Jumat, 26 Maret 2010

Gereja Dialog di Manggarai

Permenungan Jelang Tahbisan Uskup Ruteng

Kanisius T. Deki, M.Th

Sejak gema Konsili Vatikan II bergaung hingga ke seluruh pelosok dunia, Gereja lokal Manggarai semakin menyadari perlunya menghargai kebudayaan asli masyarakat setempat. Bahkan muncul berbagai usaha inkulturasi, dialog antar agama dan gerakan pembebasan dalam teologi. Melalui upaya-upaya ini muncullah dialog multi sektor, yang oleh Uskup se-Asia menyebutnya sebagai “dialog rangkap tiga”. Komunitas-komunitas Kristiani menjadi sadar bahwa mereka dapat dengan sungguh-sungguh membangun sebuah Gereja lokal Manggarai yang otentik kalau terjadi dalam proses dialog terus menerus dengan kebudayaan-kebudayaan, agama-agama, pengalaman-pengalaman aktual dalam aktivitas ekonomi, sosial dan politik orang Manggarai.


Dalam dialog yang mengedepankan lonto leok, terdapat komunikasi timbal balik antara kedua pihak atau bahkan dengan lebih banyak pihak. Sebagaimana tradisi sastra lisan menghidupkan berbagai bentuk ungkapan persaudaraan dan mencari keterjalinannya, demikian pula Teologi Relasi Manggarai berusaha menghubungkan warta keselamatan Yesus Kristus dalam dialog yang aktif dengan kehidupan aktual. Semangat dialog ini harus menjadi pilihan pertama dalam menyelesaikan konflik horizontal maupun vertical yang telah melanda Manggarai dari waktu ke waktu. Berhadapan dengan situasi seperti ini, pengembangan relasi yang dialogal merupakan suatu keniscayaan. Pada tahap ini, dialog bukan lagi sarana evangelisasi, melainkan evangelisasi itu sendiri. Ketika Gereja Manggarai mengembangkan relasi yang dialogal ini, terdapat kurang lebih empat hal yang harus jelas dan menjadi kesadaran bersama, yakni hakikat dari dialog, alasan-alasan untuk berdialog, kondisi-kondisi yang memungkinkan dialog dan model-model dialog yang efektif. Dialog rangkap tiga: dengan kebudayaan, agama-agama dan situasi kemiskinan serta ketertindasan merupakan jawaban yang tepat untuk semakin memahami Gereja lokal Manggarai dan menawarkan pendekatan pastoral yang sesuai dengan konteks mereka.
Konsekuensinya jelas. Gereja tidak lagi dimengerti sebatas mimbar sekaligus pusat yang merupakan kiblat umat. Gereja adalah kehidupan umat itu sendiri yang harus disucikan terus menerus oleh perjuangan mencapai keselamatan. Gereja adalah medan perjuangan di mana mereka berusaha mengaplikasikan nilai-nilai kristiani dalam hidup konkret. Dengan demikian, Gereja bukan lagi lembaga yang menghasilkan berbagai dokumen iman, melainkan tempat pengalaman iman didialogkan, dibagikan sebagai santapan rohani. Pejabat-pejabat Gereja adalah penghubung yang sanggup membahasakan kebutuhan real umat. Gereja karenanya tidak berarti singular. Sebagai sarana keselamatan yang berziarah menuju Allah, Gereja adalah umat Allah yang mendengarkan Sabda dan mengikuti kehendakNya. Umat Allah yang berbicara di rumah-rumah Gendang, di kebun-kebun, di depan kantor DPR, di halaman kantor Bupati tentang masa depan bersama yang berorientasi kepada keselamatan Yesus Kristus adalah juga Gereja yang diilhami oleh Roh Kudus. Jadi, tempat bukan soal lagi, karena di manapun umat-rakyat dapat berdialog dengan sesama saudaranya dalam namaNya, di situ Allah hadir.***

Selengkapnya...

MENJADI GEREJA PEMBEBAS

Permenungan Jelang Tahbisan Uskup Ruteng

Kanisius Teobaldus Deki, M.Th

Tekanan kolonialisme masa lampau masih terbaca dalam kecemasan-kecemasan orang Manggarai menghadapi tantangan hidup aktual masa kini. Mereka sudah terbiasa menghadapi pengalaman kekerasan, penindasan dan ketidakadilan struktural yang dipaksakan. Dalam situasi seperti ini, mereka sangat mengharapkan terciptanya situasi pembebasan dari keterbelengguan multiwajah. Ketika suara mereka tidak didengarkan oleh penguasa, tatkala hak-hak mereka tak dihiraukan dan mereka tidak sanggup untuk melawan, mereka mengharapkan Gereja tidak berdiam diri. Orang Manggarai rindu memiliki Gereja yang menjadi wakil mereka untuk bersuara menentang penindasan yang telah lama mereka alami. Gereja tidak boleh hanya menjadi penonton yang tidak berpihak pada mereka. Apalagi berkolaborasi dengan kebijakan-kebijakan yang jelas-jelas merugikan rakyat-umat Manggarai.Gereja yang berdialog adalah Gereja yang aktif, terlibat dalam konteks budaya dan masalah-masalah orang Manggarai.

span class="fullpost">

Berkaitan dengan orientasi menjadi Gereja Pembebas, ada catatan kritis untuk Gereja Keusukupan Ruteng: Pertama, kalau Gereja menyembah mammon yakni: uang dan kuasa, maka sulitlah baginya untuk melaksanakan peran profetis terhadap orang kaya dan berkuasa yang merupakan penindas rakyat Manggarai. Arah praksis pastoral juga akan berubah, Gereja akan merasa aman dengan diakonia karitatif tetapi bukan diakonia sosial, atau dengan pelayanan sosial tapi bukan aksi sosial. Kedua, terdapat dua tugas pelayanan Gereja dalam menghadirkan dirinya di Manggarai, yakni pelayanan keimanan untuk menciptakan rekonsiliasi yang membebaskan dan pelayanan profetis untuk menciptakan konflik yang membebaskan. Ada dialektika antara rekonsiliasi dan konflik dalam kehidupan rakyat Manggarai. Gereja terpanggil untuk menjadi pembawa “hambor” [damai] di tengah rakyat serentak membawa konflik di tengah rasa damai yang palsu.
Ketiga, berhadapan dengan para korban, Gereja mesti mengidentikan dirinya dengan mereka. Identifikasi diri ini bukan merupakan penerimaan pasif atas penderitaan melainkan transformasi yang memampukan melalui mana kekuatan – kekuatan kematian dan kejahatan dikalahkan berkat kuasa kebangkitan. Di sini dituntut dari Gereja sebuah peran ganda, bukan hanya profetis tetapi juga politis. Keempat, untuk merubah situasi ketidakadilan, kita mesti membuat analisis atas seluruh situasi dengan menggunakan pendekatan sistemis yang bermaksud mematahkan monopoli para penguasa dan untuk memberdayakan kaum lemah serta mendorong mereka menemukan jati diri dan martabat sebagai orang bebas. Untuk sampai pada gerakan pembebasan kaum lemah, Gereja harus bekerja sama dengan mereka. Memang di sini butuh kesabaran dari pihak Gereja dan merupakan proses pengosongan diri dari kecenderungan menggandeng pihak - pihak yang kuat dan berkuasa. Pertanyaan yang tersisa ialah “Apakah kita mau menjadikan Gereja kita sebagai sarana Pembebas atau malah menjadi abdi penindas?” Jawaban ada pada kita.***
Selengkapnya...

Selasa, 23 Maret 2010

LPKD-SENAT STKIP TURUN JALAN

RUTENG,24 MARET 2010
Terkait persiapan sidang Gugatan Class Action bagi Kasus Penolakan Tambang di Reo-Manggarai, Lembaga Pendidikan & Kajian Demokrasi bersama Senat Mahasiswa STKIP ST. PAULUS Ruteng sepakat untuk melakukan aksi jalanan. Jumlah massa yang terlibat sebanyak 375 orang terdiri atas masyarakat dan mahasiswa, dipimpin langsung oleh diretur LPKD dan Ketua Senat Mahasiswa. Aksi ini sebagai lanjutan dari kegiatan pengumpulan dukungan masyarakat untuk menolak pertambangan. adapaun alasan mendasar dari aksi ini ialah sebagai reaksi atas sikap Pemkab yang tetap memberikan ijin Kuasa Tambang kepada perusahaan tambang meskipun rakyat sudah menderita. Hingga saat ini PT. Sumber Jaya Asia masih melakukan eksploitasi walaupun gugatan masyarakat makin gencar.

Menurut Stevan Divan, Ketua Senat Mahasiswa, tindakan eksploitatif merupakan sebuah pengangkangan terhadap nilai kemanusiaan dan Pemkab yang telah memberikan ijin Kuasa Pertambangan melawan hakikat dari jati dirinya sebagai pelindung masyarakat. Mestinya Pemkab tidak mengeluarkan ijin karena nyata di lapangan masyarakat dirugikan. "Kita mesti lawan kebijakan seperti ini", ungkapnya kepada LPKD.

Selain itu, Kanisius T. Deki, M.Th, direktur LPKD menandaskan bahwa perjuangan ini tidak akan berhenti. "Kita akan tetap bergerak bahkan dengan pelibatan massa yang lebih besar supaya Pemerintah membatalkan ijin-ijin tambang itu. Kita temukan bahwa antara Pemkab dan perusahaan tambang sedang ada sandiwara. Perlawanan merupakan jalan yang tidak bisa dihindari", ujarnya di depan kantor PN Ruteng.

Sementara itu, Wakil PN Ruteng menjelaskan akan memproses maksud dari LPKD-Senat Mahasiswa melalui prosedur normatif. "Kami akan teruskan sesuai prosedur hukum yang berlaku. Esok kita sidang pertama." janjinya. Usai melakukan dialog dengan PN, massa kembali pulang ke rumah masing-masing dan sepakat untuk melakukan aksi lagi setelah ada keputusan dari PN Ruteng.

LAKUKAN KONSOLIDASI
Pada 22-23 Maret, LPKD lakukan konsolidasi dengan sejumlah elemen masyarakat dan mahasiswa. Hadir dalam rapat konsolodasi antara lain Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa STIPAS ST. SIRILUS, KETUA SENAT MAHASISWA STKIP ST. PAULUS, JPIC OFM, JPIC SVD dan Pers. Jumlah tanda tangan dukungan dari masyarakat melalui LPKD sebanyak 575 dan dari Senat Mahasiswa 1,200. Tak ketinggalan Senat Dosen STKIP St. Paulus juga melakukan hal yang sama. "Intinya, masalah tambang harus menjajdi perhatian bersama", demikian kata Pater Servulus Isaak, Lic, Ketua STKIP ST. PAULUS. Namun demosntrasi besar-besaran belum direstui oleh Pater Ketua karena alasan tahbisan uskup Ruteng. "Kita baru melalkukan aksi besar-besaran seusai tahbisan uskup", demikian janjinya kepada peserta rapat Senat (21/3/2010) lalu.

Konsolidasi tetap dijalankan dengan maksud agar soal ini diselesaikan sampai tuntas. LPKD bertekad untuk menggerakkan semakin banyak pihak terlibat dalam aksi ini. Steven Divan dalam penjelasannya juga sepakat dan melakukan koordinasi dengan kampus lain.***
Selengkapnya...

Senin, 22 Maret 2010

SURAT DUKUNGAN GUGATAN CLASS ACTION SOAL TAMBANG MANGGARAI DI PENGADILAN NEGERI RUTENG

No : 03/Per-Sik/III-1/2010
Lamp. : 1 (satu) Jepit
Hal : DUKUNGAN DAN PERNYATAAN SIKAP

Kepada Yth.
KETUA PENGADILAN NEGERI RUTENG
Di Tempat

Dengan hormat,
Bersama surat ini kami, LEMBAGA PENDIDIKAN DAN KAJIAN DEMOKRASI (LPKD) dan MASYARAKAT MANGGARAI RAYA (nama terlampir), pada tempat pertama menyampaikan DUKUNGAN bagi pelaksanaan Gugatan Class Action pada Pengadilan Negeri Ruteng atas kasus tambang di wilayah Kabupaten Manggarai & Manggarai Barat dengan alasan dan tuntutan sbb:



1. Pemerintah Kabupaten perlu mengkaji ulang kebijakan serta asumsinya bahwa pertambangan mendatangkan kesejahteraan bagi rakyat Manggarai dan Manggarai Barat, karena faktanya tidak demikian.
2. Menimbang bahwa potensi pertanian, perdagangan dan pariwisata amat menjanjikan dan nyatanya memberi kontribusi besar bagi PAD Kabupaten Manggarai dan Manggarai Barat maka pertambangan harus dicoret dari prioritas kebijakan pembangunan di Manggarai dan Manggarai Barat, karena mendatangkan malapetaka ekologis untuk jangka panjang dan memandulkan potensi-potensi nyata Kabupaten Manggarai seperti pertanian, perdagangan dan pariwisata.
3. Dalam menentukan suatu kebijakan sudah sepatutnya Pemerintah Kabupaten mempertimbangkan dimensi sosial, budaya, ekonomi dan religius yang merupakan elemen dasar dari bangunan manusia Manggarai dan Manggarai Barat. Kebijakan dalam pertambangan justru mengabaikan hal-hal tersebut.
4. Kabupaten Manggarai dan Manggarai Barat adalah wilayah padat penduduk dengan mayoritas rakyat yang hidup dari pertanian. Perusahaan pertambangan yang menghancurkan permukaan bumi (tanah) tidak pantas untuk dilakukan di wilayah padat penduduk seperti Kabupaten Manggarai dan Manggarai Barat.
5. Mengubah keyakinan palsu bahwa investor mendatangkan kesejahteraan bagi rakyat, tetapi memperlakukan dan membangun manusia Manggarai sebagai pelaku pembangunan dan ‘investor’ utama bagi kemajuan wilayahnya. Kecakapan aktual manusia Manggarai dan Manggarai Barat adalah bertani dan menanam tanaman pangan dan perdagangan. Pembangunan yang bijak harus selalu bertumpu dan berangkat dari kecakapan nyata manusianya, sehingga ‘tujuan pembangunan, yakni membangun manusia seutuhnya’ akan tercapai. Mengidealkan investor asing sebagai pelaku pembangunan demi kesejahteraan, bukan saja melecehkan kemampuan dan kecakapan dasar manusia Manggarai, tetapi meminggirkan manusia Manggarai dan Manggarai Barat sendiri sebagai subyek pembangunan, padahal manusia Manggarai adalah investor utama dari kemajuan Manggarai hingga kini.
6. Memajukan sektor-sektor ekonomi potensial riil Manggarai dan Manggarai Barat sesuai dengan prioritas, urgensi dan kompetensi manusia Manggarai sekarang ini. Kekayaan alam yang belum dapat diolah manusia Manggarai karena kompetensi serta keahliannya yang belum memadai, adalah warisan mengagumkan untuk generasi manusia Manggarai di masa depan. Manggarai bukan saja tanah warisan leluhur, tetapi terutama, tanah pinjaman dari anak cucu yang harus kita kembalikan kepada mereka.
7. Hentikan semua usaha pertambangan yang sekarang ada; jangan ada lagi izin Kuasa Pertambangan baru.


Besar harapan kami pihak Pengadilan Negeri Ruteng menindaklanjuti surat kami ini.


Ruteng, 22 Maret 2010
KETUA,




KANISIUS TEOBALDUS DEKI, M.TH

TEMBUSAN:
1. Bupati Manggarai
2. Ketua DPRD Manggarai
3. Kapolres Manggarai
4. Kejari Ruteng
5. HU Pos Kupang
6. HU Flores Pos
7. Suara Nuca Lale
8. JPIC Keuskupan Ruteng
9. JPIC SVD Ruteng
10. JPIC OFM Indonesia

Selengkapnya...

Jumat, 19 Maret 2010

Butir-Butir Adat Manggarai

Penulis: Petrus Janggur, BA
Penerbit: Yayasan Siri Bongkok 2010
Jumlah Halaman: xvii + 162
Harga : 40.000 (Ruteng), 50.000 (Luar Ruteng)



Menilik Butir-Butir Adat Manggarai Melalui Tradisi Lisan
CATATAN PENGANTAR

Kanisius Teobaldus Deki, M.Th
Pengajar STKIP St. Paulus Ruteng &
Pemerhati Budaya Manggarai

Penggunaan tradisi lisan sebagai seni dalam ilmu-ilmu sosial menjadi hal biasa setelah terbitnya buku Jan Vansina: De la Tradition Orale: esai de methode historique [dalam bahasa Perancis 1961, dalam bahasa Inggris 1973]. Di sini Vansina menampilkan sarana-sarana sistematik untuk mengidentifikasi, mengumpulkan dan menafsirkan tradisi-tradisi lisan dalam rangka menemukan aspek-aspek masa lampau, terutama di tempat yang tidak memiliki dokumentasinya secara tertulis. Vansina mendefinisikan tradisi lisan sebagai “kesaksian verbal yang ditransimisikan dari satu generasi ke generasi lainnya atau ke generasi masa depan”. Sebelum Vansina membuat uraian sistematis dengan menampilkan contoh-contoh dari hasil penelitiannya di Ruanda-Urundi dan Kuba di Kongo, Afrika, tradisi lisan sudah berkembang secara universal pada berbagai kebudayaan di seluruh dunia. Tradisi lisan merupakan cikal-bakal tradisi tulisan yang berkembang sangat kuat pada zaman modern [dan kontemporer] hingga saat ini.



Dalam banyak literatur, istilah tradisi lisan sering disepadankan dengan “folklor” [oral and customary tradition], seperti yang digunakan di Amerika Serikat oleh Jan Harold Brunvand. Tentang Folklor, Arche Taylor mendefinisikannya sebagai bahan-bahan yang diwariskan oleh tradisi, baik melalui kata-kata dari mulut atau oleh adat istiadat dari praktek. Pada tahun 1948, dengan tegas Taylor mengatakan: “Folklor adalah bahan [material] yang diwariskan oleh tradisi, baik melalui kata-kata yang keluar dari mulut, atau melalui adat kebiasaan maupun praktek”.
Istilah tradisi berasal dari kata Latin traditio [dari tradere] yang berarti tradisi atau penyerahan [handing down]. Francis Bacon, seorang Filsuf Ilmu Pengetahuan, menggunakan kata yang sama untuk mendefinisikan pernyataan atau pengiriman pengetahuan. Sedangkan menurut Lorens Bagus, kata “tradisi” [Inggris: tradition] memiliki perluasan makna dalam berbagai bidang. Dalam bidang sejarah, tradisi berarti adat istiadat, ritus-ritus, ajaran-ajaran sosial, pandangan-pandangan, nilai-nilai, aturan-aturan, perilaku-perilaku yang diwariskan dari generasi ke generasi. Ia merupakan unsur warisan sosio-kultural yang dilestarikan dalam masyarakat atau dalam kelompok sosial masyarakat dalam kurun waktu yang panjang. Tradisi bersifat progresif kalau dihubungkan dengan perkembangan kreatif kebudayaan tetapi tradisi bersifat reaksioner kalau ia berkaitan dengan sisa-sisa yang sudah usang dari unsur-unsur budaya masa lampau. Dalam ranah ilmu, tradisi berarti kontinuitas pengetahuan dan metode-metode penelitian. Sedangkan dalam dunia seni, tradisi berarti kesinambungan gaya dan keterampilan.
Istilah “lisan” [oral] dapat diartikan sebagai kata-kata yang dituturkan, diucapkan. Dengan demikian, kata “lisan” dalam kaitan dengan Tradisi Lisan [Oral Tradition] berarti tradisi yang ditransmisikan secara lisan dalam berbagai bentuknya seperti ujaran rakyat [folk speech] yang diperinci lagi ke dalam bentuk dialek, julukan [naming], ungkapan-ungkapan dan kalimat tradisional [traditional pharases and sentences] yang dapat digolongkan dalam kelompok peribahasa [proverb and proverbial saying], sedangkan pertanyaan tradisional termasuk ke dalam teka-teki rakyat [folk riddles]. Selain itu ada sanjak rakyat [folk rhymes], syair rakyat [folk poetry], dan bermacam-macam cerita rakyat [folk narratives] seperti mite, legenda dan dongeng. Bentuk terakhir adalah nyanyian rakyat [folk song] dan balada rakyat [folk ballads] dengan musiknya.
Di antara banyak bahasa dan dialek di Indonesia, hanya delapan yang memiliki tradisi tertulis. Pada zaman sekarang di beberapa wilayah tertentu di Indonesia keberaksaraan masih merupakan hal yang baru. Pemeliharaan dan penyampaian adat kebiasaan, sejarah, pandangan hidup, agama, kedudukan sosial dan bahasa sangat mengandalkan kata lisan. Teks kisahan dapat berbentuk macam-macam: nyanyian, syair, prosa, lirik atau syair bebas. Cerita-cerita tersebut mengajarkan para pendengarnya memecahkan masalah atau teki-teki, menyampaikan tradisi, menyokong jati diri kebudayaan, dongeng khayalan, dan tak kalah pentingnya, menghibur.
Bagi penduduk di Nusa Tenggara, keadaan keberanekaragaman memberikan sumbangan terhadap kesusastraan pribumi yang hidup dan didasarkan pada susunan lisan. Pendongeng, ahli silsilah, pencerita suku, dan penggumam upacara keagamaan sangat penting bagi kelestarian tradisi setempat. Tradisi setempat mulanya terbentuk oleh keprihatinan kebudayaan dan upacara, kemudian berlangkah lebih jauh memasuki seluruh aspek kehidupan.
Buku Butir-butir Adat Manggarai ini berusaha menampilkan beberapa aspek budaya yang dipempatkan dalam fragmen-fragmen adat yang merupakan unsur-unsur pembentuk budaya. Salah satu pembacaan atas butir-butir budaya bisa dipahami secara lebih komprehensif dalam bingkai sastra. Tidak hanya itu, implementasi dan pengkomunikasiannya juga dilakukan melalui sastra lisan yang kuat berkembang dalam kehidupan orang Manggarai melalui pelbagai ritus serta perayaan komunal. Maka, berbarengan dengan kehadiran buku ini, mengambil sastra sebagai sebagai wujud tradisi lisan serta fokus, menjadi bermakna tatkala uraian-uraian di dalamnya bersentuhan langsung dengan bentuk-bentuk sastra itu.
Dalam pembagian yang umum, menurut isinya kesusastraan dibagi menjadi empat bagian yakni epik, lirik, didaktik dan dramatik. Sementara menurut bentuknya ada prosa, puisi dan prosa liris. Epik adalah karangan yang bersifat obyektif. Artinya, pengarang melukiskan apa yang terjadi sesungguhnya seperti dalam kenyataan tanpa memasukan unsur emosi dan imajinasi penulisnya. Sebaliknya lirik adalah semua jenis karangan yang bersifat subyektif. Dalam karangan jenis ini pengarang secara intens melukiskan imajinasi dan ilham pribadinya. Bahasa sastra selalu terkait dengan emosi [perasaan] dan pikiran, fantasi dan lukisan angan-angan, penghayatan batin dan lahir, peristiwa dan khayalan dengan bentuk bahasa yang istimewa.
Secara khusus dalam pengantar ini, saya memusatkan perhatian pada dua bentuk utama sastra yang sudah menjadi lazim yakni Prosa naratif yang terungkap dalam pelbagai kisah rakyat [tombo nunduk, tombo turuk] dan Puisi lirik yang dieskpresikan melalui peribahasa, tamsil-tamsil [go’et], syair-syair doa [torok] dan syair-syair lagu-lagu rakyat [dere, nenggo]. Sejarah lisan [Oral History] maupun tradisi lisan dalam tradisi budaya Orang Manggarai memang merupakan bagian “keutamaan adak” [disebut pecing adak: tahu adat, kenal hukum], sebuah perilaku budaya yang harus dilakoni setiap warga generasi sebagai jati diri sejarah tanah air dan keturunannya.
Tombo Nunduk dapat dipahami sebagai aktivitas dalam meneruskan sejarah keberadaan sebuah keturunan suku [klan yang disebut wa’u] yang dikisahkan terus menerus secara lisan kepada setiap generasi keturunan itu. Sedangkan Tombo Turuk dimengerti sebagai cerita-cerita yang memiliki berbagai makna kehidupan: sosial, spiritual, ekonomis, humor, pendidikan nilai, dll. Kedua jenis prosa ini dikisahkan dalam bentuk lisan oleh generasi tua kepada anak-anaknya umumnya demi alasan pedagogis dan penerusan sejarah keberadaan diri dan masyarakat. Go’et-go’et adalah kata-kata bijak yang diramu sebagai syair-syair bertuah. Bentuknya tidak selalu sama tetapi bervariasi namun memiliki tujuan yang sama yakni untuk mendidik, mengeritik dan juga menghibur. Torok adalah doa-doa yang biasa didaraskan di berbagai tempat, misalnya di lodok [titik pusat dari perkebunan komunal yang disebut lingko], di compang [batu-batu yang disusun menyerupai altar persembahan], di Mbaru Gendang [disebut juga Mbaru Tembong, rumah adat], dan tempat-tempat lain pada saat upacara-upacara adat dilangsungkan. Syair-syair dere adalah barisan kata-kata bermakna yang membentuk sebuah lagu. Syair-syair dere ini memiliki fungsi yang sama seperti prosa-prosa: menyampaikan usul-asal, mengisahkan kembali sebuah peristiwa, mengajukan sebuah pertanyaan, mengeritik sistem sosial yang ada, menghibur, dsb.
Di tengah usaha mencari jawaban atas persoalan-persoalan yang tengah melanda orang Manggarai, sempat timbul sebuah kesangsian metodis [dubium methodicum] di dalam diri saya yang berakhir pada pada pertanyaan: “Masih relevankah membuat analisa atas tradisi lisan pada zaman di mana tradisi itu sudah banyak tertinggal bila dibandingkan dengan tradisi tulisan dan audio-visual yang sulit diimbangi?” Pertanyaan ini sungguh menggelitik untuk melihat kembali urgensitas sebuah analisa yang bertitik pangkal pada tradisi lisan, khususnya bentuk sastra yang dimiliki oleh Orang Manggarai. Di Indonesia pada masa sekarang, tradisi lisan harus bersaing dengan cetakan, radio, televisi dan film. Sementara itu menjadi kenyataan yang umum, pendidikan massal yang dilakukan dalam bahasa Indonesia, bahasa resmi negara, cenderung menekankan yang dominan, kebudayaan “sastra” dengan mengorbankan yang “non sastra”. Meneruskan pengetahuan yang terwujud dalam teks lisan merupakan tantangan bagi kebudayaan Indonesia yang sedang berubah sekarang.
Untuk memberikan jawaban, saya berkeyakinan bahwa meskipun tradisi tertulis dan budaya audio-visual kian menjamur, namun perkembangan itu belum merata. Masih banyak wilayah yang belum dirambah oleh teknologi canggih seperti itu. Dan yang lebih penting, tradisi lisan adalah bagian dari kehidupan manusia. Ia bahkan merupakan bentuk primer dari komunikasi manusia. Kemajuan, bagaimanapun pesatnya, tak akan menghapus tradisi lisan sebagai bagian dari kebudayaan. Jika kenyataan ini diterima, maka penjelasan yang adekuat tentang relasi antara sastra dan budaya mesti dibuat sehingga analisa apapun yang akan berkembang dalam tulisan ini tidak keluar dari bingkai itu.
Dari sisi inilah kita dapat menarik benang merah dari apa yang dihasilkan oleh bapak Petrus Janggur, seorang pencinta budaya Manggarai dan penulis yang produktif-kreatif, dalam bukunya ini. Uraian tentang beo (kampung), pola perkawinan, mbaru gendang (rumah adat Manggarai), pesta congko lokap dan penti, posisi laki-laki sebagai ata one-perempuan sebagai ata pe’ang, tata krama dan pertumbuhan manusia dari sisi tilik orang Manggarai, mendapat tempat yang wajar.
Sastra merupakan bagian dari kebudayaan. Sastra mengungkapkan budaya manusia, manusia mengekspresikan dirinya dalam pelbagai bentuk unsur dan komponen budaya. Jadi, ada relasi timbal balik antara sastra, budaya dan manusia. Mengikuti alur pemikiran ini, manusia akan bisa dipahami apabila dapat dimengerti budayanya. Tentang budaya E.B. Taylor, seorang antropolog, berpendapat bahwa kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan, kepercayaan, kesenian, kesusilaan dan hukum, adat-istiadat dan setiap kecakapan serta kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.
Lowie, seorang ahli lain menambahkan unsur pewarisan yang berlangsung dari zaman lampau, melalui pelbagai bentuk pendidikan, entah formal maupun informal. Pernyataan Lowie didukung oleh Keesing yang mengatakan bahwa kebudayaan merupakan tingkah laku yang diperoleh melalui pelajaran bermasyarakat [The behavior acquired through social learning]. Sedangkan Kluckhohn memandang kebudayaan sebagai keseluruhan cara hidup suatu bangsa, warisan masyarakat yang diperoleh individu melalui kelompoknya [The total life way of a people, the social legacy the individual acquires from his group]. Lebih lanjut Kluckhohn menjelaskan bahwa kebudayaan adalah cara berpikir, cara merasa, cara meyakini dan menanggap. Kebudayaan adalah pengetahuan yang dimiliki warga kelompok yang diakumulasi [dalam ingatan manusia, buku-buku dan obyek-obyek] untuk digunakan di masa depan. Beberapa pendapat lain mengatakan bahwa kebudayaan adalah seluruh warisan masyarakat [total social heredity], atau lebih sempit lagi tradisi [tradition] ataupun adat-istiadat.
Berbagai pendapat antropolog di atas masing-masing memiliki pendasaran tersendiri yang tentu juga menunjukkan kekhasan horison dan perspektif. Meskipun demikian, terdapat banyak unsur yang sama, khususnya bentuk dan isi kebudayaan serta cara bagaimana kebudayaan itu diwariskan, dilestarikan dan diteruskan. Terdapat beberapa ciri kebudayaan yang dapat dirangkum dari pengertian-pengertian itu sebagai berikut:
Pertama, kebudayaan berciri stabil. Kebudayaan adalah tradisi, sistem, cara. Istilah-istilah ini mengandung pengertian ketetapan, kesetabilan. Sebenarnya kebudayaan selalu merupakan sistem yang tetap, stabil. Ia adalah penyesuaian diri yang lama dengan situasi konkrit alam sekitarnya. Alam yang konkrit ini juga berarti hubungan dengan kelompok-kelompok lain dalam arti lingkungan sosial. Jadi, kebudayaan disebabkan dan dibentuk oleh dua faktor utama yakni: manusia yang berakal budi dan lingkungan sosial di mana ia hidup.
Kedua, kebudayaan bersifat dinamis, bisa berubah. Kebiasaan manusia akan hidup biasanya tetap, tetapi kenyataan sosial cenderung berubah. Misalnya sistem pemerintahan, ilmu pengetahuan dan teknologi, pengaruh yang datang dari luar dan sebagainya. Hal ini berpengaruh pada perubahan kebudayaan juga. Tentang perubahan ini dapat dikatakan bahwa semakin besar isolasi terhadap pengaruh luar maka perubahan juga semakin lamban, demikan juga sebaliknya. Kebudayaan bersifat dinamis. Ia adalah warisan masyarakat, tetapi itu sesuatu yang belum final, melainkan tetap in statu fieri [dalam proses berubah], yang berada dalam “proses menjadi” terus menerus [in continuing process]. Itu artinya, menurut Herkovits, kebudayaan bukan saja suatu rencana, melainkan juga perencanaan [not only a plan, but also a planning].
Ketiga, kebudayaan merupakan milik masyarakat. Kebudayaan tidak pernah menjadi milik individu semata. Kebudayaan selalu memiliki karakter sosial sebagai milik bersama masyarakat. Masyarakat dapat dipahami sebagai “kelompok individu yang berorganisasi secara tetap dan yang mengikuti cara hidup bersama serta mempunyai kesadaran akan hubungannya dengan golongannya [group consciousness]”. Dengan kata lain, unsur-unsur yang mempersatukan setiap anggota masyarakat adalah cara hidup bersama dan kesadaran akan hubungannya dengan golongannya.
Butir-butir Adat Manggarai lalu mempresentasikan sebuah model kebudayaan orang Manggarai, yang bukan saja sebagai fosil masa lampau, tetapi juga menjadi artefak yang kontekstual, dinamis serta membumi. Butir-butir ini juga merupakan upaya melanjutkan tradisi lisan untuk kelak menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan orang Manggarai atau siapapun yang ingin memanfaatkannya. Pada akhirnya, dari sastranya, orang Manggarai menghadirkan identitas kediriannya melalui tindakan-tindakan bermakna dalam seluruh rentangan peristiwa hidupnya. Itulah yang menjadi latar eksistensi dan kesejatiannya.***


Selengkapnya...

Kamis, 18 Maret 2010

MORI JARI DEDEK: ALLAH YANG HIDUP DAN TERLIBAT

Sebuah Pencarian Komparatif Budaya Asli dan Spiritualitas Karmel

Kanisius Teobaldus Deki
Theology Department-STKIP St. Paulus


Abstract:
For the Manggarai people, the existence of Mori Keraeng has a magnificent meaning / sense. Mori Keraeng is God for human being with the whole realities. He creates and maintains the life and warrant ”Mose tedeng len” (life-length in eternity). From the human being side, faithfullness is urged to follow His divine will, maintain the harmonious relationship with one’s own self, others and the environment. Mori Keraeng is the Living God. Therefore, realizing one’s own faded essence and weaknesses,human being must have an intentional thought (mind),sense (heart),words and conduct before God. It is this attitude that makes the Manggarai people feel sure that Mori Jari Dedek (God of all Creations / Creator) presents in an actual Being here on this very occassion through those who do the right things. This article tries to trace the interrelationship among the originally Manggarai Culture in viewing God and His actuality when it (such cultural view) is connected to the Carmelite’s Spirituality.


Key-words:
Studi komparatif, Allah, Budaya, manusia beriman.



1. Pengantar

Dami N. Toda , dalam bukunya, Manggarai Mencari Pencerahan Historiografi, menjelaskan secara jelas, rinci dengan data yang akurat tentang perkembangan penelitian yang dibuat oleh orang luar. Harus diakui bahwa setiap peneliti memiliki perspektif sendiri dengan orientasi khas serta motivasi yang beragam sehingga deviasi selalu tak terelakkan jika ternyata sebuah sejarah dibelokkan. Dan kita maklum bahwa penulisan sejarah terkait erat dengan pre-understanding setiap orang yang datang. Itulah sebabnya, seperti Habermas pernah tandaskan, setiap pernyataan yang keluar selalu terjalin dengan maksud tertentu. Berhadapan dengan kenyataan ini, sebuah imperatif yang tidak bisa ditawar-tawar naik ke permukaan kesadaran, bahwa kita sendiri sebagai “anak tanah” harus juga belajar menggali budaya kita, mengunyahnya dan membiarkan dia menjadi sebuah energi yang membuat hidup ini memiliki daya (élan vital). Orang “dalam” (in-sider) harus punya horizon tentang apa yang dimilikinya, supaya ia bisa berkata-kata dari kepunyaannya sendiri.
“Gali (cake), Kunyah (mama) dan Olah (gori)” adalah aktivitas yang coba menjadi sebuah proses dalam pembahasan ini. Kita ingin mengetahui jawaban atas pertanyaan, “siapakah Allah bagi masyarakat asli Manggarai, bagaimana religiositas orang Manggarai” dan kalau bisa ditanyakan, “apakah ada benang merah yang bisa menghubungkannya dengan spiritualitas Karmel?” Karena itu menjadi jelas bagi kita bahwa: 1] mula-mula kita “menggali” dengan membaca uraian ini, lalu 2] kita “mengunyah” yakni terlibat untuk memikirkan, menanggapi atau bahkan memberikan perluasan serta catatan kritis, dan akhirnya 3] kita “mengolah” bahan ini untuk menjadi mose nai [makanan hidup] permenungan di perjalanan perutusan dan pelayanan, sehingga kehadiran kita menjadi “berarti”, tersebab kita mengenal dan memahami siapa yang menjadi subyek pelayanan kita. Dengan kata lain, muara pendekatan kita ialah bagaimana “teks” dan “konteks” disandingkan dalam spiritualitas yang hidup.
Berjalan dalam sebuah pencarian yang tetap aktual ini, adalah sebuah kemestian bahwa kita memiliki “seni” tertentu, yang secara sadar atau tidak, mengharuskan kita menjadi “seniman” untuk mengolah hidup kita. Seorang sastrawan Indonesia, Chairul Anwar mengatakan,
“tiap seniman harus menjadi seorang perintis jalan. Itu artinya ia mesti memiliki keberanian, tenaga hidup. Ia tidak segan-segan memasuki hutan rimba penuh binatang buas, mengarungi lautan lebar-tak bertepi. Seniman ialah tanda dari hidup yang melepas-bebas” .
Menjadi seniman dalam hidup panggilan sebagai religius “menuntut komitmen pribadi yang menyeluruh dan yang diekspresikan secara nyata dalam suatu pola hidup yang injili dan melaksanakan nasihat-nasihat Injil dan dalam hidup komunitas”. Untuk mencapai kenyataan itu, refleksi yang memiliki perspektif holistik-mondial perlu dibangun, termasuk bila refleksi itu ditopang oleh tonggak yang berbasiskan budaya-lokal.


2. Kepercayaan akan Allah, Agama dan Kehidupan Manusia
Sejak zaman purbakala, manusia, bahkan dalam tahap perkembangan yang sangat primitifpun mempunyai kesadaran akan hadirnya sebuah kekuatan “lain” yang berada di luar kemampuannya untuk memahami. Mircea Eliade, dalam studinya memperlihatkan bahwa penyelidikan fenomenologis mengenai agama menimbulkan gambaran tentang manusia sebagai mahkluk yang sifatnya amat religius (homo religious). Bagi mereka, seluruh kosmos terbuka kepada “yang kudus”. Pada prinsipnya, obyek apa saja: matahari, bulan, bumi, air, gunung, hutan, batu karang, pohon, gua, dsb dapat menjadi hierofani baginya. Obyek manapun yang diduduki oleh “yang kudus” itu menjadi manifestasi dirinya. Kehadiran “Yang kudus” kemudian secara turun temurun dialami dalam hierofani, ritus dan mitos. Kenyataan itu, dalam ke-tak-mengerti-an manusia sering dianalogkan dengan “Yang Ilahi”.
Langkah yang telah dimulai dalam agama primal dilanjutkan dengan kehadiran agama-agama institusional-wahyu yang memberikan kepastian bahwa “Yang Ilahi” itu adalah Allah. Dr. Georg Kirchberger SVD mencatat beberapa bidang pengalaman akan Allah.

2.1. Alam
Dalam kehidupannya, setiap orang yang mengamati dan mengalami dunia dan alam sekitarnya dengan mata serta hati terbuka, akan menjadi sadar bagaimana seluruh alam itu merupakan suatu hadiah besar yang menunjang dan mempertahankan hidupnya. Pengalaman itu menjadi lebih intens dan terasa kuat dalam “situasi-situasi batas”. Misalnya suatu masyarakat yang menderita kelaparan karena musim kemerau yang berkepanjangan, mengalami hujan pertama sebagai berkat, sebuah permulaan akan munculnya kehidupan baru. Jika orang terbuka kepada kebaikan yang ada, segera orang akan berpikir bahwa pasti ada sesuatu yang menyelenggarakan semua itu. Pada saat itulah muncul refleksi tentang “Yang Ilahi”.

2.2. Sejarah
Pada dasarnya sejarah merupakan suatu deretan peristiwa yang dilakukan, diatur dan harus dipertanggungjawabkan oleh manusia. Tetapi setiap manusia mengharapkan agar deretan peristiwa itu tidak hanya merupakan kumpulan aksi dan reaksi yang tak berarti dan tak bertujuan. Kita merindukan sejarah sebagai sebuah arus perkembangan yang mempunyai tujuan dan manusia berharap tujuan itu bernilai positif. Kita berharap bahwa sejarah berkembang menuju kebahagiaan dan kesejahteraan manusia yang semakin besar. Berhadapan dengan keterbatasan-kenisbian kodrati manusia, ia pada akhirnya menyadari bahwa hanya kepada “Yang Ilahi” ia memiliki intensionalitas historis. Dengan lain perkataan, Allah adalah akhir dari sebuah sejarah keselamatan.

2.3. Hubungan Antar Pribadi
Persahabatan dan setiap relasi cinta antar manusia menjadi sebuah petunjuk yang mengarahkan kita kepada Allah. Setiap relasi cinta, kalau berkembang dengan semakin mendalam, semakin pula merindukan keabadian dan keutuhan. Dua orang yang saling mencintai semakin rindu untuk memberikan diri secara menyeluruh satu kepada yang lain. Di sana akan muncul sebuah kerinduan akan sebuah relasi yang abadi. Namun, dalam kenyataan, kerinduan itu tak pernah terjawab tuntas, tersebab kita diciptakan sebagai mahkluk fana. Oleh karena itu, setiap cinta yang sungguh mendalam antar manusia, menunjukkan keterbatasannya yang tak terelakkan kepada suatu cinta yang sungguh total, lestari dan abadi yang menanam kerinduan tadi dalam cinta manusia yang terbatas itu. Kerinduan akan ke-tak-terbatas-an di dalam cinta yang terbatas menjadi suatu pengalaman tidak langsung mengenai adanya cinta tak terbatas, yakni Allah.

2.4. Pengalaman Batin
Secara pribadi di dalam batin kita, dapat kita temukan sekian banyak pengalaman yang menjadi tanda bagi kehadiran suatu kekuatan yang malampui diri kita sendiri. Kalau kita terbuka terhadap realitas ini dan memberikan tempat untuk kehadirannya, kita akan melihatnya sebagai kebesaran Allah. Suara batin kita juga bisa mengeskpresikan kenyataan ini. Ada banyak saat di mana kita ”ditegur” oleh suara batin untuk membebaskan diri dari perbuatan yang dikategorikan sebagai dosa. Suara batin ini juga mengarahkan kita untuk melakukan hal-hal yang baik. Suara-suara “baik” yang keluar dari kedalaman batin inilah yang kerap disadari sebagai “suara Allah”.

3. Teori Kulturkreislehre tentang Uhrmonotheismus dengan Wujud Tertinggi Orang Manggarai

Wilhelm Schmidt mengetengahkan teori Kultur Kreislehre yang mengatakan bahwa Uhrmonotheismus (Wujud Tertinggi) bukanlah perkembangan baru tetapi merupakan bentuk kebudayaan yang sudah sangat tua, yang tersebar di berbagai kebudayaan manusia. Namun bentuk kebudayaan yang sudah sangat tua itu tetap mengalami perkembangan sejalan dengan lajunya perkembangan zaman. Meskipun tidak ada perubahan mendasar pada bentuk aslinya. Wujud Tertinggi telah mengalami perubahan pada sebutan untuk mengekspresikannya.
Dalam masyarakat Manggarai, Wujud Tertinggi disebut dengan nama, seperti: Mori[n] (Tuhan), Mori[n] agu ngaran (Tuhan Dan penguasa), Mori Keraeng, Mori Sombang, dsb.
Pengaruh masuknya agama Kristen (khususnya Katolik) menyebabkan munculnya penyingkatan sebutan untuk Wujud Tertinggi. Jika pada zaman lampau penyebutan Wujud Tertinggi diungkapkan dalam bentuk yang panjang dan rumusan baku yang sulit jika dipadukan dengan kebiasaan praktis, maka zaman kini jarang digunakan, kecuali pada upacara-upacara adat yang memiliki ritus tetap.


4. Dimensi Keagamaan: Kepercayaan akan Wujud Tertinggi Dan Religiositas Orang Manggarai

4.1. Dimensi Iman (Kepercayaan)
Ivan Haryanto, et. al., dalam studi mereka tentang Agama Asli Manggarai menjelaskan bahwa terminologi iman dalam pemahaman asli Manggarai disebut imbi (percaya). Terminologi ini secara eksplisit menggambarkan relasi antara seseorang atau sekelompok orang dengan yang lain. Relasi ini terbentuk karena rasa percaya. Karena itu, imbi dipahami sebagai satu sikap percaya kepada sesuatu yang lain, baik orang-pribadi, kelompok maupun kekuatan lain. Dalam konteks religius, terminologi ini menggambarkan sikap dan keterarahan hati manusia kepada Wujud Tertinggi dalam agama primal orang Manggarai.
A. J. Verheijen dalam studinya menemukan bahwa teori Kulturkreiselehre tentang Uhrmonotheismus menemukan kebenarannya jika diaplikasikan kepada kehidupan religius orang Manggarai. Karena itu Verheijen membuat klasifikasi beberapa nama Wujud Tertinggi orang Manggarai, sebagai berikut:

4.1.1. Nama-nama untuk Wujud Tertinggi
1] Mori[n]: Tuhan Mori[n] agu Ngaran: Tuhan dan Penguasa, 2] Mori Keraeng: Tuhan Allah, 3] Mori Sombang:
Kata Mori berarti “tuan”, “pemilik”, “penguasa”. Tuhan diimani sebagai tuan, pemilik, penguasa atas kehidupan (de morin mose dite ho’o). penambahan sufiks –n menunjukkan fungsi gramatik, khususnya bentuk possessive. Demikian kata ngaran menekankan aspek “kuasa” Tuhan atas segala yang ada di bumi. Mori agu Ngaran adalah rumusan baku yang kerap dipakai dalam doa-doa resmi orang Manggarai, misalnya: “Hia te Morin agu ngaran tana lino ho’o” (Dia yang Empunya dam miliki bumi ini). Sedangkan sebutan Mori Keraeng adalah nama diriNya, “Mori Keraeng hitu muing ngasang wekin”.
Hampir di seluruh Manggarai, termasuk daerah Riung-Ngadha kita bisa menjumpai sebutan Mori Sombang untuk Tuhan. Pada mulanya nama ini dipakai dalam dongeng-dongeng Manggarai, yakni Karaeng Goa. Dia berkuasa atas Manggarai sebelum Bima. Barangkali sesudah pengaruh kekuasaan mereka lenyap, sebutan ini dipakai untuk Wujud Tertinggi, yang secara eksplisit bisa dilihat dalam buku nyanyian Gereja.

4.1.2. Nama untuk Wujud Tertinggi sebagai Pencipta:
1]Jari agu Dedek: Penjadi dan Pembentuk, 2]Ciri agu Wowo: Penjadi dan Pengacu, 3]Jari agu Wowo: Penjadi dan Pembentuk, 4]Jari agu Dading: Penjadi dan Pelahir.
Kata “Jari” berarti: menjadi, berhasil, berjalan baik. Kata Dedek dipakai untuk: membuat, membentuk. Menempa dan lain-lain. Kata ciri berarti menjadi, tumbuh menjadi, menjelma, mendapat bentuk” dan kata wowo berarti: menuang, mengacu, leburkan, lahirkan. Kata jari dan wowo memiliki arti yang sama dengan ciri agu wowo. Kata “dading” berarti: melahirkan, beranak. Kata ini diterapkan pada pria, misalnya: emá dading (ayah kandung).
Jika kita perhatikan dengan sungguh-sungguh, Tuhan dalam kehidupan orang Manggarai dilihat sebagai pencipta pertama [causa prima] segala sesuatu yang ada.

4.1.3. Paralelisme nama Wujud Tertinggi
1] Ame eta-Ine wa: Ayah di atas-Ibu di bawah, 2] Ronan eta mai-Winan wa mai: Suaminya di atas-Istrinya di bawah, 3] Tanan wa-Awang eta: Bumi di bawa, Langit di atas, 4] Wulang agu Leso: Bulan dan Matahari.
Sangat kentara dalam pemikiran orang Manggarai bahwa Tuhan adalah Dia yang memiliki segala sesuatu, yang melingkupi manusia dan seluruh ciptaan dengan kuasa dan kasihNya yang tak terhingga. Langit adalah tahta Allah, bumi adalah tumpuan kakiNya, bulan dan matahari adalah tanda kehadiranNya.


4.1.4. Nama Wujud Tertinggi sebagai mata angin:
1] Par agu Kolep: Timur dan Barat, 2]Ulun le-Wa’in lau: Hulu sungai, hilir sungai. Tuhan dilihat sebagai sumber kehidupan yang terbit di ufuk Timur dan tenggelam di ufuk Barat. Tuhan tetap setia, esensi Tuhan selalu begitu, sama seperti sumber air yang muncul di Utara dan mengalirkan kehidupan ke Selatan.

4.1.5. Nama-nama Lain:
1]Empo, 2]Sengaji, 3]Dewa.
Kata “empo” berarti: nenek moyang, kakek-nenek. Selanjutnya kata “empo” digunakan untuk semua orang yang kita segani. Tetapi kerap nama ini jarang digunakan untuk Wujud Tertinggi karena keterkaitannya dengan arti jamak yang bermakna ganda. Misalnya, kata yang sama bisa digunakan untuk roh halus, setan (empo poti mese-setan besar).
Sebutan “sengaji” memiliki arti yang mirip dengan kata “empo” dan diarahkan untuk penguasa. Dalam doa-doa kata ini jarang digunakan. Demikian halnya dengan kata “dewa” memiliki arti yang sangat fleksibel dan jarang digunakan. Rupanya kata ini bukan kata asli Manggarai.
Dari beberapa pemikiran tentang nama Wujud Tertinggi, terdapat sebuah silogisme spontan sekaligus eviden bahwa orang Manggarai percaya adanya Wujud Tertinggi, bahwa dunia ini pasti memiliki penciptanya, causa prima yang menyelenggarakan kehidupan dan tetap terlibat dalam seluruh perjuangan hidup ciptaanNya, termasuk manusia.

4.2. Dimensi Pengetahuan
Pada bagian terdahulu, kita sudah melihat kenyataan adanya pengakuan akan Wujud Tertinggi dalam kehidupan religius orang Manggarai. Muncul pertanyaan baru, “Bagaimana iman itu dilanjutkan kepada generasi berikutnya?” Dalam beberapa wawancara yang pernah kami buat terhadap beberapa tokoh adat, mereka memberikan jawaban atas dimensi pengetahuan ini dalam beberapa bentuk.
Pertama, pertanyaan akan eksistensi alam semesta. Pertanyaan ini menjadi pintu masuk untuk mengetahui sesuatu sekaligus menggugah kesadaran setiap orang Manggarai untuk mengakui bahwa ada “Sesuatu yang mengatasi kodrat manusia”. Pengetahuan ini bersifat spontan sebagai tuntutan rasional untuk mencari tahu sebab adanya sesuatu.
Kedua, Upacara-upacara komunal (pande adak). Dalam upacara-upacara komunal masyarakat, seperti Penti (upacara syukur panen), upacara kehamilan (lamba wakas) dan kelahiran (cear cumpe), upacara perkawinan, upacara kematian, upacara adat “lingko” (kebun komunal). Melalui upacara ini doa-doa didaraskan kepada Wujud Tertinggi. Para peserta mendengarnya, mengingat dan mengulangnya jika generasi tua sudah berpulang. Upacara-upacara adat komunal berfungsi sebagai “sekolah lisan” di mana tradisi diwariskan secara turun temurun.
Ketiga, Doa dan Lagu-lagu (Ngaji agu Dere). Bagi orang Manggarai memiliki arti jamak: tidak hanya terbatas pada fungsi menghibur tetapi lebih dari itu, lagu mempunyai fungsi pedagogis dan historis. Demikian halnya doa-doa yang diucapkan dalam pelbagai ritus adat komunal memiliki aspek ganda: terarah kepada Wujud Tertinggi tetapi serentak merupakan model bagi generasi yang akan menjadi penerus budaya. Bapak Petrus Jelalu dalam wawancara yang pernah dibuat Ivan Haryanto, et. al. menjelaskan, lagu yang dibuat untuk berbagai upacara sarat dengan ajaran iman. Misalnya lagu Sanda Lima biasa dinyanyikan dalam upacara penti. Dalam lagu ini terdapat beberapa permohonan berkaitan dengan lima kebutuhan pokok manusia: mbaru bate ka’eng (rumah tempat tinggal), natas bate labar (halaman bermain), wae bate teku (sumber tempat menimba air), uma bate duat (kebun tempat mengais rejeki) dan compang (tempat persembahan kepada Wujud Tertinggi).
Keempat, Nasihat atau Petuah (Go’et). ajaran tentang Wujud Tertinggi diterjemahkan dalam kebijaksanaan-kebijaksanaan lokal orang Manggarai dalam apa yang disebut Go’et yakni ungkapan, amsal, pepatah dan petuah. Nasihat-nasihat ini berbicara tentang kehidupan manusia dalam dua dimensi: vertikal dengan Wujud Tertinggi dan relasi horizontal dengan sesama dan alam lingkungan.
Misalnya go’et yang berbicara tentang relasi horizontal manusia: neka anggom le anggom lau, eme data, data muing, neka demeng data (jangan memiliki kekayaan karena merampas dan menggelapkan harta orang lain). Go’et ini berisikan ajaran bagi manusia dan masyarakat agar mengakui hak milik orang lain, mendapatkan kekayaan melalui cara yang halal, tidak mengklaim atau menggelapkan harta orang lain demi kekayaan. Selain itu, ada go’et yang berbicara tentang relasi horizontal dengan Wujud Tertinggi, misalnya, “neka beng agu Dedek, neka ngantit kamping Jari” (jangan takut dan ragu-ragu terhadap Tuhan yang menjadikan kita). Go’et ini merupakan ajakan bagi manusia untuk mendekatkan diri kepada Wujud Tertinggi lewat doa (ngaji). Selain itu go’et ini memiliki pesan agar manusia tidak mengabaikan doa (ngaji).
Kelima, Mitos dan Cerita Rakyat (Tombo Turku). Menurut Mircea Eliade, mitos tidak hanya sekedar pemikiran intelektual dan bukan pula hasil logika, tetapi terlebih merupakan orientasi spiritual dan mental untuk berhubungan dengan yang ilahi. Bagi masyarakat asli, mitos berarti suatu cerita yang benar dan ini menjadi milik mereka yang paling berharga, karena merupakan sesuatu yang suci, bermakna dan menjadi model bagi tindakan manusia, memberikan makna dan nilai bagi kehidupan ini. Mitos menceritakan bagaimana suatu realitas berkesistensi melalui tindakan mahkluk supra natural. Demikian halnya dengan peran dan fungsi mitos bagi orang Manggarai. Dalam bukunya, Verheijen mengumpulkan sejumlah mitos orang Manggarai tentang berbagai hal, seperti: awal mula bumi, manusia dan roh-roh: terjadinya bumi, pemisahan manusia dari “darat” [peri], nenek moyang yang dimakan “darat”, dsb. Tombo turuk merupakan kisah-kisah cerita yang bermuatan pedagogis dan memiliki unsur hiburan. Biasanya tombo turuk dikisahkan malam hari menjelang tidur. Orang tua sebagai pencerita (arrator) sering mengisahkan sebuah peristiwa yang tampak nyata dengan maksud memberikan petuah tertentu terhadap anak-anaknya. Selain itu, tombo turuk juga menjadi medan pergulatan tafsir atas kejadian aktual dalam masyarakat, entah pergulatan politis maupun sosial, budaya dan ekonomi. Kisah-kisah ini menjadi semacam kumpulan cerita pendek yang diungkapkan secara lisan dan diwariskan turun temurun kepada setiap generasi. Beberapa cerita pendek yang cukup dikenal seperti: Timung Te’e (Mentimun Matang), Empo Poti Mese (Setan Jahat), Lanur , Pondik, Anak Kalok (Anak Yatim), dsb.

4.3. Dimensi Praktek: Pelbagai Ritus Dan Peruntukkannya
Ulasan kita tentang relasi yang sangat dekat antara orang Manggarai dengan Wujud Tertinggi terjalin melalui pelbagai ritus yang memiliki tujuan dan maksud yang khas. Sejak manusia dikandung dalam rahim ibu hingga mati, orang Manggarai memiliki ritus adak tertentu. Beberapa ritus itu antara lain: ritus Lamba Wakas dan Jambat (saat kehamilan), Weda rewa tuke mbaru (saat peminangan), Kelas (kenduri) dan lain-lain. Hal sama ketika orang Manggarai mengerjakan kebun, ritus-ritus dibuat mulai dari pembukaan kebun baru (lingko-tanah persekutuan komunal) sampai pada upacara syukur panen: upacara pemancangan “Teno” oleh Tu’a Teno (kepala kampung urusan pembagian tanah komunal) pada saat pembagian tanah lingko, upacara Kalok/Weri/Wa’u wini (saat musim menanam) sampai “penti”. Dalam pelbagai ritus itu, doa-doa dan lagu-lagu dipanjatkan kepada Wujud Tertinggi, entah permohonan pun ucapan syukur. Hubertus Leteng dalam skripsinya tentang doa asli Manggarai menjelaskan bahwa doa sebagai ekspresi iman dalam agama asli orang Manggarai dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian, yakni: berdasarkan ciri-ciri, intensi dan pelaksana atau pelaku.
1] Ciri-ciri : Ciri Teosentris. Dalam doa-doa asli nama Wujud Tertinggi disebut secara eksplisit. Kepada Dia-lah doa-doa dilambungkan. Ciri Mediasi: Para leluhur dipercayai sebagai perantara. Karena itu nama leluhur disebut dalam doa. Ciri sosial: doa-doa asli tidak hanya mementingkan diri sendiri tetapi juga orang lain, komunal dan keutuhan seluruh ciptaan. 2] Intensi: ada dua macam doa yakni doa permohonan dan doa syukur. Ketika memulai musim tanam orang Manggarai akan mempersembahkan babi atau ayam kepada Wujud Tertinggi dan leluhur agar kiranya Wujud Tertinggi berkenan memberkati benih (wini) yang akan ditanam. Ritus yang sama dibuat pasca panen. 3] Pelaksana atau pelaku: Doa-doa asli Manggarai dari aspek pelakunya dibagi dalam dua kelompok: Pertama, doa pribadi. Dalam menghadapi berbagai pengalaman, entah kecewa maupun gembira orang Manggarai memiliki tanggapan dan jawaban atasnya. Salah satu bentuk tanggapan dan jawabannya ialah melalui doa pribadi. Doa-doa pribadi ini biasanya singkat, spontan, terbuka dan jujur. Doa-doa seperti ini biasanya disebut “Keng” atau “Wada agu Gesar”. Misalnya seorang yang sedang mengalami sakit berat akan berdoa, “Mori, ba’eng koe mendim ho’o…” (Tuhan, kasihanilah hambaMu ini…). Kedua, doa bersama. Doa bersama terjadi dalam ritus-ritus komunal dalam berbagai kesempatan, misalnya: ritus Simo Le’as / Rames Le’as yang merupakan upacara pemulihan ketika seorang ibu mengalami keguguran. Maksud ritus ini ialah supaya Wujud Tertinggi dan roh leluhur memulihkan kesehatan jasmani-rohani ibu yang bersangkutan dengan harapan tidak terjadi keguguran lagi. Doa bersama juga dapat terjadi dalam ritus Kelas, Penti, dsb. Terminologi yang biasa dipakai dalam ritus-ritus komunal adalah “Tudak” yang disampaikan oleh “Ata Peci” [pribadi yang memiliki kharisma spiritual yang biasanya terdapat pada Tu’a Golo ataupun ata mbeko-dukun].

4.4. Dimensi Pengalaman Keagamaan
Menurut Edward Schillebeecks, pengalaman berarti seseorang bertemu langsung dengan sesuatu obyek dan belajar melalui pertemuan itu. Melalui pertemuan langsung itu kita mengenal obyek-obyek yang kita alami, kita memperoleh pengetahuan langsung tentang obyek itu. Namun pengalaman seperti itu tidak pernah “murni” dalai arti bahwa semata-mata obyek itu menyatakan diri kepada subyek yang mengalami. Seseorang bisa mengalami sesuatu melalui interpretasi atas obyek itu. Interpretasi itu berlangsung dalam pengalaman manusia sendiri.
Orang Manggarai memiliki pengalaman akan Wujud Tertinggi. Mereka tidak pernah mengatakan bahwa pernah berhadapan muka dengan Wujud Tertinggi. Meskipun ada ata mbeko yang mengasosiasikan mimpi tertentu sebagai pertemuan dengan Mori Keraeng dan pernyataan diriNya yang intens kepada mereka. Tetapi semua orang Manggarai mengakui bahwa mereka mengalami kehadiranNya dalam peristiwa hidup harian mereka. Itulah sebabnya, lahir berbagai nama Wujud Tertinggi yang dianalogkan dengan alam-kosmos, bentuk doa, ritus-ritus pemulihan, dan go’et yang mengekspresikan kedekatan yang relasional-intim antara orang Manggarai dengan Wujud Tertinggi.
Kehadiran “ata pecing” atau “ata mbeko” sangat penting dalam menafsir kehendak Yang Ilahi. Jika terjadi kemalangan komunal berupa berbagai penyakit, bencana alam, kematian yang irrasional, ata pecing memiliki tugas untuk mencari sebab-musabab dan menemukan solusinya. Peran ata pecing sangat menentukan dalam berbagai segi kehidupan: religius, social, politik, ekonomi dan budaya. Revelasi diri dan kehendak dari Mori Keraeng dinyatakan lewat “nipi” [mimpi] dari ata pecing. Ata pecing ini menyampaikan maksud de Morin agu Ngaran kepada orang yang untuknya revelasi itu ditujukan.

4.5. Dimensi Sosial Keagamaan
Iman Dan kepercayaan akan Wujud Tertinggi orang Manggarai memiliki dimensi sosial. Iman itu tidak hanya bermakna, meminjam istilah Filsafat, “in se” (dalam dirinya sendiri), tetapi juga mempunyai “per se” (untuk sesuatu yang lain). Sebab jika iman itu tidak berbicara dan terkait dengan kehidupan real, maka iman itu nirmakna. Ada beberapa dimensi sosial yang saya temukan antara lain:
Pertama, Iman dan kepercayaan akan Wujud Tertinggi dalam diri orang Manggarai membuat mereka merasa yakin dan pasti bahwa mereka adalah anak-anak dari Mori agu Ngaran. Keyakinan itu begitu kuat sehingga menimbulkan pengharapan untuk kelak bersatu dengan seluruh arwah leluhur dalam kebersamaan dengan Mori Keraeng. Tetapi untuk bisa tinggal bersama Dia, orang Manggarai, baik secara privat maupun komunal, mesti memiliki sikap hidup yang baik, kepercayaan yang utuh pada Mori Jari Dedek dan kesetiaan untuk mentaati laranganNya. Kerinduan untuk bersatu dengan Mori agu Ngaran inilah yang membuat orang Manggarai pada zaman lampau lebih dominan mengarahkan dirinya kepada kebaikan.
Kedua, orang Manggarai memiliki berbagai norma dan aturan yang diyakini sebagai jalan untuk mencapai kebahagiaan kelak [mose tedeng len]. Berikut ini ada beberapa norma umum. 1] Relasi antara pria Dan wanita. Aturan relasi pria-wanita sangat ketat. Sebagai contoh: mengintip perempuan yang sedang mandi disebut “loma lelo” [pemerkosaan dengan cara melihat]. Atau barangsiapa yang ketahuan melakukan “jurak” [incest] diberi hukuman paling berat. Jika hal ini terjadi, maka akan dibuat upacara pemulihan yang disebut “oke jurak” atau “doro rekes”. Dalam upacara ini disembelih kerbau putih sebagai hewan korban penyilihan dosa dan mohon ampun dari dosa lewat “songgo”[doa pemulihan]. 2] Relasi dengan orang yang lebih tua dan orang yang lebih muda. Orang-orang muda berkewajiban mematuhi perintah orang-orang tua. Demikian halnya relasi antara pemimpin adak [tu’a golo] dengan anggota masyarakat [sangged lawa wan koe, etan tu’a]. dari orang muda dituntut ketaatan dan dari orang tua dituntut sikap hidup yang baik, tutur kata yang sopan, berkualitas, bijaksana, dan patut dipanut.
Ketiga, orang Manggarai dan keluarga. Konsep tentang Wujud Tertinggi mempunyai dampak yang luas, termasuk relasi antar sesama. Keluarga sebagai institusi masyarakat terkecil sangat diperhatikan. Dalam relasi dengan orang tua [kandung], seorang anak melihat mereka sebagai “mori kraeng ata ita le anak” [Tuhan yang kelihatan]. Karena itu bersikap kasar terhadap orang tua dilarang. Sebaliknya, anak adalah “wae tuka de Morin agu Ngaran” [benih Tuhan dan Pemilik] yang harus diperhatikan oleh orangtua. Memukul orangtua dan menelantarkan anak-anak adalah perbuatan tercela.
Keempat, orang Manggarai dengan sesamanya [keluarga dekat dan semua orang lain]. Dengan “Hae Wa’u”- “Ase Ka’e” [kakak-adik, sepupu] hubungan diwarnai oleh persahabatan kental. Mereka harus saling mendukung satu sama lain. Itulah sebabnya, urusan “laki” atau “wai” [peminangan] dan berbagai urusan keluarga dijalankan secara bersama-sama sebagai tanggungan keluarga besar. Ada juga yang disebut dengan “Anak Wina-Anak Rona” yakni hubungan yang terjalin karena perkawinan. Keluarga mempelai laki-laki disebut: anak wina, sedangkan keluarga anak perempuan disebut: anak rona. Anak rona memiliki kewajiban untuk membayar belis dan sida kepada anak wina dalam urusan kematian, pernikahan, dan urusan adat lainnya dari anak rona.
Ikatan kekerabatan tidak hanya dibangun berdasarkan hubungan darah, tetapi juga asal [cama beo-satu kampung-asal]. Orang Manggarai merasa memiliki kewajiban untuk saling memperhatikan sesama asal di manapun mereka berada. Biasanya, orang-orang seasal dianggap sebagai “saudara” [ase-ka’e, cama tau] di tempat perantauan [tanah mbeot]. Mereka yang tiba lebih dahulu [ngo te kolo] menyiapkan tempat bagi mereka yang datang kemudian [cai musi]. Orang-orangtua menitipkan pesan supaya yang lebih tua menjadi pendamping bagi mereka yang muda. Secara inplisit, otoritas orangtua diserahkan kepada mereka yang dipercayai itu. Mereka biasa mengatakan, “Nana, jaga di’a-di’a asem ho’o. Reweng dite, reweng dami” [Jagalah adikmu ini, kami menitipkan suara kami padamu].

5. Mori Jari-Dedek: Tuhan yang Hidup dan Terlibat
Bagi orang Manggarai, kehadiran Mori Keraeng memiliki arti yang sangat besar. Mori Keraeng adalah Tuhan bagi manusia dengan segala kenyataannya. Ia menciptakan, menjaga, memelihara kehidupan dan menjamin “mose tedeng len” (kehidupan kekal hingga keabadian). Dari manusia dituntut kesetiaan untuk mengikuti kehendakNya, menjaga relasi yang harmonis dengan diri sendiri, sesama dan lingkungan.
Mori Keraeng adalah Tuhan yang hidup. Karena itu, menyadari segala kerapuahan dan kelemahannya, manusia mesti memiliki intensionalitas batin, pikiran, perkataan dan perbuatan kepadaNya. Sikap inilah yang membuat orang Manggarai yakin bahwa Mori Jari-Dedek hadir aktual, di sini, saat ini dalam diri orang-orang yang berbuat baik. Kerap ada ucapan, “Tuhan ada padamu” [One ite nai de Morin] bila ada yang cara hidupnya baik.

6. Yesus Kristus: Sebuah Pencarian Keterkaitan Wujud Tertinggi orang Manggarai Dan Kharisma Karmel

6.1. Panggilan Karmel: Mengikuti Yesus, Mengakui Eksistensi Allah Dan Mengalami bahwa Ia sungguh Hidup Dan Terlibat

Kita sudah melihat uraian tentang Wujud Tertinggi orang Manggarai. Menelusuri jejak Allah dalam iman dan kepercayaan primal orang Manggarai, satu kenyataan yang bisa ditemukan dalam rumusan “doktrinal iman” mereka ialah bahwa Mori agu Ngaran, Mori Jari Dedek, Mori Keraeng dengan berbagai sebutan tidak memiliki putera [anak]. Inilah jalan yang bisa menjadi sebuah “uma cumang tau” [lahan yang mempertemukan] ajaran Kristiani-iman primal orang Manggarai. Sedangkan hal-hal yang tidak sulit dipertemukan ialah gagasan tentang “ketunggalan” Allah. Meskipun “Yang Ilahi” orang Manggarai disebut dengan gaya parallelisme, Mori Keraeng tetaplah satu pribadi [monotheismus]. Lalu bagaimana bisa dihubungkan dengan kharisma dan spiritualitas Karmel?
St. Albertus, dalam Prolog Regula, menulis,
“Berulang kali dan dalam pelbagai cara para Bapa Suci menentukan bagaimana setiap orang, dalam serikat manapun ia hidup atau cara hidup apapun yang dipilihnya, harus hidup taat kepada Yesus Kristus dan setia mengabdiNya dengan hati yang suci dan hati nurani yang murni”.
Menurut alur gagasan ini, pernyataan di atas pada gilirannya bermuara pada suatu komitmen untuk mengikuti Yesus, karena pada hakekatnya kita dipanggil untuk mengikuti Allah dan mengambil bagian dalam persekutuan Trinitas.
Persatuan dengan Allah merupakan arah dan tujuan hidup setiap pengikut kharisma Karmel. Persatuan itu kerap disebut “pengalaman kontemplasi” yang digambarkan Konstitusi sbb:
Kontemplasi adalah perjalanan batin para Karmelit, yang timbul karena prakarsa bebas Allah. Pengalaman itu menyentuh dan mengubah kita. Pengalaman kontemplasi membimbing kita kepada persatuan denganNya yang dialami dalam cinta, mengangkat kita sehingga kita dapat menikmati cintaNya yang diberikanNya dengan cuma-cuma serta hidup di hadiratNya dengan penuh cinta. Kontemplasi merupakan suatu pengalaman akan cinta Allah. Pengalaman itu begitu kuat sehingga memiliki daya yang mengubah. Cinta yang sama memiliki kekuatan untuk mengosongkan pola pikir, cinta dan perilaku manusiawi kita yang terbatas dan tak sempurna, pada gilirannya mengubahnya menjadi ilahi.
Persatuan dalam cinta dengan Allah! Sebuah pernyataan yang menjadi muara dari kontemplasi. Namun untuk sampai pada kontemplasi ini, ada ‘jembatan” [letang-temba] yang coba dibangun sebagai “alat bantu”, yakni berupa tiga kharisma dasariah: doa, persaudaraan dan pelayanan .
Pertanyaan yang perlu diajukan kepada kita ialah: 1] Apakah kita sungguh mengalami bahwa Allah hidup dalam doa-doa kita? Apakah doa-doa dan relasi yang kita bangun dengan sama saudara, merupakan ekspresi dari “intimitas” dengan Allah? Apakah pelayanan yang kita berikan merupakan “suatu kesadaran” akan kehadiran Allah yang ada dalam diri sesama, yang membutuhkan uluran tangan kita? 2] Jika Allah sungguh-sungguh terlibat dalam Doa, Persaudaraan dan pelayanan kita, perlu dipertanyakan: Allah macam manakah yang kita imani? Model-model kualitas dominan yang kita hayati sangat mempengaruhi cara hidup, pola pikir serta tutur kata kita. 3] Dari pengalaman orang Manggarai akan kehadiran Allah yang hidup dan terlibat dalam kenyataan historis, aktual dan masa depan, kita menemukan suatu keyakinan bahwa keharmonisan hidup merupakan pilihan yang tak terelakkan. Muncul pertanyaan: Ketika situasi menjadi disharmonis karena ke-chaos-an, mampukah kita, sebagai orang yang percaya bahwa Allah hidup dan terlibat dalam diri kita, menjadi pribadi yang memberikan keyakinan bahwa Ia sungguh ada dalam diri kita?

6.2. Peran Mediasi Insan Beriman di Tengah Dunia: Ata Pecing [Penafsir] versus para Pengikut Kharisma Karmel.

Orang Kristen adalah murid Kristus, yang telah dipilih dan kemudian diutusNya ke tengah dunia. Kita menjadi seperti Petrus, mengantarai Kerajaan Surga dengan dunia. Dalam kepercayaan agama primal Manggarai, “Ata Pecing” memiliki peran sangat penting. Merekalah yang menyampaikan kehendak Mori Keraeng kepada anak-anakNya. Dalam diri mereka ada kekuatan yang diasalkan pada kekuatan Mori Keraeng. Mereka memiliki kemampuan untuk menyembuhkan, memohon sesuatu untuk masyarakat adak-komunal, menjadi mediator bila terjadi kesalahan publik masyakat adak. Dia menjadi perantara antara Mori agu Ngaran, Jari Dedek. Masyarakat yakin akan kemampuannya yang diperoleh karena relasi khusus dengan Yang Ilahi.
Orang Kristen beriman kepada Allah. Iman itu memungkinkan dia disebut mahkluk rohani (kaum religius). Kata “religius” mengandung makna kedekatan dengan Allah. Imam, Bruder, Frater, Suster dan awam adalah “orang-nya Allah”[man of God, ata de Morin], “dekat dengan Allah” [ruis agu Morin] dan bahkan “Alter Christi”. Benarkah orang Kristen sudah hidup seperti itu?
Membaca Berita Karmel, saya terkesan dengan tulisan Rm. Krisna Aji O.Carm yang memberikan catatan tanggapan atas Pertemuan Karmelit Muda. Rm. Krisna kira-kira menulis begini:
Saya ingin bertanya kepada Anda, kita semua. Apakah yang saudara usulkan sebagai usulan brilian, misalnya: tentang hidup doa, ini merupakan usulan yang masih angan-angan atau usulan yang memang Saudara hidupi? Keduanya membawa hasil, akibat yang berbeda. Kalau usulan saudara masih terbatas pada angan-angan; saya ingin seorang Karmelit itu dalam hidup doa begini dan bukan begitu, maka kalau usulan saudara dijadikan keputusan dalam Kapitel, berlaku untuk semua, tidak akan jalan. Begitu diputuskan kita semua bingung. Berbeda kalau usulan brilian Saudara berasal dari hidup saudara-saudara maka bila diumumkan langsung ditanggapi. Mengapa? Karena hidup doa merupakan hidupnya. Melakukan dengan lebih mantap apa yang sudah dilakukan, dihidupi…hidup doa kita jadikan hidup sehari-hari…dalam hidup persaudaraan melatih untuk menjadikan hidup Yesus Kristus sendiri sebagai hidup kita. Mencintai dalam wujud mengampuni….melatih diri menjadi miskin. Kalau minus-mata bertambah, berani hanya mengganti lensanya saja, frame-nya tetap….
Sebagai insan beriman, hidup kita adalah keseharian dalam usaha mencari Allah dan upaya ditemukan Allah. Dari perjalanan sejarah Ordo Karmel kita melihat perjalanan panjang pergumulan itu. Konstitusi menulis, “…kontemplasi juga mempunyai nilai injili dan gerejawi. Praksisnya bukan hanya sumber hidup rohani kita, melainkan juga menentukan mutu hidup persaudaraan dan pelayanan kita di tengah umat Allah”. Hal ini berarti bahwa kontemplasi harus mempunyai buah, yakni cinta kasih dalam pelayanan dan hidup bersaudara dengan sesama manusia. Hidup yang telah ditransfomasikan kepada cara hidup Yesus sendiri adalah inti dari peziarahan kita insan beriman.
Pertanyaan untuk kita: 1] Sejauh mana kita telah menampakkan sikap transformatif itu dalam hidup pelayanan kita, sehingga orang-umat Allah sungguh yakin bahwa kita adalah mediator, orang dekat Allah, murid Kristus? 2] Dalam kenyataan dunia yang penuh kegelisahan ini, mampukah kita hadir sebagai “pengantara” yang memberikan jalan keluar terbaik bagi persoalan yang ada seturut kompetensi kita sebagai kaum religius?

7. Penutup
Hingga saat ini kita dijejali dengan konsep Wujud Tertinggi orang Manggarai yang memandang Mori Keraeng sebagai Wujud Tertinggi yang sungguh hidup, ada dan terlibat dalam keseharian hidup mereka. Dalam ‘imbi’ itulah mereka hidup dan berjalan mencapai persatuan denganNya.
Pada bagian kedua, saya coba menarik “benang merah” sebagai usaha mencari keterkaitan antara spiritualitas Kristen, khususnya Kharisma Karmel dan Wujud Tertinggi. Persatuan dengan Allah dalam Kontemplasi yang bermuara dalam kehidupan real [praksis] adalah buah terindah dari hidup yang telah ditransformasikan ke dalam hidup Allah sendiri.***



REFERENSI

BUKU-BUKU:

Kirchberger. Georg, Allah: Pengalaman dan Refleksi dalam Tradisi
Kristen. Maumere: LPBAJ, 2000
Eliade. Mircea, Patterns in Comparative Religion. London-New
York, 1958.
_________, The Sacret and the Profane. New York, 1961
_________, Myths, Dreams and Misteries: The encounter between
contemporary faiths and archaic realities. New York, 1967.
_________, Myth and Reality. London: George Allen & Unwin LTD,
1964.
_________, Images and Symbols, Studies in Religious Symbolism.
New York: A Search Book, Sheed & Ward, 1969.
_________, The Two and The One. London: Harvill Press, 1965.
Distar. Nico Syukur, Pengalaman Dan Motivasi Beragama [Jakarta:
Lapennas, 1982
Hemo. Dorotheus, Ungkapan Bahasa Daerah Manggarai Provinsi
NTT [Ruteng: 1990.
Toda. Damian N., Manggarai Mencari Pencerahan Histriografi.
Ende: Nusa Indah, 1999.
Verheijen. A. Jilis, Manggarai Dan Wujud Tertinggi [Jakarta: LIPI-
Uthctrect-RUL, 1990
Yassin. H.B., Chairul Anwar Pelopor Angkatan 45. Jakarta: Gunung
Agung, 1985


ARTIKEL DAN MANUSKRIP:

Decky. Teobald kanisius, “Konsep Tentang Wujud Tertinggi Pada
Suku Manggarai Dan Teori Kulturkreiselehre Menurut
Wilhelm Schmith”, Kuliah Antropologi Budaya. STFK
Ledalero, 1998
____________“Sejenak di Padang Gurun” dalai: Berita Karmel, No.
November , 1998.
Ivan Haryanto, et. al., “Agama Asli Manggarai”, sebuah studi yang
dipresentasikan dalam: Kuliah Perbandingan Agama, di
Ledalero 25 November 2003
Hubert Leteng, Pr, “Percikan Kristiani Dalam Doa-doa Asli
Manggarai”, Skripsi [STFK Ledalero, 1985
Krisna O.Carm, “Menggelitiki Karmelit Muda” dalam: Berita
Karmel, No. 259-Juli 1999
Stark dan Glock, “Dimension of Religious Commitment”, dalam:
Roland Roberson [ed.], Sociology of Religion. Baltimore:
Penguin Books, 1971.
Buku Nyanyian Dere Serani. Sekpas Keuskupan Ruteng, 1980



***

Selengkapnya...

Pertobatan Metodelogi dan Konteks Teologi

In Memoriam Pater Dr. Yoseph Suban Hayon, SVD

(Fragmen Kenangan seorang Murid)

Kanisius Teobaldus Deki, M.Th

Seorang lelaki paruh bayah memasuki ruang kuliah di musim kering tahun 1999. Wajahnya menampakkan kecerahan dan ketenangan. Di tangannya sebuah buku dipegang erat. Stelan baju batik berlengan pendek dengan pilihan warna yang tidak mencolok mata merupakan busana keseharian yang sering dipakainya. Dengan ayunan langkah pelan dan pasti ia memasuki kelas. Melalui senyumannya yang khas, ia mengajak mahasiswa untuk berdoa sebelum kuliah dimulai. Ya, begitulah setiap kali. Entah ketika menjadi pengasuh kuliah Teologi Asia, Kristologi Lokal di program Strata Satu (S1), maupun Teologi Kontekstual dan Teologi Feminis di Strata Dua (S2), kuliahnya selalu menimbulkan decak kagum dan senantiasa diminati mahasiswa Filsafat-Teologi.
Bahasa racikannya sedap di dengar, aras pemikirannya mudah dicerna serta tirisan refleksinya menukik sehingga membuat para calon filsuf dan teolog terkesima dibuatnya. Itulah sebabnya, banyak mahasiswa, termasuk penulis, berburu pengetahuan serta berguru pengalaman padanya, entah sebagai pengajar maupun pembimbing tugas akhir, baik di medan skripsi maupun thesis. Lelaki paruh bayah itu adalah Dr. Yoseph Suban, yang lebih akrab disapa Pater Yoseph. Beliau adalah dosen Teologi, guru spiritual dan Direktur Program Pascasarjana di STFK Ledalero.


Hari ini saya tersentak. Sebuah SMS memberi berita, P. Yoseph telah pergi untuk selamanya. Tanggal 1 Mei 2009, saya sempat mengirim sebuah SMS untuk beliau yang isinya sangat pribadi. Tetapi dua hari kemudian SMS itu kembali dengan keterangan: tak terkirim. Kontak langsung terakhir dengan almarhum terjadi ketika beliau bersedia memberikan rekomendasi pada saat saya membuat aplikasi beasiswa program doktorat ke USA yang dibiayai Ford Foundation. Tak disangka, penulis puisi dan pencinta sastra ini telah berpulang ke rumah Bapa pada hari Jumat, 8 Mei 2009 pukul 05.45 di RS St. Elisabet Bekasi.
Tulisan ini saya buat lebih untuk mengenang beliau. Sebuah coretan yang menurut saya penting untuk dihiraukan yakni tentang Teologi yang berpulang pada konteks. Hal mana menjadi main stream seluruh hidupnya dalam berteologi.

Pertobatan Metodologi dalam Teologi
Tahun 1998 Pater Yoseph menyelesaikan disertasinya di Universitas Gregoriana Roma. Beliau menggagas tema Kristologi dalam kenyataan Asia dengan judul usungan: Doing Christology in the Present Asian Reality: Between Inculturation, Liberation, and Ecumenicity. Pertemuannya dengan Aloysius Pieris dan M.M.Thomas menghasilkan tilikan tentang tiga tema penting yang perlu dihiraukan dalam membangun konstruksi teologi di Asia yakni inkulturasi, pembebasan dan ekumenisme. Temuan ini menghasilkan kesadaran yang lebih jauh tentang perlunya sebuah pertobatan metodelogis dalam berteologi.
Sungguh disadarinya bahwa diskursus teologi yang terbangun di Negara-negara berkembang memiliki kecenderungan orientasi Barat. Karena itu dibutuhkan suatu pembaharuan dalam berteologi setelah melakukan evaluasi, kritisisme dan konfrontasi-oposisi bukan saja dalam metodelogi melainkan lebih pada orientasi yang mau ditujui. Itulah sebabnya, teologi dan upaya berteologi di Negara-negara dunia ketiga (yang miskin dan terjajah) menekankan dua aspek penting. Pertama, penekanan pada orientasi teologi yang dibuat untuk melayani umat-masyarakat, teologi yang bergerak melampaui komunitas Kristen, melayani kehidupan dan kepenuhan manusiawi. Kedua, penekanan pada karakter sejarah teologi dunia ketiga yang mempunyai dimensi evolutif dan historis dalamnya ada sejarah pembebasan. Terdapat kontinuitas dalam diskontunuitas, universalitas pada personalitas dan generalitas setiap singularitas.
Berhadapan dengan realitas kemiskinan yang menindas, perlu pembaharuan dalam cara berteologi yang didominasi diskursus ilmiah dan terlanjur lupa aspek spiritualitas Kristen yang berorientasi keterlibatan untuk mencari wajah Allah secara baru dalam pengalaman konkret. Titik pijaknya adalah sikap para Nabi dan Yesus yang menjalankan diakonia seimbang dengan liturgia. Atau menurut bahasa Aloysius Pieris, bertolak dari ruang kelas menuju dapur. Dari sebatas diskusi formal-ilmiah ke medan pergulatan tindakan dan perbuatan nyata.
Kenyataannya manusia telah dipengaruhi oleh spirit kapitalisme-individualisme yang justru bertentangan dengan misi Yesus dan semangat kekristenan. Maka untuk sebuah perubahan dalam cara berteologi dibutuhkan suatu sikap pertobatan personal yang menjadi elemen kunci untuk melakukan transformasi sosial. Itu berarti menjadi imperatif munculnya spiritulitas yang berkutat dalam perjuangan mendapatkan keadilan, pembebasan, damai dan rekonsiliasi. Konsekuensi logisnya, lahirlah Combative Theology (Teologi Pertarungan) dalam konteks perjuangan rakyat untuk memperoleh liberasi, bertarung melawan dewa-dewi dengan suatu titik mulai baru: berhala dalam diri harus dikalahkan untuk melawan berhala dari luar. Pater Yoseph menulis: “Kita diminta untuk melawan struktur kejahatan yang sama. Musuh-musuh kita yang sudah berbuat jahat dapat menyadarkan kita sejauh mana struktur kejahatan itu sudah juga merasuki kita. Kita mesti melawan yang gelap dalam diri kita tetapi dengan semakin teguh berpegang pada si Pembawa Terang. Kita mesti berjuang melawan yang jahat yang ada dalam diri kita, tetapi hanya kalau kita semakin melekatkan diri pada Yang Baik. Dan dengan melawan yang gelap dan jahat di dalam diri kita, mata kita jadi jernih untuk bisa membaca yang gelap dan jahat di sekitar kita, dan batin kita menjadi berani untuk merubahnya. Merubah struktur yang jahat bisa berarti merubah musuh-musuh kita yang sudah berbuat jahat menjadi baik. Kita diminta untuk melawan struktur kejahatan yang sama. Musuh-musuh kita yang sudah berbuat jahat dapat menyadarkan kita sejauh mana struktur kejahatan itu sudah juga merasuki kita. Kita mesti melawan yang gelap dalam diri kita tetapi dengan semakin teguh berpegang pada si Pembawa Terang. Kita mesti berjuang melawan yang jahat yang ada dalam diri kita, tetapi hanya kalau kita semakin melekatkan diri pada Yang Baik. Dan dengan melawan yang gelap dan jahat di dalam diri kita, mata kita jadi jernih untuk bisa membaca yang gelap dan jahat di sekitar kita, dan batin kita menjadi berani untuk merubahnya. Merubah struktur yang jahat bisa berarti merubah musuh-musuh kita yang sudah berbuat jahat menjadi baik.” (Deki, 2008:335-336).
Mammon dan kekuasannya adalah musuh Allah yang harus dikalahkan dengan tiga cara. Pertama, Jalan permandian. Di sungai Yordan Yesus berpegang teguh pada BapaNya. Renunsiasi atas mammon berarti memaklumkan kembali Allah sebagai penguasa atas dunia. Di bukit Kalvari terdapat denunsiasi terhadap mammon suatu tindakan berhadapan melawan serta ”anggap sepi” atas segala bentuk kekuasaan imitasi yang amis dengan kekerasan dan penindasan. Kedua, Upaya dan perjuangan eskatologis yang dilakukan ialah terus berjuang walau mengetahui resiko terhadap ”anti kerajaan Allah”. Sikap kecewa karena perjuangan menuntut kebenaran belum membuahkan hasil adalah godaan paling besar. Ketiga, Teologi dunia berkembang berciri eklesial karena gereja seluruhnya eklesiatikal. Gereja lokal adalah instrumen Allah untuk pembebasan roh manusia dan untuk menunjukkan buah sulung Kerajaan Allah di tengah dunia. Gereja lokal mesti menjadi tanda keselamatan yang kelihatan dalam menghadapi masalah-masalah aktual umat-masyarakat. Karena itu, teologi dunia berkembang mesti berakar dalam gereja mereka, membuat teologi dari gereja mereka seturut kerinduan dan harapan umat Allah.

Teologi Kontekstual dan Cara Hidup Menggereja di NTT
Istilah ”konteks” berasal dari bahasa Latin ”con-texere” yang berarti menenun atau menganyam. Teologi kontekstual bukanlah kebenaran abstrak yang tidak terpengaruh zamannya melainkan suatu kepirhatinan iman yang sedang mencari pemahaman di tengah pengalaman serta realitas politik, sosial dan religius. Kontekstualisasi teologi pada titik akhir mewajibkan orthopraxis (menghayati iman) mendahului ortodoxi (rumusan iman) dan penghayatan iman menjiwai perumusan iman (Prior, 2003:1,12).
Mengikuti alur gagasan itu, terdapat beberapa catatan fundamental-esensial yang menjadi epistemological break (pengretakan epistemologi) bagi teologi untuk hidup menggereja di NTT. Jika Gereja menyembah mammon (uang dan kuasa) maka sulitlah baginya untuk melaksanakan peran profetis terhadap yang kaya dan berkuasa. Malah ia menjadi kaki-tangan penguasa yang bercorak kapitalis dan kolonial. Maka Gereja akan tetap merasa aman dengan ”diakonia karitatif” dan bukan diakonia sosial, atau: pelayanan sosial dan bukan aksi sosial! Padahal Gereja memiliki dua tugas penting yang mesti dilaksanakan dalam masyarakat yaitu keimaman untuk menciptakan rekonsiliasi yang membebaskan dan pelayanan profetis untuk menciptakan konflik yang memurnikan.
Kalaupun Gereja mengidentikan diri dengan para korban, identifikasi diri bukanlah sebuah penerimaan pasif atas penderitaan melainkan transformasi yang memampukan lewat mana kekuatan-kekuatan kematian dan kejahatan dikalahkan berkat kebangkitan. Untuk merubah situasi ketidakadilan, seluruh situasi dianalisa secara teliti dengan menggunakan pendekatan sistemis dan langkah-langkah mesti diambil untuk mematahkan monopoli para penguasa dan untuk memberdayakan kaum lemah dengan menolong mereka menemukan martabat diri mereka.
Dalam memperjuangkan pembebasan kaum lemah di NTT, Gereja harus bekerja sama dengan kaum lemah. Yang mesti dibuat Gereja adalah melatih pemimpin-pemimpin untuk membentuk pelayanan yang sederhana dan kontinyu, melatih petugas-petugas sukarela untuk membentuk kembali inti kehidupan masyarakat dan merintis karya pelayanan di daerah-daerah yang sulit. Pada akhirnya, teologi Gereja NTT mesti memiliki komitmen ”siap untuk tersebar”, seperti komunitas gereja purba. Setiap kelompok membentuk satu nukleus persekutuan baru baru yang dinamakan komunitas ketetaanggaan. Hal mana membangun rasa kekitaan yang kian punah di NTT.
Minggu, 10 Mei 2009. Lautan manusia memenuhi bukit Ledalero untuk melepas-pergikan sang Teolog yang menyadarkan kita akan pentingnya kembali ke konteks, ke jati diri melalui sebuah pertobatan metodelogis untuk berani dibaptis kembali oleh Allah dalam situasi konkrit budaya, sosial politik, ekonomi dan religius. 10 tahun Pater Yoseph telah menunjukkan konsistensi antara ajaran dan aksinya. Pater Yoseph terima kasih dan selamat jalan...

Penulis adalah mahasiswa Program Pascasarjana STFK Ledalero 2005. Kini Dosen Teologi STKIP St. Paulus Ruteng (phone: 0385 2424412/mobile: 0852 5335 5226/e-mail: kanisius_2009@yahoo.com).



Selengkapnya...

Jumat, 12 Maret 2010

Prophete du sens

Kanisius Teobaldus Deki, M.Th
Pengajar STKIP St. Paulus, Direktur Lembaga Pendidikan & Kajian Demokrasi

“Berita gembira! Telah terpilih uskup Ruteng yang baru Romo Dr. Hubert Leteng Pr.” Demikian sebuah short message service (SMS) masuk ke ponselku. Aku memperhatikan kalender dan jam dinding, hari itu, Sabtu 7 November 2009, pkl. 19.00. Spontan aku berkata “syukur Tuhan!” Beliau terpilih untuk menggantikan Mgr. Eduardus Sangsun, SVD yang meninggal dunia 13 Oktober 2008 lalu. Berita ini tentu sangat menggembirakan umat Katolik, khususnya di Keuskupan Ruteng karena adanya tahta lowong sejak 13 Oktober 2008. Penantian yang cukup lama ini disambut dengan kegembiraan yang penuh. Di setiap paroki diumumkan tentang terpilihnya Doktor Spiritualitas ini sebagai uskup Ruteng yang baru.


Dalam rasa gembira yang meluap-luap, ingatanku berpulang pada hari-hari kuliah tahun 2004. Seorang laki-laki paro baya memasuki pelataran parkir STFK Ledalero. Dari lantai dua mata kami terus mengikuti langkahnya menuju tangga kampus. Langkah tegap yang disertai senyuman setiap kali berpapasan dengan mahasiswa. Tegap, berwibawa serta sederhana, adalah tampilan yang tak pernah alpa dari kepribadian seorang Hubert Leteng. Cara pikir, tutur kata dan sikap yang bersahaja adalah ekspresi kental yang menjadi cirinya. Begitulah, setiap kali kami disuguhi kuliah Spiritualitas Imamat. Ada diskusi hangat yang kontekstual. Tak kurang kepiawaiannya dalam menjawabi pertanyaan mahasiswa Pascasarjana. Lebih dari semua itu, pandangannya yang tetap teguh berhadapan dengan kecenderungan modernitas yang seolah terakui secara otomatis tanpa sikap kritis.
Seraya mengutip dokumen Pastores Dabo Vobes ia berulang menandaskan tentang fokus pelayanan para imam sebagai pihak yang dipanggil untuk hidup bersama dengan orang lain, bukan dalam keterpisahan, sebab esensi panggilan mereka, selain “ada” yang berasal dari Allah (man of God), juga sekaligus “ada” untuk sesama (man for others) dalam bingkai cinta kasih pastoral. Panggilan kepada cinta kasih pastoral memiliki dimensi sosial (social dimension) yang mau tidak mau harus berhadapan dengan sesama. Sebab, jikalau ia hadir hanya untuk dirinya, maka panggilannya menjadi nirmakna (meaningless). Dalam perjalanan pelayanannya di tengah masyarakat kampus dan Seminari Tinggi, Hubertus tidak hanya menjadi seorang tokoh spiritual tetapi juga imam-teolog yang menginterpretasi kehidupan secara kreatif. Dan kini, beliau menjadi gembala umat untuk keuskupan Ruteng!
Membaca konteks Manggarai Raya (Timur, Tengah & Timur) yang masih dililiti kemiskinan, pertanyaan yang perlu diajukan ialah praksis pastoral macam mana yang perlu dilakukan Uskup baru ini? Pertanyaan ini adalah sebuah stand point untuk menentukan kiblat pastoral di daerah yang mayoritas penduduknya adalah petani sederhana dan masih dibeliti persoalan kemiskinan.
Ada secuil kegalauan membaca peta yang terkuak secara inplisit dari persiapan tahbisan ini. Pertama, soal komposisi panitia tahbisan. Tak dapat disangkal, ketua umum dan ketua pelaksana adalah orang jajaran atas di lingkup Pemkab Manggarai. Pertanyaan yang muncul ialah: Apakah pemilihan ini tidak akan menjebak sang gembala ke rimba persekongkolan antara altar dan kuasa? STFK Ledalero juga mengingatkan hal ini sebagai sikap kritis yang harus dihiraukan. Kedua, soal tempat. Panitia sepakat untuk memilih Lapangan Motang Rua. Pertanyaan yang spontan menyeruak masuk ialah: Mengapa kita tidak memanfaatkan Katedral nan megah dengan pelatarannya yang luas? Lapangan ini berada di tengah kekuatan modal (toko-toko, pasar) dan kekuatan kuasa (kantor Pemkab). Kalau peristiwa mulia ini terjadi di Katedral, selain penegasan eksistensi, juga mengurangi biaya. Ini adalah perayaan umat-rakyat. Maka pesta dirayakan seadanya, namun sakral, serentak menghargai kemiskinan dan kepapaan umat-rakyat Manggarai. Dengan demikian, tak perlu menghambakan diri pada pemilik modal dan penguasa (donor sukarela di pentas jelang Pilkada) untuk meminta sesuap nasi di acara resepsi.
Ada dua jawaban yang bisa diberikan. Pertama, secara teologis, gereja harus keluar dari sikap eksklusivitasnya. Ia harus berada di lapangan dunia ini. Bahasa Injilnya, “menjadi garam dan terang dunia” (Mat 5:13-16). Bahwasannya, Allah hadir di mana saja Ia mau. Modal dan kuasapun, karenanya, bisa disakralkan. Ini maksud yang sangat positif. Kedua, bisa jadi mengisyaratkan bahwa Gereja sendiripun menyerahkan diri dikepung oleh kekuatan lain dan takluk-tunduk padanya seperti kenyataan yang dirasakan oleh umat Manggarai selama ini. Jika ini yang menjadi spirit, maka uskup baru sudah dibawa ke tempat pembantaian secara metodologis-sistematis-sadar sebelum memainkan jurus reksa pastoral yang profetik!
Menurut Paul Ricoeur (Borgias, 2009: vi), seorang teolog, pemimpin umat atau orang beriman harus bisa menjadi prophete du sens, nabi yang mewartakan atau menegaskan arti kehidupan. Seorang teolog-pemimpin umat adalah seorang yang berani mewartakan atau menegaskan arti kehidupan. Seorang teolog adalah seorang yang berani menggerakkan dirinya dalam alur triadik berteologi yakni going in, coming back dan going in between. Dengan membawa tradisi kristiani yang dianutnya, seorang teolog harus masuk ke dalam konteks (going in) untuk belajar dari konteks. Oleh pengalaman dalam going in, seorang teolog mesti juga berani untuk melakukan coming back (kembali ke tradisi Kristen) dan mengkonfrontir kenyataan konteks dengan tradisi Kristen. Buah dari sebuah coming back memungkinkan teolog-pemimpin umat untuk bergerak di antara (going in between), menjawab kenyataan-kenyataan konteks dengan tradisi Kristen yang relevan.
Mgr. Hubertus, dalam kesahajaannya adalah pribadi yang dekat dengan harapan Ricoeur. Dia adalah man of God serentak man for others dalam kesadaran sebagai ens sociale (mahkluk sosial) dan homo religiosus (mahkluk rohani). Bisa jadi ia sebagai yubilaris tak bisa berkata dan berkomentar tentang persiapan penahbisannya. Tapi kita, umat-teolog-rakyat Manggarai, diberi kesempatan yang sama untuk menjadi prophete du sens. Belajar dari konteks sejarah masa lalu untuk menegaskan diri sebagai nabi yang tetap independent dan memiliki otoritas dalam ajaran dan tindakan yang benar. Itu adalah hasil pertautan dari going in, coming back dan going in beetwen. Sebuah racikan untuk menemukan kembali jati diri gereja Manggarai dan visinya di tengah dunia yang sedang kalap dan rancu. Bahkan kalau itu harus berlawanan dengan pemilik modal dan penguasa.***

