Jumat, 12 Maret 2010

Prophete du sens

Kanisius Teobaldus Deki, M.Th
Pengajar STKIP St. Paulus, Direktur Lembaga Pendidikan & Kajian Demokrasi

“Berita gembira! Telah terpilih uskup Ruteng yang baru Romo Dr. Hubert Leteng Pr.” Demikian sebuah short message service (SMS) masuk ke ponselku. Aku memperhatikan kalender dan jam dinding, hari itu, Sabtu 7 November 2009, pkl. 19.00. Spontan aku berkata “syukur Tuhan!” Beliau terpilih untuk menggantikan Mgr. Eduardus Sangsun, SVD yang meninggal dunia 13 Oktober 2008 lalu. Berita ini tentu sangat menggembirakan umat Katolik, khususnya di Keuskupan Ruteng karena adanya tahta lowong sejak 13 Oktober 2008. Penantian yang cukup lama ini disambut dengan kegembiraan yang penuh. Di setiap paroki diumumkan tentang terpilihnya Doktor Spiritualitas ini sebagai uskup Ruteng yang baru.


Dalam rasa gembira yang meluap-luap, ingatanku berpulang pada hari-hari kuliah tahun 2004. Seorang laki-laki paro baya memasuki pelataran parkir STFK Ledalero. Dari lantai dua mata kami terus mengikuti langkahnya menuju tangga kampus. Langkah tegap yang disertai senyuman setiap kali berpapasan dengan mahasiswa. Tegap, berwibawa serta sederhana, adalah tampilan yang tak pernah alpa dari kepribadian seorang Hubert Leteng. Cara pikir, tutur kata dan sikap yang bersahaja adalah ekspresi kental yang menjadi cirinya. Begitulah, setiap kali kami disuguhi kuliah Spiritualitas Imamat. Ada diskusi hangat yang kontekstual. Tak kurang kepiawaiannya dalam menjawabi pertanyaan mahasiswa Pascasarjana. Lebih dari semua itu, pandangannya yang tetap teguh berhadapan dengan kecenderungan modernitas yang seolah terakui secara otomatis tanpa sikap kritis.
Seraya mengutip dokumen Pastores Dabo Vobes ia berulang menandaskan tentang fokus pelayanan para imam sebagai pihak yang dipanggil untuk hidup bersama dengan orang lain, bukan dalam keterpisahan, sebab esensi panggilan mereka, selain “ada” yang berasal dari Allah (man of God), juga sekaligus “ada” untuk sesama (man for others) dalam bingkai cinta kasih pastoral. Panggilan kepada cinta kasih pastoral memiliki dimensi sosial (social dimension) yang mau tidak mau harus berhadapan dengan sesama. Sebab, jikalau ia hadir hanya untuk dirinya, maka panggilannya menjadi nirmakna (meaningless). Dalam perjalanan pelayanannya di tengah masyarakat kampus dan Seminari Tinggi, Hubertus tidak hanya menjadi seorang tokoh spiritual tetapi juga imam-teolog yang menginterpretasi kehidupan secara kreatif. Dan kini, beliau menjadi gembala umat untuk keuskupan Ruteng!
Membaca konteks Manggarai Raya (Timur, Tengah & Timur) yang masih dililiti kemiskinan, pertanyaan yang perlu diajukan ialah praksis pastoral macam mana yang perlu dilakukan Uskup baru ini? Pertanyaan ini adalah sebuah stand point untuk menentukan kiblat pastoral di daerah yang mayoritas penduduknya adalah petani sederhana dan masih dibeliti persoalan kemiskinan.
Ada secuil kegalauan membaca peta yang terkuak secara inplisit dari persiapan tahbisan ini. Pertama, soal komposisi panitia tahbisan. Tak dapat disangkal, ketua umum dan ketua pelaksana adalah orang jajaran atas di lingkup Pemkab Manggarai. Pertanyaan yang muncul ialah: Apakah pemilihan ini tidak akan menjebak sang gembala ke rimba persekongkolan antara altar dan kuasa? STFK Ledalero juga mengingatkan hal ini sebagai sikap kritis yang harus dihiraukan. Kedua, soal tempat. Panitia sepakat untuk memilih Lapangan Motang Rua. Pertanyaan yang spontan menyeruak masuk ialah: Mengapa kita tidak memanfaatkan Katedral nan megah dengan pelatarannya yang luas? Lapangan ini berada di tengah kekuatan modal (toko-toko, pasar) dan kekuatan kuasa (kantor Pemkab). Kalau peristiwa mulia ini terjadi di Katedral, selain penegasan eksistensi, juga mengurangi biaya. Ini adalah perayaan umat-rakyat. Maka pesta dirayakan seadanya, namun sakral, serentak menghargai kemiskinan dan kepapaan umat-rakyat Manggarai. Dengan demikian, tak perlu menghambakan diri pada pemilik modal dan penguasa (donor sukarela di pentas jelang Pilkada) untuk meminta sesuap nasi di acara resepsi.
Ada dua jawaban yang bisa diberikan. Pertama, secara teologis, gereja harus keluar dari sikap eksklusivitasnya. Ia harus berada di lapangan dunia ini. Bahasa Injilnya, “menjadi garam dan terang dunia” (Mat 5:13-16). Bahwasannya, Allah hadir di mana saja Ia mau. Modal dan kuasapun, karenanya, bisa disakralkan. Ini maksud yang sangat positif. Kedua, bisa jadi mengisyaratkan bahwa Gereja sendiripun menyerahkan diri dikepung oleh kekuatan lain dan takluk-tunduk padanya seperti kenyataan yang dirasakan oleh umat Manggarai selama ini. Jika ini yang menjadi spirit, maka uskup baru sudah dibawa ke tempat pembantaian secara metodologis-sistematis-sadar sebelum memainkan jurus reksa pastoral yang profetik!
Menurut Paul Ricoeur (Borgias, 2009: vi), seorang teolog, pemimpin umat atau orang beriman harus bisa menjadi prophete du sens, nabi yang mewartakan atau menegaskan arti kehidupan. Seorang teolog-pemimpin umat adalah seorang yang berani mewartakan atau menegaskan arti kehidupan. Seorang teolog adalah seorang yang berani menggerakkan dirinya dalam alur triadik berteologi yakni going in, coming back dan going in between. Dengan membawa tradisi kristiani yang dianutnya, seorang teolog harus masuk ke dalam konteks (going in) untuk belajar dari konteks. Oleh pengalaman dalam going in, seorang teolog mesti juga berani untuk melakukan coming back (kembali ke tradisi Kristen) dan mengkonfrontir kenyataan konteks dengan tradisi Kristen. Buah dari sebuah coming back memungkinkan teolog-pemimpin umat untuk bergerak di antara (going in between), menjawab kenyataan-kenyataan konteks dengan tradisi Kristen yang relevan.
Mgr. Hubertus, dalam kesahajaannya adalah pribadi yang dekat dengan harapan Ricoeur. Dia adalah man of God serentak man for others dalam kesadaran sebagai ens sociale (mahkluk sosial) dan homo religiosus (mahkluk rohani). Bisa jadi ia sebagai yubilaris tak bisa berkata dan berkomentar tentang persiapan penahbisannya. Tapi kita, umat-teolog-rakyat Manggarai, diberi kesempatan yang sama untuk menjadi prophete du sens. Belajar dari konteks sejarah masa lalu untuk menegaskan diri sebagai nabi yang tetap independent dan memiliki otoritas dalam ajaran dan tindakan yang benar. Itu adalah hasil pertautan dari going in, coming back dan going in beetwen. Sebuah racikan untuk menemukan kembali jati diri gereja Manggarai dan visinya di tengah dunia yang sedang kalap dan rancu. Bahkan kalau itu harus berlawanan dengan pemilik modal dan penguasa.***

(Dimuat di Suara Nuca Lale)

0 komentar: