letang-temba] yang coba dibangun sebagai “alat bantu”, yakni berupa tiga kharisma dasariah: doa, persaudaraan dan pelayanan .
Pertanyaan yang perlu diajukan kepada kita ialah: 1] Apakah kita sungguh mengalami bahwa Allah hidup dalam doa-doa kita? Apakah doa-doa dan relasi yang kita bangun dengan sama saudara, merupakan ekspresi dari “intimitas” dengan Allah? Apakah pelayanan yang kita berikan merupakan “suatu kesadaran” akan kehadiran Allah yang ada dalam diri sesama, yang membutuhkan uluran tangan kita? 2] Jika Allah sungguh-sungguh terlibat dalam Doa, Persaudaraan dan pelayanan kita, perlu dipertanyakan: Allah macam manakah yang kita imani? Model-model kualitas dominan yang kita hayati sangat mempengaruhi cara hidup, pola pikir serta tutur kata kita. 3] Dari pengalaman orang Manggarai akan kehadiran Allah yang hidup dan terlibat dalam kenyataan historis, aktual dan masa depan, kita menemukan suatu keyakinan bahwa keharmonisan hidup merupakan pilihan yang tak terelakkan. Muncul pertanyaan: Ketika situasi menjadi disharmonis karena ke-chaos-an, mampukah kita, sebagai orang yang percaya bahwa Allah hidup dan terlibat dalam diri kita, menjadi pribadi yang memberikan keyakinan bahwa Ia sungguh ada dalam diri kita?

6.2. Peran Mediasi Insan Beriman di Tengah Dunia: Ata Pecing [Penafsir] versus para Pengikut Kharisma Karmel.

Orang Kristen adalah murid Kristus, yang telah dipilih dan kemudian diutusNya ke tengah dunia. Kita menjadi seperti Petrus, mengantarai Kerajaan Surga dengan dunia. Dalam kepercayaan agama primal Manggarai, “Ata Pecing” memiliki peran sangat penting. Merekalah yang menyampaikan kehendak Mori Keraeng kepada anak-anakNya. Dalam diri mereka ada kekuatan yang diasalkan pada kekuatan Mori Keraeng. Mereka memiliki kemampuan untuk menyembuhkan, memohon sesuatu untuk masyarakat adak-komunal, menjadi mediator bila terjadi kesalahan publik masyakat adak. Dia menjadi perantara antara Mori agu Ngaran, Jari Dedek. Masyarakat yakin akan kemampuannya yang diperoleh karena relasi khusus dengan Yang Ilahi.
Orang Kristen beriman kepada Allah. Iman itu memungkinkan dia disebut mahkluk rohani (kaum religius). Kata “religius” mengandung makna kedekatan dengan Allah. Imam, Bruder, Frater, Suster dan awam adalah “orang-nya Allah”[man of God, ata de Morin], “dekat dengan Allah” [ruis agu Morin] dan bahkan “Alter Christi”. Benarkah orang Kristen sudah hidup seperti itu?
Membaca Berita Karmel, saya terkesan dengan tulisan Rm. Krisna Aji O.Carm yang memberikan catatan tanggapan atas Pertemuan Karmelit Muda. Rm. Krisna kira-kira menulis begini:
Saya ingin bertanya kepada Anda, kita semua. Apakah yang saudara usulkan sebagai usulan brilian, misalnya: tentang hidup doa, ini merupakan usulan yang masih angan-angan atau usulan yang memang Saudara hidupi? Keduanya membawa hasil, akibat yang berbeda. Kalau usulan saudara masih terbatas pada angan-angan; saya ingin seorang Karmelit itu dalam hidup doa begini dan bukan begitu, maka kalau usulan saudara dijadikan keputusan dalam Kapitel, berlaku untuk semua, tidak akan jalan. Begitu diputuskan kita semua bingung. Berbeda kalau usulan brilian Saudara berasal dari hidup saudara-saudara maka bila diumumkan langsung ditanggapi. Mengapa? Karena hidup doa merupakan hidupnya. Melakukan dengan lebih mantap apa yang sudah dilakukan, dihidupi…hidup doa kita jadikan hidup sehari-hari…dalam hidup persaudaraan melatih untuk menjadikan hidup Yesus Kristus sendiri sebagai hidup kita. Mencintai dalam wujud mengampuni….melatih diri menjadi miskin. Kalau minus-mata bertambah, berani hanya mengganti lensanya saja, frame-nya tetap….
Sebagai insan beriman, hidup kita adalah keseharian dalam usaha mencari Allah dan upaya ditemukan Allah. Dari perjalanan sejarah Ordo Karmel kita melihat perjalanan panjang pergumulan itu. Konstitusi menulis, “…kontemplasi juga mempunyai nilai injili dan gerejawi. Praksisnya bukan hanya sumber hidup rohani kita, melainkan juga menentukan mutu hidup persaudaraan dan pelayanan kita di tengah umat Allah”. Hal ini berarti bahwa kontemplasi harus mempunyai buah, yakni cinta kasih dalam pelayanan dan hidup bersaudara dengan sesama manusia. Hidup yang telah ditransfomasikan kepada cara hidup Yesus sendiri adalah inti dari peziarahan kita insan beriman.
Pertanyaan untuk kita: 1] Sejauh mana kita telah menampakkan sikap transformatif itu dalam hidup pelayanan kita, sehingga orang-umat Allah sungguh yakin bahwa kita adalah mediator, orang dekat Allah, murid Kristus? 2] Dalam kenyataan dunia yang penuh kegelisahan ini, mampukah kita hadir sebagai “pengantara” yang memberikan jalan keluar terbaik bagi persoalan yang ada seturut kompetensi kita sebagai kaum religius?