(Dimuat di Suara Nuca Lale)
Selengkapnya...

Rabu, 10 Maret 2010

HERMENEUTIKA PAUL RICOEUR

Upaya Distansiasi Teks dan Pembaca
Sebuah Diskursus Reflektif-Kritis

Kanisius Teobald. Decky, S. Fil., M. Th.
Abstract: A moral-educational discourse has been confirmed as a hermeneutic discourse, and a human life is viewed as an act of hermeneutics. Hermeneutics is a movement in the philosophy of science, according to which the task of the human sciences is to elucidate the structure of the social institutions underlying behavior. It is the contemporary philosophy of science that started focusing on the subject particularly on linguistics. Language, therefore, is thought as an activity that enables people to indicate the fact and interpret its meaning in order to communicate to each other. The aim of linguistics, as one human and therefore ‘hermeneutic’ science, is to elucidate the rules of language, seen as rules that constitute such an institution or behavior. The aim of hermeneutics is to elucidate the fundamental meaning of human’s activity. Hermeneutics is nowadays considered important to discuss because life, the basic area of hermeneutics, is almost changeable anytime. This article will discuss the important of hermeneutics and describe how it works in human’s life. The focus is on the hermeneutics invented by Paul Ricoeur.

Key-words: Hermeneutik, teks, interpretasi, distansiasi, makna.



1. Pengantar
Bagaimana sebuah teks diberi penilaian tatkala teks itu menimbulkan kekisruhan? Dapatkah kita membuat sebuah justifikasi atas peristiwa tertentu yang disajikan teks jika teks tersebut mempunyai tujuan tertentu yang khas, unik dan tersembunyi? Atas teks yang demikian, apa yang hendak dikatakan jika terbukti ia hanya memperkeruh suasana? Apa itu kebenaran yang disajikan teks, jika ternyata ia tidak memberikan kontribusi yang menciptakan keadilan? Bagaimana menafsir teks yang demikian? Itu sederetan pertanyaan yang muncul dalam benak banyak orang terhadap sebuah buku yang dinilai kontroversial dan penuh muatan politis karangan Mayjen (Purn) Kivlan Zen, Msi yang berjudul “Konflik dan Integrasi TNI AD”. Buku ini berisi beberapa peristiwa dan penilaian atasnya berdasarkan pengamatan dan pengalaman Kivlan Zen sebagai prajurit TNI AD.
Kesan yang kuat tercipta tatkala saya membaca informasi tentang buku ini ialah diungkapkannya secara agak tuntas dan lugas carut marut wajah TNI akibat kebijakan perwira tinggi TNI di zaman Orde Baru berkuasa hingga bola api Reformasi digulirkan. Muara akhir dari buku ini berkesimpulan bahwa sejak L.B. Moerdani berkuasa di kursi singga sana militer hingga Wiranto konflik berdarah yang terus terjadi di Tanah Air juga disebabkan oleh pergulatan politis para perwira tinggi untuk merebut kekuasaan atau paling kurang mendapat jatah remah-remah kekuasaan. Bahkan kasus yang agak aktual seperti kerusuhan Mei 1998 dan pembentukkan Pam Swakarsa [Pasukan Pengaman Swakarsa] yang mengamankan Sidang Istimewa MPR/DPR pada Mei 1998 berada dalam koridor yang sama. Terlibatnya Wiranto dalam pelbagai kasus berdarah menimbulkan persoalan politis, khususnya berdampak langsung pada usahanya untuk menjadi presiden RI untuk masa jabatan lima tahun ke depan. Ada sebuah pertanyaan yang tersembul keluar dari kenyataan ini: “Apa maksud Kivlan menulis sebuah buku yang justru menyudutkan Wiranto yang berada di tengah tekanan kelompok yang menolak calon presiden dari militer?”
Tentu terdapat banyak jawaban yang bisa diberikan, yang terlahir dari usaha hermeneutis ketika orang membuat suatu penafsiran atas teks tertentu. Tulisan ini mengedepankan hermeneutika Paul Ricoeur, seorang filsuf Prancis dan tidak bermaksud menjelaskan kasus yang diungkapkan di atas secara langsung. Ia hanya dipakai sebagai pengantar untuk memperlihatkan betapa penting sebuah penafsiran ketika kenyataan membutuhkan jawaban yang jelas dan tuntas. Tulisan ini dibagi dalam lima bagian: Pengantar, Siapakah Paul Ricoeur, Pemikiran Hermeneutis Paul Ricoeur, Catatan Reflektif-Kritis dan Kesimpulan.


2. Siapakah Paul Ricoeur
2.1. Riwayat Hidupnya
Paul Ricoeur dilahirkan di Valance, Prancis Selatan, tahun 1913 dan menjadi yatim piatu dua tahun kemudian. Ia berasal dari keluarga Kristen Protestan yang saleh dan dianggap sebagai seorang cendekiawan Protestan yang terkemuka di Prancis. Ia dibesarkan di Rennes. Di Lycee untuk pertama kalinya ia berkenalan dengan filsafat melalui R. Dalbiez, seorang filsuf berhaluan thomistis yang terkenal karena dialah salah seorang Kristen pertama yang mengadakan studi besar tentang psikoanalisa Freud [1936]. Ia memperoleh licence de philosophie pada tahun 1933, lalu mendaftarkan diri di universitas Sorbone Paris guna mempersiapkan diri untuk agregation de philosophie yang diperolehnya tahun 1935. Di Paris ia berkenalan dengan Gabriel Marcel yang akan mempengarugi pemikirannya secara mendalam. Ia pernah mengikuti wajib militer [1937-1939] dan bekerja di dinas militer Prancis hingga ditahan di Jerman sampai perang berakhir [1945]. Usai perang ia bekerja sebagai dosen pada College Cevenol. Tahun 1948 ia menggantikan Jean Hypolite sebagai Profesor Filsafat di Universitas Strasbourg. Tahun 1950 ia meraih gelar docteur es letteres.
Sejak tahun 1966 ia bekerja pada Universitas Sorbone yang mengembangkan sayapnya di Nanterre. Di sana ia mendukung harapan mahasiswa untuk membuat pembaharuan radikal terhadap sistem universiter dengan segala aspeknya, sambil tentu tidak menghalalkan segala cara kekerasan. Di tengah kerusuhan di Nantere, profesor Sastra mengundurkan diri dan Ricoeur dibujuk untuk menjadi penggantinya, meskipun ia bertahan hanya setahun [Maret 1969-Maret 1970]. Ketika kerusuhan mengarah ke tindak kekerasan ia mengalami sakit jantung dan meminta untuk mundur dari jabatan itu. Sejak saat itu itu ia mengajar sebagai profesor tamu di Universitas Leuven, Belgia dan sejak tahun 1973 mengajar lagi di Nanterre [sekarang disebut Universitas Paris X]. Ia kemudian menjadi direktur pada Centre d’etudes phenomenologiques et hermeneutiques-Pusat Studi Fenomenologi dan Hermeneutika. Ia kemudian menaruh perhatian pada masalah filsafat bahasa dan hermeneutika.

2.2. Karya-Karyanya
Pada waktu mobilisasi ia masuk lagi ketentaraan Prancis dan dijadikan tahanan perang sampai akhir perang [1945] bersama sahabat sesama tahanan ia menulis buku Karl Jasper et la philosophie de l’existence - Karl Jasper dan Filsafat Eksistensi [1947] dan pada tahun yang sama diterbitkan bukunya Gabriel Marcel et Karl Jaspers - Gabriel Marcel dan Karl Jaspers, sebuah studi tentang perbandingan antara dua tokoh eksistensialisme yang menarik banyak perhatian waktu itu. Ia lalu menulis Philosophie de la volonte-Filsafat Kehendak yang diberi anak judul Le volontaire et l’involonaire-Yang Dikehendaki dan Yang Tidak Dikehendaki [1950]. Atas berbagai usaha dan pemikirannya dalam bidang teologi, ia diberi anugerah doktor teologi honoris causa oleh Universitas Nijmegen, Belanda [1968]. Ia juga menulis di majalah Esprit dan majalah Christianisme social dan beberapa karangan tentang masalah sosial politiknya dikumpulkan dalam buku Historie et verite-Sejarah dan Kebenaran [1955, yang diperluas tahun 1964]. Pada tahun 1960 ia mempublikasikan jilid II dari Philosophie de la volonte- dengan anak judul Finitude et culpabilitye - Keberhinggaan dan kebersalahan. Ceramah - ceramahnya yang ia berikan di Yale University [AS, 1961], Universitas Leuven [Belgia, 1961], dikembangkan menjadi karya besar De l’interpretation. Essai sur Freud [1965]. Pada tahun 1975, ia menulis sebuah buku tebal yang membawa delapan studi tentang metafora dengan judul La metaphora vive - Metafora yang hidup.

3. Pemikiran Hermeneutis Paul Ricoeur
3.1. Latar Belakang Pemikiran Tentang Hermeneutik
Setiap kali kita berusaha untuk memahami pemikiran filsafat Ricoeur, terdapat perspektif filsafat yang beralih dari analisis eksistensial menuju analitis eidetik [pengamatan yang demikian mendetail], fenomenologis, historis, hermeneutis dan bermuara pada semantic]. Meskipun ada begitu banyak perubahan, satu kenyataan yang sulit dipungkiri ialah bahwa keseluruhan filsafat Ricoeur pada akhirnya terarah kepada hermeneutik, khususnya interpretasi. Ia menegaskan hal itu dengan mengatakan bahwa pada dasarnya keseluruhan filsafat itu adalah interpretasi atas interpretasi. Sambil mengutip Nietzche ia memperluas pandangannya dengan mengatakan bahwa hidup itu sendiri adalah interpretasi. Bila pada akhirnya terdapat kejamakan makna, maka di situ interpretasi dibutuhkan. Apalagi kalau simbol-simbol dilibatkan, interpretasi menjadi tak terelakkan, sebab makna memiliki pluralitas lapisan. Ia mengatakan juga bahwa filsafat pada dasarnya adalah sebuah hermeneutik yakni kupasan tentang makna yang tersembunyi dalam teks yang kelihatan mengandung makna. Setiap interpretasi adalah usaha untuk memperlihatkan makna-makna yang masih terselubung atau usaha menyingkapkan makna yang terkandung dalam kesusastraan.
Di sini peran bahasa, khususnya kata-kata sebagai simbol mendapat arti yang sangat penting dalam usaha penyingkapan makna itu. Hermeneutik lalu menjadi sebuah sistem [tata bahasa] dan diskursus [sintaksis] dalamnya usaha mengais makna adalah aktivitas yang melibatkan teks: entah tertulis maupun kehidupan manusia itu sendiri. Sebab bagi Ricoeur, hermeneutika bertujuan menghilangkan misteri yang terdapat dalam simbol dengan cara membuka selubung daya-daya yang belum diketahui dan tersembunyi dalam simbol-simbol tersebut. Dan makna bagi Ricoeur mempunyai dimensi dasar yang ganda: dimensi objektif, yakni apa yang dimaksudkan oleh kalimat, dan dimensi subjektif, yakni apa yang dimaksudkan oleh pembicara atau penulis.

3.2. Usaha Hermeneutis: Distansiasi Teks dan Pembaca
Dalam pembahasannya Ricoeur menaruh perhatian kepada teks sebagai sebuah inskripsi dari aktivitas diskursus. Alasannya adalah untuk mengembangkan sebuah pandangan filosofis yang tepat agar orang dapat menggunakan naskah-naskah peninggalan peradaban secara maksimal. Meskipun ada keraguan tentang teks tertulis yang muncul dari pemikir-pemikir besar seperti Plato, Rosseau dan Bergson, Ricoeur mengarahkan perhatiannya pada teks tertulis bukan karena teks dianggapnya sebagai satu-satunya bentuk komunikasi yang benar, melainkan karena kemungkinan yang ada pada teks untuk dipakai sebagai sarana pendidikan yang terus-menerus, sebagai bentuk dokumentasi.
Menurut Ricoeur, teks adalah diskursus tertulis, atau penulisan sebuah karya dalam diskursus. Teks adalah satu mata rantai pada komunikasi. Pada mulanya ada pengalaman eksistensial yang dibuat. Pengalaman ini ditransformasikan ke dalam bahasa, yakni diskursus. Terdapat dua bentuk diskursus, yakni lisan dan tertulis. Teks dihidupkan melalui berbagai pembicaraan. Membaca dan menceritakan kembali adalah cara-cara untuk menghidupkan kembali sebuah teks. Jika kita mengatakan bahwa teks adalah sebuah aktivitas, maka sebenarnya kita mau mengatakan bahwa sebuah teks adalah satu totalitas yang tidak dapat dikembalikan kepada kalimat-kalimat yang membentuknya.
Sebuah teks sebenarnya berbicara tentang dunia, bukan tentang lingkungan sekitar dari penulis. Dunia yang menjadi referensi ada di depan teks, dan bukan di belakang teks. Karena itu, Ricoeur menganjurkan kepada setiap pembaca untuk mengarahkan perhatian kepada sesuatu di depan teks. Maksudnya: setiap pembaca mesti membiarkan dirinya untuk dibawa oleh teks ke depan. Teks membuka pikiran dan perasaan pembaca untuk sesuatu yang ada di depan. Dunia diproyeksikan dalam teks. Apa yang terungkap dalam teks adalah satu percikan dari dunia tersebut.
Makna teks ada di depan teks, bukan di balik teks. Makna teks bukanlah sesuatu yang tersembunyi, tetapi sesuatu yang terbuka, terungkap. Pemahaman teks tidak banyak dipengaruhi oleh pengarang dan situasinya. Pemahaman berarti usaha mencari dan mendalami arti dunia sebagaimana terungkap dalam teks. Dengan kata lain, memahami sebuah teks berarti mengikuti gerak dari arti kepada referensi.
Memahami teks tidak berarti mengulangi peristiwa pembicaraan dalam satu peristiwa serupa. Memahami adalah upaya untuk menghasilkan sebuah peristiwa baru berdasarkan tujuan yang telah disampaikan dalam tulisan itu sendiri. Bagi Ricoeur, segala sesuatu yang ada sekarang bersifat fragmentaris, tidak pernah mengungkapkan kebenaran secara menyeluruh. Dunia yang sebenarnya ada di depan kita. Tujuan yang paripurna tidak pernah dapat kita capai di dalam kondisi manusiawi kita. Dengan ini Ricoeur menanamkan sebuah harapan dan mendobrak setiap pintu ideologisasi.
Proses penafsiran bermula dengan penerkaan. Kita menerka makna sebuah teks sebelum kita memahaminya secara mendalam. Kita menerka berdasarkan kondisi subyektif kita. Ricoeur menerapkan kerangka berpikirnya tentang teks pada sebuah tindakan. Tindakan manusia itu serupa teks yang ada di depan seorang pembaca yang membutuhkan penafsiran.
Ricoeur merangkai kekhasan ini dalam pengertian distansiasi. Terdapat empat jenis distansiasi dari sebuah teks, yakni: Pertama, distansiasi dari peristiwa mana sesuatu itu ditulis oleh makna tentangnya sesuatu itu ditulis. Yang terungkap di dalam sebuah tulisan adalah makna, bukannya suasana. Kedua, distansiasi antara apa yang tertulis dengan penulisnya. Sebuah teks akan segera terlepas dari penulisnya. Teks dibaca untuk orang lain. Ketiga, distansiasi dari pembaca awal. Di dalam sebuah pembicaraan pendengar adalah kelompok tertentu. Apa yang dibicarakan kemudian diteruskan kepada pihak lain. Bisa jadi bahannya semakin meluas dan berkembang. Dan keempat, distansiasi dari referensi awal. Referensi awal adalah hal, kepadanya sebuah makna dirujuk atau tepatnya sesuatu, tentangnya sebuah tulisan berbicara. Distansiasi-distansiasi ini merupakan “jembatan” yang menghubungkan teks dan makna yang terkandung di dalamnya dengan pembaca yang ingin mengetahui makna itu.

4. Catatan Reflektif-Kritis atas Hermeneutika Ricoeur

4.1. Posisi “Teks Aktual” dan Interpretasi Atasnya
Harus diakui bahwa pemikiran Ricoeur tentang teks dan usaha distansiasi demi suatu pembacaan kembali untuk menggapai makna yang terkandung di dalamnya sangat penting. Dari Ricoeur kita menjadi sadar bahwa sebuah teks akan selalu aktual bila kita berusaha untuk membuat sebuah tafsiran kreatif yang mengindahkan jarak-jarak tertentu sehingga makna apa yang dihasilkan bukan hanya merupakan penemuan yang mewakili interese pribadi melainkan sungguh apa yang menjadi isi teks.
Hal tersebut di atas menjadi benar kalau seandainya teks itu berasal dari zaman lampau di mana yang menulis telah tiada karena dengan demikian kita tidak mempunyai referensi langsung lagi selain teks yang ada. Tetapi ketika kita diperhadapkan dengan teks aktual yang perlu ditafsir dan penulis yang menghasilkan teks itu masih ada, bukankah kita masih memiliki akses untuk menanyakan langsung apa yang telah disampaikannya lewat karya tulisnya [bila ada hal yang perlu diklarifikasi, misalnya]? Sebuah contoh aktual. Kivlan Zen menulis buku yang menurut banyak pihak merupakan “aksi buka-bukaan” tentang rahasia intern korps ABRI, khususnya keterlibatan Wiranto dalam kasus-kasus berdarah di negeri Indonesia ini. Buku itu [isi dengan maksud tertentu] di satu sisi, serta kehidupan manusia Indonesia [khususnya Wiranto dan para petinggi ABRI yang lain] di sisi lain adalah teks yang padanya kita akan membuat penafsiran untuk menemukan makna atau arti dari teks itu. Kisah-kisah yang tertera dalam teks [buku dan kehidupan manusia Indonesia pada saat itu, ruang lingkup buku itu] memberikan sebuah pembacaan atas situasi dan serentak penilaian atasnya. Penilaian Kivlan berdasarkan hasil pembacaannya adalah salah satu bentuk penafsiran atas satu teks yang mahaluas yang terbuka untuk bentuk penafsiran lainnya. Jika Kivlan memberikan interpretasinya, dan ada juga pihak lain yang membuat interpretasi atas teks [pihak Wiranto, misalnya], maka belum tentu penafsiran mereka akan sama karena terkait kepentingan tertentu sebagai “zits im leben” setiap penulisan.
Pertanyaannya, “bagaimana kita bisa menghasilkan sebuah interpretasi yang benar?” Ricoeur, sejauh yang saya tangkap tidak membicarakan tentang “teks aktual” [yang penulisnya atau penyaksi sejarahnya masih hidup] dalam hermeneutikanya. Karena itu peran seorang hermeneut sangat besar dalam arti kemandiriannya sangat ditantang. Tetapi berhadapan dengan teks yang penulisnya masih ada, satu-satunya jalan untuk mengetahui “kebenaran” yang terkandung dalam setiap teks yang hasil interpretasinya berbeda ialah membuat pengujian dan pembuktian langsung dengan menghadirkan bukti-bukti dan saksi-saksi yang akan mendukung setiap argumentasi yang benar. Jika ia sanggup membuat pembelaan atas apa yang ditulisnya maka ia menyajikan itu atas kebenaran [dalam arti sempit: fakta berdasarkan data]. Tanpa itu setiap teks yang dibuat dan interpretasi yang keluar adalah usaha untuk memenangkan kepentingan ideologis tertentu, hal mana yang ingin didobrak oleh Ricoeur. Jika hal itu yang terjadi maka pernyataan Ricoeur tentang aktivitas menafsir sebagai tindakkan yang bermakna eksistensial menjadi nirmakna. Padahal menurut saya, kebenaran dan usaha menafsir merupakan tuntutan hakikat manusia sebagai ens rationale untuk mengais makna atas teks [karya tulis dan kehidupan] yang mahaluas.

4.2. Teks, Interpretasi dan Kaitan [maknanya] dengan Masa Depan
Dengan memberi tekanan bahwa teks berbicara tentang dunia, Ricoeur mengabaikan penulis dan situasi lingkungan dari penulis bersangkutan. Bagi Ricoeur, membaca sebuah teks berarti membiarkan diri kita dibawa oleh teks ke depan. Dengan itu, Ricoeur mengabaikan semua peristiwa yang melingkupi terbentuknya teks tersebut. Seorang penulis dalam tulisannya selalu memberi tekanan pada situasi yang dihadapinya. Dengan itu, penulis menghendaki agar setiap pembaca bisa mencermati situasi yang ada lewat tulisan tersebut. Benar bahwa setiap penulis dalam tulisannya memberi suatu visi ke depan buat pembaca, akan tetapi visi yang ditampilkan oleh penulis tersebut berangkat dari latar belakang tulisannya. Visi yang ditawarkan dalam tulisannya tidak terlepas dari apa yang penulis hadapi. Maksudnya, visi yang ada berpijak pada pengalaman penulis sendiri.
Dengan memberi tekanan pada sesuatu yang ada di depan teks, Ricoeur mengabaikan dan bahkan meniadakan makna yang ada dibalik teks tersebut. Padahal sebuah teks menyembunyikan sesuatu buat pembacanya. Ada makna yang tersembunyi di balik lahirnya teks. Lewat teks, penulis ingin mengungkapkan sesuatu yang terjadi dengan dirinya atau dengan lingkungan yang mengitarinya. Kita ambil contoh Kitab Suci. Untuk mengerti dan mengambil makna yang ditunjukan oleh sebuah teks Kitab Suci seseorang juga mesti mengenal latar belakang [sitz im leben] terbentuknya teks Kitab Suci tersebut. Jadi sebuah teks selain mengungkapkan suatu maksud bagi setiap pembaca, dia juga menyembunyikan suatu makna yang tersembunyi, atau tersirat.
Ricoeur mengatakan bahwa tindakan manusia serupa dengan teks. Dengan itu setiap tindakan manusia mesti diberi penafsiran. Sedangkan penafsiran bagi Ricoeur adalah sesuatu yang ada di depan. Tindakan manusia menunjukkan sesuatu makna ke depan. Pada hal tidak semua tindakan manusia memberi makna ke depan. Karena tindakan manusia juga terlahir dari situasi yang melingkupi batinnya. Jadi, tindakan seseorang tidak terlepas dari pengaruh lingkungan dan dirinya sendiri. Ada sesuatu yang tesembunyi di balik tindakan seseorang.

4.3. Sumbangan Pemikiran Hermeneutis Ricoeur Bagi Refleksi Moral Masa Kini
Kita sudah bicara tentang hermeneutika Paul Ricoeur dalam konteks sebuah upaya distansiasi antara teks dan pembaca. Ricoeur menerapkan kerangka berpikirnya tentang teks pada sebuah tindakan. Yang membutuhkan interpretasi bukan hanya bahasa yang dibicarakan atau ditulis, tetapi juga tindakan manusia. Tindakan manusia itu serupa teks yang ada di depan seorang pembaca yang membutuhkan penafsiran. Pertanyaan yang perlu diajukan: “Apa hubungan hermeneutik Ricoeur dengan refleksi moral masa kini?” Saya berpikir bahwa hermeneutik berpengaruh luas dalam refleksi antropologis yang menandai dunia kultural kita dengan keterbukaan luas terhadap ilmu-ilmu budaya, namun tetap dalam usaha untuk membawa kembali kepadanya arti terdalam pada tingkat religius-edukatif.
Minat-minat eksistensial seringkali saling beradu dengan minat-minat antropologi dari yang dalam itu dan terbuka pada harapan-harapan religius. Dan justru dalam konteks budaya dan konteks hidup inilah refleksi hermeneutis Ricoeur penting. Manusia masa kini, dalam terang hermeneutik Ricoeur, sangat dibebani oleh pemikiran tentang kondisinya, yang terbuka terhadap setiap penelitian modern, namun tetap sadar akan batas-batas ilmu pengetahuan di hadapan tema-tema dasar tentang hidup: rasa sakit, rasa salah, keselamatan.
Ilmu pengetahuan modern bertumpu pada data-data objektif dan formal karenanya ia cenderung bersifat reduktif dan tertutup. Karena itu dibutuhkan penafsiran untuk mengatasi data-data itu dan menemukan arti terakhir dari data-data itu. Penafsiran mengatasi reduksi dan mengantar kepada kedalaman. Dalam lingkup moral-edukatif masa kini sumbangan hermeneutik sangat berarti. Prinsip-prinsip dan nilai-nilai umumnya tidak dipahami dalam sistem yang tertutup yang mengajukan satu model formal untuk ditiru, melainkan dicerap dalam refleksi atas data-data dalam terang tuntutan akan arti dan makna.
Wacana moral dengan ini memastikan diri sebagai wacana hermeneutis dan seluruh hidup dipahami sebagai satu aktivitas penafsiran. Itu merupakan pengungkapan perhatian utama filsafat masa kini dalam istilah-istilah moral-edukatif, yaitu perhatian terhadap bahasa. Bahasa adalah aktivitas yang memungkinkan kita melepaskan diri dari aliran fakta-fakta yang mengungkapkan dan mengkomunikasikannya, dalam arti menafsirkannya, dengan maksud untuk menemukan arti dan maknanya bagi hidup kita. Penafsiran bertujuan untuk menangkap arti terdalam dari tindakan etis manusia. Penafsiran ini penting untuk masa kini mengingat situasi konkret di mana hidup moral senantiasa berubah.
Satu sikap umum dari revisi radikal atas model-model tradisional membawa kepada penolakan di satu pihak dan kepada penafsiran yang selalu baru di pihak lain. Penegasan, penolakan, penafsiran menandai pelbagai intervensi dalam bidang moral yang ungkapkan kesadaran mendalam terhadap hidup masa kini. Kesadaran ini tidak univok, berdasarkan kenyataan dari sifat-sifat mencolok dalam pluralitas persoalan-persoalan etis yang dihadapi.
Kita membuat analisis atas situasi konkret dan bukan mengajukan proposisi-proposisi. Jika analisis itu menawarkan unsur tertentu untuk ditafsirkan berdasarkan prinsip “seharusnya ada”, maka dapat dikatakan bahwa kita bisa menangkap dalam konteks refleksi moral atau etis masa kini satu “perjuangan hidup untuk menemukan arti”.
Pemikiran sebagai penafsiran, yaitu pemikiran yang terlibat bertujuan untuk menangkap arti dan makna terdalam dari hidup manusia. Penafsiran ini berkaitan dengan penegasan arti hidup dengan menghadapkannya dengan arti transenden. Dalam perspektif itu pemikiran yang menafsirkan berpadu dengan tindakan penyaksian: penafsiran dan kesaksian merujuk pada suatu realitas yang sama, yaitu menampakkan arti terdalam makna dari hidup manusia.

5. Kesimpulan
Paul Ricoeur menyajikan kepada kita suatu bentuk penafsiran yang kritis atas teks demi memahami makna apa yang terkandung di dalamnya. Usaha menyingkapkan makna itulah yang disebut sebagai proses menafsir. Supaya penafsiran kita memiliki hasil yang obyektif [meskipun melibatkan subyek sehingga ia juga bersifat subyektif] maka perlu ada distansiasi. Ricoeur sadar bahwa tidak setiap teks dengan sendirinya menyajikan sesuatu yang bermakna bagi para pembacanya. Juga sebuah teks tidak pernah bebas dari kepentingan-kepentingan tertentu, khususnya ideologi. Sejalan dengan Habermas yang menyatakan perlunya kritik terhadap ideologi, Ricoeur menerapkan hermeneutika kecurigaan. Ini adalah satu bentuk sikap kritis yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari hermeneutikanya.
Meskipun hermeneutika Ricoeur mempresentasikan kepada kita secara gamblang tentang upaya distansiasi sebagai jalan untuk membuat teks “berbicara” kepada pembaca secara bermakna, namun ia tidak menyinggung soal bagaimana membuat penafsiran atas “teks aktual” dan bagaimana menemukan makna terdalam atasnya khususnya ketika kebenaran yang disampaikan teks dipertanyakan. Karena itu, selain membuat penafsiran atas apa yang dinyatakan teks melalui tulisan, kita juga bisa terlibat dalam diskusi langsung dengan penulisnya untuk membuat klarifikasi atas hal itu jika memang diperlukan atau membutuhkan kejelasan. Karena itu, “teks aktual” selalu terbuka untuk interpretasi dan itulah sebabnya ia tidak pernah menjadi final.


Referensi:

Bertens. Kees, Filsafat Barat Abad XX Jilid II Prancis. Jakarta: Gramedia, 1985.
Budi Kleden. Paulus, Hermeneutika Peran Interpretasi Dalam Penataan Sebuah Teologi
Kontekstual-Bahan Kuliah Hermenuetika. STFK Ledalero, 2002.
Ceunfin. Fransiskus, Etika Umum-Bahan Kuliah, STFK Ledalero, 2002.
Sumaryono. E., Hermeneutika Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1993.
Zen. Kivlan, Konflik dan Integrasi TNI AD, Jakarta: Institute for Policy Studies, 2004.
Majalah MingguanTempo, Edisi: 21-27 Juli 2004
Montefiore, Philosophy in France Today. Canbridge University Press, 1983.
Ricoeur. Paul, The Conflic of Interpretations. Evanston: Northwestern Univer. Press, 1970.





Selengkapnya...