7. Penutup
Hingga saat ini kita dijejali dengan konsep Wujud Tertinggi orang Manggarai yang memandang Mori Keraeng sebagai Wujud Tertinggi yang sungguh hidup, ada dan terlibat dalam keseharian hidup mereka. Dalam ‘imbi’ itulah mereka hidup dan berjalan mencapai persatuan denganNya.
Pada bagian kedua, saya coba menarik “benang merah” sebagai usaha mencari keterkaitan antara spiritualitas Kristen, khususnya Kharisma Karmel dan Wujud Tertinggi. Persatuan dengan Allah dalam Kontemplasi yang bermuara dalam kehidupan real [praksis] adalah buah terindah dari hidup yang telah ditransformasikan ke dalam hidup Allah sendiri.***



REFERENSI

BUKU-BUKU:

Kirchberger. Georg, Allah: Pengalaman dan Refleksi dalam Tradisi
Kristen. Maumere: LPBAJ, 2000
Eliade. Mircea, Patterns in Comparative Religion. London-New
York, 1958.
_________, The Sacret and the Profane. New York, 1961
_________, Myths, Dreams and Misteries: The encounter between
contemporary faiths and archaic realities. New York, 1967.
_________, Myth and Reality. London: George Allen & Unwin LTD,
1964.
_________, Images and Symbols, Studies in Religious Symbolism.
New York: A Search Book, Sheed & Ward, 1969.
_________, The Two and The One. London: Harvill Press, 1965.
Distar. Nico Syukur, Pengalaman Dan Motivasi Beragama [Jakarta:
Lapennas, 1982
Hemo. Dorotheus, Ungkapan Bahasa Daerah Manggarai Provinsi
NTT [Ruteng: 1990.
Toda. Damian N., Manggarai Mencari Pencerahan Histriografi.
Ende: Nusa Indah, 1999.
Verheijen. A. Jilis, Manggarai Dan Wujud Tertinggi [Jakarta: LIPI-
Uthctrect-RUL, 1990
Yassin. H.B., Chairul Anwar Pelopor Angkatan 45. Jakarta: Gunung
Agung, 1985


ARTIKEL DAN MANUSKRIP:

Decky. Teobald kanisius, “Konsep Tentang Wujud Tertinggi Pada
Suku Manggarai Dan Teori Kulturkreiselehre Menurut
Wilhelm Schmith”, Kuliah Antropologi Budaya. STFK
Ledalero, 1998
____________“Sejenak di Padang Gurun” dalai: Berita Karmel, No.
November , 1998.
Ivan Haryanto, et. al., “Agama Asli Manggarai”, sebuah studi yang
dipresentasikan dalam: Kuliah Perbandingan Agama, di
Ledalero 25 November 2003
Hubert Leteng, Pr, “Percikan Kristiani Dalam Doa-doa Asli
Manggarai”, Skripsi [STFK Ledalero, 1985
Krisna O.Carm, “Menggelitiki Karmelit Muda” dalam: Berita
Karmel, No. 259-Juli 1999
Stark dan Glock, “Dimension of Religious Commitment”, dalam:
Roland Roberson [ed.], Sociology of Religion. Baltimore:
Penguin Books, 1971.
Buku Nyanyian Dere Serani. Sekpas Keuskupan Ruteng, 1980



***

0 komentar: